Jurnal Health Sains: p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 3, No.5, Mei 2022

 

POLA RESISTENSI KUMAN MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS TERHADAP OBAT ANTI TUBERKULOSIS LINI PERTAMA

Natalia Yobeanto1, Theresia Lolita Setiawan2

Universitas Kristen Krida Wacana

Email: [email protected], [email protected]

 

artikel info

abstraK

Diterima:

10 Mei 2022

Direvisi:

17 Mei 2022

Dipublish:

30 Mei 2022

 

Penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru) adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di dunia, termasuk Indonesia. Salah satu tantangan terbesar dalam program penanggulangan TB saat ini adalah Multi Drug Resistance TB (MDR-TB). Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) merupakan faktor penyulit dalam penanggulangan penyakit TB karena memberikan beban morbiditas dan mortalitas yang tinggi (50�60% dalam lima tahun). Tinjauan literatur ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang pola resistensi obat antituberculosis lini pertama sehingga dapat mendiagnosis secara dini setiap terduga TB resistan obat, melakukan pencegahan TB resisten obat, serta sebagai acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya. Tinjauan literature ini dilakukan melalui penelusuran PubMed dan Google Scholar dengan artikel berbahasa Inggris dan berbahasa Indonesia, kemudian semua artikel yang sesuai dengan kriteria inklusi dianalisis. Berdasarkan studi literatur dari beberapa penelitian, pola resistensi terbanyak adalah TB resisten rifampisin atau isoniazid diikuti resistensi ganda rifampisin dan isoniazid. Sebagian besar pasien merupakan kasus kambuh. Upaya dalam menegakkan diagnosis resistensi obat TB diawali dengan mengenali faktor risiko dan mempercepat dilakukannya diagnosis laboratorium. Deteksi lebih awal dan memulai terapi TB-MDR merupakan faktor penting mencapai keberhasilan pengobatan.

 

ABSTRACT

Pulmonary Tuberculosis (pulmonary TB) is a chronic infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis which is still a major public health problem in the world, including Indonesia. One of the biggest challenges in current TB control program is Multi Drug Resistance TB (MDR-TB). Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) is a complicating factor in TB disease control because it provides a high burden of morbidity and mortality (50�60% in five years). This literature review aims to increase knowledge about the pattern of first-line antituberculosis drug resistance so that it can early diagnose any suspected drug-resistant TB, prevent drug-resistant TB, and as a reference for conducting further research. This literature review was conducted through PubMed and Google Scholar searches with English and Indonesian articles, then all articles that met the inclusion criteria were analyzed. Based on literature studies from several studies, the most common pattern of resistance is rifampin or isoniazid-resistant TB, followed by resistance to rifampin and isoniazid. Most of the patients were relapse cases. To establish a diagnosis of TB drug resistance begin with identifying risk factors and accelerating laboratory diagnosis. Early detection and initiation of MDR-TB therapy is the to the successful treatment.

 

Kata Kunci:

pola resistensi; obat antituberculosis lini pertama; multidrug resistant.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

drug resistance patterns; First-line anti-tuberculosis drugs; multidrug resistant



Pendahuluan

Penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru) adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di dunia, termasuk Indonesia. (Kemenkes RI, 2020).

Berdasarkan laporan WHO, tuberkulosis masih menempati peringkat ke-10 penyebab kematian tertinggi di dunia pada tahun 2016. Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan. Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017 (data per 17 Mei 2018). Pada tahun 2017, angka kematian akibat tuberkulosis adalah 40/100.000 populasi (tanpa TB-HIV) dan 3,6 per 100.000 penduduk (termasuk TB-HIV) (Susilawati & Larasati, 2019).

Program penanggulangan TB Nasional masih mengalami banyak kendala dalam penerapan strategi penanggulangan TB. Salah satu tantangan terbesar dalam program penanggulangan TB saat ini adalah Multi Drug Resistance TB (MDR-TB). Indonesia berada di urutan ke 8 dari 27 negara dengan kasus TB MDR terbanyak. (Sri D, 2014).

Berdasarkan laporan WHO tahun 2007, persentase resistensi primer di seluruh dunia berdasarkan kategori resistensi terhadap obat anti TB didapatkan poliresisten sebanyak 17,0%, monoresisten sebanyak 10,3%, dan tuberculosis multidrug resistant (TB-MDR) sebanyak 2,9%. Sedangkan di Indonesia kejadian TB-MDR sebanyak 2% (Sihombing et al., 2012). Resistensi kuman M.tuberculosis terhadap OAT adalah keadaan saat kuman tersebut sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT. TB resisten obat (TB-RO) pada dasarnya adalah suatu fenomena �buatan manusia�, sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat maupun penularan dari pasien TB-RO (Asri, 2014).

Secara umum, resistensi terhadap obat antituberkulosis terbagi atas (1) resistensi primer, apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB, (2) resistensi sekunder, bilamana pasien memiliki riwayat pengobatan, dan (3) resistensi inisial, jika riwayat pengobatan tidak diketahui. (Asri, 2014).

Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) ialah strain yang resisten terhadap Isoniazid (INH) dan Rifampicin dengan atau tanpa resisten terhadap obat lini pertama lain. Monoresisten ialah resisten terhadap salah satu OAT. Poliresisten ialah resisten terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid (H) dan rifampisin (R) (WHO,2017). Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) merupakan faktor penyulit dalam penanggulangan penyakit TB karena memberikan beban morbiditas dan mortalitas yang tinggi (50�60% dalam lima tahun) (Adiwinata et al., 2018; Nikmawati et al., 2018).

Tinjauan literatur ini bertujuan untuk untuk menambah pengetahuan tentang pola resistensi obat antituberculosis lini pertama sehingga dapat mendiagnosis secara dini setiap terduga TB resistan obat, melakukan pencegahan TB resisten obat, serta sebagai acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya.

 

 



Metode Penelitian

Tinjauan literature ini dilakukan melalui penelusuran PubMed dan Google Scholar dengan artikel berbahasa Inggris dan berbahasa Indonesia, kemudian semua artikel yang sesuai dengan kriteria inklusi dianalisis. Penggunaan kata kunci seperti: pola resistensi, obat antituberkulosis, multidrug resistant. Terdapat pembatasan artikel berdasarkan tahun publikasi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Dari total 30 artikel penelusuran awal, hanya 11 artikel yang memenuhi kriteria. Artikel yang tidak menyediakan informasi yang cukup dan tidak terdapat akses terhadap teks penuh tidak diikutsertakan.

 

Hasil dan Pembahasan

Didapatkan 11 artikel dari total 30 artikel penulusuran awal yang memiliki kualitas yang cukup untuk diikutsertakan dalam tinjauan literatur ini. Artikel tersebut dipublikasikan dalam jurnal Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Tuberkulosis (TB) resistan obat adalah keadaan dimana kuman M. tuberculosis sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan obat anti TB (OAT). (Kemenkes RI,2020).

Berdasarkan Pedoman Nasional Tatalaksana Tuberkulosis, klasifikasi TB berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat, terdiri dari (Kemenkes RI,2020):

a.      Monoresisten: resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.

b.     Poliresisten: resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.

c.      Multidrug resistant (TB MDR): minimal resistan terhadap isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.

d.     Extensive drug resistant (TB XDR): TB-MDR yang juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan amikasin).

e.      Rifampicin resistant (TB RR): terbukti resistan terhadap Rifampisin baik menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional), dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi. Termasuk dalam kelompok TB RR adalah semua bentuk TB MR, TB PR, TB MDR dan TB XDR yang terbukti resistan terhadap rifampisin.

 

Terduga TB-RO adalah pasien yang memiliki risiko tinggi resistan terhadap OAT, yaitu pasien yang mempunyai gejala TB yang memiliki riwayat satu atau lebih di bawah ini:

(Rumende, 2018)

1.     Kasus kronik atau pasien gagal pengobatan dengan OAT kategori II

2.     Pasien dengan hasil pemeriksaan sputum tetap positif setelah bulan ketiga dengan OAT kategori II

3.     Pasien yang pernah mendapat pengobatan TB, termasuk OAT lini kedua, seperti kuinolon dan kanamisin.

4.     Pasien yang gagal dalam pengobatan dengan OAT kategori I.

5.     Pasien dengan hasil pemeriksaan sputum tetap positif setelah sisipan dengan OAT kategori I.

6.     Kasus TB kambuh kategori I dan II.

7.     Pasien yang kembali berobat setelah lalai pada pengobatan kategori I dan/atau kategori II.

8.     Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR.

9.     Pasien ko infeksi TB-HIV yang tidak respons secara baik klinis maupun bakteriologis dengan pemberian OAT.

 

�� Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Asmalina et al., 2016), dari 31 subjek penelitian yang diteliti didapat resistensi primer sebesar 3 orang (9,68%). Monoresisten primer sebanyak 2 orang (6,45%) pada jenis obat isoniazid. TB MDR primer sebanyak 1 orang (3,23%) dengan kombinasi resistensi obat rifampisin, isoniazid dan etambutol.

Berdasarkan penelitian (Heriqbaldi et al., 2022). Di antara 239 pasien TB paru dengan resistensi obat anti TB lini pertama yang terdaftar di Poliklinik MDR-TB RSUP Dr. Soetomo Surabaya, insiden monoresistensi terhadap isoniazid (H), Rifampicin (R), Etambutol (E), dan Streptomisin (S) masing-masing adalah 79,08%, 94,14%, 25,94%, dan 20,08%. Pola resistensi yang paling umum adalah HR (42,26%), R (18,83%), dan HRE (12,55%).

Sedangkan menurut (Wu et al., 2019) insiden resistensi obat anti TB lini pertama adalah sebagai berikut: isoniazid (18,51%), streptomisin (15,49%), rifampisin (12,36%), dan etambutol (5.13%). Tingkat resistensi pada kasus yang sudah pernah diobati sebelumnya secara signifikan lebih tinggi daripada resistensi pada kasus baru yang sebelumnya belum pernah mendapatkan terapi obat antituberculosis.

Temuan ini tidak berbeda jauh dengan laporan penelitian yang dilakukan (Yinke & Sinaga, 2013), didapatkan presentase resistensi terbanyak pada isoniazid dan rifampicin. Berdasarkan riwayat mengkonsumsi OAT, seluruh sampel MDR TB pernah mengkonsumsi OAT lebih dari 1 bulan yaitu sebesar 14 orang (100%). Dari 14 orang tersebut, sebanyak 3 orang (21,43%) pernah mengkonsumsi OAT 1 kali, 6 orang (42,86%) mengkonsumsi OAT 2 kali, dan 5 orang (35,71%) pernah mengkonsumsi OAT 3 kali sebelum MDR TB ditegakkan. Sedangkan dalam hal keteraturan berobat, semua penderita (100%) pernah tidak teratur berobat, dan tidak ada yang pernah selalu teratur berobat. Tidak terdapatnya penderita yang belum pernah mengkonsumsi OAT sebelum diagnosis MDR TB ditegakkan mungkin disebabkan oleh karena pada program PMDT (Programmatic Management of Drug-Resistant Tuberculosis) ini penderita yang dicurigai menderita MDR TB lebih diutamakan untuk masuk ke dalam program dan dilakukan pemeriksaan sputum uji resistensi terhadap OAT (Yinke & Sinaga, 2013).

Namun, berdasarkan penelitian (Sihombing et al., 2012), dari 85 subjek penelitian yang diteliti didapat resistensi primer sebesar 35 orang (41,18%) dengan resistensi monoresisten primer sebanyak 18 orang (21,18%), resistensi terbanyak pada jenis obat streptomisin (S) sebesar 10 orang (11,76%). Kejadian poliresisten primer sebanyak 13 orang (15,27%),terbanyak pada jenis kombinasi streptomisin dan etambutol (SE) sebesar 4 orang (4,70%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Merry et al., 2016), monoresisten terbanyak terdapat pada resistensi etambutol yaitu sebanyak 7 orang (21.21%), kemudian isoniazid dan rifampicin (6,06 %) dan resisten terhadap streptomisin (3,03%).

Insiden resistensi pada kasus TB yang sudah pernah diobati secara signifikan lebih tinggi daripada kasus TB yang baru, menunjukkan bahwa pengobatan sebelumnya merupakan faktor risiko utama untuk TB yang resisten terhadap obat. Telah dilaporkan bahwa kejadian MDR pada kasus TB yang sudah pernah diobati 10 kali lebih tinggi daripada kasus TB yang baru (Adiwinata et al., 2016).

Penyalahgunaan obat anti-TB, pengobatan yang tidak teratur dan kepatuhan pasien yang buruk dapat mengakibatkan resistensi obat. Oleh karena itu, penerapan pengobatan anti tuberkulosis yang terstandardisasi masih sangat penting untuk efektivitas pengendalian TB-MDR, terutama dalam pengawasan pasien untuk menyelesaikan pengobatan (Gaude et al., 2014). Jika pengobatan tidak teratur, jumlah kematian dan jumlah bakteri serta siklus pertumbuhan bakteri akan lebih besar sehingga kemungkinan bakteri untuk bermutasi dari gen yang berbeda menjadi lebih besar. (Gaude et al., 2014)

Proporsi resistensi isoniazid yang relatif tinggi dalam penelitian ini mungkin disebabkan oleh penggunaan obat INH yang merupakan lini pertama yang sering digunakan dalam program pengendalian TB nasional untuk jangka waktu yang lebih lama karena aksesibilitasnya. (Seyoum et al., 2014). Hal ini mencerminkan bahwa resistensi isoniazid dapat meningkatkan kemungkinan MDR-TB jika resistensi rifampisin meningkat. Memperluas kapasitas diagnostik untuk kultur mikobakteri dan DST (Drug Susceptibility Test) merupakan langkah penting dalam hal ini. (Shamaei et al., 2009) Resistensi yang rendah terhadap etambutol dan streptomisin dalam penelitian ini mungkin disebabkan oleh etambutol dan streptomisin yang hanya digunakan selama fase intensif tidak seperti isoniazid dan rifampisin yang digunakan baik selama fase intensif maupun lanjutan dari pengobatan TB. (Seyoum et al., 2014)

Upaya lain yang perlu dilakukan dalam rangka penatalaksanaan TB-MDR adalah dengan melakukan strategi DOTS-plus. Strategi tersebut antara lain komitmen administratif dan politik (pemerintah) yang lebih lama, diagnosis yang akurat dengan pemeriksaan kultur dan uji resistensi obat yang terjamin, pengobatan yang berkesinambungan terhadap obat lini pertama dan kedua pemberian obat lini kedua dilakukan dibawah pengawasan yang ketat, pengawasan obat secara langsung serta sistem pelaporan dan perekaman data yang memungkinkan untuk pencatatan dan evaluasi terhadap tahap akhir. (Sihombing et al., 2012).

 

 

Kesimpulan

Beberapa penelitian menunjukkan presentase resistensi terbanyak pada isoniazid dan atau rifampicin. Kedua obat ini merupakan obat yang paling banyak resisten pada monoresisten, poliresisten serta TB MDR. Proporsi resistensi isoniazid dan rifampisin yang relatif tinggi dalam beberapa penelitian mungkin disebabkan oleh penggunaan obat INH dan Rifampisin yang merupakan lini pertama yang sering digunakan dalam program pengendalian TB Nasional.

Resistensi rifampisin dapat menjadi prediktor atau tolak ukur adanya resistensi isoniazid yang mana akan membuat perubahan diagnosis dari TB resisten rifampicin menjadi TB MDR. Oleh karena itu uji kepekaan obat sangat penting pada kasus TB yang memenuhi kriteria resisten OAT.

Presentase resistensi yang rendah terhadap Etambutol dan Streptomisin juga perlu diteliti lebih lanjut, karena pada beberapa penelitian sebelumnya didapatkan juga resistensi yang tinggi terhadap Streptomisin, dan belum ada penelitian yang dapat menjelaskan penyebabnya secara pasti. Melihat data � data diatas, masih perlu dikembangkan lagi penelitian � penelitan dari berbagai daerah di Indonesia serta perlu adanya data terbaru mengenai TB MDR di Indonesia.

 

BIBLIOGRAFI

Adiwinata, R., Rasidi, J., Marpaung, M., Timur, K., & Timur, K. (2016). Profil Klinis dan Evaluasi Pengobatan Pasien Rifampicin- Resistant dan Multidrug-Resistant Tuberculosis di RSUD Dr . 38(3), 135�142.

Adiwinata, R., Rasidi, J., Marpaung, M., Timur, K., & Timur, K. (2018). Profil Klinis dan Evaluasi Pengobatan Pasien Rifampicin-Resistant dan Multidrug-Resistant Tuberculosis di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan. J Respir Indo, 38(3), 135�142.

Asmalina, Siagian, P., Yunita, R., Amir, Z., & Nasution, T. A. (2016). Kejadian Tuberkulosis Resistensi Primer pada Fasilitas Pelayanan. Universitas Sumatera Utara, Medan, 36(2), 100�105.

Asri, S. D. A. (2014). Masalah tuberkulosis resisten obat. Cermin Dunia Kedokteran, 41(4), 247�249. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.55175/cdk.v41i4.1143

Gaude, G., Hattiholli, J., & Kumar, P. (2014). Risk factors and drug-resistance patterns among pulmonary tuberculosis patients in northern Karnataka region, India. Nigerian Medical Journal, 55(4), 327. https://doi.org/10.4103/0300-1652.137194

Heriqbaldi, A. Z., Setiabudi, R. J., & Meliana, R. Y. (2022). First-Line Anti-Tuberculosis Drug Resistance Pattern. Jurnal Respirasi, 8(1), 1. https://doi.org/10.20473/jr.v8-i.1.2022.1-6

Merry, M. S., Rintiswati, N., & Wijayanti S, Y. (2016). Genotype And Resistance Patterns Of Anti Tuberculosis Treatment (Att) In Mycobacterium Tuberculosis Isolates From Tuberculosis Cases Which Not Taken Att. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana, 1(2), 79. https://doi.org/10.21460/bikdw.v1i2.14

Nikmawati, A., Windarwati, W., & Hardjoeno, H. (2018). Resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, 12(2), 58�61.

Rumende, C. M. (2018). Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Resistan Obat. Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2018, 139�147.

Seyoum, B., Demissie, M., Worku, A., Bekele, S., & Aseffa, A. (2014). Prevalence and Drug Resistance Patterns of Mycobacterium tuberculosis among New Smear Positive Pulmonary Tuberculosis Patients in Eastern Ethiopia . Tuberculosis Research and Treatment, 2014, 1�7. https://doi.org/10.1155/2014/753492

Shamaei, M., Marjani, M., Chitsaz, E., Kazempour, M., Esmaeili, M., Farnia, P., Tabarsi, P., Amiri, M. V., Mirsaeidi, M., Mansouri, D., Masjedi, M. R., & Velayati, A. A. (2009). First-line anti-tuberculosis drug resistance patterns and trends at the national TB referral center in Iran-eight years of surveillance. International Journal of Infectious Diseases, 13(5), 236�240. https://doi.org/10.1016/j.ijid.2008.11.027

Sihombing, H., Sembiring, H., Amir, Z., & Sinaga, B. Y. (2012). Pola Resistensi Primer pada Penderita TB Paru Kategori I di RSUP H. Adam Malik, Medan Primary Resistance in Category I of Pulmonary Tuberculosis Patients at Adam Malik Hospital, Medan. J Respir Indo, 32(3), 138�183.

Susilawati, T. N., & Larasati, R. (2019). A recent update of the diagnostic methods for tuberculosis and their applicability in indonesia: A narrative review. Medical Journal of Indonesia, 28(3), 284�291. https://doi.org/https://doi.org/10.13181/mji.v28i3.2589

Wu, X., Yang, J., Tan, G., Liu, H., Liu, Y., Guo, Y., Gao, R., Wan, B., & Yu, F. (2019). Drug Resistance Characteristics of Mycobacterium tuberculosis Isolates From Patients With Tuberculosis to 12 Antituberculous Drugs in China. Frontiers in Cellular and Infection Microbiology, 9(November). https://doi.org/10.3389/fcimb.2019.00345

Yinke, B., & Sinaga, M. (2013). Karakteristik penderita Multidrug Resistant Tuberculosis yang mengikuti Programmatic Management of Drug-Resistant Tuberculosis di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Characteristics of Multidrug Resistant Tuberculosis patients in Programmatic Manag. J Respir Indo, 33(4), 221�229.

 

 

 

 

 

 


 

 

 

Copyright holder:

Natalia Yobeanto, Theresia Lolita Setiawan (2022)

 

First publication right:

Jurnal Health Sains

 

This article is licensed under: