Jurnal Health Sains: p�ISSN:
2723-4339 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 3, No.5, Mei 2022
CRISPR/CAS9 UNTUK MODIFIKASI GEN E7 PADA HPV-6 DAN
HPV-11 SEBAGAI TATALAKSANA KURATIF CONDYLOMA ACUMINATA
Asep Wirayasa
Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran, Bandung
Email: [email protected]
artikel info |
abstraK |
Diterima: 10 Mei 2022 Direvisi: 11 Mei 2022 Dipublish: 30 Mei 2022 |
Penyakit Menular
Seksual (PMS) atau
Venereal Disease (VD) adalah penyakit
yang ditularkan melalui hubungan seksual baik secara vaginal, anal, maupun oral. Infeksi HPV memiliki angka yang besar yaitu sekitar
satu juta kasus setiap harinya. Salah satu studi yang dilakukan oleh WHO menyatakan bahwa 31% wanita di Indonesia terpajan infeksi dari virus ini. HPV yang dapat menyebabkan Condyloma Acuminata adalah
HPV-6 dan HPV-11. Walaupun terapi
farmakologis dan preventif
seperti vaksin sudah dilakukan, namun jumlah penderita masih terus meningkat dan menjadi beban tersendiri untuk negara karena pada umumnya penyakit ini menyerang penduduk usia produkti sehingga sudah saatnya melalukan pendekatan yang lebih mutakhir untuk penanganan kuratif penyakit ini. Mencari metode kuratif mutakhir yang dapat menghentikan condyloma
acuminate secara permanen
pada tiap individu. Metode penelitian yang dilakukana dalah dengan melakukan studi literatur melalui beberapa database jurnal seperti pubmed, cinahl, google scholar,
dan lain-lain. Berdasarkan beberapa
hasil studi ditemukan bahwa CRISPR/Cas9 terbukti efektif dalam menekan ekspresi protein E7 beserta sekuensnya, proliferasi serta sekaligus menginduksi terjadinya
apoptosis melalui jalur
caspase-3 pada genom spesifik
konservatif protein E7 HPV-6 dan HPV-11. Tak hanya menurunkan
ekspresi dan meningkatkan
delesi genom target,
CRISPR/Cas9 juga terbukti sangat efisien dalam menekan proliferasi sel. Sel keratin yang sudah terpapar oleh genom E7 HPV-6
dan HPV-11 akanmenyebabkan terjadinya
proliferasi sel yang tidak terkendali. Dengan melalui metode ini pengobatan
Condyloma Acuminata bisa dilakukan
dengan efektif dan efisien sehingga tidak menyebabkan kekambuhan pada penderitanya.
ABSTRACT Sexually
Transmitted Diseases (STDs) or Venereal Diseases (VD) are diseases that are
transmitted through sexual intercourse, either vaginal, anal, or oral. HPV
infection has a large number of about one million cases every day. One study
conducted by WHO stated that 31% of women in Indonesia were exposed to
infection from this virus. The HPV that can cause Condyloma Acuminata are
HPV-6 and HPV-11. Although pharmacological and preventive therapies such as
vaccines have been carried out, the number of sufferers is still increasing
and becomes a burden for the country because in general this disease attacks
the productive age population, so it is time to take a more sophisticated
approach to the curative treatment of this disease. Looking for the latest
curative methods that can stop condyloma acuminate permanently in each
individual. The research method used is by conducting a literature study
through several journal databases such as Pubmed, Cinahl, Google Scholar, and others. Based on several
studies, it was found that CRISPR/Cas9 proved to be effective in suppressing
the expression of the E7 protein and its sequence, proliferation and at the
same time inducing apoptosis through the caspase-3 pathway in the
conservative genome-specific proteins E7 HPV-6 and HPV-11. Not only
decreasing expression and increasing deletion of the target genome,
CRISPR/Cas9 has also been shown to be very efficient in suppressing cell
proliferation. Keratin cells that have been exposed to the E7 HPV-6 and
HPV-11 genomes will cause uncontrolled cell proliferation. With this method,
the treatment of Condyloma Acuminata can be carried out effectively and
efficiently so that it does not cause recurrence in the sufferer. |
Kata Kunci: kondiloma akuminata;
crispr/cas9; HPV-6; HPV-11. Keywords:
condyloma acuminata; crispr/cas9; HPV-6;
HPV-11. |
Pendahuluan
Penyakit Menular Seksual
(PMS) atau Venereal Disease (VD) adalah
penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual baik secara
vaginal, anal, maupun oral (Vasilenko et al., 2015). Ditandai dengan
adanya infeksi, pada umumnya dapat memberikan manifestasi pada kutan sehingga sering diklasifikasikan
ke dalam masalah Dermato-Venereology. Mikroorganisme parasitic termasuk diantaranya virus
dan bakteri, memainkan peran penting pada progresifitas penyakit ini (Zhang
et al., 2021). Berdasarkan
hasil berbagai studi, prevalensi PMS selalu meningkat setiap tahun dan bahkan terdapat 1.000.000 kasus setiap harinya.
Hal ini dapat terjadi
mengingat aspek humaniora akan kebutuhan biologis disertai kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai PMS dan perilaku seksual yang aman. �(Effendi et al., 2021) Infeksi Human Papilloma Virus
(HPV) merupakan salah satu penyakit menular seksual yang paling umum terjadi di dunia, baik untuk pria maupun
wanita di berbagai �usia selama ia masih
aktif melakukan aktivitas seksual dengan risiko sebesar
45,2% khusus usia 18-59 tahun untuk menderita
infeksi ini (Damayanti, 2022). Sekitar 660 juta
penduduk dunia diestimasikan
menderita infeksi HPV pada tahun 2010 dan kuantitasnya akan terus meningkat
setiap harinya. Sebanyak 10% wanita di dunia teridentifikasi menderita infeksi yang disebabkan oleh
virus ini (Majid & Rusman, 2018). Diketahui bahwa
Amerika Serikat menjadi
wilayah yang memiliki prevalensikasus
infeksi HPV tertinggi di
dunia (Rasjidi, 2009). Dimana sekitar 5 juta penderita bertambah setiap tahunnya dan khusus untuk di Indonesia, belum ada data yang menunjukkan secara eksplisit jumlah penderita infeksi HPV, namun salah satu studi yang dilakukan oleh WHO menyatakan bahwa 31% wanita di Indonesiaterpajan infeksi dari virus ini (Fitrisia et al., 2019).
Human
Papilloma Virus diketahui berperan
sebagai etiologi dari infeksi HPV. (Sipayung, 2022) Virus ini merupakan
golongan dari famili Papillomaviridae golongan double-stranded DNA yang memiliki
morfologi ikosahedral tidak beramplop dengan diameter 55 nm dan panjang
genom 8 kbp. Terdapat 200 tipe HPV di seluruh dunia dengan perbedaan minimal 10% pada sekuens
gen L1 sebagai salah satu bagian dari genom
di setiap tipe HPV yang menjadi hallmark untuk membedakan antara satu tipe dengan
tipe lainnya. Di antara 200 tipe dari HPV, hanya sekitar 40 tipe yang bersifat patologis pada area
anogenital dan bahkan onkogenik
(Evriarti & Yasmon, 2019). Dari ke-40 tipe tersebut, dikelompokkan menjadi dua kelas berdasarkan
asosiasinya dengan sifat onkogenik, yaitu high-risk (Onkogenik) seperti HPV-16 dan
HPV-18 yang berperan pada patomekanisme.
Dari kanker serviks serta low-risk (non-onkogenik) seperti HPV-6 dan HPV-11 yang menjadi
90%. Penyebab utama
condyloma acuminata atau pada umumnya
masyarakat Indonesia menyebutnya
sebagai �kutil kelamin� (Hakimah, 2021).
Condyloma
acuminata merupakan penyakit
pada kulit atau mukosa dengan ciri
morfologis berbentuk tumor seperti kutil berwarna
seperti daging yang memberi gambaran seperti bunga kol
ataupun buah anggur pada daerah genital (Widyaswari et al., 2019). Insidensinya di Indonesia meningkat selama 10 tahun terakhir dan penyakit ini tercatat
sebagai PMS tertinggi di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dengan
prevalensi 20,5-26% dari seluruh kasus PMS yang ada pada 2008-2011 yang diakibatkan
oleh mudahnya transmisi, yaitu melalui kontak
langsung antar kulit maupun mukosa
yang biasanya terjadi saat kontak seksual
baik melalui vagina, anus, maupun oral. Walaupun terapi farmakologis dan preventif seperti vaksin sudah dilakukan,
namun jumlah penderita masih terus meningkat dan menjadi beban tersendiri
untuk negara karena pada umumnya penyakit ini menyerang penduduk
usia produktif, sehingga sudah saatnya melalukan pendekatan yang lebih mutakhir untuk penanganan kuratif penyakit ini.
Metode� Penelitian
Studi tinjauan pustaka ini berasal darianalisa
dan sintesis berbagai referensi. Penluis memasukkan berbagai kata kunci ke dalam
mesin pencari yaitu, Condyloma Acuminata, Crispr/Cas9, HPV, dan kuatif. Berdasarkan jurnal yang didapat dari hasil pencarian,
dipilihlah jurnal yang berupa full-text, dan berkaitan dengan topiik. Referensi diambil dari publikasi global yang dapat diakses secara
gratis melalui Pubmed, Google Scholar, PlosOne, dan Clinical Key. Setelah
sumber didapatkan lalu sumber dirangkum
dan ditulis sesuai dengan materi yang dibahas.
Hasil dan Pembahasan
Demi mengetahui langkah intervensi pada
pendekatan kuratif condyloma acuminata, memahami patomekanisme dari penyakit
ini menjadi hal yang wajib agar tatalaksana yang dilakukan dapat lebih akurat.
Proses perjalanan penyakit ini dimulai dari tahap subklinis atau latensi,
dimana HPV-6 maupun HPV-11 akan menginvasi tubuh manusia melalui lapisan epitelium
yang rusak kemudian menginfeksi sel basal epidermal melalui produksi furin
protease yang dihasilkan oleh protein L2 pada kapsid dan akan menempel pada
reseptor heparan sulfate proteoglycan (HSPG) serta kemudian masuk ke dalam sel
tersebut. Setelah itu, genom DNA dari HPV akan masuk ke dalam nukleus sel basal
dalam bentuk plasmid ekstrakromosom atau episom dan mengalami penyalinan dengan
laju yang rendah, yaitu sekitar 50-100 salinan per sel basal yang ada pada
tahap awal dari siklus virus ini dan akan mencapai puncaknya pada lapisan
Malphigi dimana terjadi amplifikasi hingga ribuan salinan genom HPV.
Dikarenakan HPV tidak memiliki akitivitas DNA polymerase untuk replikasi virus,
HPV menggunakan mesin replikasi DNA sel inang. Pada sel basal yang sudah terpajan
genom HPV namun belum melakukan diferensiasi, HPV mengeskpresikan gen E2BS yang
mudah dimetilasi oleh DNA untuk perkembangan sel. Ekspresi dari gen E2BS ini
meningkatkan aktivitas P14 sebagai promotor utama yang unik dimana ia merupakan
mRNA yang berperan penting pada transkripsi gen E6, E7, dan E1 HPV. Dengan
teraktivasinya gen E7 setelah proses transkripsi dan translasi, ekspresi dari
pRb (Retinoblastoma Protein) sebagai tumor suppressor yang berperan penting
dalam G1 checkpoint, seleksi gerbang fase
S dan juga menekan laju pertumbuhan sel, menjadi
turun baik secara kuantitas maupun kualitas. Apabila terjadi penurunan ekspresi
pRb, laju sintesis DNA pada fase S dan proliferasi sel basal epitel menjadi
tidak terkendali sehingga terjadi hiperproliferasi epitel termasuk di dalamnya
keratin, sehingga menimbulkan manifestasi pada tahap klinis sebagai akibat dari
intervensi genom HPV terhadap siklus sel basal epitel manusia dimanasecara kasat
mata dapat terlihat penampakan berupa papula maupun makula yang lembut seperti
massa kembang kol, pada umumnya berwarna coklat, dan ukurannya bervariasi serta
adanya koilositosis dengan nukleus yang kisut serta munculnya banyak papiler
dengan parakeratosis yang menonjol pada pemeriksaan histopatologi yang pada
umumnya muncul 2-9 bulan setelah infeksi pertama, asimptomatis, serta tidak
mudah untuk teriritasi dan terjadi pendarahan.
Mengingat tingginya prevalensi serta
insidensi kasus infeksi HPV-6 dan HPV-11 di Indonesia setiap tahunnya, dimana
mayoritas penderitanya beradapada usia produktif dan masa aktif untuk melakukan
reproduksi sehingga dikhawatirkan penularannya semakin
masif baik untuk pasangan saat berhubungan seksual maupun kepada anak yang dilahirkan
oleh wanita yangterinfeksi, dan hal itu semua belum termasuk sejumlah pasien
terinfeksi yang tidak terdata karena tidak melakukan tindakan medis sehingga
hal ini dapat menurunkan produktivitas negara akibat turunnya kualitas
kesehatan masyarakat yang sangat berperan penting sebagai aspek pembangunan
negara mengingat kesehatan reproduksi merupakan aset berharga setiap manusia
dan membentuk modal utama untuk populasi yang sehat. Tak hanya itu, biaya yang
ditanggung oleh negara untuk mendanai pengobatan condyloma acuminata saja cukup
tinggi untuk negara maju seperti Inggris dengan beban sebesar US$4 milyar pada
tahun 2004 yang akan terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penderita dan
diestimasikan akan menjadi beban tersendiri untuk negara berkembang seperti
Indonesia. Selain menerapkan langkah intervensi pada tahap preventif dengan
melakukan vaksinasi quadrivalent untuk HPV tipe 6,11,16,18 bagi pasien yang
sudah terpajan oleh infeksi ini ataupun yang sudah mengalami resistensi galur
maupun rentan untuk mengalami efek samping terhadap vaksin tersebut seperti
hipersensitivitas, sudah sepatutnya dilakukan optimalisasi pada tahap kuratif
dengan metode yang semakin akurat dan mutakhir. Penerapan biomolekular untuk
tatalaksana kuratif pada infeksi ini menjadi ranah yang menarik untuk dikaji
pada penelitian masa kini meningat pengobatan secara farmakologis dan
terapeutik pada umumnya memiliki efek samping yang cukup tinggi untuk para
pasien disertai dengan mulai meningkatnya angka resistensi karena virus ini
semakin canggih untuk memanipulasi struktur genomnya.
Sebagai terobosan mutakhir, Clustered Regularly Interspaced Palindromic
Repeats (CRISPR) yang berasosiasi dengan protein Cas9 atau biasa disebut
CRISPR/Cas9 hadir sebagai inovasi kuratif biomolekular yang menjanjikan untuk
inaktivasi ekspresi dari gen E7 HPV-6 dan HPV-11 pada keratinosit manusia.
CRISPR/Cas9 merupakan suatu struktur yang terdiri dari single guide RNA (sgRNA)
dimana ia merupakan fusi sintetik dari non-coding RNA yaitu CRISPR RNA (crRNA)
untuk memandu modifikasi terhadap sekuens DNA targetdan trans-activating crRNA
(tracrRNA) yang berfungsi sebagai perancah serta terasosiasi dengan CRISPR
associated proteins (Cas) yang merupakan enzimendonuklease yang dihasilkan oleh
gen dari "cas operon�. CRISPR diketahui merupakan komponen genome
khususnya pada plasmid bakteri dan archaea yang berfungsi sebagai imunitas
terhadap pajanan substansi asing. Terdapat 3 tipe dari CRISPR/Cas yaitu tipe
I.II. dan III.
Tipe I dan III menggunakan kompleks besar dari
Cas protein untuk memandu crRNA dalam membidik sekuens target sedangkan tipe II
hanya menggunakan protein tunggal bersekuens pendek, Protospacer Adjacent Motif
(PAM), untuk melakukan tujuan yang sama seperti pada tipe I dan III dan paling
sering digunakan pada rekayasa genetika. Secara umum, Cas merupakan bagian dari
ketiga tipe protein ini dan terdiri dari beberapa jenis, namun dengan
dibuktikannya sebuah studi pada tahun 2012 bahwa komponen CRISPR/Cas9 dari
Streptococcus pyogenes memiliki efektivitas tinggi sebagai duplex tracrRNA dan
crRNA untuk memotong DNA target sehingga tatalaksana dengan menggunakan
CRISPR/Cas 9 (Tipe II) Streptococcus pyogens menjadi pendekatan prior
pada manajemen kuratif terkini penderita condyloma acuminata dan menjadi fokus utama
bahasan kali ini.
Pada studi yang dilakukan oleh (Widyaswari et al., 2019) hal pertama yang dilakukan pada rekayasa genom HPV adalah dengan melakukan
kultur sel keratin manusia. Eksperimen kali ini menggunakan sel keratin kulup
neonatal yang diadopsi dari metode yang diterapkan dan disetujui oleh Institutional Review Board of Shenzen Second
People�s Hospitals. Kulup kemudian diisolasi pada medium
berupa serum bebas keratin (Keratin-Serum Free Medium/K-SFM) dalam rentang suhu
37℃ dan saturasi CO2
atmosfer 5% untuk disubstitusikan kepada inang yang relative stabil masa
infeksinya. Khusus untuk inang yang mengalami infeksi transien, maka akan ditumbuhkan pada medium RPMI-1640 dengan suplementasi berupa 10% serum
bovin fetus. Fase selanjutnya ialah konstruksi plasmid dan vektor untuk proses
transfeksi sekuens CRISPR/Cas9. Dalam proses kontruksi vektor, disusun terlebih
dahulu dua sekuens sgRNA yaitu CATAGCAATGTAACCCTACAGTTTTAGAGCTAGAAATAGCAAGTTAAAATAAGGCTAGTCCGTTATCAACTTGAAAAAGTGGCACCGAGTCGGTGC TTTTTT untuk sekuens sgRNA yang pertama dan untuk sgRNA kedua yaitu
AGACAGCTCAGAAGATGAGGGTTTTAGAGCTAGAAATAGCAAGTTAAAATAAGGCTAGTCCGTTATCAACTTGAAAAAGTGGCACCGAGTCGGTG CTTTTTT untuk menarget genome E7 pada HPV-6 dan HPV-11. Masing-masing
sekuens ini akan dimasukkan ke dalam wadah pCRISPR-CG01 yang mengandung
promoter U6 untuk transkripsi tiap sgRNA dan promoter CMV untuk ekspresi Cas9.
Area pada vektor yang kurang akan komplemen genomnya akan digunakan sebagai
kontrol negatif. Di sisi lain, untuk insersi genom HPV-6 dan HPV-11 terhadap
kultur, dilakukanlah konstruksi plasmid pcDNA3.1-HPV-6 dari genome bank
HG793938.1 dan pcDNA3.1-HPV-11 dari genome bank KC329894.1 yang disusun secara
kimiawi dan dimasukkan ke wadah pcDNA3.1 dan akan berfusi di dalamnya. Setelah
keduanya disiapkan, kemudian dilaksanakanlah transfeksi vektor dan plasmid ke
dalam sel kultur. Di dalam sel kultur, sel-sel keratinkulup akan
mengekspresikan genom dari HPV-6 dan HPV-11 yang kemudian akan diproses oleh
vektor yang mengandung system CRISPR/Cas9. Fragmen DNA
HPV akan direkam dan disimpan dalam spacer di antara CRISPR atau biasadisebut
sebagai proses akuisisi. Kemudian, crRNA yang merupakan bagian dari sgRNA akan
mengalami transkripsi dan bergabung dengan protein Cas9
sekaligusmengaktivasinya. Genom HPV-6 dan HPV-11 yang menjadi target delesi
akan dikenali oleh RuvC sekaligus memotong sekuens yang tidak berkomplemen.
Kemudian, untuk genom yang berkomplemen maka ia akan dipotong oleh protein REC
dan HNH pada Cas9 dan dilanjutkan dengan fiksasi oleh Protospacer Adjacent
Motif (PAM) sehingga terjadilah delesi frameshift yang menyebabkan mutasi pada
genom E7 HPV-6 dan HPV-11 menekan laju proliferasi keratin yang berlebih.
Berdasarkan analisis dengan unit
Western-Bolt, yaitu mencuci sel kultur dengan PBS dan dilisiskan pada larutan
penyangga RIPA dan kemudian mengkalkulasi ekspresi gen E7 dari keratin tersebut
dengan BCA protein assay, 48 jam setelah dilakuksanakannya transfeksi,
didapatkan jumlah ekspresi gen E7 HPV-6 dan HPV-11 menurun secara signifikan
dan tampak perubahan yang drastis dibandingkan dengan kontrol negatif, seperti
ditunjukkan oleh Gambar 1 dan apabila ekspresi gen itu
dianalisis lebih lanjut dengan Sanger Sequencing pada PCR, maka didapatkan
delesi pada bagian yang menjadi sasaran inaktivasi genom E7 HPV-6 dan HPV-11
sehingga metode CRISPR/Cas9 ini efektif untuk melenyapkan ekspresi genom
tersebut dan hasilnya tampak pada Gambar 2.
Gambar 1
Penurunan secara signifikan
ekspresi gen E7 HPV-6 dan HPV-11 pada metode CRISPR/Cas9 dibandingkan dengan
kontrol negatif pada analisis Western Bolt. [34]
Gambar 2
Analisis PCR mengindikasikan
bahwa CRISPR/Cas9 efektif dalam melaksanakan delesi frameshift pada sekuens E7
HPV-6 dan HPV-11 pada sel keratin kultur. [34,39]
�
Tak hanya menurunkan ekspresi dan meningkatkan delesi genom target,
CRISPR/Cas9 juga terbukti sangat efisien dalam menekan proliferasi sel. Sel
keratin yang sudah terpapar oleh genom E7 HPV-6 dan HPV-11 akanmenyebabkan
terjadinya proliferasi sel yang tidak terkendali. Dengan adanya sistem
CRISPR/Cas9, jumlah proliferasi keratin menurun dibandingkan saat sebelum
terpajan metode ini (P < 0.001) berdasarkan analisis dengan CCK-8 assay yang
berasosiasi dengan ELISA pada rentang absorbsi 450 nm (Grafik 1). Selain itu,
metode CRISPR/Cas9 juga meningkatkan apoptosis dari sel keratin yang sudah
berproliferasi secara berlebihan dengan meningkatkan jumlah dan aktivasi dari
caspase-3 (P < 0.001) seperti yang terdapat pada Tabel 1.
Grafik 1
Penurunan laju proliferasi sel
keratin kultur dengan metode CRISPR/Cas9dalam analisis CCK-8 assay. [34]
Tabel 1
Peningkatan apoptosis pada sel
keratin kultur yang diinduksi oleh CRISPR/Cas9ditandai dengan bertambahnya
kuantitas caspase-3.[34,39]
Berdasarkan beberapa hasil studi, CRISPR/Cas9 terbukti efektif dalam
menekan ekspresi protein E7 beserta sekuensnya, proliferasi serta sekaligus
menginduksi terjadinya apoptosis melalui jalur caspase-3 pada genom spesifik
konservatif protein E7 HPV-6 dan HPV-11. Walaupun belum diterapkan secara in
vivo sejauh ini, CRISPR/Cas9 menjadi tatalaksana yang menjanjikan bagi
penderita condyloma acuminata. Apabila diterapkan untuk masyarakat, tentunya
akan sangat bermanfaat mengingat bahwa gen E7 pada HPV tidak memiliki homolog
dengan gen pada manusia serta administrasinya pun cukup mudah, yaitu dengan
mengambil sel yang akan direkayasa kemudian dikultur serta dimodifikasi dan
dikembalikan ke tubuh pasien dengan metode injeksi seperti yang telah
diterapkan oleh studi (Az-Zahra et al., 2022) terhadap sel
karsinoma paru-paru yang ganas. Namun, perlu dicatat bahwa metodeini belum
membasmi dengan tingkat efisiensi 100% terhadap patogen dan sejauh ini masih
terbatas pada rentang 70% pada percobaan metode CRISPR/Cas9 terhadap kuda laut
dan tanaman. Namun, angka tersebut cukup kontras dibandingkan metode rekayasa
genetika sebelumnya yaitu TALEN (Transcription Activator-Like Effector
Nucleases) dan ZFN (Zinc-finger nucleases) yang hanya mampu mencapai efisiensi
1-50%.
Kesimpulan
�Condyloma acuminata atau
kutil kelamin merupakan salah satu jenis penyakit venereal yang berdampak pada sistem integumen serta umum terjadi di dunia dan diperkirakan jumlahnya akan terus meningkat
termasuk di Indonesia. HPV-6 dan HPV- 11 atau merupakan HPV tipe low-risk berperan andil padapenyakit ini karena ekspresi
gen protein E7 dari virus inilah
yang menyebabkan hiperproliferasi
dari keratin dan menimbulkan
manifestasi morfologis
tumor jinak. Walaupun sudah ada pengobatan
secara farmakologis maupun preventif dengan menggunakan vaksin, angka insidensinya
cukup tinggi dan masih banyak ditemukan
kejadian yang berulang walaupun telah dilakukan proses penyembuhan yang
berhasil sebelumnya serta mulai meningkatnya
galur resistensi HPV terhadap berbagai bentuk intervensi secara farmakologis, sehingga harus dilakukan pendekatan tatalaksana yang lebih mutakhir melalui metode biomolekular dan
CRISPR/Cas9 hadir sebagai metode kuratif yang menjanjikan dan sejauh ini menjadi metode
yang sangat efektif bagi penderita condyloma acuminate. Dengan
serangkaian proses rekayasa
genetika, sistem ini mampu menekan
ekspresi dan proliferasi sekaligus menginduksi apoptosis
pada gen protein E7 pada HPV-6 dan HPV-11 pada kultur in vitro serta memiliki tingkat efisiensi yang jauh lebih tinggi
dibandingkan pendekatan biomolekular sebelumnya yaitu TALEN dan ZFN. Dengan ditemukannya metode ini, sangat diharapkan penelitian penggunaan CRISPR/Cas9
sebagai metode kuratif terhadap condyloma
acuminata terus berjalan dengan meningkatkan efisiensinya hingga 100% serta modifikasi lebih lanjut misalnya
dengan penggunaan nanoteknologi pada CRISPR/Cas9 sekaligus
meningkatkan studi pada in
vivo agar dapat segera diadministrasikan dan digunakan
oleh masyarakat mengingat urgensi yang ditimbulkan dari penyakit ini
cukup tinggi.
BIBLIOGRAFI
Az-Zahra,
D. R. R., Rachmawati, M., & Gunantara, T. (2022). Analisis Varian
Histopatologis dan Lokasi Tumor pada Pasien Adenocarcinoma Colorectal di RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2016. Bandung Conference Series: Medical
Science, 2(1), 932�939. https://doi.org/10.29313/bcsms.v2i1.1841
Damayanti, E. (2022). Promosi Kesehatan
Tentang Pencegahan Kanker Serviks Melalui Pemanfaatan Media Online.
Effendi,
A., Silvia, E., Hamzah, S., & Ridhwan, M. A. (2021). Pola Penyakit Infeksi
Menular Seksual di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSP Bintang Amin Periode 2
Januari 2016�31 Desember 2020. ARTERI: Jurnal Ilmu Kesehatan, 2(2),
43�48. https://doi.org/10.37148/arteri.v2i2.145
Evriarti,
P. R., & Yasmon, A. (2019). Patogenesis Human Papillomavirus (HPV) pada
Kanker Serviks. Jurnal Biotek Medisiana Indonesia, 8(1), 23�32. https://doi.org/https://doi.org/10.22435/jbmi.v8i1.2580
Fitrisia,
C. A., Khambri, D., Utama, B. I., & Muhammad, S. (2019). Analisis
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian lesi pra kanker serviks pada
wanita pasangan usia subur di wilayah kerja Puskesmas Muara Bungo 1. Jurnal
Kesehatan Andalas, 8(4). https://doi.org/10.25077/jka.v8i4.1147
Hakimah,
S. N. (2021). Kondiloma Akuminata sebagai Alasan Perceraian Perspektif Hukum
Islam. Rechtenstudent, 2(1), 23�34. https://doi.org/10.35719/rch.v2i1.45
Hisano,
Y., Sakuma, T., Nakade, S., Ohga, R., Ota, S., Okamoto, H., Yamamoto, T., &
Kawahara, A. (2015). Precise in-frame
integration of exogenous DNA mediated by CRISPR/Cas9 system in zebrafish.
Scientific Reports, 5(1), 1�7.
Majid,
M., & Rusman, A. D. P. (2018). Pendampingan Konseling Peventif Kanker
Serviks Berbasis Healthy City Pada Kelompok Majelis Taklim Di Kecamatan
Bacukiki Kota Parepare. Jurnal Ilmiah Manusia Dan Kesehatan, 1(2),
113�121. https://doi.org/10.31850/makes.v1i2.142
Rasjidi,
I. (2009). Epidemiologi kanker serviks. Indonesian Journal of Cancer, 3(3).
10.33371/ijoc.v3i3.123
Sipayung,
E. R. A. (2022). Hubungan Tingkat
Pengetahuan Dengan Perilaku Pencegahan Kanker Serviks Pada Siswi Sma Negeri 5
Medan.
Vasilenko,
S. A., Kugler, K. C., Butera, N. M., & Lanza, S. T. (2015). Patterns of
adolescent sexual behavior predicting young adult sexually transmitted
infections: A latent class analysis approach. Archives of Sexual Behavior,
44(3), 705�715. https://doi.org/https://doi.org/10.1007/s10508-014-0258-6
Widyaswari,
M. S., Lumintang, H., & Soemarno, T. (2019).
Imunohistokimia pada kondilomata akuminata. Medical and Health Science
Journal, 3(1), 47�54. https://doi.org/https://doi.org/10.33086/mhsj.v3i1.926
Zhang, Y.,
Jiang, H., Ye, T., & Juhas, M. (2021). Deep learning for imaging and
detection of microorganisms. Trends in Microbiology, 29(7),
569�572. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.tim.2021.01.006
(Hisano et al., 2015) The CRISPR/Cas9
genome editing methodology as a weapon against human viruses.
HHS Public Access. 2015
Copyright
holder: Asep Wirayasa (2022) |
First
publication right: Jurnal Health Sains |
|
���������