Jurnal Health Sains: p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2723-6927
Vol. 3, No. 3, Maret 2022
GAMBARAN PENGGUNAAN OBAT ANTIDEPRESAN PADA PASIEN DEPRESI DI RSUD EMBUNG FATIMAH KOTA BATAM PERIODE JANUARI - DESEMBER 2020
Rahmah Nurfahanum
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, Indonesia
Email: [email protected]
info artikel |
abstraK |
Diterima 5 Maret 2022 Direvisi 15 Maret 2022 Disetujui 25 Maret 2022 |
Gangguan jiwa adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. Gangguan jiwa yang umumnya terjadi adalah gangguan depresi. Lebih dari 12 juta orang berusia diatas 15 tahun diperkirakan telah mengalami depresi. Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan data tentang penggunaan antidepresan pada pasien depresi di RSUD Embung Fatimah Kota Batam.Metode: Penelitian berupa studi deskriptif observasional dengan menggunakan data sekunder rekam medik. Sampel penelitian adalah seluruh rekam medik pasien depresi yang menggunakan antidepresan pada pasien depresi di RSUD Embung Fatimah Kota Batam Periode Januari � Desember 2020 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan teknik total sampling.Pada penelitian ini didapatkan bahwa terdapat 44 dari 80 (55%) penderita depresi di RSUD Embung Fatimah Kota Batam yang mendapatkan terapi antidepresan. Dengan proporsi terbanyak pada usia 25-54 tahun (70,4%); jenis kelamin perempuan (56,8%). Didapatkan penggunaan Amitriptilin (86,3%) dan Sertralin (13,6%).Sebagian besar pasien depresi di RSUD Embung Fatimah Kota Batam mendapatkan terapi antidepresan sebagai salah satu metode manajemen gejala perilaku dan psikologis depresi.
ABSTRACT Background: Mental disorder is a condition in which a person experiences disturbances in thoughts, behavior, and feelings which are manifested in the form of a set of symptoms or significant behavioral changes, and can cause suffering and obstacles in carrying out people's functions as humans. The most common mental disorder is depression. More than 12 million people over the age of 15 are estimated to have experienced depression. This study aims to provide data on the use of antidepressants in depressed patients at Embung Fatimah Hospital, Batam City. Methods: This study was a descriptive observational study using secondary data from medical records. The research sample was all medical records of depressed patients who used antidepressants in depressed patients at Embung Fatimah Hospital, Batam City Period January - December 2020 that met the inclusion and exclusion criteria with the total sampling technique. Results: In this study, it was found that there were 44 out of 80 (55%)) depressed patients at Embung Fatimah Hospital, Batam City who received antidepressant therapy. With the highest proportion at the age of 25-54 years (70.4%); female gender (56.8%). Amitriptyline (86.3%) and Sertralin (13.6%) were used. Conclusion: Most depressed patients at Embung Fatimah Hospital, Batam City received antidepressant therapy as a method of managing behavioral and psychological symptoms of depression. |
Kata Kunci: Antidepresan; depresi; gangguan jiwa
Keywords: antidepressants, depression, mental disorders |
Pendahuluan
Menurut UU RI NO.18 Tahun 2014 menjelaskan bahwa gangguan jiwa adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. Gangguan jiwa yang umumnya terjadi adalah gangguan kecemasan dan gangguan depresi. Diperkirakan 4,4% dari populasi global menderita gangguan depresi dan 3,6% dari gangguan kecemasan. Hampir separuhnya berasal dari wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Depresi merupakan kontributor utama kematian akibat bunuh diri, yang mendekati 800.000 kejadian bunuh diri setiap tahunnya (Depression, 2017). Kasus gangguan jiwa di Indonesia pada tahun 2018 mengalami peningkatan. Gangguan depresi yang terjadi pada usia ≥75 tahun dengan prevalensi (8,9%), usia 65-74 tahun sebesar (8,0%), usia 55-64 tahun sebesar (6,5%) dan usia remaja 15-24 tahun dengan prevalensi (6,2%). Lebih dari 19 juta penduduk usia diatas 15 tahun terkena gangguan mental emosional dan lebih dari 12 juta orang berusia diatas 15 tahun diperkirakan telah mengalami depresi (Kemenkes, 2018).
Berdasarkan data yang didapat, kasus gangguan jiwa berat di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2019 sebanyak 1.084 kasus sedangkan di Kota Batam sebanyak 521 kasus. Batam merupakan kota terbesar di Kepulauan Riau yang basis ekonominya adalah sektor industri. Salah satu penyebab meningkatnya���������� kasus-kasus ODGJ berat di Kota Batam adalah masalah ekonomi. Sampai saat ini, Kota Batam belum memiliki Rumah Sakit Khusus Kejiwaan (RSKJ), bahkan juga di Provinsi Kepulauan Riau belum memiliki Rumah Sakit Jiwa (RSJ) (Dinkes Prov Kepri, 2019).
Obat gangguan jiwa yang paling sering diresepkan dokter adalah�� antidepresan (Mayoclinic,�������� ����������� 2020). Antidepresan efektif untuk pengobatan depresi major derajat sedang sampai berat tetapi obat antidepresan tidak seluruhnya efektif untuk depresi akut yang ringan. Golongan obat antidepresan trisiklik dan sejenisnya, selective serotonin re-uptake inhibitor (SSRI) dan sejenisnya, monoamine oxidase inhibitor (MAO), antidepresan lain (Badan, 2015). Hasil penelitian (Kusumaningtyas, 2015) menunjukkan bahwa obat utama yang digunakan dalam kasus gangguan jiwa seperti depresi adalah amitriptilin (9%), maprotilin (5%), dan fluoxetin (82%). Dosis dan frekuensinya sesuai literatur yaitu dosis amitriptilin 12,5-25 mg sekali sampai tiga kali sehari, dosis maprotiline 25 mg sekali sehari, dan dosis fluoxetine 10-20 mg sekali sampai dua kali sehari.
Dalam��� pemberian antidepresan faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah usia pasien, waktu paruh, serta metabolisme dari obat antidepresan yang akan diberikan. SSRI merupakan antidepresan lini pertama untuk terapi depresi pada pasien lanjut usia, wanita hamil, dan pasien depresi dengan gangguan medis lainnya (Licinio & Wong, 2005).
Dalam��� pemberian antidepresan faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah usia pasien, waktu paruh, serta metabolisme dari obat antidepresan yang akan diberikan. SSRI merupakan antidepresan lini pertama untuk terapi depresi pada pasien lanjut usia, wanita hamil, dan pasien depresi dengan gangguan medis lainnya (Licinio & Wong, 2005). Waktu paruh dari obat obat antidepresan dapat mempengaruhi frekuensi pemberiannya. Obat-obat golongan TCA, SSRI dan SNRI memiliki waktu paruh selama 24 jam atau lebih sehingga memungkinkan diberikan sekali dalam sehari, kecuali amoxapine dari golongan TCA yang memiliki waktu paruh lebih pendek. Semua obat golongan SSRI di metabolisme di hati oleh CYP P450 isoenzim CYP 2D6 sehingga klinisi harus berhati- hati dalam memberikan obat lain secara bersamaan yang juga dimetabolisme oleh CYP 2D6. (Kaplan & Sadock, 2009).
Hasil������ penelitian (Ningtyas, 2018) menunjukkan bahwa pada dasanya efektifitas obat antidepresan cenderung sama antara satu golongan dengan golongan lainnya. Yang membedakan antar golongan tersebut adalah efek samping, interaksi obat, dan harga. Riwayat respon positif pada obat tertentu pada individual atau keluarga, dapat digunakan sebagai acuan terhadap pengobatan pasien. SSRI sering digunakan sebagai lini pertama. Sedangkan lini kedua biasanya adalah kombinasi venlafaxine dan bupropion. Trisiklik dan kombinasi inhibitor sebagai lini ketiga. MAOI sebagai lini terakhir jika pasien tidak memberikan respon terhadap obat golongan lainnya.����
Maka dari itu diperlukan sebuah studi untuk mengetahui gambaran penggunaan obat antidepresan yang meliputi jenis obat yang diberikan, dosis, frekuensi, durasi pemberian antidepresan dikaitkan dengan data rekam medik pasien. Selain itu juga belum adanya informasi data terkait gambaran penggunaan obat antidepresan di rumah sakit����������� tersebut.
Harapannya studi ini dapat digunakan sebagai acuan peningkatan pengelolaan obat di rumah sakit dan dapat digunakan oleh praktisi kesehatan sebagai bahan evaluasi terapi dan pengawasan penggunaan obat antidepresan pada pasien. Berdasarkan latar belakang diatas ingin dilakukan penelitian terkait �Gambaran Penggunaan Obat Antidepresan Pada Pasien Depresi di RSUD Embung Fatimah Kota Batam Periode Januari - Desember 2020�.
Tujuan Penelitian ini adalah Untuk mengetahui gambaran penggunaan antidepresan pada pasien depresi di RSUD Embung Fatimah Kota Batam periode Januari � Desember 2020.
Antidepresan adalah obat-obatan yang digunakan untuk terapi gangguan depresi mayor dan kondisi lainnya, seperti gangguan cemas, nyeri kronis, dan untuk memanajemen ketergantungan zat (Jennings, 2018).
Antidepresan sebagai kelas obat digunakan terutama dalam pengelolaan gangguan depresi dan gangguan kecemasan. Namun, golongan obat ini juga digunakan untuk pengelolaan gangguan makan, impuls gangguan kontrol, enuresis, disfungsi seksual, agresi dan beberapa gangguan kepribadian (Yerkade, V., & Siddiqui, 2017).
Jenis Antidepresan adalah antidepresan trisiklik dan sejenisnya, Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor (SSRI) dan sejenisnya, Monoamine Oxidase Inhibitor (MAO) dan antidepresan lain (Badan, 2015).
Mekanisme kerja Fluoksetin yaitu memiliki aktivitas minimal pada pengambilan kembali noradrenergik. Karena penyerapan kembali serotonin, fluoksetin menghasilkan efek pengaktifan, dan karena waktu paruh yang lama (2 sampai 4 hari), efek antidepresan awal muncul dalam 2 sampai 4 minggu. Metabolit aktif fluoksetin adalah norfluoksetin, yang diproduksi ketika enzim sitokrom P450 (CYP2D6) bekerja padanya. Penting untuk diingat bahwa fluoksetin memiliki beberapa interaksi obat-obat karena metabolismenya pada isoenzim CYP2D6. Selain itu, norfluoksetin dapat memiliki efek penghambatan pada CYP3A4. Penting juga untuk diingat bahwa fluoksetin memiliki waktu paruh 2 hingga 4 hari, dan metabolit aktifnya, norfluoksetin memiliki waktu paruh 7 hingga 9 hari (Cao et al., 2019).
Mekanisme kerja Amitriptyline yaitu Amitriptyline berada dalam klasifikasi obat antidepresan trisiklik (TCA) dan bekerja dengan memblokir pengambilan kembali neurotransmitter serotonin dan norepinefrin. Struktur pusat tiga cincin, bersama dengan rantai samping, adalah struktur dasar antidepresan trisiklik. Amitriptilin adalah amina tersier dan memiliki afinitas pengikatan kuat untuk reseptor alfa-adrenergik, histamin (H1), dan muskarinik (M1). Ini lebih menenangkan dan meningkatkan sifat antikolinergik dibandingkan dengan TCA lain. Seperti antidepresan lainnya, awitan tindakan terapeutik biasanya dimulai sekitar 2 hingga 4 minggu (Thour & Marwaha, 2020).
Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif observasional yaitu penelitian yang umumnya dilakukan tanpa adanya intervensi atau tindakan tambahan peneliti pada sampel yang akan diteliti. Penelitian ini hanya bersifat menggambarkan tidak ada analisis yang spesifik untuk pengolahan data, sehingga hasilnya� pada� umumnya� berupa medik� yang� diambil� dari RSUD Embung Fatimah Kota Batam. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui gambaranpenggunaan antidepresan pada pasien depresi di RSUD Embung Fatimah Kota Batam periode Januari � Desember 2020.
Hasil dan Pembahasan
A. Hasil Penelitian
Studi penggunaan obat dengan tujuan untuk mengetahui gambaran penggunaan obat antidepresan pada pasien depresi di RSUD Embung Fatimah Kota Batam periode Januari � Desember 2020 telah dilakukan. Populasi dan sampel penelitian diambil dari rekam medik pasien depresi yang menjalani perawatan di poliklinik kesehatan jiwa di Instalasi Rawat Jalan RSUD Embung Fatimah Kota Batam. Selama periode tersebut, diperoleh sebanyak 80 rekam medik pasien penderita depresi periode Januari � Desember 2020 dimana 44 diantaranya memenuhi kriteria inklusi.
1. Karakteristik Pasien Usia
Tabel 2. Menunjukkan bahwa berdasarkan usia, proporsi pasien depresi�� secara�� keseluruhan�� paling������ banyak ditemukan pada rentang usia 25-54 tahun sebesar 71,2%. Lalu diikuti oleh usia 1-24 tahun sebesar 20% usia 55-74 tahun sebesar 8,7%. Tidak ditemukan sampel direntang usia <1 tahun, 75-84 tahun, dan ≥ 85 tahun.
Pada pasien depresi yang menggunakan antidepresan, proporsi sampel terbanyak konsisten dengan penderita depresi lainnya. Dimana 70,4% dari sampel berada di rentang usia 25-54 tahun. Lalu diikuti oleh rentang usia 1-24 tahun sebesar 15,9% dan 13,6% pada rentang usia 55-74 tahun. Tidak ditemukan sampel di rentang usia <1 tahun, 75-84 tahun, dan ≥ 85 tahun.
Tabel 1
Distribusi dan Frekuensi Subjek Berdasarkan Usia
Usia |
Pasien Depresi |
Pasien Depresi Yang Menggunakan Obat |
||
|
N |
% |
N |
% |
< 1 tahun |
0 |
0 |
0 |
0 |
1 � 24 tahun |
16 |
20 |
7 |
15,9 |
25 � 54 tahun |
57 |
71,2 |
31 |
70,4 |
55 � 74 tahun |
7 |
8,7 |
6 |
13,6 |
75 � 84 tahun |
0 |
0 |
0 |
0 |
≥ 85 tahun |
0 |
0 |
0 |
0 |
Total |
80 |
100 |
44 |
100 |
Sumber: Data Rekam Medis Pasien Depresi
di RSUD Embung Fatimah Kota Batam, 2022
2. Jenis Kelamin
Tabel 2. menunjukkan bahwa berdasarkan jenis kelamin, proporsi pasien penderita depresi secara keseluruhan dan penderita depresi yang menggunakan antidepresan lebih banyak perempuan (56,2% pada penderita depresi keseluruhan, 56,8% pada penderita depresi yang menggunakan antidepresan) dibandingkan laki-laki (43,7% pada penderita depresi keseluruhan, 43,1% pada penderita depresi yang menggunakan antidepresan).
Tabel 2
Distribusi dan Frekuensi Subjek berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin |
Pasien Depresi |
Pasien Depresi Yang Menggunakan Obat |
||
|
N |
% |
N |
% |
Laki � Laki |
35 |
43,7 |
19 |
43,1 |
Perempuan |
45 |
56,2 |
25 |
56,8 |
Total |
80 |
100 |
44 |
100 |
Sumber: Data Rekam Medis Pasien Depresi
di RSUD Embung Fatimah Kota Batam, 2020
3. Antidepresan
a. Distribusi Pemberian Obat
Tabel 3. menunjukkan bahwa antidepresan Amitriptilin merupakan obat yang paling umum diberikan pada pasien depresi (38 pasien) dan Sertralin yang diberikankepada 6 pasien(6/44).
Distribusi Penggunaan Obat Antidepresan pada Subjek (n=44)
Terapi |
Nama Obat |
N |
% |
Antidepresan |
Amitriptilin |
38 |
86,3 |
|
Sertralin |
6 |
13,6 |
|
Total |
44 |
100 |
Sumber: Data Rekam Medis Pasien Depresi
di RSUD Embung Fatimah Kota Batam, 2020
b. Dosis Pemberian Obat
Tabel 4. menunjukkan distribusi dosis pemberian antidepresan pada Subjek. Pada antidepresan Amitriptilin, dosis 25 Mg merupakan dosis yang paling umum diberikan kepada pasien depresi (86,3%) dan Sertralin sebanyak 50 Mg diberikan kepada 6 pasien (13,6%).
Distribusi Dosis Pemberian Antidepresan pada Subjek (n=44)
Nama Obat |
Dosis |
N |
% |
Amitriptilin |
25 Mg |
38 |
86,3 |
Sertralin |
50 Mg |
6 |
13,6 |
Total |
|
44 |
100 |
Sumber : Data Rekam Medis Pasien Depresi
di RSUD Embung Fatimah Kota Batam, 2020
c. Frekuensi Pemberian Obat
Tabel 5 menunjukkan distribusi frekuensi pemberian antidepresan pada Subjek. Pada antidepresan Amitriptilin, frekuensi 2 kali per hari merupakan frekuensi yang paling umum diberikan kepada pasien depresi (86,3%) dan Sertralin frekuensi pemberian 1 kali per hari (13,6%).
Distribusi Frekuensi Penggunaan Obat pada Subjek (n=44)
Nama Obat |
Frekuensi |
N |
% |
Amitriptilin |
2 kali per hari |
38 |
86,3 |
Sertralin |
1 kali per hari |
6 |
13,6 |
Total |
|
44 |
100 |
Sumber: Data Rekam Medis Pasien Depresi
di RSUD Embung Fatimah Kota Batam, 2020
d. Durasi Pemberian Obat
Tabel 6 menunjukkan rata-rata durasi pemberian antidepresan pada Subjek. Amitriptilin merupakan antidepresan yang paling lama diberikan pada pasien depresi, dengan rata-rata 8 hari dengan durasi terapi paling pendek selama 4 hari dan durasi terapi paling panjang selama 150 hari dan Sertralin dengan rata-rata durasi terapi selama 30 hari dengan durasi terapi paling pendek selama 10 hari dan durasi terapi paling panjang selama 30 hari.�
Tabel 6
Durasi Terapi Penggunaan Obat Antidepresan pada Subjek
Nama Obat |
Paling Pendek |
Paling Lama |
Rata-Rata |
Amitriptilin |
4 Hari |
150 Hari |
8 Hari |
Sertralin |
10 Hari |
30 Hari |
30 Hari |
Sumber: Data Rekam Medis Pasien Depresi
di RSUD Embung Fatimah Kota Batam, 202
B. Pembahasan
1. Karakteristik Demografik Pasien Depresi Usia
Depresi merupakan suatu gangguan suasana perasaan yang sedih
dengan gejala penyertanya, seperti perubahan pada pola tidur, nafsu makan, psikomotor dan konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya serta pikiran bunuh diri (Kaplan & Sadock, 2009). Prevalensi gangguan depresi pada populasi dunia adalah 3-8% dengan 50% kasus terjadi pada usia produktif yaitu 20-50 tahun (DEPRESIF, 2014). Gangguan depresi berada pada urutan keempat penyakit didunia. Pada tahun 2030 diperkirakan jumlah penderita gangguan depresi semakin meningkat dan akan menjadi kontributor utama beban penyakit di dunia (Organization, 2008).
Penelitian tentang penderita depresi yang pernah dilakukan di Yogyakarta menemukan bahwa angka kejadian depresi mencapai angka 36% pada pasien dewasa awal dengan rentang usia 26 � 35 tahun (Nuvulani, 2019).
Temuan ini konsisten dengan hasil penelitian ini, dimana angka kejadian pasien Depresi di RSUD Embung Fatimah Kota Batam paling banyak terdapat pada rentang usia 25-54 tahun (71,2%). Hasil analisis menunjukkan� bahwa��� kasus depresi paling banyak adalah pada pasien dewasa awal dengan rentang usia 25 � 54 tahun. Hal ini sesuai dengan pernyataan�� di������ dalam Departemen Kesehatan tahun 2007 tentang Pharmaceutical Care Untuk Penderita Gangguan Depresif yang menyatakan bahwa gangguan depresi berat di mulaipada rentang usia produktif yaitu� 20-50,alasanya karena beberapa faktor seperti masalah hormonal, stressor, dan pola perilaku. Hal Ini dikarenakan pada usia tersebut merupakan usia produktif yaitu usia seorang masih mampu untuk bekerja dan menghasilkan sesuatu, sehingga dalam rentang usia tersebut akan muncul masalah-masalah yang kompleks serta urusan yang menyebabkan terjadinya depresi. Menurut (Ismail & Siste, 2010), hampir 50% usia rata-rata gangguan depresi pada rentang usia 20-50 tahun.
Prevalensi gangguan depresif pada populasi dunia adalah 3-8% dengan 50% kasus terjadi pada usia produktif yaitu 20-50 tahun (Depresif, 2014). Pada Usia Produktif biasanya manusia dituntut untuk bisa mandiri dalam menciptakan kesejahteraan hidupnya. Sehingga kecendrungan untuk mengalami depresi lebih besar
Walaupun usia merupakan salah satu faktor resiko depresi, kejadian depresi juga dapat dijumpai pada lansia. Proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah baik secara fisik, biologis, sosial ekonomi maupun mental. Masalah mental dan emosional sama halnya dengan masalah fisik yang dapat mengubah perilaku lansia. Masalah mental yang sering dijumpai pada lansia adalah stres, depresi, dan kecemasan (Stanley, 2006). Depresi pada lansia juga sering dikenal sebagai late life depression. Lansia rentan terhadap depresi disebabkan oleh beberapa faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Kehilangan pekerjaan, pasangan, penghasilan, dan dukungan sosial sejalan dengan bertambahnya usia turut menjadi faktor predisposisi yang memudahkan seorang lansia untuk mengalami depresi.(Soejono, 2009)
2. Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, pada penelitian ini didapatkan kebanyakan pasien depresi berjenis kelamin perempuan (56,2%). Gangguan depresif berat adalah suatu gangguan dengan prevalensi seumur hidup kira-kira 15%, pada perempuan bisa sampai 25%. Perempuan mempunyai kecenderungan dua kali lebih besar mengalami gangguan depresif daripada laki-laki. Alasan tersebut karena masalah hormonal, dampak melahirkan, stressor dan pola perilaku. Perubahan hormon ini dapat mempengaruhi struktur kimia otak yang memicu terjadinya depresi. (Depresif, 2014).
Menurut Kaplan & Saddock (2007), Prevalensi gangguan depresi berat dua kali lebih besar pada wanita dibandingkan laki laki. Hal ini. Dikarenakan perbedaan hormonal, efek kelahiran, perbedaan stresor psikososial bagi wanita dan laki-laki, dan model perilaku tentang keputusasaan yang dipelajari.
3. Penggunaan Antidepresan Pada Pasien Depresi
a. �Distribusi Jenis Antidepresan
Dari hasil analisis tabel 4, dapat dilihat bahwa pasien yang mendapat terapi obat antidepresan golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) ada 1 jenis obat yaitu Sertralin dengan jumlah 6 pasien (13,6%). Obat golongan ini merupakan golongan obat yang secara spesifik menghambat reuptake serotonin di dalam otak (Teter et al., 2007). Obat antidepresan Sertralin merupakan obat golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor dipilih sebagai antidepresan lini pertama karena keamanannya dan toleransi yang tinggi (Teter et al., 2007).
Selanjutnya, untuk antidepresan golongan Tricylic Antidepresan (TCA) jenis obat yang digunakan yaitu Amitrptylin yaitu sebanyak 38 pasien (86,3%). Amitrptylin merupakan obat antidepresan trisiklik, efikasinya dalam meredakan depresi berat telah terbukti dengan baik dan juga terbukti bermanfaat untuk sejumlah gangguan jiwa yang lain (Gilman, 2008). Saat ini, obat -� obat�� golongan ��TCA�� dan� SSRI� telah menjadi obat antidepresan pilihan utama (Badan, 2015). SSRIs memang merupakan obat antidepresan lini pertama yang telah diterima dengan luas (Neal, 2006) karena memiliki kemampuan yang selektif dalam menghambat pengambilan kembali serotonin dan memiliki efek samping yang lebih rendah dibanding TCAs (Preskorn, 1996).
4. Dosis Pemberian Antidepresan Pada Pasien Depresi
Obat antidepresan dan dosis yang diberikan pada pasien jiwa di instalasi rawat jalan RSUD Embung Fatimah Kota Batam periode Januari � Desember 2020 yaitu Amitriptilin dan Sertralin. Data dari hasil penelitian menunjukkan bahwa Amitriptilin sebagai antidepresan diberikan pada dosis 25 mg dengan presentase 86,3% dan Sertralin sebagai antidepresan diberikan pada dosis 50 mg dengan presentase 13,6%.
Amitriptilin���������� merupakan antidepresan trisiklik, obat ini paling efektif untuk mengobati pasien depresi endogen sedang dan berat yang berkaitan dengan perubahan psikomotor dan fisiologis, seperti hilangnya nafsu makan dan sulit tidur. Antidepresan trisiklik juga efektif untuk terapi kelainan panic. Amitriptilin dapan diberikan sekali menjelang tidur atau dalam dosis terbagi.
Dosis yang diberikan berdasarkan data yang diperoleh adalah rasional karena dosis awal dari Amitriptilin adalah 3-4 tablet perhari atau 75 mg perhari.
Sertralin merupakan obat golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor dipilih sebagai antidepresan lini pertama karena keamanannya dan toleransi yang tinggi (Teter et al., 2007).
5. Frekuensi Pemberian Antidepresan Pada Pasien Depresi
Amitriptilin direkomendasikan untuk diberikan dalam frekuensi satu hingga tiga kali dalam satu hari, mempertimbangkan bahwa Amitriptilin mencapai puncak konsentrasi plasma dari obat ini tercapai dalam waktu 4-8 jam setelah dikonsumsi dengan ketersediaan hayati sebesar 95% (Gupta et al., 1999). Rekomendasi ini konsisten dengan temuan di RSUD Embung Fatimah Kota Batam dimana ditemukan 38 pasien yang menggunakan Amitriptilin diberikan frekuensipengobatanduakaliper hari.
Sertralin direkomendasikan untuk diberikan dalam frekuensi satu hinggadua kali dalam satu hari, mempertimbangkan bahwa Sertralin mencapai puncak konsentrasi plasma dalam waktu 4,5 - 8,4 jam setelah dikonsumsi dengan ketersediaan hayati sebesar 82% (FDA, 2016). Rekomendasi ini konsisten dengan temuan di RSUD Embung Fatimah Kota Batam dimana ditemukan bahwa seluruh sampel pasien yang menggunakan Sertralin diberikan frekuensi pengobatan satu kali per hari.
6. Durasi Pemberian Antidepresan Pada Pasien Depresi
Tujuan dari terapi antidepresan bukan hanya untuk mengeliminasi gejala psikologis dari pasien, tetapi untuk mencapai remisi penuh, yaitu kesembuhan pasien dari seluruh gejala dan restorasi fungsi sosial dan okupasinya, dan untuk menjaga durasi remisi sepanjang mungkin. (Ballenger, 1999) Terapi farmakologis harus dilaksanakan dalam waktu yang cukup untuk mempertahankan remisi dan mencegah kekambuhan gejala.
Interval 6 bulan merupakan konsensus umum untuk durasi terapi antidepresan tipikal. Namun, penelitian baru������� merekomendasikan untuk melanjutkan fase terapi hingga 9 bulan setelah gejala telah hilang, periode terapi ini disebut sebagai fase lanjutan. Ini dilakukan untuk mencegah rekurensi gejala pada pasien yang mendapatkan terapi. (Ballenger, 1999). Beberapa peneliti bahkan merekomendasikan untuk melanjutkan terapi antidepresan selama 3- 5 tahun, bahkan sampai seumur hidup bila perlu (Keller et al., 1992). Hasil temuan di RSUD Embung Fatimah Kota Batam periode Januari � Desember 2020 didapatkan rata-rata durasi pemberian antidepresan pada Subjek. Amitriptilin merupakan antidepresan yang paling lama diberikan pada pasien depresi, dengan rata- rata 8 hari dengan durasi terapi paling pendek selama 4 hari dan durasi terapi paling panjang selama 150 hari dan Sertralin dengan rata-rata durasi terapi selama 30 hari dengan durasi terapi paling pendek selama 10 hari dan durasi terapi paling panjang selama 30 hari.
Salah satu faktor kenapa pemberian obat antidepresan tersebut diberhentikan bisa dikarenakan oleh munculnya efek samping yang signifikan pada pasien, beberapa efek samping dari obat antidepresan antara lain adalah pemburukan dari gejala depresi, reaksi alergi pada kulit, dan gangguan pada kemampuan kognitif dan motorik.
7. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah kurangnya kelengkapan data yang tercantum dalam rekam medik dan beberapa penulisan riwayat pasien dalam rekam medik yang sulit dibaca. Kedua hal tersebut menyulitkan dalam penelusuran kejadian depresi RSUD Embung Fatimah Kota Batam.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian mengenaipenggunaan antidepresan pada pasien depresi di RSUD Embung Fatimah Kota Batam periode Januari � Desember 2020 dapat disimpulkan bahwa Dari 80 pasien penderita depresi, 44 diantaranya mendapatkan terapi obat antidepresan (55%), dimana sebagian besar pasien berjenis kelamin perempuan (56,8%); dan berumur antara 25-54 tahun (70,4%) Adapun jeni Jenis antidepresan yang pernah diberikan pada pasien depresi di RSUD Embung Fatimah adalah Amitriptilin (86,3%) dan Sertralin (13,6%). Amitriptilin, dosis 25 Mg merupakan dosis yang paling umum diberikan kepada pasien depresi (86,3%) dan Sertralin sebanyak 50 Mg diberikan kepada 6 pasien (13,6%).��������� Amitriptilin merupakan jenis antidepresan yang paling lama pemberiannya pada pasien depresi, dengan rata- rata durasi selama 8 hari dan Sertralin dengan rata-rata durasi terapi selama 30 hari.
BIBLIOGRAFI
Badan, P. O. M. (2015). Pusat informasi obat nasional. Badan Pengawasan Obat Dan Makanan. Jakarta: Indonesia. Google Scholar
Ballenger, J. C. (1999). Clinical guidelines for establishing remission in patients with depression and anxiety. Journal of Clinical Psychiatry, 60, 29�34. Google Scholar
Cao, B., Zhu, J., Zuckerman, H., Rosenblat, J. D., Brietzke, E., Pan, Z., Subramanieapillai, M., Park, C., Lee, Y., & McIntyre, R. S. (2019). Pharmacological interventions targeting anhedonia in patients with major depressive disorder: A systematic review. Progress in Neuro-Psychopharmacology and Biological Psychiatry, 92, 109�117. Google Scholar
Depresif, P. G. (2014). Pharmaceutical care untuk penderita gangguan depresif. Google Scholar
Depression, W. H. O. (2017). Other common mental disorders: global health estimates. Geneva: World Health Organization, 24.
Gilman, G. and. (2008). Manual Farmakologi dan Terapi, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Gupta, S. K., Shah, J. C., & Hwang, S. S. (1999). Pharmacokinetic and pharmacodynamic characterization of OROS� and immediate‐release amitriptyline. British Journal of Clinical Pharmacology, 48(1), 71�78. Google Scholar
Ismail, R. I., & Siste, K. (2010). Gangguan Depresi, Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. G
Jennings, L. (2018). Antidepressants: Clinical psychopharmacology for neurologists. Google Scholar
Kaplan, S. S., & Sadock, V. A. (2009). Synopsis of psychiatry: behavioral sciences/clinical psychiatry, 10 (th) edition. Indian J Psychiatry, 51(4), 331. Google Scholar
Keller, M. B., Lavori, P. W., Mueller, T. I., Endicott, J., Coryell, W., Hirschfeld, R. M. A., & Shea, T. (1992). Time to recovery, chronicity, and levels of psychopathology in major depression: a 5-year prospective follow-up of 431 subjects. Archives of General Psychiatry, 49(10), 809�816. Google Scholar
Kemenkes, R. I. (2018). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI tahun 2018.
Kusumaningtyas, N. A. A. (2015). Pola Penggunaan Antidepresan Pada Kasus Depresi (Studi Di Poli Jiwa Rsud Dr. Soetomo). Universitas Airlangga. Google Scholar
Licinio, J., & Wong, M.-L. (2005). Depression, antidepressants and suicidality: a critical appraisal. Nature Reviews Drug Discovery, 4(2), 165�171.Google Scholar
Neal, M. J. (2006). At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Organization, W. H. (2008). The global burden of disease: 2004 update. World Health Organization. Google Scholar
Preskorn, S. H. (1996). Clinical pharmacology of selective serotonin reuptake inhibitors. Professional Communications. Inc., Caddo. Google Scholar
Pusat Informasi Obat Nasional (Pionas), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia 2015, Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI), BPOM RI.
Soejono, C. H. (2009). Pedoman Pengelolaan Kesehatan Pasien Geriatrik Untuk Dokter & Perawat. Jakarta: FK UI.
Stanley, M. (2006). Buku ajar keperawatan gerontik. Google Scholar
Teter, C. S., Kando, J. C., Wells, B. G., & Hayes, P. E. (2007). Depressive Disorder, dalam Dipiro, JT, Talbert, RL, Yee, GC, Matzke, G. R, Well, BG, & Posey Micheal, L. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach.
Thour, A., & Marwaha, R. (2020). Amitriptyline.[Updated Jul. 29, 2021]. StatPearls [Internet]. Retrieved from Https://Www. Statpearls. Com/Kb/Viewarticle/17465.
Yerkade, V., & Siddiqui, R. A. (2017). IJBCP International Journal of Basic & Clinical Pharmacology Drug utilization study of antihypertensive drugs in hypertensive diabetic patients in a tertiary care hospital. IJBCP International Journal of Basic & Clinical Pharmacology.
Copyright holder: Rahmah Nurfahanum (2022)
|
First publication right: Jurnal Health Sains
|
This article is licensed under:
|