How to cite:
Yobeanto, N., Setiawan, T, L., (2022) Efektifitas Terapi Yoga pada Stress Kerja Perawat Jiwa.
Jurnal Health Sains 3(4). https://doi.org/ 10.46799/jhs.v3i5.486
E-ISSN:
2723-6927
Published by:
Ridwan Institute
Jurnal Health Sains: pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 3, No.5, Mei 2022
POLA RESISTENSI KUMAN MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS TERHADAP
OBAT ANTI TUBERKULOSIS LINI PERTAMA
Natalia Yobeanto, Theresia Lolita Setiawan
Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta, Indonesia
Email: nataliayobeanto94@gmail.com, theresialolitasetiawan@yahoo.com
ARTIKEL INFO
ABSTRAK
Diterima:
10 Mei 2022
Direvisi:
11 Mei 2022
Dipublish:
23 Mei 2022
Penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru) adalah suatu penyakit kronik
menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis
yang masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di dunia,
termasuk Indonesia. Salah satu tantangan terbesar dalam program
penanggulangan TB saat ini adalah Multi Drug Resistance TB (MDR-
TB). Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) merupakan faktor
penyulit dalam penanggulangan penyakit TB karena memberikan
beban morbiditas dan mortalitas yang tinggi (5060% dalam lima
tahun). Tinjauan literatur ini bertujuan untuk menambah pengetahuan
tentang pola resistensi obat antituberculosis lini pertama sehingga
dapat mendiagnosis secara dini setiap terduga TB resistan obat,
melakukan pencegahan TB resisten obat, serta sebagai acuan untuk
melakukan penelitian selanjutnya. Tinjauan literature ini dilakukan
melalui penelusuran PubMed dan Google Scholar dengan artikel
berbahasa Inggris dan berbahasa Indonesia, kemudian semua artikel
yang sesuai dengan kriteria inklusi dianalisis. Berdasarkan studi
literatur dari beberapa penelitian, pola resistensi terbanyak adalah TB
resisten rifampisin atau isoniazid diikuti resistensi ganda rifampisin
dan isoniazid. Sebagian besar pasien merupakan kasus kambuh. Upaya
dalam menegakkan diagnosis resistensi obat TB diawali dengan
mengenali faktor risiko dan mempercepat dilakukannya diagnosis
laboratorium. Deteksi lebih awal dan memulai terapi TB-MDR
merupakan faktor penting mencapai keberhasilan pengobatan
Abstract
Pulmonary Tuberculosis (pulmonary TB) is a chronic infectious
disease caused by Mycobacterium tuberculosis which is still a major
public health problem in the world, including Indonesia. One of the
biggest challenges in current TB control program is Multi Drug
Resistance TB (MDR-TB). Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-
TB) is a complicating factor in TB disease control because it provides
a high burden of morbidity and mortality (5060% in five years). This
literature review aims to increase knowledge about the pattern of first-
line antituberculosis drug resistance so that it can early diagnose any
suspected drug-resistant TB, prevent drug-resistant TB, and as a
reference for conducting further research. This literature review was
conducted through PubMed and Google Scholar searches with English
and Indonesian articles, then all articles that met the inclusion criteria
were analyzed. Based on literature studies from several studies, the
most common pattern of resistance is rifampin or isoniazid-resistant
TB, followed by resistance to rifampin and isoniazid. Most of the
Kata Kunci:
pola resistensi; obat
antituberculosis lini
pertama; multidrug
resistant
Keywords:
Drug resistance
patterns; First-line
anti-tuberculosis
drugs; multidrug
resistant
Natalia Yobeanto, Theresia Lolita Setiawan
654 Jurnal Health Sains, Vol. 3, No.5, Mei 2022
patients were relapse cases. To establish a diagnosis of TB drug
resistance begin with identifying risk factors and accelerating
laboratory diagnosis. Early detection and initiation of MDR-TB
therapy is the to the successful treatment.
Pendahuluan
Penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru)
adalah suatu penyakit kronik menular yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
Tuberculosis yang masih menjadi masalah
utama kesehatan masyarakat di dunia,
termasuk Indonesia (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2020).
Berdasarkan laporan WHO,
tuberkulosis masih menempati peringkat ke-
10 penyebab kematian tertinggi di dunia pada
tahun 2016. Secara global pada tahun 2016
terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC yang
setara dengan 120 kasus per 100.000
penduduk. Lima negara dengan insiden kasus
tertinggi yaitu India, Indonesia, China,
Philipina, dan Pakistan. Jumlah kasus baru
TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada
tahun 2017 (data per 17 Mei 2018). Pada
tahun 2017, angka kematian akibat
tuberkulosis adalah 40/100.000 populasi
(tanpa TB-HIV) dan 3,6 per 100.000
penduduk (termasuk TB-HIV) (Susilawati &
Larasati, 2019).
Program penanggulangan TB Nasional
masih mengalami banyak kendala dalam
penerapan strategi penanggulangan TB. Salah
satu tantangan terbesar dalam program
penanggulangan TB saat ini adalah Multi
Drug Resistance TB (MDR-TB). Indonesia
berada di urutan ke 8 dari 27 negara dengan
kasus TB MDR terbanyak (Asri, 2014).
Berdasarkan laporan WHO tahun 2007,
persentase resistensi primer di seluruh dunia
berdasarkan kategori resistensi terhadap obat
anti TB didapatkan poliresisten sebanyak
17,0%, monoresisten sebanyak 10,3%, dan
tuberculosis multidrug resistant (TB-MDR)
sebanyak 2,9%. Sedangkan di Indonesia
kejadian TB-MDR sebanyak 2% (Sihombing
et al., 2012).
Resistensi kuman M.tuberculosis
terhadap OAT adalah keadaan saat kuman
tersebut sudah tidak dapat lagi dibunuh
dengan OAT. TB resisten obat (TB-RO) pada
dasarnya adalah suatu fenomena “buatan
manusia”, sebagai akibat dari pengobatan
pasien TB yang tidak adekuat maupun
penularan dari pasien TB-RO (Asri, 2014).
Secara umum, resistensi terhadap obat
antituberkulosis terbagi atas (1) resistensi
primer, apabila pasien sebelumnya tidak
pernah mendapat pengobatan TB, (2)
resistensi sekunder, bilamana pasien memiliki
riwayat pengobatan, dan (3) resistensi inisial,
jika riwayat pengobatan tidak diketahui (Asri,
2014).
Multi Drug Resistant Tuberculosis
(MDR-TB) ialah strain yang resisten terhadap
Isoniazid (INH) dan Rifampicin dengan atau
tanpa resisten terhadap obat lini pertama lain.
Monoresisten ialah resisten terhadap salah
satu OAT. Poliresisten ialah resisten terhadap
lebih dari satu OAT, selain kombinasi
isoniazid (H) dan rifampisin (R). (World
Health Organization, 2017). Multi Drug
Resistant Tuberculosis (MDR-TB)
merupakan faktor penyulit dalam
penanggulangan penyakit TB karena
memberikan beban morbiditas dan mortalitas
yang tinggi (5060% dalam lima tahun).
(Adiwinata et al., 2018) (Nikmawati et al.,
2018).
Tinjauan literatur ini bertujuan untuk
untuk menambah pengetahuan tentang pola
resistensi obat antituberculosis lini pertama
sehingga dapat mendiagnosis secara dini
setiap terduga TB resistan obat, melakukan
pencegahan TB resisten obat, serta sebagai
acuan untuk melakukan penelitian
selanjutnya.
Pola Resistensi Kuman Mycobacterium Tuberculosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis Lini
Pertama
655 Jurnal Health Sains, Vol. 3, No.5, Mei 2022
Metode Penelitian
Penggunaan kata kunci seperti:
pola resistensi, obat antituberkulosis, multi
drug resistant. Tinjauan literature ini
dilakukan melalui penelusuran PubMed dan
Google Scholar dengan artikel berbahasa
Inggris dan berbahasa Indonesia, kemudian
semua artikel yang sesuai dengan kriteria
inklusi dianalisis.
Penggunaan kata kunci seperti: pola
resistensi, obat antituberkulosis, multidrug
resistant. Terdapat pembatasan artikel
berdasarkan tahun publikasi dalam kurun
waktu 10 tahun terakhir. Dari total 30 artikel
penelusuran awal, hanya 11 artikel yang
memenuhi kriteria. Artikel yang tidak
menyediakan informasi yang cukup dan tidak
terdapat akses terhadap teks penuh tidak
diikutsertakan.
Hasil dan Pembahasan
Didapatkan 11 artikel dari total 30
artikel penulusuran awal yang memiliki
kualitas yang cukup untuk diikutsertakan
dalam tinjauan literatur ini. Artikel tersebut
dipublikasikan dalam jurnal Bahasa Inggris
dan Bahasa Indonesia.
Tuberkulosis (TB) resistan obat adalah
keadaan dimana kuman M. tuberculosis sudah
tidak dapat lagi dibunuh dengan obat anti TB
(OAT) (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2020).
Berdasarkan Pedoman Nasional
Tatalaksana Tuberkulosis, klasifikasi TB
berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan
obat, terdiri dari (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2020):
a. Monoresisten: resistensi terhadap salah
satu jenis OAT lini pertama.
b. Poliresisten: resistensi terhadap lebih
dari satu jenis OAT lini pertama selain
isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara
bersamaan.
c. Multidrug resistant (TB MDR): minimal
resistan terhadap isoniazid (H) dan
rifampisin (R) secara bersamaan.
d. Extensive drug resistant (TB XDR): TB-
MDR yang juga resistan terhadap salah
satu OAT golongan fluorokuinolon dan
salah satu dari OAT lini kedua jenis
suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan
amikasin).
e. Rifampicin resistant (TB RR): terbukti
resistan terhadap Rifampisin baik
menggunakan metode genotip (tes cepat)
atau metode fenotip (konvensional),
dengan atau tanpa resistensi terhadap
OAT lain yang terdeteksi. Termasuk
dalam kelompok TB RR adalah semua
bentuk TB MR, TB PR, TB MDR dan
TB XDR yang terbukti resistan terhadap
rifampisin.
Terduga TB-RO adalah pasien yang memiliki
risiko tinggi resistan terhadap OAT, yaitu
pasien yang mempunyai gejala TB yang
memiliki riwayat satu atau lebih di bawah ini
(Rumende, 2018):
1. Kasus kronik atau pasien gagal
pengobatan dengan OAT kategori II
2. Pasien dengan hasil pemeriksaan sputum
tetap positif setelah bulan ketiga dengan
OAT kategori II
3. Pasien yang pernah mendapat pengobatan
TB, termasuk OAT lini kedua, seperti
kuinolon dan kanamisin.
4. Pasien yang gagal dalam pengobatan
dengan OAT kategori I.
5. Pasien dengan hasil pemeriksaan sputum
tetap positif setelah sisipan dengan OAT
kategori I.
6. Kasus TB kambuh kategori I dan II.
7. Pasien yang kembali berobat setelah lalai
pada pengobatan kategori I dan/atau
kategori II.
8. Terduga TB yang mempunyai riwayat
kontak erat dengan pasien TB MDR.
9. Pasien ko infeksi TB-HIV yang tidak
respons secara baik klinis maupun
bakteriologis dengan pemberian OAT.
Natalia Yobeanto, Theresia Lolita Setiawan
656 Jurnal Health Sains, Vol. 3, No. 4, April 2022
10. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh (Asmalina et al., 2016), dari 31
subjek penelitian yang diteliti didapat
resistensi primer sebesar 3 orang (9,68%).
Monoresisten primer sebanyak 2 orang
(6,45%) pada jenis obat isoniazid. TB
MDR primer sebanyak 1 orang (3,23%)
dengan kombinasi resistensi obat
rifampisin, isoniazid dan etambutol.
Berdasarkan penelitian (Heriqbaldi, A.
Z., Setiabudi, R. J., & Meliana, 2022). Di
antara 239 pasien TB paru dengan resistensi
obat anti TB lini pertama yang terdaftar di
Poliklinik MDR-TB RSUP Dr. Soetomo
Surabaya, insiden monoresistensi terhadap
isoniazid (H), Rifampicin (R), Etambutol (E),
dan Streptomisin (S) masing-masing adalah
79,08%, 94,14%, 25,94%, dan 20,08%. Pola
resistensi yang paling umum adalah HR
(42,26%), R (18,83%), dan HRE (12,55%).
Sedangkan menurut (Wu et al., 2019)
insiden resistensi obat anti TB lini pertama
adalah sebagai berikut: isoniazid (18,51%),
streptomisin (15,49%), rifampisin (12,36%),
dan etambutol (5.13%). Tingkat resistensi
pada kasus yang sudah pernah diobati
sebelumnya secara signifikan lebih tinggi
daripada resistensi pada kasus baru yang
sebelumnya belum pernah mendapatkan
terapi obat antituberculosis.
Temuan ini tidak berbeda jauh dengan
laporan penelitian yang dilakukan (Sinaga,
2013), didapatkan presentase resistensi
terbanyak pada isoniazid dan rifampicin.
Berdasarkan riwayat mengkonsumsi OAT,
seluruh sampel MDR TB pernah
mengkonsumsi OAT lebih dari 1 bulan yaitu
sebesar 14 orang (100%). Dari 14 orang
tersebut, sebanyak 3 orang (21,43%) pernah
mengkonsumsi OAT 1 kali, 6 orang (42,86%)
mengkonsumsi OAT 2 kali, dan 5 orang
(35,71%) pernah mengkonsumsi OAT 3 kali
sebelum MDR TB ditegakkan. Sedangkan
dalam hal keteraturan berobat, semua
penderita (100%) pernah tidak teratur
berobat, dan tidak ada yang pernah selalu
teratur berobat. Tidak terdapatnya penderita
yang belum pernah mengkonsumsi OAT
sebelum diagnosis MDR TB ditegakkan
mungkin disebabkan oleh karena pada
program PMDT ini penderita yang dicurigai
menderita MDR TB lebih diutamakan untuk
masuk ke dalam program dan dilakukan
pemeriksaan sputum uji resistensi terhadap
OAT (Sinaga, 2013).
Namun, berdasarkan penelitian
(Sihombing et al., 2012), dari 85 subjek
penelitian yang diteliti didapat resistensi
primer sebesar 35 orang (41,18%) dengan
resistensi monoresisten primer sebanyak 18
orang (21,18%), resistensi terbanyak pada
jenis obat streptomisin (S) sebesar 10 orang
(11,76%). Kejadian poliresisten primer
sebanyak 13 orang (15,27%),terbanyak pada
jenis kombinasi streptomisin dan etambutol
(SE) sebesar 4 orang (4,70%). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh (Merry et al.,
2016), monoresisten terbanyak terdapat pada
resistensi etambutol yaitu sebanyak 7 orang
(21.21%), kemudian isoniazid dan rifampicin
(6,06 %) dan resisten terhadap streptomisin
(3,03%).
Insiden resistensi pada kasus TB yang
sudah pernah diobati secara signifikan lebih
tinggi daripada kasus TB yang baru,
menunjukkan bahwa pengobatan sebelumnya
merupakan faktor risiko utama untuk TB
yang resisten terhadap obat. Telah dilaporkan
bahwa kejadian MDR pada kasus TB yang
sudah pernah diobati 10 kali lebih tinggi
daripada kasus TB yang baru (Adiwinata et
al., 2018).
Penyalahgunaan obat anti-TB,
pengobatan yang tidak teratur dan kepatuhan
pasien yang buruk dapat mengakibatkan
resistensi obat. Oleh karena itu, penerapan
pengobatan anti tuberkulosis yang
terstandardisasi masih sangat penting untuk
pengobatan anti tuberkulosis yang
terstandardisasi masih sangat penting
untuk pertumbuhan bakteri akan lebih besar
Pola Resistensi Kuman Mycobacterium Tuberculosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis Lini
Pertama
657 Jurnal Health Sains, Vol. 3, No.5, Mei 2022
sehingga kemungkinan bakteri untuk
bermutasi dari gen yang berbeda menjadi
lebih besar (Gaude et al., 2014). Proporsi
resistensi isoniazid yang relatif tinggi dalam
penelitian ini mungkin disebabkan oleh
penggunaan obat INH yang merupakan lini
pertama yang sering digunakan dalam
program pengendalian TB nasional untuk
jangka waktu yang lebih lama karena
aksesibilitasnya. (Seyoum et al., 2014).
Hal ini mencerminkan bahwa resistensi
isoniazid dapat meningkatkan kemungkinan
MDR-TB jika resistensi rifampisin
meningkat. Memperluas kapasitas diagnostik
untuk kultur mikobakteri dan DST (Drug
Susceptibility Test) merupakan langkah
penting dalam hal ini (Shamaei et al., 2009).
Resistensi yang rendah terhadap
etambutol dan streptomisin dalam penelitian
ini mungkin disebabkan oleh etambutol dan
streptomisin yang hanya digunakan selama
fase intensif tidak seperti isoniazid dan
rifampisin yang digunakan baik selama fase
intensif maupun lanjutan dari pengobatan TB.
(Seyoum et al., 2014).
Upaya lain yang perlu dilakukan dalam
rangka penatalaksanaan TB-MDR adalah
dengan melakukan strategi DOTS-plus.
Strategi tersebut antara lain komitmen
administratif dan politik (pemerintah) yang
lebih lama, diagnosis yang akurat dengan
pemeriksaan kultur dan uji resistensi obat
yang terjamin, pengobatan yang
berkesinambungan terhadap obat lini pertama
dan kedua pemberian obat lini kedua
dilakukan dibawah pengawasan yang ketat,
pengawasan obat secara langsung serta sistem
pelaporan dan perekaman data yang
memungkinkan untuk pencatatan dan evaluasi
terhadap tahap akhir (Sihombing et al.,
2012).
Kesimpulan
Beberapa penelitian menunjukkan
presentase resistensi terbanyak pada isoniazid
dan atau rifampicin. Kedua obat ini
merupakan obat yang paling banyak resisten
pada monoresisten, poliresisten serta TB
MDR. Proporsi resistensi isoniazid dan
rifampisin yang relatif tinggi dalam beberapa
penelitian mungkin disebabkan oleh
penggunaan obat INH dan Rifampisin yang
merupakan lini pertama yang sering isoniazid
yang mana akan membuat perubahan
diagnosis dari TB resisten rifampicin menjadi
TB MDR. Oleh karena itu uji kepekaan obat
sangat penting pada kasus TB yang
memenuhi kriteria resisten OAT. digunakan
dalam program pengendalian TB Nasional.
Resistensi rifampisin dapat menjadi
prediktor atau tolak ukur adanya resistensi.
juga resistensi yang tinggi terhadap
Streptomisin, dan belum ada penelitian yang
dapat menjelaskan penyebabnya secara pasti.
Melihat data-data diatas, masih perlu
dikembangkan lagi penelitian-penelitan dari
berbagai daerah di Indonesia serta perlu
adanya data terbaru mengenai TB MDR di
Indonesia. Lebih lanjut, karena pada beberapa
penelitian sebelumnya didapatkan.
Presentase resistensi yang rendah terhadap
Etambutol dan Streptomisin juga perlu diteliti
Natalia Yobeanto, Theresia Lolita Setiawan
626 Jurnal Health Sains, Vol. 3, No.5, Mei 2022
BIBLIOGRAFI
Adiwinata, R., Rasidi, J., Marpaung, M.,
Timur, K., & Timur, K. (2018). Profil
Klinis dan Evaluasi Pengobatan Pasien
Rifampicin-Resistant dan Multidrug-
Resistant Tuberculosis di RSUD Dr.
Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan. J
Respir Indo, 38(3), 135142.Google
Scholar
Asmalina, S. P., Yunita, P., Amir, Z., &
Nasution, T. A. (2016). Kejadian
Tuberkulosis Resistensi Primer pada
FasilAsmalina, Siagian P., Yunita, P.,
Amir, Zainuddin, & Nasution, Tetty
Amin. (2016). Kejadian Tuberkulosis
Resistensi Primer pada Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. J Respir Indo,
36(2), 100105.itas Pelayanan K. J
Respir Indo, 36(2), 100105. Google
Scholar
Asri, S. D. A. (2014). Masalah tuberkulosis
resisten obat. Cermin Dunia
Kedokteran, 41(4), 247249. Google
Scholar
Gaude, G. S., Hattiholli, J., & Kumar, P.
(2014). Risk factors and drug-resistance
patterns among pulmonary tuberculosis
patients in northern Karnataka region,
India. Nigerian Medical Journal:
Journal of the Nigeria Medical
Association, 55(4), 327. Google Scholar
Heriqbaldi, A. Z., Setiabudi, R. J., & Meliana,
R. Y. (2022). First-Line Anti-
Tuberculosis Drug Resistance Pattern.
Jurnal Respirasi. 8(1). Google Scholar
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
(2020). Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis.
Kementerian Kesehatan RI.
Nikmawati, A., Windarwati, W., &
Hardjoeno, H. (2018). Resistensi
Mycobacterium tuberculosis terhadap
Obat Anti Tuberkulosis. Indonesian
Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory, 12(2), 5861.
Google Scholar
Rumende, C. M. (2018). Diagnosis dan
Tatalaksana Tuberkulosis Resistan
Obat. Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu
Penyakit. 139147. Google Scholar
Seyoum, B., Demissie, M., Worku, A.,
Bekele, S., & Aseffa, A. (2014).
Prevalence and drug resistance patterns
of Mycobacterium tuberculosis among
new smear positive pulmonary
tuberculosis patients in eastern Ethiopia.
Tuberculosis Research and Treatment,
2014. Google Scholar
Shamaei, M., Marjani, M., Chitsaz, E.,
Kazempour, M., Esmaeili, M., Farnia,
P., Tabarsi, P., Amiri, M. V, Mirsaeidi,
M., & Mansouri, D. (2009). First-line
anti-tuberculosis drug resistance patterns
and trends at the national TB referral
center in Iraneight years of
surveillance. International Journal of
Infectious Diseases, 13(5), e236e240.
Google Scholar
Sihombing, H., Sembiring, H., Amir, Z., &
Sinaga, B. Y. M. (2012). Pola resistensi
primer pada penderita TB paru kategori
I di RSUP H. Adam Malik Medan. J
Respir Indo, 32(3), 138145. Google
Scholar
Sinaga, B. (2013). Karakteristik Penderita
Multidrug resistant tuberculosis yang
mengikuti programmatic management of
drug-resistant tuberculosis di Rumah
Sakit Umum Pusat H. Adam Malik
Medan. J Respir Indo, 33(4), 221229.
Google Scholar
Susilawati, T. N., & Larasati, R. (2019). A
recent update of the diagnostic methods
for tuberculosis and their applicability in
indonesia: A narrative review. Medical
Journal of Indonesia, 28(3), 284291.
Google Scholar
World Health Organization. (2017).
Guidelines for treatment of tuberculosis.
WHO.
Pola Resistensi Kuman Mycobacterium Tuberculosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis Lini
Pertama
659 Jurnal Health Sains, Vol. 3, No.5, Mei 2022
Copyright holder:
Natalia Yobeanto, Theresia Lolita Setiawan (2022)
First publication right:
Jurnal Health Sains
This article is licensed under: