Jurnal Health Sains: p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2723-6927
Vol. 3, No. 3, Maret 2022
TINDAKAN ABORSI AKIBAT PEMERKOSAAN DITINJAU MENURUT PANDANGAN ISLAM, BIOETIKA KEDOKTERAN DAN HUKUM DI INDONESIA
Arsyzilma Hakiim, Mariyam Abdullah, Romelah
Universitas Muhammadiyah Malang, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
info artikel |
abstraK |
Diterima 5 Maret 2022 Direvisi 15 Maret 2022 Disetujui 25 Maret 2022 |
Kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terus menjadi sorotan, dimana terdapat peningkatan kasus dari tahun sebelumnya (Tahun 2020). Pada tahun 2021 muncul kasus kekerasan terhadap perempuan yaitu kasus pemerkosaan yang dilakukan pada 13 santriwati. Aborsi sering menjadi pilihan sebagai cara menekan trauma psikologis yang dialami korban pemerkosaan. Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan tinjauan tindakan aborsi akibat pemerkosaan ditinjau menurut pandangan islam dan bioetika kedokteran serta memberikan gambaran kebijakan hukum tindakan aborsi akibat pemerkosaan di negara yang telah memiliki sistem aborsi secara legal akibat perkosaan, serta memberikan gambaran dampak dari kebijakan yang telah dilakukan. Jenis penelitian yang digunakan yuridis empiris dengan mengumpulkan dan menganalisis, serta berfokus pada pandangan Islam, kaidah bioetika, dan norma hukum yang berlaku.� Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kajian dari sisi agama islam, tindakan aborsi akibat perkosaan di perbolehkan, sebelum usia kehamilan 40 hari dan di sepakati oleh tim yang berwenang. �Sedangkan dari kajian bioetika kedokteran, dapat dilihat dari indikasi medis dalam hal ini kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan mental dengan menerapkan prinsip beneficence and non-maleficence, respect for human dignity and human right, respect for autonomy, dan respect for confidentiality and privacy. Tindakan aborsi akibat pemerkosaan secara hukum di Indonesia dan beberapa negara telah banyak diatur, akan tetapi dalam implementasinya masih menjadi tantangan dalam menyediakan akses informasi dan penyediaan layanan kesehatan yang memadai
ABSTRACT Cases of violence against women in Indonesia continue to be in the spotlight, where there is an increase in cases from the previous year (Year 2020). In 2021, cases of violence against women emerged, namely cases of rape committed on 13 female students. Abortion is often an option as a way of suppressing the psychological trauma experienced by rape victims. The purpose of this study is to provide a review of the act of abortion due to rape in terms of Islamic views and medical bioethics as well as to provide an overview of the legal policy of abortion due to rape in a country that already has a legal abortion system due to rape, as well as to provide an overview of the impact of the policies that have been carried out. The type of research used is juridical empirical by collecting and analyzing, and focusing on Islamic views, bioethical rules, and applicable legal norms. The results of this study indicate that from a study of the Islamic religion, abortion due to rape is permitted before 40 days of gestation and is approved by the authorized team. Meanwhile, from the study of medical bioethics, it can be seen from medical indications in this case pregnancy due to rape which can cause mental health disorders by applying the principles of beneficence and non-maleficence, respect for human dignity and human right, respect for autonomy, and respect for confidentiality and privacy. . The act of abortion due to rape legally in Indonesia and several countries has been widely regulated, but in its implementation it is still a challenge in providing access to information and providing adequate health services. |
Kata Kunci: Aborsi; Pemerkosaan; Islam; Bioetika Kedokteran; Hukum
Keywords: Abortion; Rape; Islam; Medical Bioethics; Law |
Pendahuluan
Kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia saat ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya (tahun 2020). Berdasarkan informasi Komnas Perempuan dalam periode Januari-Juli 2021 telah terjadi 2500 kasus, sedangkan pada tahun 2020 tercatat 2400 kasus (Indonesisa, 2021). Adapun kasus kekerasan pada perempuan yang paling menonjol adalah kekerasan seksual, salah satunya adalah Tindakan pemerkosaan. Rape is an underreported heinous crime that affects women and men around the world with physical and psychological harm, at risk of contracting infectious diseases and which may result in an unwanted pregnancy. Pemerkosaan adalah kejahatan keji yang tidak dilaporkan yang mempengaruhi wanita dan pria di seluruh dunia dengan fisik dan psikologis membahayakan, berisiko tertular penyakit menular dan yang mungkin mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan. Tindakan pemerkosaan pada akhir tahun 2021, dikejutkan dengan berita pemerkosaan yang dilakukan oleh Herry Wirawan (Pengurus Pondok Pesantren) terhadap 13 santriwatinya. Rata-rata usia 16-17 tahun yang menjadi korban pemerkosaan tersebut. Dimana 4 diantaranya hamil dan telah melahirkan (Detikcom, 2021). Tentunya kasus tersebut perlu mendapatkan perhatian khusus, karena tindakan tersebut merupakan praktik kemanusiaan dan dapat berdampak buruk bagi masa depan korban.
Dampak kerugian korban akibat kejadian tersebut dapat berupa secara fisik, psikologis dan sosial. Dampak secara fisik seperti robeknya selaput dara, iritasi di area vagina, korban mungkin dapat terkena penyakit menular seksual, kehamilan yang tidak di kehendaki, bahkan kematian (Sulistyaningsih & Faturochman, 2002). Selain itu Dampak psikis/mental yang menekan korban adalah ketidaksiapan menerima kehamilan yang tidak dikehendaki yang membuat rasa takut, perasaan malu, menyalahkan diri sendiri, dan keinginan balas dendam (Widodo, 2006). Sedangkan dapak sosial, korban pemekosaan mendapatkan pandangan masyarakat sekitar yang salah sehingga timbul stigmatisasi. Stigmatisasi tersebut akan membuat korban pemerkosaan takut menceritakan pengalamannya kepada orang-orang di sekitarnya karena takut menerima vonis dari lingkungan sehingga korban akan menarik diri dari lingkungan karena merasa tidak mampu kembali berinteraksi secara sosial dengan masyarakat secara normal (Sulistyaningsih & Faturochman, 2002). Oleh karena itu, tak sedikit korban melakukan tindakan aborsi sebagai cara menekan trauma psikologis yang dialami.
Tindakan aborsi akibat tindakan pemerkosaan, masih tabu di Indonesia, dimana terdapat perdebatan antara aspek pandangan islam, bioetika kedokteran dan hukum. Belum ada bukti mekanisme aborsi secara legal akibat pemerkosaan yang dilakukan di Indonesia. Banyak studi telah mengkaji aspek aborsi dari pandangan islam, hukum dan medis, akan tetapi masih belum secara spesifik membahas aborsi akibat pemerkosaan. Oleh karena itu, penulis ingin memberikan tinjauan tindakan aborsi akibat pemerkosaan ditinjau menurut pandangan islam dan bioetika kedokteran serta memberikan gambaran kebijakan hukum tindakan aborsi akibat pemerkosaan di negara yang telah memiliki sistem aborsi secara legal akibat pemerkosaan, serta memberikan gambaran dampak dari kebijakan yang telah dilakuka.
Metode Penelitian
Jenis penelitian adalah yuridis empiris. Pendekatan yang dilakukan tidak hanya berpegang pada segi yuridis saja melainkan dengan bantuan ilmu sosial lainnya. Yuridis sendiri merupakan metode penelitian yang berpegang pada hukum, peraturan perundang-undangan yang berlaku, teori hukum dan pendapat para ahli hukum sebagai data sekunder. Empiris mengacu pada hal-hal nyata dan penerapan dalam masyarakat yaitu penelitian data primer ( law in the action).� Penelitian yuridis empiris dilakukan dengan mengumpulkan dan menganalisis, serta berfokus pada pandangan islam, kaidah bioetika, dan norma hukum yang berlaku. Adapun Data primer dari kajian Agama Islam berupa Alquran dan Al-Hadist, kaidah bioetika dengan Universal Declaration on Bioethics and Human Rights (UD-BHR) dan norma Hukum berupa Undang-Undang (UU) dan� KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan cara mencari konsepsi-konsepsi, teori, pendapat, atau penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan penelitian.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan cara studi kepustakaan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dokumentasi. Semua data yang diperoleh dianalisis secara utuh sehingga ada gambaran yang jelas, sistematis dan faktual. peneliti menarik kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, proses menggambar kesimpulan berdasarkan premis-premis yang telah ditentukan kebenarannya, suatu pola berpikir yang didasarkan pada hal-hal yang bersifat umum kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus.
Hasil dan Pembahasan
A. Tindakan Aborsi akibat Pemerkosaan dalam Sudut Pandang Islam dan Kaidah Bioetika Kedokteran
1. Kajian Tindakan Aborsi akibat Pemerkosaan dalam Sudut Pandang Islam
Aborsi dalam literatur fikih berasal dari bahasa arab al-ijhad, merupakan masdhar dari ajhada atau juga dalam istilah lain bisa disebut dengan isqath al-hamil, keduanya mempunyai arti perempuan yang melahirkan secara paksa dalam keadaan belum sempurna penciptaannya .(Maria Ulfa Anshor, 2006) Ibnu Abidin, seorang ahli hukum Hanafi, mendefinisikan aborsi sebagai tindakan mengeluarkan janin dari rahim sebelum menyelesaikan masa kehamilannya. (Al-Abideen, 2015) Dari hal tersebut maka, aborsi berkaitan erat dengan lahirnya atau keluarnya janin sebelum waktunya dilahirkan.
Tindakan aborsi dalam Al-Quran dan Hadist tidak diterangkan secara���� khusus. Dalam Alquran� surat Q.s Al Isra ayat 31 dikatakan bahwa Allah melarang manusia membunuh anak-anaknya karena takut miskin, sesungguhnya Allah akan memberikan rezeki kepada anak-anak tersebut. Demikian pula pada surat Al-Isra ayat 33, bahwa Allah melarang membunuh jiwa orang tanpa hak. Larangan membunuh sesama manusia juga terdapat dalam� surat Q.s Al Maidah ayat 32, dimana ketika seseorang membunuh seorang manusia maka seakan-akan telah membunuh manusia seluruhnya. Dan dalam surat Q.s Al Nisa ayat 93, Allah berfirman � Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahanam, dan dia kekal didalamnya, dan Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan adzab yang besar.(Al Qur�anul Karim, 2008) Sedangkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas�ud bahwasanya Rasullah Saw bersabda �Sesungguhnya seseorang dari kamu dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh hari kedua, terbentuklah segumpal darah beku. Ketika genap empat puluh hari ketiga, berubahlah menjadi segumpal daging. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh, serta memerintahkan untuk menulis empat perkara, yaitu penentuan rizki, waktu kematian, amal, serta nasibnya, baik yang celaka, maupun yang bahagia.� (Bukhari dan Muslim). (Al-Bugha & Mistu, 2017)� Dari pandangan Al-Quran dan Hadist tersebut, dapat dikatakan bahwa aborsi disamakan dengan membunuh atau menghilangkan jiwa seseorang. Hal ini sebagai tindakan yang dilarang, dimana Allah yang mempunyai hak untuk menentukan kelangsungan hidup janin tersebut, bukan kehendak manusia.
Aborsi akibat pemerkosaan semakin diakui sebagai tindakan yang sah oleh para pemuka agama islam. Beberapa pemuka agama islam, Syekh Agung Mesir al-Azhar, Muhammad Sayed Tantawi� pada tahun 1998 mengeluarkan fatwa bahwa perempuan yang belum menikah yang telah diperkosa harus memiliki akses aborsi. (Watch, 1998) Pada� tahun 2004, ia menyatakan bahwa aborsi harus diberikan jika kehidupan wanita itu dalam bahaya dan dia menyetujui rancangan undang-undang yang memasukkan pemerkosaan sebagai indikasi. (News, 2004) Pada tahun 1998, Dewan tertinggi islam di aljazair mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa aborsi diperbolehkan dalam kasus pemerkosaan, karena pemerkosaan digunakan oleh ekstremis agama sebagai senjata perang. (Chelala, 1998).
Pandangan Aborsi di Indonesia juga menjadi perhatian khusus, terutama dikalangan ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan organisasi islam. Dalam fatwa MUI Nomor 4 tahun 2005 menjelaskan aborsi dalam makna darurat dan hajat. Darurat diartikan suatu keadaan dimana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mati atau hampir mati. Sedangkan hajat adalah suatu keadaan dimana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mengalami kesulitan berat. MUI menetapkan bahwa Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi). Aborsi dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat. Keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilan yang membolehkan aborsi adalah:
a. ��Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium lanjut, TBC dengan caverna dan penyakit-penyakit fisik berat lainnya yang harus ditetapkan oleh Tim Dokter.
b. Dalam keadaan di mana kehamilan mengancam nyawa si ibu. Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan aborsi adalah:
1. Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetik yang kalau lahir kelak sulit disembuhkan.
2. Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh Tim yang berwenang yang didalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter, dan ulama. Kebolehan aborsi harus dilakukan sebelum janin berusia 40 hari.
Selain itu, Aborsi diperbolehkan karena uzur sebagaimana dimaksud� hanya boleh dilaksanakan di fasilitas kesehatan yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina. (Ketentuan Umum Tentang Aborsi No. 4 Tahun 2005, Huruf b Dan c.460-461, 2005). Sedangkan dari organisasi Islam di Indonesia muhammadiyah berpendapat bahwa aborsi sejak pembuahan (konsepsi) hukumnya haram. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa kenyataan menunjukkan bahwa pembuahan itu sendiri telah dinyatakan hidup, kemudian berkembang menjadi segumpal darah dan berikutnya menjadi segumpal daging sampai 120 hari, dan pembuahan tersebut menunjukkan awal dari sebuah kehidupan. (Muhammadiyah & Khusus, 1990) Dasar pemikiran muhammdiyah sendiri dipengaruhi oleh pemikiran filsafat islam dan ahli kedokteran. Konsep manusia menurut filsafat islam terdiri atas tiga unsur yaitu tubuh, hayat dan jiwa. Oleh karenanya kehidupan itu saja sudah ada sejak terjadinya pembuahan, bukan setelah janin berusia empat bulan. Sedangkan dari pemikiran ahli kedokteran, muhammdiyah berpendapat bahwa abortus provocatus criminalis (aborsi yang terjadi karena tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis tanpa memperhitungkan umur bayi) sejak terjadinya pembuahan hukumnya haram. Sedangkan abortus artificialis therapicus atau abortus provocatus medicinalis (pengguguran kandungan atas indikasi medis) dapat dibenarkan ketika dalam keadaan darurat, terutama karena adanya kekhawatiran atas keselamatan ibu dalam yang mengandung. (Nasution, 1988). Hal yang sama diungkapkan oleh NU (Nahdatul Ulama) dalam seminar dan lokakarya Pimpinan Fatayat NU tahun 2001, merumuskan sebagai berikut: Hukum asal aborsi adalah haram, kecuali dalam keadaan darurat, indikator darurat antara lain:
a. ��Indikator medis, seperti terancamnya nyawa ibu apabila tidak melakukan aborsi.
b. Indikator sosial ekonomi, dalam hal ini berkaitan langsung dengan kehidupan seseorang yang sangat berat.
c. ��Indikator politik, di mana kekuasaan negara yang menjadikan perempuan tidak mempunyai pilihan lain kecuali aborsi.
d. Indikator psikologis, yaitu menempatkan perempuan benar-benar dalam kondisi terpaksa melakukan aborsi, seperti kasus pemerkosaan.
Selanjutnya, dalam rumusan itu ditambahkan: Sebagai satu catatan yang harus diperhatikan adalah bahwa hanya pada indikator pertama yang boleh melakukan aborsi ketika janin berusia 120 hari, sedang untuk indikator sosial ekonomi, politik, dan psikologis boleh dilakukan sebelum janin berusia 120 hari (sebelum ditiupkan ruh). (Maria Ulfah Anshor, 2002) Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pandangan MUI terkait aborsi akibat pemerkosaan diperbolehkan dengan ketentuan mengancam keselamatan ibu dan/atau janin. Dan apabila aborsi akibat tindakan pemerkosaan, tim yang berwenang memutuskan adalah keluarga korban, dokter dan ulama. Sedangkan aborsi akibat pemerkosaan tidak dijelaskan secara spesifik oleh organisasi islam seperti Muhammadiyah maupun NU.
2. Tindakan Aborsi akibat Pemerkosaan dalam Kaidah Bioetika Kedokteran
Ketika berbicara mengenai aborsi dalam kaidah bioetika kedokteran, maka masalah yang dibicarakan tentunya tidak hanya pelanggaran hak asasi manusia, akan tetapi lebih pada pemikiran filosofis, agama tentang pribadi manusia dan terkait moral tentunya yang bukan merupakan ranah hukum itu sendiri. Kajian bioetika kedokteran berkaitan erat dengan sikap dokter dalam memandang tindakan aborsi akibat pemerkosaan. Dalam kajian UD-HBR (Declaration On Bioethics And Human Rights), ketika berbicara mengenai aborsi maka yang mejadi dilema adalah mengugurkan janin atau bakal calon manusia, selain itu pihak wanita/ibu sebagai korban pemerkosaan. Adapun kajian aborsi dalam kaidah UD-HBR adalah sebagai berikut :
a. �Human dignity and Human Right
Martabat manusia atau Human dignity diartikan sebagai nilai intrinsik yang terkandung daalam setiap individu, dimana semua individu sama. Martabat yang melekat ini dimiliki secara setara oleh setiap manusia dan menjadi dasar persamaan manusia sebagai manusia. Selain itu semua manusia berhak mendapatkan penghormatan tertinggi, tanpa memandang usia, jenis kelamin, status kesehatan, asal sosial atau etnis, ide politik atau agama. Sedangkan Human Right atau hak asasi manusia merupakan kebebasan mendasar yang mengacu pada martabat manusia. Martabat manusia dan hak asasi manusia merupakan dimensi yang saling melengkapi satu sama lain, dimana yang pertama bahwa setiap individu berhak atas hak dan kebebasan mendasar (dimensi martabat individu), yang sebagian besar tentu saja tidak mutlak tetapi tunduk pada batas-batas yang wajar seperti yang dapat dibenarkan dalam masyarakat yang bebas dan demokratis. Kedua, secara turunan, kemanusiaan itu memiliki nilai yang melekat dan karenanya integritas dan identitasnya layak dilindungi dari penyalahgunaan perkembangan bioteknologi.
Dalam kasus aborsi, apakah janin memiliki dignity atau hak asasi?. Hal ini tentunya menimbulkan konflik antara kelompok anti aborsi dan pro aborsi. Kelompok anti aborsi berpendapat bahwa kehidupan dimulai segera setelah pembuahan dan karena konseptuslah yang tumbuh menjadi bayi baru lahir. (Aigbodioh, 1999) (Engelhardt, 1988). Hal yang sama diungkapkan oleh Hanbali dan Maliki bahwa meskipun janin belum berkembang sempurna, ia berhak untuk dilindungi. (Olowu, 2008). Pendapat Kuhse & Singer 1982 mengatakan bahwa telur dan gamet yang telah dibuahi sulit untuk dibedakan. Proses fertilisasi merupakan dimana masa "personhood" dimulai, Personhood adalah konsep dasar dalam etika, termasuk etika filosofis murni dan bidang terapan bioetika. Personhood melekat pada zigot dan tidak hanya muncul pada titik tertentu setelah pembuahan (Miklavcic & Flaman, 2017)� Gallagher 1984 mengatakan bahwa zigot bersel tunggal tidak hanya merupakan kehidupan spesies manusia, tetapi juga merupakan pribadi manusia yang berhak atas Hak Asasi.
Manusia. Perkembangan zigot menjadi blastosis, kemudian menjadi morula, dan akhirnya menjadi embrio dan fetus terjadi dengan cara yang sangat teratur, tepat, dan spesifik. (Farah & Heberlein, 2007). Semakin menuju pada proses perkembangan fetus, karakter Personhood semakin terlihat. Dengan demikian, janin yang belum sempurna memiliki hak asasi dan martabat/dignity yang harus dilindungi.
Kelompok pro aborsi berpendapat bahwa ketika beberapa negara menerapkan undang-undang anti aborsi hal ini tentunya mendorong para perempuan masuk ke dalam dunia aborsi ilegal yang tidak aman dan berbahaya. Wanita yang menginginkan aborsi biasanya putus asa, dan bahkan ketika mereka tahu bahwa aborsi adalah ilegal, mereka bersedia mempertaruhkan kebebasan, kesehatan, dan nyawa mereka untuk mendapatkannya bahkan mereka tidak memikirkan konsekuensi komplikasi akibat abortus. Kelompok pro aborsi juga berpandangan terkait aborsi dengan kesengajaan, tidak satupun membenarkan pembunuhan embrio yang disengaja, dan mereka menganggap sebagai orang yang memiliki hak hidup (Ortiz Mill�n, 2019). Dari hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa kelompok pro aborsi, tidak semata mata tidak menghargai embrio akan tetapi lebih pada memperhatikan hak asasi dan martabat wanita dari diskriminasi layanan kesehatan untuk melakukan aborsi secara aman.
Dalam sisi yang lain, pada tindakan aborsi akibat pemerkosaan jika dikaitkan dengan dignity/martabat dan hak asasi manusia tentunya wanita dalam hal ini sebagai korban pemerkosaan perlu menjadi perhatian khusus. Tindakan aborsi akibat pemerkosaan dianggap sah dikarenakan kehamilan yang tidak diharapkan tersebut mempengaruhi kesehatan mental perempuan. (Lavelanet et al., 2018)� Oleh karena itu, Perlindungan perempuan dari perlakuan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat mengharuskan mereka yang hamil akibat tindakan seksual yang dipaksakan atau dipaksakan dapat mengakses layanan aborsi yang aman secara sah (Committee, 2000). Badan dan pengadilan HAM internasional, regional dan nasional semakin merekomendasikan dekriminalisasi aborsi, dan penyediaan perawatan aborsi, untuk melindungi kehidupan dan kesehatan wanita, dan dalam kasus pemerkosaan, berdasarkan pengaduan wanita. (Organization, 2012)
b. Beneficence and Non-Maleficence
Prinsip Beneficence merupakan tingkat kebaikan tertinggi didalam bioetika, sedangkan Non-Maleficence merupakan tingkat kebaikan paling rendah. Beneficence diartikan sebagai tindakan berbuat baik untuk kebaikan orang lain dan mengutamakan kepentingan orang lain, sedangkan Non-Maleficence diartikan sebagai tindakan yang melarang tindakan yang membahayakan atau memperburuk keadaan pasien atau satu keharusan untuk menghilangkan kejahatan atau bahaya. Dalam konteks aborsi, tentunya ini merupakan kaidah yang sangat sulit untuk diterapkan khususnya dokter sebagai pelaku pengambilan keputusan. Prinsip Beneficence dan Non-Maleficence sejalan dengan Kode Etik Kedokteran dalam pasal 7d dikatakan bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Artinya bahwa secara etik kedokteran tidak diperbolehkan melakukan abortus provocatus atau aborsi karena kesengajaan. Pertanyaan dilematis saat ini bahwa aborsi karena perkosaan apakah digolongkan sebagai indikasi medis atau tidak. Tentunya dalam prinsip Beneficence dan Non-Maleficence, jika ada dalam kehamilan terdapat penyulit medis atau indikasi medis yaitu membahayakan ibu dan janin, maka aborsi merupakan tindakan baik dan mencegah bahaya sehingga tindakan aborsi diperbolehkan. Namun sebaliknya jika bukan suatu indikasi medis, maka tindakan aborsi merupakan tindakan yang membahayakan, sehingga tidak sesuai dengan prinsip Beneficence dan Non-Maleficence.
Klasifikasi aborsi akibat perkosaan dalam medis tidak dijelaskan secara esplisit. Namun aborsi akibat pemerkosaan diklasifikasikan sebagai aborsi yang diperbolehkan karena legal/sah secara hukum. , (Division, 2018) (Organization, 2008). Dimana aborsi akibat perkosaan yang diperbolehkan di beberapa negara yang telah melegalkan beralasan bahwa kehamilan yang tidak dikehendaki akibat perkosaan dapat mengganggu kejiwaan atau kesehatan mental wanita korban perkosaan (Bhate-Deosthali & Rege, 2019). Hal ini tentunya dalam prinsip Beneficence dan Non-Maleficence ini sesuai, karena tindakan aborsi akibat pemerkosaan dianggap baik dan menyelamatkan kondisi ibu dari bahaya kesehatan mental. Pada study kasus di India bahwa wanita korban pemerkosaan dengan kehamilan menyebabkan kelahiran premature pada bayi sehingga menyebabkan kematian setelah melahirkan, sedangkan resiko yang diterima wanita tersebut kesehatannya semakin memburuk dan tidak dapat bekerja karena kondisi kesehatannya . Hal ini juga terjadi di Maroko, Pada Mei 2015, menyusul debat publik yang muncul dari laporan kematian perempuan akibat aborsi yang tidak aman, proses reformasi untuk memperluas perlindungan hukum dimulai dengan arahan raja. Menurut Asosiasi Keluarga Berencana Maroko, aborsi diijinkan� jika kesehatan fisik dan mental wanita dalam bahaya, dan dalam kasus pemerkosaan, inses, atau cacat bawaan, wanita yang belum menikah akan dikecualikan karena adalah ilegal untuk berhubungan seks di luar nikah. (Women., 2016)
c. �Autonomy
Prinsip autonomy merupakan wujud penghormatan terhadap otonomi pasien sejauh mengharuskan praktisi (dokter/tenaga medis) untuk menyerahkan tanggung jawab kepada pasien untuk menjalani perawatan dan berpartisipasi dalam eksperimen medis dan penelitian yang lainnya. Kaidah Autonomy tidak hanya mencerminkan hak dan kebebasan setiap orang untuk membuat keputusan individu, tetapi juga menghormati pandangan pemikiran individu menurut latar belakang budaya dan kebiasaan keluarga ataupun masyarakat dimana pasien tinggal. Dalam membuat keputusan pada kaidah autonomy, tentunya tidak lepas dari kapasitas/kemampuan seseorang. Dimana kaidah autonomy tidak dapat diterapkan, apabila dalam situasi seperti kasus anak kecil, orang dengan cacat mental, kesulitan belajar atau kondisi yang sangat mengubah kemampuan intelektual dan hubungan interpersonal mereka, misalnya penyakit Alzheimer. Perwakilan hukum anak-anak adalah orang tua mereka atau wali yang ditunjuk, situasi koma karena kecelakaan, penyakit akut dan intervensi bedah. Untuk mengatasi hal tersebut, kaidah autonomy dapat diwakilkan oleh seseorang yang berhak memberikan persetujuan tindakan medis.
Penghormatan kaidah autonomy seseorang dalam kasus aborsi akibat pemerkosaan sering kali dilupakan. Hal ini jelas akan membuat mereka menjadi rentan terhadap tekanan. Beberapa faktor yang menyebabkan wanita korban pemerkosaan sulit dalam membuat keputusan terkait kehamilannya, sehingga cenderung memilih tindakan-tindakan yang membahayakan kesehatan seperti aborsi ilegal. Adapun faktor yang pertama adalah kekuasaan. Dimana sebagian besar wanita menunjukkan bahwa keputusan mengenai penghentian kehamilan sebagian besar diambil oleh orang lain, terkadang bertentangan dengan keinginan mereka seperti orang tua, anggota keluarga, mitra, dan penyedia memutuskan apa yang harus terjadi. Kekuasaan orang tua/keluarga terlihat ketika mereka, secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi anak perempuannya untuk melakukan aborsi, misalnya dengan mengancam akan mengusir mereka dari rumah. Faktor yang kedua adalah faktor kesetaraan, faktor ketidaksetaraan (gender), dimana perempuan sering dipandang lebih rendah daripada laki-laki. Sedangkan Faktor ketiga adalah alasan ekonomi, dimana perempuan tidak punya pilihan selain menuruti dan mengikuti keputusan keluarga yang menanggung kehidupan sehari-harinya. Selain faktor-faktor diatas, kurangnya pengetahuan perempuan berkonstribusi terhadap tingginya prevalensi abortus secara ilegal atau diluar prosedur hukum. Tidaknya informasi sosialisasi terkait layanan aborsi sesuai prosedur hukum dan penyedia layanan kesehatan yang kurang mengetahui prosedur hukum terkait aborsi legal mendorong tingginya praktek aborsi ilegal. (J. L. Oyefara, 2017) �(L. J. Oyefara, 2016) (Ezeah & Achonwa, 2015).
d. Privacy And Confidentiality
Prinsip Confidentiality diartikan sebagai kerahasiaan yang mengacu pada hubungan khusus, seperti antara peneliti dengan subjek penelitian, atau dokter dan pasien, dan menetapkan bahwa informasi yang dibagikan harus tetap rahasia, dan rahasia tidak boleh diungkapkan kepada orang ketiga kecuali ditentukan secara tegas dibawah hukum domestik yang mengatur. Sedangkan privasi �lebih menjamin kontrol atas informasi pribadi. Sebagai contoh akses informasi pribadi dan medis. Privacy And Confidentiality dalam bioetika meliputi hak-hak pasien, pemanfaatan konstituen dan produk dari tubuh manusia, eksperimen manusia, reproduksi berbantuan, uji dan data genetik, bank-bio dan prospek pemasaran di seluruh dunia. (UNESCO, 2005).
Berkaitan dengan tindakan aborsi akibat pemerkosaan, Confidentiality dan privacy perlu diperhatikan khususnya bagi peyedia layanan kesehatan dan layanan yang menangani kekerasan terhadap perempuan untuk memberikan rasa aman terhadap korban terkait informasi yang diberikan. Pengungkapan kekerasan lebih mungkin terjadi jika perempuan ditanya dengan cara yang penuh kasih dan tidak menghakimi, secara pribadi, dan dalam lingkungan di mana orang tersebut merasa aman dan kerahasiaan dapat dilindungi. Oleh karena itu, layanan harus dipantau untuk menilai akses, penerimaan, dan kualitas perawatan yang diberikan kepada perempuan penyitas kekerasan. Layanan ini harus mengumpulkan informasi dengan cara yang aman dan rahasia, tetapi juga menggunakannya untuk menginformasikan kebijakan, memantau layanan, dan lebih responsif. (Feder et al., 2006)
3. Kajian Tindakan Aborsi akibat Pemerkosaan dalam Hukum
Isu aborsi akibat pemerkosaan dalam kajian hukum, tidak hanya menjadi perdebatan di dalam lingkup nasional saja tetapi juga secara Internasional. Berikut ini pandangan kebijakan aborsi akibat perkosaan di Indonesia dan di beberapa negara lainnya antara lain :
a. �Indonesia
Dalam mengatur kebijakan aborsi, Indonesia memiliki UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi. Dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, pada Pasal 75 ayat (1) UU Kesehatan dengan tegas melarang tindak aborsi namun, sebagaimana yang diatur dalam kentuan Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan, terdapat pengecualian yaitu karena adanya indikasi keadaan medis darurat yang ditemui mulai dari awal kehamilan, baik yang membahayakan jiwa Ibu dan/atau janin, serta kehamilan dari korban pemerkosaan yang nantinya dapat menyebabkan trauma psikologis berat bagi korban. (UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta: Depkes RI; 2009, 2009). Sedangkan di Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi terdapat perubahan/tambahan peraturan tentang legal abortus pada indikasi kedaruratan medis dan hamil akibat pemerkosaan yang sebelumnya belum dibahas di UU Kesehatan (Peraturan Pemerintah No 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi, Internet, 2016). Berdasarkan peraturan Pemerintah tersebut Indonesia telah mengatur legalitas aborsi akibat pemerkosaan.
Pemerintah Indonesia mengambil keputusan melegalkan aborsi akibat pemerkosaan, karena mempertimbangkan kesehatan mental pada korban pemerkosaan. Adapun batas dilakukannya aborsi akibat perkosaan apabila usia kehamilan 40 hari dari hari pertama haid terakhir. (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Bagi Tenaga Kesehatan Dan Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dalam Tindakan Aborsi, 2014) Selain itu pemerintah indonesia juga telah mengatur terkait teknis layanan kesehatan yang dapat melayani aborsi secara aman . (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016 Ini Lebih Bersifat Teknis Mengenai Pengaturan Penyelenggaraan Pelatihan Bagi Dokter Pelaksana Tindakan Aborsi Dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Di Lini Lapangan, 216 C.E.) Meskipun kebijakan legalitas aborsi telah dibuat oleh pemerintah indonesia, akan tetapi pelaporan tindakan aborsi akibat pemerkosaan nyatanya masih belum terbukti. Hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi serta monitoring dan evaluasi yang dilakukan pemerintah (Sulaksana, 2018).
b. India
Aborsi di India diatur sejak tahun 1971 melalui Undang-Undang Penghentian Medis Kehamilan (Medical Termination of Pregnancy Act/MTPA). Undang-Undang Penghentian Medis Kehamilan tersebut menjelaskan bahwa layanan aborsi telah diperbolehkan dan di sahkan secara hukum. (The Medical Termination of Pregnancy Act, 1971. Retrieved, 2020) Dasar pembentukan aturan tersebut telah mendapatkan persetujuan dari tokoh agama hindu, bahwa jiwa janin yang belum lahir pasti akan terpendam dalam tubuh baru jika terjadi aborsi. Dalam aturan undang-undang MTPA tersebut juga telah sesuai dengan norma-norma etika beneficence dan non-maleficence dalam melakukan aborsi untuk pasien Pada kenyataanya, undang-undang MTPA sulit untuk diterapkan. Hal ini dikarenakan keputusan tindakan aborsi masih menjadi keputusan dari penyedia layanan kesehatan. Hal ini tentunya membuat adanya batasan hak autonomy wanita dalam hal ini terkait layanan aborsi. Akibatnya sebagian besar wanita rentan yang mungkin terpaksa mencari alternatif yang berbahaya dan tidak aman di tempat lain. (Basu, 2021). Seperti yang terjadi di Madya Pradesh, India kebanyakan kurang kesadaran tentang legalitas aborsi pada perempuan di pedesaan Madhya Pradesh, dan tidak yakin siapa penyedia yang memenuhi syarat. Banyak dari mereka terjebak dalam tangan penyedia ilegal karena tidak mengetahui antara praktisi pedesaan dan praktisi medis terdaftar. Selain itu, menurut sebuah penelitian, hanya 12% masyarakat di MP yang mengetahui bahwa aborsi itu legal, sehingga inilah yang menjadi masalah utama mengapa perempuan ragu untuk mengakses fasilitas pemerintah untuk aborsi.
c. �Singapura
Undang-undang di Singapura terkait aborsi diatur dalam undang-undang penghentian kehamilan Singapore Penal Code tentang Termination of Pregnancy Act. Undang-undang tersebut menjelaskan hukuman bagi seseorang yang sengaja melakukan praktek aborsi, dimana hukuman pidana yang dijatuhkan selama 3 tahun dengan denda. Selain itu dalam undang-undang tersebut menyatakan bahwa �tidak ada orang yang bersalah atas pelanggaran hukum yang berkaitan dengan aborsi ketika kehamilan dihentikan oleh praktisi medis yang berwenang yang bertindak atas permintaan seorang wanita hamil dan dengan persetujuan tertulisnya�. Terlepas dari penyebab aborsi itu sendiri baik itu karena pemerkosaan atau penyebab yang lainnya, diperbolehkan menurut hukum jika kehamilannya digugurkan oleh praktisi medis yang berwenang, aborsi atas permintaan wanita hamil dan wanita hamil harus memberikan persetujuan tertulis. Singapura juga mengatur batasan aborsi, dimana dikatakan ilegal jika kehamilannya lebih dari 24 minggu, kecuali aborsi tersebut membahayakan jiwa atau menyebabkan cedera yang permanen pada kesehatan atau mental wanita hamil.
d. Meksiko
Pada agustus tahun 2000, Meksiko dalam Majelis Legislatif Mexico City mereformasi undang-undang aborsi dengan menambahkan akses layanan aborsi legal dalam kasus pemerkosaan dan inseminasi buatan paksa. Tentunya hal ini menjadi perhatian khusus bagi pemerintah meksiko dimana departemen kesehatan meksiko bekerjasama dengan IPAS meksiko untuk menyediakan lokakarya terhadap rumah sakit umum dan rumah sakit ibu dan anak terkait pemberian layanan komprehensif untuk penyintas kekerasaan seksual. Kerjasama tersebut tentunya membuat antusiasme beberapa rumah sakit untuk memberikan pelayanan aborsi legal dan aman bagi penyintas kekerasan seksual. (Billings et al., 2002)
e. �Brazil
Aborsi akibat pemerkosaan telah dilegalkan di brazil sejak tahun 1940. Dimana bunyi pasal dalam undang-undang tersebut mengatakan �dua kondisi dimana aborsi bukan merupakan tindak pidana ketika kehamilan adalah hasil pemerkosaan dan ketika tidak ada cara lain untuk menyelamatkan hidup wanita itu�. Namun dalam perkembangannya sampai pada tahun-tahun terakhir sulit untuk diterapkan. Dalam lima tahun terakhir, brazil mulai menata kembali cara mengimplementasikan kebijakan tersbut. Dalam lima tahun terakhir, jumlah rumah sakit yang menyediakan perawatan bagi perempuan korban kekerasan seksual meningkat dari 4 menjadi 63, dimana 40 di antaranya saat ini menyediakan aborsi legal. Adanya keberhasilan pada tahun 2000, dimana 37 rumah sakit melaporkan bahwa lebih dari 1500 wanita menerima perawatan darurat setelah kekerasan seksual dan lebih dari 100 aborsi telah dilakukan. (Fa�ndes et al., 2002). Keberhasilan tersebut merupakan upaya kolaborasi kelompok advokasi kesehatan perempuan dan Federasi Ginekologi dan Obstetri Brazil dengan Kementerian Kesehatan, yang menghasilkan pengembangan Protokol Kementerian Kesehatan Nasional untuk Sertifikasi Kekerasan Seksual yang mengarah pada Kehamilan yang Tidak Diinginkan.
f. ��Negara Muslim
Legalitas kebijakan aborsi akibat perkosaan pada negara muslim wilayah MENA (Middle East and North Africa) tidak banyak yang menjelaskan di dalam undang-undang. Beberapa negara seperti Aljazair, Mesir, Iran dan Arab Saudi, fatwa sementara mendukung aborsi dalam kasus pemerkosaan, gangguan janin dan risiko terhadap kehidupan dan kesehatan wanita. Di Mesir, Mufti Besar berpendapat bahwa korban pemerkosaan harus memiliki akses ke aborsi dan operasi rekonstruksi selaput dara untuk menjaga keperawanan dan keperawanan perempuan. Di Aljazair, misalnya, sementara mufti menyatakan bahwa pemerkosaan harus menjadi alasan aborsi. (Chelala, 1998). Beberapa negara muslim di kawasan MENA telah mengeluarkan aturan aborsi, adapun yang menjadi indikasi aborsi karena adanya indikasi yang membahayakan nyawa wanita. Tak banyak negara yang mengatur kebijakan aborsi akibat pemerkosaan. Pada tahun 1991 di Sudan, tindakan aborsi diizinkan untuk melindungi kehidupan wanita dalam kasus pemerkosaan jika kehamilan kurang dari 90 hari atau jika janin telah mati dalam kandungan. (Abdel Halim, 2011)
Dalam implementasinya,� dokumentasi penyediaan akses perempuan ke layanan aborsi yang aman masih belum terbukti. Menurut WHO, mayoritas aborsi yang dilakukan di wilayah MENA tergolong tidak aman. Banyak faktor yang mempengaruhi sulitnya perempuan mengakses tindakan aborsi yang aman, diantaranya status sosial-ekonomi, tempat tinggal pedesaan-perkotaan, dan payung hukum itu sendiri.
Kesimpulan
Tindakan aborsi akibat pemerkosaan tentunya menjadi perhatian khusus saat ini, terutama di Indonesia dengan kasus pemerkosaan yang semakin meningkat dari tahun sebelumnya. Kajian dari sisi agama Islam, tindakan aborsi akibat perkosaan di perbolehkan, sebelum usia kehamilan 40 hari dan di sepakati oleh tim yang berwenang.� Sedangkan dari kajian bioetika kedokteran, dapat dilihat dari indikasi medis dalam hal ini kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan mental. Oleh karena itu, tindakan aborsi dapat dilakukan dengan menimbang kaidah Beneficence and Non-Maleficence. Selain itu perlu untuk menerapkan sikap penghormatan terhadap hak asasi manusia dan martabat manusia serta autonomy seseorang yang menjadi korban pemerkosaan dengan menyediakan payung hukum, fasilitas dan akses aborsi sesuai dengan hukum yang berlaku dan menyediakan tempat pengaduan dan konseling dengan memperhatikan kaidah privacy and confidentiality sehingga dapat memberikan rasa aman terhadap korban pemerkosaan.
Tindakan aborsi akibat pemerkosaan dalam hukum di Indonesia telah banyak diatur. Akan tetapi dalam pencatatan dan pelaporannya, serta implementasi terhadap aturan tersebut masih belum dilakukan dengan baik. Beberapa percontohan negara muslim, asia, dan eropa telah mengatur legalitas tindakan aborsi akibat pemerkosaan dengan menyertakan batasan dari usia kehamilan. Namun dalam implementasinya sebagian besar negara belum sepenuhnya menyediakan akses informasi maupun layanan kesehatan yang menjadi rujukan tindakan aborsi akibat perkosaan.
BIBLIOGRAFI
Abdel Halim, A. (2011). Gendered Justice: Women And The Application Of Penal Laws In The Sudan. Criminal Law Reform And Transitional Justice: Human Rights Perspectives For Sudan. Farnham, Surrey, UK: Ashgate. Google Scholar
Aigbodioh, J. A. (1999). Practical Issues In Applied Ethics: The Facts, Arguments And Options. Benin City: Teredia Technical Enterprises, 66�119. Google Scholar
Al-Abideen, I. (2015). Risalah Ibn Abideen (Cairo: Bouleq Library, Nd), 114. Vol. 2.
Al-Bugha, M. D., & Mistu, M. (2017). Al-Wafi: Syarah Hadis Arba�in Imam An-Nawawi. Qisthi Press. Google Scholar
Al Qur�anul Karim. (2008). CV Diponegoro.
Anshor, Maria Ulfa. (2006). Fikih Aborsi. Jakarta: Gramedia.
Anshor, Maria Ulfah. (2002). Aborsi Dalam Perspektif Fiqh Kontemporer, 263-264. Google Scholar
Basu, S. (2021). Abortion Services And Ethico‐Legal Considerations In India: The Case For Transitioning From Provider‐Centered To Women‐Centered Care. Developing World Bioethics, 21(2), 74�77. Google Scholar
Bhate-Deosthali, P., & Rege, S. (2019). Denial Of Safe Abortion To Survivors Of Rape In India. Health And Human Rights, 21(2), 189. Google Scholar
Billings, D. L., Moreno, C., Ramos, C., Gonz�lez De Le�n, D., Ramı́rez, R., Villase�or Martı́nez, L., & Rivera Dı́az, M. (2002). Constructing Access To Legal Abortion Services In Mexico City. Reproductive Health Matters, 10(19), 86�94. Google Scholar
Chelala, C. (1998). Washington Algerian Abortion Controversy Highlights Rape Of War Victims. The Lancet, 351(9113), 1413. Google Scholar
Committee, H. R. (2000). General Comment No. 28: Equality Of Rights Between Men And Women (Article 3). UN Index: CCPR/C/21/Rev, 1.
Detikcom. (2021). Penceramah-Yang-Menjadi-Predator-Seks/?_Ga=2.31494205.2031663752.1640233118-1653048456.1637486275. Https://News.Detik.Com/X/Detail/Investigasi/20211222/.
Division, U. N. P. (2018). Abortion Policies: A Global Review. 2002. Http://Www.Un.Org/En/Development/Desa/Population/Publications/Abortion/ Abortion-Policies-2002.Shtml Major Dimensions Of Abortion Policies. Accessed 15 May 2018.
Engelhardt, H. T. (1988). Medicine And The Concept Of Person. In What Is A Person? (Pp. 169�184). Springer. Google Scholar
Ezeah, P., & Achonwa, C. (2015). Gender Inequality In Reproductive Health Services And Sustainable Development In Nigeria: A Theoretical Analysis. International Journal Of Sociology And Anthropology, 7(2), 46�53. Google Scholar
Farah, M. J., & Heberlein, A. S. (2007). Personhood And Neuroscience: Naturalizing Or Nihilating? The American Journal Of Bioethics, 7(1), 37�48. Google Scholar
Fa�ndes, A., Leoc�dio, E., & Andalaft, J. (2002). Making Legal Abortion Accessible In Brazil. Reproductive Health Matters, 10(19), 120�127. Google Scholar
Feder, G. S., Hutson, M., Ramsay, J., & Taket, A. R. (2006). Women Exposed To Intimate Partner Violence: Expectations And Experiences When They Encounter Health Care Professionals: A Meta-Analysis Of Qualitative Studies. Archives Of Internal Medicine, 166(1), 22�37. Google Scholar
Indonesisa, C. (2021). 20210819042140-20-682186/Ada-2500-Kasus-Kekerasan-Terhadap-Perempuan-Sepanjang-2021. Https://Www.Cnnindonesia.Com/Nasional/
Lavelanet, A. F., Schlitt, S., Johnson, B. R., & Ganatra, B. (2018). Global Abortion Policies Database: A Descriptive Analysis Of The Legal Categories Of Lawful Abortion. BMC International Health And Human Rights, 18(1), 1�10. Google Scholar
Miklavcic, J. J., & Flaman, P. (2017). Personhood Status Of The Human Zygote, Embryo, Fetus. The Linacre Quarterly, 84(2), 130�144. Google Scholar
Muhammadiyah, B. R., & Khusus, N. (1990). Tanfidz Keputusan Muktamar Tarjih Muammadiyah XXII. PP Muhammadiyah.
Ketentuan Umum Tentang Aborsi No. 4 Tahun 2005, Huruf B Dan C.460-461, (2005).
Nasution, H. (1988). Konsep Manusia Dalam Islam, Dikaitkan Dengan Hayat Dan Maut. Dimuat Dalam Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, Kajian Islam Tentang Berbagai Masalah Kontenporer�, Jakarta.
News, A. (2004). Abortion Issue In Egyptian Spotlight.
Olowu, D. (2008). Children�s Rights, International Human Rights And The Promise Of Islamic Legal Theory. Law, Democracy & Development, 12(2), 62�85. Google Scholar
Organization, W. H. (2008). Primary Health Care: Now More Than Ever. World Health Report 2008. Geneva: WHO; 2008. P. 65.Pdf [Google Scholar] [Ref List]. Google Scholar
Organization, W. H. (2012). Safe Abortion: Technical And Policy Guidance For Health Systems. World Health Organization.
Ortiz Mill�n, G. (2019). Anti-Abortion Laws And The Ethics Of Abortion. In Controversies In Latin American Bioethics (Pp. 11�32). Springer. Google Scholar
Oyefara, J. L. (2017). Power Dynamics, Gender Relations And Decision-Making Regarding Induced Abortion Among University Students In Nigeria. Etude De La Population Africaine, 31(1S2). Google Scholar
Oyefara, L. J. (2016). Sexual Behaviour, Unwanted Pregnancy And Tripartite Levels Of Decision-Making Regarding Induced Abortion Among Nigerian University Students. African Journal For The Psychological Studies Of Social Issues, 19(3), 61�86. Google Scholar
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016 Ini Lebih Bersifat Teknis Mengenai Pengaturan Penyelenggaraan Pelatihan Bagi Dokter Pelaksana Tindakan Aborsi Dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Di Lini Lapangan, (216 C.E.).
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Bagi Tenaga Kesehatan Dan Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dalam Tindakan Aborsi, (2014).
Peraturan Pemerintah No 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi, Internet, (2016). Http://Peraturan.Go.Id/Pp/Nomor-61-Tahun2014-11e4bbf20a10e5c084f0313335343535- 11e4bbf20a10e5c084f0313335343535.Html .
UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta: Depkes RI; 2009, (2009).
Sulaksana, S. (2018). Implementasi Regulasi Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis Dan Kehamilan Akibat Perkosaan Sebagai Bagian Dari Kebijakan Hukum Pidana. Universitas Islam Indonesia. Google Scholar
Sulistyaningsih, E., & Faturochman, M. A. (2002). Dampak Sosial Psikologis Perkosaan. Buletin Psikologi, 10(1). Google Scholar
The Medical Termination Of Pregnancy Act, 1971. Retrieved, (2020). Https://Main.Mohfw.Gov.In/Acts-Rules-And-Standards-Health-Sector/Acts/Mtp-Act-1971 .
UNESCO. (2005). Explanatory Memorandum On The Elaboration Of The Preliminary Draft Declaration On Universal Norms On Bioethics. Paris: UNESCO. Http://Unesdoc.Unesco.Org/ Images/0013/001390/139024e.Pdf .
Watch, I. W. R. A. (1998). The Women�s Watch. Nos.1/2,. Vo. 12.
Widodo, H. (2006). �Rape Trauma Syndrome Dalam Perspektif Psikologi Dan Hukum�, Dalam (2006). Http://Www.Freewebs.Com/Heri_Rts/.
Women., M. F. P. A. And A.-P. R. And R. C. For. (2016). Religious Fundamentalism And Access To Safe Abortion Services In Morocco. Rabat And Kuala Lumpur: Moroccan Family Planning Association And Asian-Pacific Resource And Research Centre For Women.
Copyright holder: Arsyzilma Hakiim, Mariyam Abdullah, Romelah (2022)
|
First publication right: Jurnal Health Sains
|
This article is licensed under:
|