Jurnal Health Sains: p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398�����

Vol. 3, No. 2, Februari 2022

 

AKTIVITAS ANTIVIRUS POLIFENOL SEBAGAI PROFILAKSIS DAN TERAPI POTENSIAL DALAM PENANGANAN COVID-19

 

Teddy Tjahyanto, Eldy, Clarissa Felicia, Karmenia Jessica Kurnia Niaga, Olivia Larissa

Universitas Tarumanagara (UNTAR) Jakarta, Indonesia

Email[email protected][email protected], [email protected][email protected], [email protected]

 

info artikel

abstraK

Diterima

5 Februari 2022

Direvisi

15 Februari 2022

Disetujui

25 Februari 2022

COVID-19 telah mengakibatkan masalah kesehatan yang cukup serius di seluruh dunia. Hingga kini, belum tersedia terapi yang sepenuhnya efektif untuk meningkatkan hasil pada pasien COVID-19. Penggunaan kembali obat yang sudah tersedia menjadi salah satu solusi, mengingat proses pengembangan obat baru yang panjang. Namun, terapi tersebut memiliki beberapa kelemahan seperti penurunan efektivitas pada virus yang mengalami mutasi serta berbagai efek samping serius yang menyertai. Polifenol dapat diperhitungkan sebagai terapi tambahan untuk COVID-19 karena kaya akan jenis serta aktivitas antivirusnya. Tinjauan pustaka dilakukan untuk merangkum bukti-bukti terbaru mengenai potensi aktivitas antivirus polifenol sebagai profilaksis sekaligus terapi untuk COVID-19 serta membahas lebih lanjut mengenai anjuran asupan polifenol dari diet dan contoh makanan yang direkomendasikan. Sumber literatur diambil dari artikel jurnal yang dipublikasikan secara online dalam rentang waktu tahun 2017-2021. Database yang digunakan adalah MDPI, PubMed, ScienceDirect, Wiley, dan Hindawi. Penelitian menunjukkan penggunaan senyawa polifenol telah diverifikasi sebagai pendekatan nutrisi atau terapi tambahan yang menguntungkan untuk COVID-19. Hal ini didasari oleh peran bioaktivitas polifenol dalam patofisiologi COVID-19, meliputi efek antioksidan, antivirus, antiinflamasi, dan imunomodulator. Studi tambahan yang mengkaji secara khusus mengenai pemberian polifenol pada pasien COVID-19 yang sedang hamil serta batas keamanan dosis terkait interaksi dengan obat yang digunakan dalam penanganan COVID-19 perlu dilakukan.

 

ABSTRACT

COVID-19 has caused serious health problems worldwide. Until now, the available therapy hasn�t been fully effective in improving outcomes in COVID-19 patients. Due to the long process of discovering new drugs, the use of available treatment becomes a solution.� However, this therapy has several drawbacks, such as decreased effectiveness in mutated viruses and various serious side effects that accompany it. Polyphenols can be considered as adjunctive therapy for COVID-19 because of their rich variety and antiviral activities. This literature review was conducted to summarize the latest evidence regarding the potential antiviral activity of polyphenols as both prophylactic and therapeutic for COVID-19, as well as further discussion on encouragement of polyphenol intake from diets and recommended food examples. Literature sources were taken from journal articles published online from 2017 to 2021. The databases used were MDPI, PubMed, ScienceDirect, Wiley, and Hindawi. Research shows the use of polyphenolic compounds has been approved as a beneficial nutritional or adjunctive therapeutic approach for COVID-19. This is based on the role of polyphenol bioactivity in the pathophysiology of COVID-19, including antioxidant, antiviral, anti-inflammatory, and immunomodulatory effects. Additional studies that specifically examine the administration of polyphenols to pregnant COVID-19 patients and dose safety limits related to interactions with drugs used in the treatment of COVID-19 need to be conducted.

Kata Kunci:

polifenol; COVID-19; antivirus

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

polyphenol; COVID-19; antiviral



Pendahuluan

Coronavirus disease atau yang lebih dikenal dengan istilah COVID-19 mulai merebak sejak akhir tahun 2019 telah mengakibatkan masalah kesehatan yang sangat besar tidak hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. Penyakit yang ditandai dengan sindrom pernapasan akut yang parah ini pertama kali ditemukan di Wuhan, Cina dan menyebar dengan kecepatan progresif secara global, sehingga Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menyatakan COVID-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020).

Patogen penyebab COVID-19, yakni Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) merupakan bagian dari keluarga virus Coronaviridae dan termasuk dalam famili Betacoronavirus yang menyebabkan gangguan pernapasan, pencernaan, hati, dan neurologis pada hewan dan manusia (Augusti et al., 2021; Susilo et al., 2020). SARS-CoV-2 memiliki tingkat transmisi dan infektivitas yang lebih tinggi dengan tingkat mortalitas yang lebih rendah, jika dibandingkan dengan keluarga Coronavirus (CoVs) lainnya, seperti yang patogen penyebab sindrom pernapasan akut parah (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus/SARS-CoV) dan sindrom pernapasan Timur Tengah (Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus/MERS-CoV) (Augusti et al., 2021).

Sebagian besar individu yang terinfeksi SARS-CoV-2 tidak menunjukkan gejala atau memiliki gejala ringan seperti demam, batuk, sesak napas, asthenia, ageusia, anosmia, sakit kepala, mialgia, diare, dan kebingungan. Namun, pada sekitar 20% penderita, penyakit ini dapat berkembang menjadi sindrom gangguan pernapasan akut (acute respiratory distress syndrome/ARDS), komplikasi jantung akut, sindrom disfungsi organ multipel, syok septik, bahkan kematian (biasanya orang dengan beberapa penyakit penyerta). Spektrum keparahan penyakit yang luas mulai dari ringan hingga kritis ini tentunya menjadi sebuah tanda tanya besar yang perlu dipecahkan. Beberapa pendapat menyatakan bahwa variasi derajat keparahan COVID-19 pada setiap penderita dipengaruhi oleh aktivasi sistem kekebalan tubuh individu yang terinfeksi, dimana komplikasi lebih lanjut diyakini terkait dengan tingkat inflamasi tinggi dan respon stres oksidatif yang diinduksi oleh replikasi virus (Augusti et al., 2021; Giovinazzo et al., 2020)

Sampai hari ini, belum tersedia terapi yang benar-benar efektif untuk meningkatkan hasil pada pasien suspek atau pun terkonfirmasi positif COVID-19, terlepas dari tingkat keparahan penyakitnya. Penggunaan kembali obat yang sudah tersedia mungkin menjadi satu-satunya solusi yang layak untuk mengatasi COVID-19, mengingat proses pengembangan obat baru yang memakan waktu (Susilo et al., 2020). Terapi yang tersedia biasanya memiliki mekanisme kerja yang diarahkan kepada virus itu sendiri, sel inang penderita atau melalui mofidikasi sistem imunitas. Tiga protein non-struktural (3CLpro, PLpro, dan RdRp) dan protein struktural (protein S) dari SARS-CoV-2 yang bertanggung jawab untuk replikasi, transkripsi, dan pengenalan sel inang merupakan target kunci dari mekanisme kerja terapi untuk infeksi COVID-19. Namun, terapi tersebut juga memiliki beberapa kelemahan yang tidak dapat diabaikan. Efektivitas penanganan infeksi SARS-CoV-2 baik dari segi preventif maupun kuratif berdasarkan antibodi spesifik seperti vaksin dan antibodi monoklonal dapat menurun jika terdapat perubahan antigenisitas virus akibat mutasi. Selain itu, terdapat laporan mengenai berbagai efek samping serius yang ditimbulkan dari perawatan farmakologis. Berangkat dari fakta tersebut, strategi baru untuk penanganan COVID-19 dengan tingkat efisiensi dan keamanan yang mumpuni masih diperlukan. Alam di sekitar kita menawarkan referensi yang luar biasa dari senyawa fitokimia yang kaya akan jenis serta aktivitas antivirusnya. Dalam konteks ini, strategi nutrisi untuk mengurangi risiko atau mengurangi gejala COVID-19 telah mendapat perhatian yang cukup besar. Sebagai pendekatan komplementer non-farmakologis, suplementasi makanan fungsional dan probiotik dapat menjadi solusi mengingat minimnya efek samping yang ditimbulkan (Augusti et al., 2021; Gligorijević et al., 2021).

Saat ini senyawa fitokimia telah diselidiki secara ekstensif untuk menemukan strategi terapi baru untuk virus termasuk SARS-CoV-2. Bukti dari beberapa studi komputasi menunjukkan bahwa fitokimia memainkan peran penting dalam pengobatan infeksi virus SARS-CoV 2, termasuk polifenol. Secara umum, polifenol diyakini memiliki berbagai manfaat biologis potensial seperti antioksidan, antiinflamasi, antivirus, dan antibakteri, berdasarkan berbagai penelitian yang sudah dilakukan hingga saat ini (Mulu et al., 2021). Polifenol dapat diperhitungkan sebagai terapi tambahan untuk COVID-19 karena senyawa ini terkait dengan manfaat dalam penghambatan beberapa mekanisme patogenesis serta memiliki efek prebiotik, dimana polifenol dapat mempengaruhi mikrobiota usus dan mengurangi komplikasi gastrointestinal, yang banyak dilaporkan pada COVID-19. Selain itu, produk hasil metabolisme polifenol oleh mikrobiota kolon dapat diserap di usus dan memberikan efek menguntungkan pada beberapa organ lainnya (Augusti et al., 2021).

Sebuah studi baru-baru ini meninjau kemampuan potensial fitokimia dalam upaya preventif dan kuratif COVID-19 melalui modifikasi jalur molekuler yang dimodulasi oleh polifenol, efeknya terhadap pencernaan inang maupun metabolit polifenol oleh mikrobiota kolon yang memiliki efek multiorgan dalam COVID-19 (Mani et al., 2020). Meskipun sudah banyak literatur yang membahas tentang efek antivirus dan mekanisme molekuler polifenol terhadap infeksi virus, khususnya SARS-CoV 2, namun rekomendasi asupan polifenol dari diet belum banyak dibahas secara spesifik (Annunziata et al., 2020; Augusti et al., 2021).

Oleh karena itu, kami menulis tinjauan pustaka ini untuk merangkum bukti-bukti terbaru mengenai potensi polifenol sebagai profilaksis sekaligus terapi untuk COVID-19, meliputi struktur kimia, mekanisme antivirus dan bioaktif polifenol terhadap manifestasi klinis dari COVID-19, baik melalui target yang diarahkan kepada virus itu sendiri, modifikasi sel inang penderita atau melalui perubahan aktivasi sistem kekebalan tubuh. Selain itu, kami akan membahas lebih lanjut mengenai anjuran asupan polifenol dari diet, contoh makanan yang direkomendasikan, serta mekanisme spesifiknya terhadap infeksi SARS-CoV 2.

 

Metode Penelitian

Penulis mencari, menyeleksi, dan memilih jurnal yang berkaitan dengan aktivitas antivirus polifenol sebagai profilaksis dan terapi potensial COVID-19 dari beberapa database penelitian antara lain Multidisciplinary Digital Publishing Institute (MDPI), PubMed, ScienceDirect, Wiley, dan Hindawi. Kata kunci yang digunakan adalah �polyphenol�, �COVID-19�, dan �antiviral�. Hasil dari peninjauan literatur sejumlah 1193 jurnal dengan 60 jurnal memenuhi kriteria. Kami memprioritaskan penelitian yang diterbitkan dalam jangka waktu lima tahun terakhir. Penulisan dimulai dengan peninjauan isi dari setiap literatur yang memenuhi kriteria, dilanjutkan dengan tukar pikiran, dan pemeriksaan silang dengan sumber-sumber primer lainnya.

Hasil diskusi kami susun dalam sebuah format terorganisir mulai dari definisi, struktur, dan infeksi SARS-CoV-2, patofisiologi COVID-19, definisi dan aktivitas antivirus polifenol, implikasi polifenol terhadap COVID-19, serta kemungkinan peran polifenol sebagai langkah profilaksis dan terapi potensial COVID-19.

 

Hasil dan Pembahasan

1.    Genom, Struktur Protein dan Siklus Hidup SARS-CoV 2

��������� Virus Corona memiliki empat genera di subfamili Coronaviridae, yaitu A-CoV(Alpha-CoV),� B�CoV� (Beta-CoV),� D-CoV� (Delta-CoV), dan G-CoV(Gamma-CoV). Famili Coronaviridae terdiri dari virus berselubung yang mengandung RNA untai tunggal positif (+ssRNA) sebagai genom, yang linier, tidak tersegmentasi dengan diameter sekitar 60- 160 nm. Pada permukaan virus terdapat benda runcing berbentuk mahkota dikelilingi selubung protein yang bertanggung jawab terutama untuk penyakit pernapasan dan beberaoa penyakit enterik di banyak inang seperti kucing, manusia, hewan pengerat, babi dan lain-lain. Karakter genotipe yang berbeda yang mengandung Human CoV (HCoV) bekerja pada manusia, antara lain HCoV-OC43, HCoV-229E, Middle East Respiratory Syndrome CoV (MERS-CoV) dan Severe Acute Respiratory Syndrome CoV (SARS-CoV) (Khade et al., 2021; Pal et al., 2022).

Struktur genom dari SARS-CoV-2 dihimpit oleh dua wilayah panjang yang tidak diterjemahkan (untranslated regions), yaitu genom 5�UTR yang terdiri dari 210 hingga 530 nukleotida dan 3�UTR yang terdiri dari 270 hingga 500 nukleotida (Artika et al., 2020). Genom virus COVID-19 dapat mengkode empat protein struktural dan protein non-struktural termasuk terutama pada dua ORF (ORF1a dan ORF1b) yang pada akhirnya akan terfragmentasi menjadi sekitar 16 protein. Protein non-struktural tersebut terlibat dalam modifikasi sistem imun inang dan dapat berpartisipasi dalam replikasi genom virus. Protein Envelope (E), Nukleokapsid (N), membran (M) dan spike (S) adalah sintesis dari ujung 3 ORF sedangkan ujung 5ʹ ORF mengkode enam belas protein non-struktural (nsp1 sampai np16). Protein M, E, dan S terutama terdapat pada selubung virus corona, yang bertanggung jawab untuk patogenesis perakitan virus dan proses invasi sel target (Pal et al., 2022).

2.    Gambaran Umum Infeksi SARS-CoV 2 pada COVID-19

SARS-CoV-2 dapat ditransmisikan melalui droplet respiratori atau kontak antar individu. Virus kemudian akan melekat pada membran mukus saluran pernapasan dan menginfeksi sel epitel hidung pada saluran pernapasan atas dan sel alveolar pada saluran pernapasan bawah (Meyerowitz et al., 2021). Respons awal dari sistem imun dimediasi oleh sel epitel dan sel imun bawaan berperan penting dalam infeksi virus dan penyebaran yang menentukan tingkat keparahan COVID-19 (Valdez-Cruz et al., 2021). Sel barrier epitel mukosa mengenali SARS-CoV-2 melalui reseptor pengenalan pola intraseluler (PRR), Toll-like receptor endosome (TLR)3 dan TLR7, cytoplasmic retinoic acid-inducible receptor (RIG)-1 dan melanoma differentiation-associated protein (MDA)5. Reseptor ini akan mengaktivasi jalur antivirus interferon tipe I (IFN) dan NF-κB. Kedua jalur ini akan berbahaya bagi sel inang apabila aktivasi terjadi secara berlebihan atau kekurangan yang dapat menimbulkan disregulasi pada respon imun bawaan dan adaptif yang digambarkan pada Gambar 1 (Taddei et al., 1996).


Diagram

Description automatically generated

Gambar 1

Proses Disregulasi Respon Imun dengan Derajat Berat COVID-19 (Bernini et al., 2021)

 


Infeksi SARS-CoV-2 menimbulkan respon inflamasi yang ditandai oleh produksi sitokin dan kemokin inflamasi yang dapat dihubungkan dengan kematian sel epitel alveolar. Sitokin inflamasi tersebut akan mengaktifkan makrofag residen seperti makrofag alveolar, yang merupakan produsen utama sitokin dan kemokin dan mengakibatkan akumulasi jaringan oleh molekul inflamasi NF-κB. Proses ini akan berakhir pada infiltrasi patogen paru oleh sel neutrofil dan makrofag dari darah (Taddei et al., 1996). Seiring dengan terjadinya respon imun bawaan, tubuh mempersiapkan sistem imun adaptif yang dimulai dari terjadinya diferensiasi sel T dan sel B melalui jalur NF-κB (Augusti et al., 2021).

Aktivasi imun dan produksi IFN yang berlebihan dapat dicegah oleh sistem pembersihan dari sel inang seperti jalur autofagi dan proteasome/imunoproteasome. Pada respon imun yang bergantung pada imunoproteasom, SARS-CoV-2 akan mengacaukan aktivasi sistem imun adaptif dari presentasi MHC-1 dan aktivasi cytotoxic T-lymphocyte (CTL) (La Rosa et al., 2021). Sementara autofagi menjadi kunci untuk menyeimbangkan respons imun antimikroba dengan memediasi degradasi protein dengan kegagalan pelipatan, agregat intraseluler, dan organel yang rusak melalui proses degradasi kompleks yang memainkan peran penting dalam homeostasis sel (Limanaqi et al., 2020). Aktivasi autofagi terjadi sebagai respon stress seluler, stress oksidatif, bahkan patogen virus melalui induksi pembersihan virus, yang biasa disebut xenophaghy atau virophagy (Sargazi et al., 2021).

Berbagai jalur berbeda akan menyampaikan sinyal ke mekanisme autofagi dengan merekrut protein terkait autofagi (ATG) untuk mengatur langkah pengembangan autofagi. Sebagai respons terhadap kebutuhan metabolisme sel, aktivasi dari kompleks phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K)/AKT dan Unc-51 seperti autophagy activating kinase-1 (ATG1/ULK1) melalui nukleasi phagophore adalah kunci dalam inisiasi autofagi. Kompleks Beclin-1/Vps34/Vps15/Atg14 turut menginduksi beberapa langkah pada proses autofagi, dari biogenesis phagophore hingga fusi autofagosom dengan lisosom. Selain itu, jalur PI3K/AKT/mammalian target of rapamycin complex 1 (mTORC1) dan 5� AMP-activated protein kinase (AMPK) mengatur inisiasi autofagi melalui regulasi kinase-1 (Atg1/ULK1) dan kompleks Beclin-1/Vps34/Vps15/Atg14 (Limanaqi et al., 2020). Jalur mTORC1 akan menginhibisi autofagi saat tidak ada stress, sementara AMP menginisiasi autofagi dalam keadaan stres. Berbagai proses tersebut akan mencegah inflamasi sistem imun sel inang yang berlebihan. Akan tetapi, studi menunjukkan SARS-CoV-2 dapat menurunkan regulasi AMPK dan mTOR (Sargazi et al., 2021).

Siklus replikasi virus dimulai dengan melekatnya virion ke sel inang dengan mediasi protein S. Receptor binding domain (RBD) pada SARS-CoV-2 berfungsi untuk mengikat reseptor spesifik yaitu ACE2 (Angiotensin Converting Enzyme 2). Tergantung pada strain, infeksi virus dapat terjadi melalui 2 cara yaitu endositosis yang melibatkan cathepsin, atau fusi selubung virus dengan membran sel inang yang diperantarai oleh glikoprotein S dan protease ekstraseluler yaitu TMPRSS2 (Transmembrane Protease Serine 2). Setelah virus masuk ke dalam sel, virus akan melepas kapsid dan materi genetik dengan bantuan enzim lisosom. Setelah itu, replikasi genom virus serta sintesis fungsional dan struktural dari protein virus seperti RNA-dependent RNA polymerase (RdRp) dan RNA helicase akan dimulai. Replikase akan melakukan translasi dan menghasilkan serangkaian mRNA subgenomik dan genom virus. Terdapat dua protease sistein, papain-like proteinase (PLpro) dan 3C-like protease (3CLpro) yang dikode oleh ORF1a. Kedua protease ini berperan penting dalam replikasi dan pelepasan virus. RNA genomik dan protein virus kemudian dirakit menjadi virion pada membran yang terletak antara retikulum endoplasma (RE) dan apparatus golgi. Setelah itu komponen tersebut akan diangkut melalui vesikel dan dilepaskan melalui proses eksositosis keluar dari sel. PLpro juga menghilangkan ubiquitin dan interferon-stimulated ubiquitin-like protein (ISG15) dari protein sel inang, yang dapat menghindarkan virus dari respons sistem imun bawaan inang (Piccolella et al., 2020). 3CLpro yang dikenal juga sebagai protease utama (Mpro) atau Nsp5 bertanggung jawab terhadap pembelahan 11 situs pada polyprotein pp1a dan pp1ab dan berperan dalam tahap pematangan virus. Oleh karena itu, molekul kecil dan peptida inhibitor 3CLpro diharapkan dapat menjadi terapi alternatif yang efektif dalam mengatasi COVID-19 (Mhatre et al., 2021).

Pada pasien COVID-19, sel epitel dan dendritik yang diaktivasi sebagai respons terhadap infeksi, akan menghasilkan kemokin dan sitokin pro-inflamasi seperti IL-1β, IL-2, IL-6, IL-8, interferon (IFN) α and β, TNF, CeC motif chemokine 3 (CCL3), CCL5, dan CCL2 dengan kadar tinggi. Produksi dari sel inflamasi ini telah dikaitkan dengan ketidakseimbangan redoks, dimana terjadi produksi berlebihan dari spesies oksigen reaktif (ROS) dan inhibisi antioksidan endogen (ElMissiry et al., 2021). Radikal bebas seperti radikal anion superoksida (O2��), klorin oksida (ClO�), oksida nitrat (NO), dan peroksinitrit (ONOO�) serta sitokin seperti TNF-α dan IL-1 sebagai hasil dari ketidakseimbangan redoks tersebut dapat menjadi penyebab pneumonia akibat virus dan kematian (Boligon et al., 2014).

Secara keseluruhan, karakteristik dari COVID-19 tahap kritis memiliki disregulasi respons sistem imun bawaan, terutama pada sistem saluran napas bawah, yang dikaitkan dengan produksi sitokin inflamasi yang berlebihan yaitu badai sitkoin, acute respiratory distress syndrome, edema paru, dan kematian sel epitel alveolar paru, yang berakhir pada kerusakan vaskuler dan multi-organ (Taddei et al., 1996). Selain sistem saluran pernapasan, studi menunjukkan gejala saluran pencernaan seperti diare dan muntah menjadi manifestasi yang cukup sering dijumpai pada pasien COVID-19. Penelitian telah menunjukkan gejala saluran pencernaan, terutama diare dikaitkan dengan manifestasi pernapasan COVID-19 yang berat (Aktas et al., 2021).

�SARS-CoV-2 menggunakan reseptor ACE2 yang ekspresinya ditemukan tinggi pada saluran pernapasan dan pencernaan. ACE2 memiliki peran penting dalam mengatur inflamasi serta ekologi mikrobiota saluran pencernaan (Zuo et al., 2020). Gejala gastrointestinal seperti diare dapat terjadi akibat inflamasi oleh infeksi virus, yang mengakibatkan masuknya sel inflamasi seperti neutrophil dan limfosit ke dalam mukosa saluran pencernaan. Infiltrasi sel tersebut dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan mikrobiota saluran pencernaan (Villapol, 2020).

Penelitian mengungkapkan alterasi jumlah mikrobiota saluran pencernaan seperti C. hathewayi, B. nordii, A. viscosus dapat dipengaruhi oleh infeksi SARS-CoV-2. Jumlah mikrobiota C. hathewayi yang tinggi telah dikaitkan dengan tingkat keparahan COVID-19 yang berat. Mayoritas dari mikrobiota tersebut telah diasosiasikan dengan bakteremia, yang mengindikasikan kerentanan terhadap COVID-19 berat kemungkinan diakibatkan oleh infeksi bakteri sekunder (Zuo et al., 2020).

3.    Gambaran Umum Polifenol

Polifenol adalah metabolit sekunder terbanyak yang dapat ditemukan dalam makanan sumber nabati. Banyak literatur menunjukkan efek menguntungkan dari polifenol terhadap kesehatan manusia terutama pada individu dengan pola diet kaya akan buah dan sayuran, meskipun tidak termasuk dalam mikronutrien esensial (Chiva-Blanch & Badimon, 2017). Secara umum, polifenol memiliki struktur dasar berupa cincin karbon fenol namun memiliki struktur yang berbeda untuk setiap jenis molekulnya. Hingga saat ini, lebih dari 500 molekul polifenol berbeda telah ditemukan dalam makanan. Berdasarkan struktur kimianya, polifenol dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar: flavonoid dan non flavonoid, dengan sub kelompok berikutnya seperti yang digambarkan pada Gambar 2 (Seid et al., 2022).


 

 

Gambar 2

Ilustrasi Struktur Kimia Dari Kelompok Utama Polifenol

 


Secara garis besar, polifenol yang terbagi dalam kelompok flavonoid yaitu seperti� sub-kelompok catechin, quercetin, and kaempferol. Catechin berasal dari berbagai tumbuhan seperti teh, kakao, broad beans, apel dan lain-lain. Sementara bawang dan apel adalah sumber alami untuk flavonoids quercetin (Williamson, 2017). Kelompok flavanoids kaempferol dapat ditemukan pada sayur bayam, selada dan beberapa tanaman herbal seperti daun kucai, adas sowa, dan tarragon (Dabeek & Marra, 2019).

Kelompok non-flavonoids yang paling umum dibahas adalah sub-kelompok phenolic acids khususnya hydroxycinnamic acids. Beberapa contoh sumber yang paling umum untuk kelompok non-flavonoids hydoxycinnamic acids yaitu tanaman kopi, buah pir dan juga buah plum (Williamson, 2017). Selain itu resveratrol pada sub-kelompok stilbenes termasuk ke dalam kelas non-flavonoids yang berasal dari akar Veratrum grandiflorum O dan akar Polygonum cuspidatum. Resveratrol juga terkandung dalam kacang tanah, anggur dan beri (Cione et al., 2020).

Pada awalnya, polifenol hanya memiliki manfaat yang terbatas bagi tumbuhan itu sendiri yaitu untuk menghindari organisme yang mengganggu tumbuhan tersebut serta menghasilkan warna tertentu untuk menarik perhatian serangga agar mendekat. Selanjutnya penelitian tentang polifenol berkembang dan dikenal sebagai obat yang melindungi sel-sel dari kerusakan akibat radikal bebas secara umum (Williamson, 2017). Beberapa enzim yang dihambat oleh kelompok flavonoid karena berpartisipasi dalam pembentukan radikal bebas misalnya glutathione S-transferase, mikrosomal monooksigenase, suksinoksidase mitokondria, NADH oksidase, dan xanthine oksidase. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa gaya hidup aktif yang diikuti dengan diet sehat yang kaya akan buah-buahan dan sayuran seperti sumber bahan polifenol serta makanan non-olahan dan rendah gula dapat mencegah penyakit inflamasi. Beberapa flavonoid, seperti flavonol (misalnya quercetin, rutin, dan morin), flavanon (misalnya hesperetin dan hesperidin), flavanol (misalnya catechin), isoflavon (misalnya genisten), dan antosianin (misalnya cyanidin) telah terbukti menunjukkan fungsi anti-inflamasi selama percobaan in vitro dan in vivo dan dalam studi klinis. Proses inflamasi yang berkepanjangan berkontribusi pada perkembangan beberapa gangguan kronis atau degeneratif seperti kanker, diabetes, penyakit kardiovaskular, dan obesitas. Secara tidak langsung polifenol juga mampu mengatasi beberapa penyakit kronik tersebut. Flavonoid sebagai anti kanker dengan menonaktifkan karsinogen, menginduksi apoptosis, memicu penghentian siklus sel, dan menghambat angiogenesis. Flavonoid isorhamnetin dan acacetin dapat menghambat proliferasi kanker payudara. Kaempferol memiliki aktivitas antiproliferatif dan apoptosis pada osteosarcoma (Pinto et al., 2021)

Bahan-bahan makanan polifenol bersifat kardio protektor. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan flavanoid dan non flavanoid yaitu resveratrol yang dapat menghambat penguraian kolestrol oleh makrofag sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan kesehatan vaskular dan mengurangi aktivitas platelet yang berlebihan. Sebagian senyawa polifenol pada sub-kelompok antosianin berkaitan dengan pencegahan terhadap penyakit diabetes melitus tipe 2 melalui perlindungan sel beta dari glukotoksisitas serta memperlambat pencernaan glukosa yang mengarah pada kontrol glikemik yang lebih baik. Sementara polifenol seperti katekin, resveratrol, dan kurkumin dikaitkan dengan efek anti-obesogenik yang bekerja melalui oksidasi adiposit, penghambatan lipogenesis, dan peningkatan pengeluaran energi yang mengarah pada peningkatan penurunan berat badan (Cory et al., 2018)

Flavonoid dapat memblokir pengikatan dan penetrasi virus ke dalam sel, mengganggu replikasi atau translasi virus, dan mencegah pelepasan virus. Misalnya, apigenin terbukti aktif melawan beberapa virus DNA dan RNA, virus herpes simpleks tipe 1 dan 2, virus hepatitis C dan B. Baicalein dapat mengganggu replikasi virus flu burung H5N1 pada manusia dan luteolin dapat memiliki efek antivirus pada reaktivasi HIV-1. Epigallocatechin gallate memberikan efek antivirus pada beberapa langkah siklus hidup HIV-1. Genistein dapat menghambat infeksi HIV pada sel T CD4 dan makrofag dengan mengganggu dinamika aktin yang dimediasi HIV. Kaempferol juga dapat menghambat replikasi HIV di sel target dan memblokir virus herpes simpleks tipe 1 dan 2 dengan menempel dan memasuki sel inang (Handayani et al., 2020)

4.    Implikasi Polifenol terhadap COVID-19

Implikasi polifenol terhadap COVID-19 dapat ditinjau dari beberapa aspek, salah satunya melalui mekanisme inhibisi masuknya virus (cell entry) dan proses replikasi virus di dalam sel. Studi dengan molecular docking pada penelitian yang dilakukan oleh � telah mengidentifikasi tiga polifenol, yaitu RdRp-cyanidin 3-O-rutinoside, RdRp-petundin 3,5-O-diglucoside, dan RdRp-delphinidin 3-O-rutinoside yang sebagai produk natural menunjukkan ikatan energi yang lebih baik daripada remdesivir dalam menginhibisi RdRp pada SARS-CoV 2. Prediksi ketiga polifenol berdasarkan mekanisme absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi (ADME) dan dinilai bioavailabilitasnya untuk menjadi obat oral (drug-likeness) secara kualitatif, didapatkan bahwa ketiga bahan polifenol tersebut dapat dipertimbangkan sebagai kandidat obat yang layak untuk penelitian lebih lanjut (Liu et al., 2021).

Efek proteolitik pada SARS-CoV 2 dalam proses replikasi dapat dihambat dengan inhibisi pada PLpro atau Mpro. Inhibisi PLpro menurunkan efek sitopatogenik dan replikasi SARS-CoV-2 dengan menjaga respon interferon antivirus pada in vitro. Mpro yang teridentifikasi sebagai protease sistein Cys-His katalitik dyad (His 41 dan Cys145 memiliki peran vital pada proses polyprotein dan pematangan virus sehingga ini menjadi penting untuk target antivirus melawan SARS-COV-2 dan pada manusia tidak ada homolog mpro maupun PLpro sehingga ini menjadi target antivirus yang ideal. Polifenol dapat menghambat secara kompetitif serin protease 3CLpro/Mpro SARS-CoV dan penghambatan non-kompetitif pada protease sistein SARS-CoV PLpro. Makanan yang mengandung flavonoid seperti kaempferol dan isoliquiritigenin juga memiliki efek sinergis dalam menghambat 3CLpro dan PLpro secara in vitro (Paraiso et al., 2020).

Katesin/polifenol dalam teh hijau terutama EGCG, ECG, dan GCG dapat menjadi kandidat obat anti COVID-19 yang poten melalui inhibisi Mpro yang dapat mencegah virus menginfeksi sel lain dan penyebaran virus dengan cara berikatan pada hemaglutinin virus untuk mencegah pengikatan virus dengan reseptor sel target dan mengubah envelope pada virus (Ghosh et al., 2020); (Tallei et al., 2021). Pada studi yang mempelajari tiga polifenol, yaitu mangiferin, glucogallin, dan phlorizin, dilaporkan bahwa ketiganya berpotensi dengan aman digunakan sebagai penghambat protease yang bekerja pada TMPRSS2 dan protease utama SARS-CoV-2 (Mpro) untuk mencegah priming protein spike dan modifikasi post-translasi. Phlorizin memiliki afinitas terbaik dengan TMPRSS2 (Rastogi et al., 2018).

Senyawa fenolik dapat mengurangi manifestasi COVID-19 dengan efek antivirus, antioksidan, imunomodulator, dan antiinflamasi. Konsentrasi tinggi senyawa fenolik di saluran pencernaan dapat menimbulkan efek antivirus dan antioksidan secara langsung untuk mengaktivasi jalur metabolisme dan pensinyalan dalam memperkuat antioksidan inang dan respon imun terhadap SARS-CoV-2. Fitokimia bioaktif polifenol dapat menjadi alat yang menjanjikan untuk pengobatan COVID-19 dalam mengurangi hiperaktivasi sitokin TNF-alfa, IL-1B, IL-6, dan IL-8 (Rumkabu et al., 2019).

Polifenol juga memiliki kapasitas untuk memodulasi ekspresi dari miRNAs. miRNA dapat berinteraksi dengan RNA virus di sitoplasma untuk mendegradasi RNA virus dan/atau mencegah�� replikasi virus dan sebagai mediator antivirus. Teridentifikasi 600 miRNA pada pneumosit/sel endotel paru yang dapat berikatan dengan RNA virus dan 125 di antaranya dapat dimodulasi oleh polifenol. miRNA ini teridentifikasi memiliki kemampuan antivirus serta meregulasi replikasi virus, apoptosis, dan infeksi virus. Selain itu, kurkumin disarankan menjadi pilihan pengobatan yang potensial pada pasien dengan COVID-19 karena efeknya dalan menghambat ACE2 dan menekan masuknya SARS-CoV 2 ke dalam sel. Pada studi molecular docking, kurkumin menunjukkan efek inhibisi protein S dari SARS-CoV 2 pada reseptor ACE2 dan penurunan replikasi dengan menurunkan ketersediaan protein S. Senyawa resveratrol juga memiliki peran serupa yaitu berikatan pada kompleks protein virus dengan reseptor ACE2, serta mengganggu kerja protein S virus, menurunkan ekspresi protein N pada SARS-CoV-2 dan menurunkan apoptosis sel (Limanaqi et al., 2020).

Resveratrol menempati posisi pertama dengan afinitas terbaik pada kompleks ACE2 reseptor dan spike protein pada SARS-COV2 melalui simulasi molecular docking sehingga dapat berperan dalam langkah awal mencegah kompleks protein spike SARS-CoV-2 dengan reseptor ACE2 maupun dengan penurunan regulasi reseptor angiotensin II. Beberapa penelitian menunjukkan resveratrol dapat bermanfaat dengan menurunkan regulasi ACE2 dan melawan peningkatan Ang II (Wahedi et al., 2021).

Efek Resveratrol sebagai salah satu senyawa polifenol mampu memicu proses autofagi yang dapat memberikan efek antiinflamasi, antioksidan, dan anti-apoptosis terhadap inflamasi akibat inflamasi endotel vaskuler, agregasi platelet, infeksi bakteri, sepsis, trombosis paru, hipertensi, dan artritis. Induksi proses autofagi tersebut berkaitan dengan penurunan aktivasi immunoproteasome dan peran Nrf2 dalam mitofagi yang merupakan proses penghapusan selektif mitokondria disfungsional oleh autofagi, biogenesis mitokondria, perlindungan dari stress oksidatif, apoptosis, penurunan regulasi jalur HMGB1/TLR4/MyD88/NF-Kb, inflammasome NLRP3, dan produksi sitokin pro-inflamasi. Resveratrol meningkatkan peran autofagi dengan mengaktivasi AMPK/SIRT1 atau TFEB, menghambat PI3K/AKT/mTORC1/2, dan menginduksi protein pada autofagi seperti LC3II, BECN1, Rab7, dan ATG16L. Selain itu, pemberian Resveratrol akan meningkatkan potensiasi autophagy flux, yang dibuktikan dengan adanya peningkatan bersihan pada substrat autofagi-lisosom termasuk p62 dan patogen intraseluler saat dilakukan pemberian inhibitor autofagi-lisosom (Limanaqi et al., 2020).

Quercetin merupakan senyawa polifenol lain yang berperan krusial dalam mengurangi risiko keparahan dan letalitas COVID-19 (Qin et al., 2017). Studi mengungkapkan suplementasi Quercetin dapat menurunkan risiko infeksi pernapasan dan berpotensi menjadi terapi sebagai imunomodulator pada disregulasi respons imun oleh SARS-CoV-2 (La Rosa et al., 2021). Studi tersebut juga didukung oleh bukti penelitian mengenai efektivitas quercetin dengan vitamin C sebagai profilaksis dan terapi COVID-19 (Colunga Biancatelli et al., 2020).

Dalam sebuah studi, Fortunellin (acacetin 7-O-neohesperidoside) yang didapatkan dari buah kumquat (citrus japonica var. margarita), menjadi komponen antivirus baru atau suplementasi makanan untuk melawan COVID-19 (Ding & Lou, 2011). Selain itu, fortunellin juga berpotensi menjadi penghambat natural pada dimerisasi 3CL-Pro dengan tingkat afinitas pengikatan yang tinggi dan berinteraksi kuat dengan asam amino 3CL-Pro pada proses dimerisasi SARS-CoV-2 (Panagiotopoulos et al., 2021).

Polifenol juga memiliki pengaruh terhadap respons imun dan inflamasi pada saluran pencernaan dengan mengatur ekologi dan homeostasis mikrobiota. Metabolisme polifenol pada saluran pencernaan akan menghasilkan efek prebiotik yang dapat mempengaruhi mikrobiota usus serta mengurangi komplikasi saluran pencernaan yang terjadi akibat COVID-19 (Augusti et al., 2021). Dalam menangani manifestasi tersebut, Resveratrol sebagai salah satu senyawa polifenol dapat meringankan gejala diare dengan menghambat kanal Cl- yang teraktivasi oleh Ca2+ pada sel epitel saluran pencernaan. Proses tersebut akan memberikan efek anti-sekresi dan anti-motilitas yang bersifat protektif bagi tubuh (Goh et al., 2019).

5.    Polifenol potensial untuk profilaksis dan terapi COVID-19

Sejumlah besar senyawa yang berasal dari tumbuhan sedang diselidiki untuk potensi efek terapeutik terhadap SARS-CoV 2, termasuk polifenol. Banyak laporan berdasarkan analisis molecular docking menyarankan potensi kapasitas berbagai jenis polifenol, seperti kurkumin, kaempferol, katekin, naringenin, quercetin atau hesperidin, rutin, dan diosmin untuk menghambat aktivitas protease utama SARS-CoV 2, dan terjadinya replikasi virus (Adem et al., 2020). Sebuah studi juga melaporkan aktivitas antivirus dua polifenol, epigallocatechin-3-gallate (EGCG) dari teh hijau dan theaflavin (TF) dari teh hitam dengan menghambat pengikatan protein virus dengan sel inang (Mhatre et al., 2021).

Konsumsi polifenol di seluruh dunia berbeda antar negara. Misalnya, asupan polifenol rata-rata orang dewasa adalah sekitar 283-1000 mg/hari di Prancis, 500-1100mg/hari di Spanyol, sekitar 700 mg/hari di Italia, 890 mg/hari di Finlandia, 534 mg/hari di Brasil, dan sekitar 1500 mg/hari di Jepang, sedangkan total asupan flavonoid sekitar 190mg/hari di Inggris dan Irlandia, sekitar 240-350 mg/hari di Amerika Serikat, sekitar 450 mg/hari di Australia, antara 50 dan 500 mg/hari di Cina, dan sekitar 320 mg/hari di Korea Selatan (Chiva-Blanch & Badimon, 2017). Selain itu, terdapat variabilitas besar dalam asupan polifenol pada setiap negara tergantung pada jenis diet yang dikonsumsi. Vegetarian dan vegan memiliki asupan polifenol yang lebih tinggi dibanding populasi lainnya karena polifenol berasal dari tumbuhan. Namun, pada beberapa area seperti di Amerika Serikat dan Kanada, jumlah asupan polifenol total lebih dipengaruhi konsumsi kopi dan teh daripada pola diet itu sendiri (Burkholder-Cooley et al., 2016).

Sumber utama polifenol dalam makanan dapat ditemukan dalam berbagai jenis bahan pangan, antara lain kopi, teh, kokoa, kacang kedelai, minyak zaitun, minyak wijen, anggur, buah delima, kumquat dan bawang merah. Namun, faktor seperti variabilitas musiman, kondisi geografis, tingkat kematangan pada saat panen, sistem penyimpanan sebelum dikonsumsi, dan sumber yang terbatas mengenai komposisi polifenol dari basis data bahan makanan dapat mempengaruhi komposisi polifenol dalam bahan makanan sumber dan tentunya akan menimbulkan bias pelaporan tersendiri. Selain itu, polifenol biasanya tidak terdistribusi secara homogen di dalam bahan makanan melainkan terkonsentrasi pada lapisan luar atau kulit, sehingga, proses mengupas atau mengolah makanan secara substansial dapat menurunkan kandungan polifenolnya. Selain itu, proses memasak makanan dapat mengakibatkan hilangnya atau bahkan bertambahnya kandungan polifenol pada makanan (Chiva-Blanch & Badimon, 2017).

Berikut adalah beberapa bahan makanan mengandung senyawa polifenol yang paling disorot dalam literatur terbaru dan sifat perseptif antivirus spesifiknya dalam meningkatkan imunitas tubuh terhadap COVID-19 serta penyakit menular akibat virus lainnya.

a.     Buah Delima

Buah delima (Punica granatum L.) banyak diproduksi oleh negara-negara Mediterania, termasuk Tunisia, Turki, Mesir, Spanyol, Maroko, dan Italia. Buah ini kaya akan senyawa polifenol, seperti ellagitannin (ET), asam galat (GA), punicalagin (PC), asam ellagic (EA) dan turunan glikosilasinya, serta antosianin. Kulit dari buah delima memiliki kandungan serat makanan dan polifenol total yang lebih tinggi, serta kapasitas antioksidan yang lebih kuat daripada daging buah itu sendiri, menurut sebuah studi yang dilakukan sebelumnya. Konsentrasi polifenol dalam ekstrak buah delima didominasi oleh ellagitannin, kemudian diikuti oleh punicalagin yang mewakili 38,9% dari total konsentrasi polifenol yang terdeteksi dalam ekstrak dan anomernya, yakni pedunculagin dan punicalin yang masing-masing mewakili 16,7% dan 13,2% dari total polifenol. Jumlah asam ellagic dan asam galat mewakili 3,9% dari total polifenol (Kurilshikov et al., 2021).

Sebuah studi menyatakan bahwa polifenol yang terkandung dalam ekstrak etanol yang berasal dari kulit buah delima menghambat interaksi antara protein Spike dan ACE2, serta mengurangi aktivitas 3CL protease virus secara in vitro yang berpotensi menyarankan penggunaan ekstrak kulit buah delima sebagai adjuvant dalam pengobatan terhadap infeksi SARS-CoV-2. Senyawa polifenol yang diyakini paling efektif dalam ekstrak kulit buah delima adalah dua senyawa yang paling berlimpah sebagaimana didukung oleh analisis molecular docking dan hasil penelitian lain, yaitu punicalagin dan ellagitannin yang diduga bekerja melalui mekanisme interaksi kimia gugus hidroksil dan galoil dalam molekulnya dengan residu asam amino di situs aktif target protein SARS-CoV-2 atau sel manusia. Efek penghambatan pada pengikatan protein Spike atau ACE2 dikonfirmasi oleh eksperimen dengan lentivirus pseudotyped, yang masuknya ke dalam sel manusia bergantung pada protein spike. Penghambatan ini juga dikaitkan dengan penurunan regulasi ekspresi gen ACE2 dan protease TMPRSS2 yang terlibat dalam spike priming (Reed, 1999). Selain itu, terdapat laporan bahwa ekstrak kulit buah delima memiliki aktivitas inhibitor terhadap 3CL protease hingga 80%, yang dimana angka ini cukup untuk membuktikan peran biologisnya dalam mengurangi pengikatan dan internalisasi virus corona terhadap sel inang.

b.    Teh

Tanaman teh (Camellia sinensis) merupakan salah satu bahan makanan yang kaya akan kandungan polifenol. Dua polifenol yang berasal dari teh, epigallocatechin-3-gallate (EGCG) dari teh hijau dan theaflavin (TF) dari teh hitam telah dilaporkan menunjukkan aktivitas antivirus terhadap berbagai virus, terutama virus RNA untai tunggal sense-positif.

Epigallocatechin gallate (EGCG) adalah polifenol yang paling banyak ditemukan terutama dalam teh hijau. EGCG sendiri telah diuji untuk aktivitas antivirusnya terhadap beberapa virus dan ditemukan menjadi pilihan pengobatan potensial atas obat kimia sintetis (Chojnacka, Witek-Krowiak, Skrzypczak, Mikula, & Młynarz, 2020), serta diakui sebagai molekul bioaktif multifungsi yang menunjukkan sifat antitumor, antiinflamasi, antibakteri, antioksidan dan antiproliferatif.

Theaflavin (TF) adalah kelas polifenol lain yang ditemukan berlimpah dalam teh hitam. Turunan TF yang banyak ditemukan dalam teh hitam adalah theaflavin (TF1), theaflavin-3-gallate (TF2A), theaflavin-3-gallate (TF2B), dan theaflavin-3,3-digallate (TF3). TF dikenal karena sifat biologis spektrum luasnya, seperti sifat antitumor, antivirus, antiinflamasi, antioksidan, dan antibakteri. Efek inhibisi EGCG dan TF terhadap infeksi SARS-CoV terjadi melalui beberapa mekanisme, antara lain penghambatan 3CLpro (protease mirip Chymotrypsin) oleh EGCG dan TF, penghambatan RDRP (RNA tergantung RNA polimerase) oleh TF, penghambatan spike RBD (domain pengikatan reseptor) oleh TF, penghambatan protein struktural virus (terutama 6vw1) oleh ECGC, penghambatan M protease oleh TF bersama dengan antioksidan, penghambatan pengikatan terhadap reseptor ACE2 oleh TF3 dan penghambatan glukosa yang diatur protein-78 (GRP78) oleh ECGC. Ilustrasi mekanisme penghambatan ini dijelaskan dalam Gambar 3.


 

Gambar 3

Peran Polifenol Dalam Teh Pada COVID-19

 


c.     Kumquat

���� Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap buah kumquat (Fortunella sp.) mengidentifikasi β-cryptoxanthin (BCX) sebagai komponen bioaktif dengan efek pengaktifan sel NK dan limonene (LMN) yang memediasi tidak hanya efek antistres tetapi juga aktivasi sel NK melalui pemberian oral (Terao et al., 2019). LMN adalah monoterpen siklik yang menyusun sekitar 98% kandungan minyak esensial dalam kulit, daun, dan bunga dari banyak keluarga tanaman jeruk, termasuk jeruk mandarin, lemon, jeruk bali dan limau (Sutrisno et al., 2009). LMN diyakini memiliki banyak efek terapeutik, termasuk antiinflamasi, antioksidan, antivirus, imunomodulator, antikanker, antidiabetik, analgesik, kardioprotektif, neuroprotektif, hepatoprotektif dan gastroprotektif. Dalam konteks COVID-19, LMN diyakini berperan sebagai imunomodulator, agen antiinflamasi dan agen antivirus, terutama dalam mekanisme infeksi SARS-CoV 2 pada manusia. LMN juga dilaporkan dapat menghambat sitokin proinflamasi, mediator inflamasi seperti iNOS dan COX-2, dan produksi NO dan prostaglandin E2, serta mengurangi aktivitas CD18 pada limfosit manusia (Amini et al., 2020). Selanjutnya, LMN mengaktifkan persinyalan peroxisome proliferator-activated receptor (PPAR) dan menghambat persinyalan beta liver X receptor (LXR). Agonis PPAR-α menunjukkan modulasi metabolisme lipid yang menguntungkan dengan meningkatkan kemampuan reseptor inti hormon, seperti PPAR-α dan estrogen-related receptor alpha (ERR-α), untuk mendorong transkripsi enzim oksidasi asam lemak dengan meningkatkan kadar peroxisome proliferator-activated receptor-gamma coactivator 1α (PGC-1). Secara keseluruhan, peran LMN sebagai agonis PPAR-α tampaknya menjanjikan untuk mengatur metabolisme lipid, bersama dengan peran regulasi lainnya pada proliferasi dan diferensiasi sel, homeostasis vaskular dan aterosklerosis, sistem imunitas, dan proses inflamasi. Dengan demikian, LMN dapat diperhitungkan sebagai kandidat yang kuat sebagai modulator inflamasi yang sering ditemukan pada kasus COVID-19 (Lone & Yun, 2016).

Penghambatan replikasi virus melalui tindakan langsung pada virus adalah strategi utama aktivitas antivirus LMN. LMN dilaporkan menunjukkan aktivitas antivirus terhadap HSV-1 strain KOS menggunakan sel RC-37 dengan mengurangi infektivitasnya hingga 100% melalui penghambatan replikasi pada fase awal infeksi, dengan cara yang bervariasi tergantung pada dosis. Sebuah studi menyatakan bahwa LMN memiliki aktivitas antivirus yang sebanding dengan asiklovir .

d.    Minyak zaitun

Pohon zaitun (Olea europaea) merupakan sumber yang kaya dari senyawa polifenol. Zaitun baik dikonsumsi sebagai buah zaitun ataupun ekstrak minyak zaitun. Minyak, buah, dan daun zaitun memiliki signifikansi secara farmakologis dan sedang diteliti secara luas untuk dieksplorasi sebagai makanan fungsional karena kandungan fenolik, terpen, dan komponen bioaktif lainnya yang terdapat dalam tanaman ini. Berdasarkan cara produksinya, minyak zaitun dikategorikan menjadi minyak zaitun murni (virgin olive oil), minyak zaitun pomace (olive pomace oil), minyak zaitun lampante (lampante olive oil), atau minyak zaitun olahan (refined olive oil) (Desai, 2020).

Minyak zaitun kaya akan berbagai senyawa bioaktif seperti asam oleanolic, oleuropein, oleocanthal, dan hydroxytyrosol yang dikenal karena sifat antiinflamasi serta kardioprotektifnya. Sebuah studi in silico baru-baru ini menunjukkan bahwa senyawa fitokimia yang ada dalam minyak zaitun adalah kandidat potensial untuk bertindak melawan SARS-CoV-2, didukung oleh studi lainnya yaitu analisis molecular docking senyawa polifenol dalam zaitun. Dalam studi tersebut, dilaporkan oleuropein, asam oleanolic, dan asam maslinat menunjukkan afinitas tertinggi terhadap Mpro dan 3CLpro dari SARS-CoV-2 yang pada dasarnya diperlukan untuk replikasi virus sehingga diyakini sebagai obat masa depan yang menjanjikan untuk melawan COVID-19. Terlepas dari sifat antivirusnya, senyawa-senyawa bioaktif ini terbukti dapat memodulasi berbagai jalur pensinyalan dan oleh karenanya memiliki berbagai sifat menguntungkan seperti antiinflamasi, antimodulasi, antitrombotik, antioksidan. Selain itu, bukti lainnya mengemukakan bahwa mereka dapat mengendalikan badai sitokin yang diamati selama berbagai infeksi virus dan penyakit lainnya, termasuk COVID-19 (Musfirah & Nurlinda, 2021).

 

 

 

Kesimpulan

Tinjauan pustaka ini menyajikan wawasan singkat dari berbagai sumber yang baru-baru ini diterbitkan mengenai peran polifenol dan potensi manfaatnya sebagai profilaksis dan terapi dalam penanganan COVID-19. Efek benefisial dari polifenol terhadap COVID-19 disebabkan oleh berbagai mekanisme. Polifenol dapat mengoptimalkan mekanisme antiinflamasi dan antioksidan tubuh terhadap infeksi virus. Pendekatan antivirus lainnya dilakukan melalui pencegahan masuknya virus serta menghalangi replikasi dan penyebaran virus di sel inang dengan menargetkan protein virus dan/atau memblokir reseptor seluler.

Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan konsumsi polifenol dalam jumlah tinggi aman untuk sebagian besar populasi, namun belum terdapat bukti yang relevan mengenai pemberian polifenol sebagai profilaksis dan terapi tambahan untuk pasien COVID-19 yang sedang hamil. Terdapat anjuran pembatasan konsumsi makanan dan suplemen kaya polifenol selama trimester ketiga kehamilan karena berhubungan dengan penyempitan duktus di jantung janin, menurut sebuah literatur.

Oleh karena itu, kemungkinan terjadinya toksisitas selama konsumsi polifenol harus dipertimbangkan sebelum melaporkan pernyataan akhir mengenai penggunaan klinis polifenol. Di sisi lain, berangkat dari fakta bahwa polifenol memiliki tingkat toksisitas tertentu, maka perlu diteliti lebih lanjut mengenai interaksi polifenol dengan obat yang digunakan dalam penanganan COVID-19, kemudian dilanjutkan uji klinis pada manusia untuk menentukan keamanan penggunaannya pada manusia.

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Adem, S., Eyupoglu, V., Sarfraz, I., Rasul, A., & Ali, M. (2020). Identification Of Potent Covid-19 Main Protease (Mpro) Inhibitors From Natural Polyphenols: An In Silico Strategy Unveils A Hope Against Corona. Google Scholar

 

Aktas, E., Phung, N., K�bler, H., Gonz�lez, D. A., M�ndez, M., Kafedjiska, I., Turren-Cruz, S.-H., Wenisch, R., Lauermann, I., & Abate, A. (2021). Understanding The Perovskite/Self-Assembled Selective Contact Interface For Ultra-Stable And Highly Efficient P�I�N Perovskite Solar Cells. Energy & Environmental Science, 14(7), 3976�3985. Google Scholar

 

Amini, R., Asle-Rousta, M., & Aghazadeh, S. (2020). Hepatoprotective Effect Of Limonene Against Chronic Immobilization Induced Liver Damage In Rats. Naunyn-Schmiedeberg�s Archives Of Pharmacology, 393(11), 2053�2059. Google Scholar

 

Annunziata, G., Sanduzzi Zamparelli, M., Santoro, C., Ciampaglia, R., Stornaiuolo, M., Tenore, G. C., Sanduzzi, A., & Novellino, E. (2020). May Polyphenols Have A Role Against Coronavirus Infection? An Overview Of In Vitro Evidence. Frontiers In Medicine, 7, 240. Google Scholar

 

Artika, I. M., Dewantari, A. K., & Wiyatno, A. (2020). Molecular Biology Of Coronaviruses: Current Knowledge. Heliyon, 6(8), E04743. Google Scholar

 

Augusti, P. R., Conterato, G. M. M., Denardin, C. C., Prazeres, I. D., Serra, A. T., Bronze, M. R., & Emanuelli, T. (2021). Bioactivity, Bioavailability, And Gut Microbiota Transformations Of Dietary Phenolic Compounds: Implications For Covid-19. The Journal Of Nutritional Biochemistry, 97, 108787. Google Scholar

 

Boligon, A. A., Machado, M. M., & Athayde, M. L. (2014). Technical Evaluation Of Antioxidant Activity. Med Chem, 4(7), 517�522. Google Scholar

 

Burkholder-Cooley, N., Rajaram, S., Haddad, E., Fraser, G. E., & Jaceldo-Siegl, K. (2016). Comparison Of Polyphenol Intakes According To Distinct Dietary Patterns And Food Sources In The Adventist Health Study-2 Cohort. British Journal Of Nutrition, 115(12), 2162�2169. Google Scholar

 

Chiva-Blanch, G., & Badimon, L. (2017). Effects Of Polyphenol Intake On Metabolic Syndrome: Current Evidences From Human Trials. Oxidative Medicine And Cellular Longevity, 2017. Google Scholar

 

Cione, E., La Torre, C., Cannataro, R., Caroleo, M. C., Plastina, P., & Gallelli, L. (2020). Quercetin, Epigallocatechin Gallate, Curcumin, And Resveratrol: From Dietary Sources To Human Microrna Modulation. Molecules, 25(1), 63. Google Scholar

 

Colunga Biancatelli, R. M. L., Berrill, M., Catravas, J. D., & Marik, P. E. (2020). Quercetin And Vitamin C: An Experimental, Synergistic Therapy For The Prevention And Treatment Of Sars-Cov-2 Related Disease (Covid-19). Frontiers In Immunology, 11, 1451. Google Scholar

 

Cory, H., Passarelli, S., Szeto, J., Tamez, M., & Mattei, J. (2018). The Role Of Polyphenols In Human Health And Food Systems: A Mini-Review. Frontiers In Nutrition, 5, 87. Google Scholar

 

Dabeek, W. M., & Marra, M. V. (2019). Dietary Quercetin And Kaempferol: Bioavailability And Potential Cardiovascular-Related Bioactivity In Humans. Nutrients, 11(10), 2288. Google Scholar

 

 

Ding, S., & Lou, X. W. D. (2011). Sno 2 Nanosheet Hollow Spheres With Improved Lithium Storage Capabilities. Nanoscale, 3(9), 3586�3588. Google Scholar

 

ElMissiry, M. A., Fekri, A., Kesar, L. A., & Othman, A. I. (2021). Polyphenols Are Potential Nutritional Adjuvants For Targeting Covid19. Phytotherapy Research, 35(6), 2879�2889. Google Scholar

 

Ghosh, R., Chakraborty, A., Biswas, A., & Chowdhuri, S. (2020). Computer Aided Identification Of Potential Sars Cov-2 Main Protease Inhibitors From Diterpenoids And Biflavonoids Of Torreya Nucifera Leaves. Journal Of Biomolecular Structure And Dynamics, 1�16. Google Scholar

 

Giovinazzo, G., Gerardi, C., Uberti-Foppa, C., & Lopalco, L. (2020). Can Natural Polyphenols Help In Reducing Cytokine Storm In Covid-19 Patients? Molecules, 25(24), 5888. Google Scholar

 

Gligorijević, V., Renfrew, P. D., Kosciolek, T., Leman, J. K., Berenberg, D., Vatanen, T., Chandler, C., Taylor, B. C., Fisk, I. M., & Vlamakis, H. (2021). Structure-Based Protein Function Prediction Using Graph Convolutional Networks. Nature Communications, 12(1), 1�14. Google Scholar

 

Goh, B. H. H., Ong, H. C., Cheah, M. Y., Chen, W.-H., Yu, K. L., & Mahlia, T. M. I. (2019). Sustainability Of Direct Biodiesel Synthesis From Microalgae Biomass: A Critical Review. Renewable And Sustainable Energy Reviews, 107, 59�74. Google Scholar

 

Handayani, D., Hadi, D. R., Isbaniah, F., Burhan, E., & Agustin, H. (2020). Corona Virus Disease 2019. Jurnal Respirologi Indonesia, 40(2), 119�129. Google Scholar

 

 

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Pertanyaan Dan Jawaban Terkait Coronavirus Disease 2019 ( Covid-19 ). World Health Organization, 2019, 1�13. Google Scholar

 

Khade, S. M., Yabaji, S. M., & Srivastava, J. (2021). An Update On Covid-19: Sars-Cov-2 Life Cycle, Immunopathology, And Bcg Vaccination. Preparative Biochemistry & Biotechnology, 51(7), 650�658. Google Scholar

 

Kurilshikov, A., Medina-Gomez, C., Bacigalupe, R., Radjabzadeh, D., Wang, J., Demirkan, A., Le Roy, C. I., Raygoza Garay, J. A., Finnicum, C. T., & Liu, X. (2021). Large-Scale Association Analyses Identify Host Factors Influencing Human Gut Microbiome Composition. Nature Genetics, 53(2), 156�165. Google Scholar

 

La Rosa, F., Bernini, F., & Terzani, S. (2021). Does Corporate And Country Corruption Risk Affect Ceo Performance? A Study Of The Best-Performing Ceos Worldwide. European Management Journal. Google Scholar

 

Limanaqi, F., Biagioni, F., Gambardella, S., Familiari, P., Frati, A., & Fornai, F. (2020). Promiscuous Roles Of Autophagy And Proteasome In Neurodegenerative Proteinopathies. International Journal Of Molecular Sciences, 21(8), 3028. Google Scholar

 

Liu, C.-T., Liu, D.-H., Chen, C.-J., Wang, Y.-W., Wu, P.-S., & Horng, Y.-S. (2021). Effects Of Wrist Extension On Median Nerve And Flexor Tendon Excursions In Patients With Carpal Tunnel Syndrome: A Case Control Study. Bmc Musculoskeletal Disorders, 22(1), 1�11. Google Scholar

 

Lone, J., & Yun, J. W. (2016). Monoterpene Limonene Induces Brown Fat-Like Phenotype In 3t3-L1 White Adipocytes. Life Sciences, 153, 198�206. Google Scholar

 

Mani, J. S., Johnson, J. B., Steel, J. C., Broszczak, D. A., Neilsen, P. M., Walsh, K. B., & Naiker, M. (2020). Natural Product-Derived Phytochemicals As Potential Agents Against Coronaviruses: A Review. Virus Research, 284, 197989. Google Scholar

 

Meyerowitz, E. A., Richterman, A., Gandhi, R. T., & Sax, P. E. (2021). Transmission Of Sars-Cov-2: A Review Of Viral, Host, And Environmental Factors. Annals Of Internal Medicine, 174(1), 69�79. Google Scholar

 

Mhatre, S., Srivastava, T., Naik, S., & Patravale, V. (2021). Antiviral Activity Of Green Tea And Black Tea Polyphenols In Prophylaxis And Treatment Of Covid-19: A Review. Phytomedicine, 85, 153286. Google Scholar

 

Mulu, A., Gajaa, M., & Woldekidan, H. B. (2021). The Impact Of Curcumin Derived Polyphenols On The Structure And Flexibility Covid-19 Main Protease Binding Pocket: A Molecular Dynamics Simulation Study. Peerj, 9, E11590. Google Scholar

 

Musfirah, N., & Nurlinda, A. (2021). Evaluasi Kebijakan Surat Edaran No. 2776/Pb Pdgi/Iii-3/2020 Di Rumah Sakit Gigi Dan Mulut Dan Klinik Di Kota Makassar. Journal Of Muslim Community Health, 2(2), 112�120. Google Scholar

 

Pal, A., Kostinski, S., & Reuveni, S. (2022). The Inspection Paradox In Stochastic Resetting. Journal Of Physics A: Mathematical And Theoretical, 55(2), 21001. Google Scholar

 

Panagiotopoulos, A., Tseliou, M., Karakasiliotis, I., Kotzampasi, D., Daskalakis, V., Kesesidis, N., Notas, G., Lionis, C., Kampa, M., & Pirintsos, S. (2021). PCymene Impairs SarsCov2 And Influenza A (H1n1) Viral Replication: In Silico Predicted Interaction With SarsCov2 Nucleocapsid Protein And H1n1 Nucleoprotein. Pharmacology Research & Perspectives, 9(4), E00798. Google Scholar

 

Paraiso, I. L., Revel, J. S., & Stevens, J. F. (2020). Potential Use Of Polyphenols In The Battle Against Covid-19. Current Opinion In Food Science, 32, 149�155. Google Scholar

 

Piccolella, S., Crescente, G., Faramarzi, S., Formato, M., Pecoraro, M. T., & Pacifico, S. (2020). Polyphenols Vs. Coronaviruses: How Far Has Research Moved Forward? Molecules, 25(18), 4103. Google Scholar

 

Pinto, L. F. D., Nitsche, P. R., De Aguiar, M. A., Alves, D. S., & Da Silva Caldana, N. F. (2021). Estiagens Extremas Afetam A Agricultura No Estado Do Paran�, Brasil. Irriga, 1(2), 297�307. Google Scholar

 

Qin, Y., Li, W., Liu, D., Yuan, M., & Li, L. (2017). Development Of Active Packaging Film Made From Poly (Lactic Acid) Incorporated Essential Oil. Progress In Organic Coatings, 103, 76�82. Google Scholar

 

Rastogi, V., Singh, D., Tekiner, H., Ye, F., Kirchenko, N., Mazza, J. J., & Yale, S. H. (2018). Abdominal Physical Signs And Medical Eponyms: Physical Examination Of Palpation Part 1, 1876�1907. Clinical Medicine & Research, 16(3�4), 83�91. Google Scholar

 

Reed, D. (1999). Stakeholder Management Theory: A Critical Theory Perspective. Business Ethics Quarterly, 9(3), 453�483. Google Scholar

 

Rumkabu, Y. L. H., Rochman, F., Wikananda, D. A. T. R., & Yuliatni, P. C. D. (2019). Gambaran Aspek Lingkungan Dan Perilaku Pencegahan Penularan Tuberkulosis Paru Pada Pasien Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Dawan I, Kabupaten Klungkung Tahun 2017. Tb-Hiv (Human Immunodeficiency Virus), 1, 2. Google Scholar

 

Sargazi, S., Hajinezhad, M. R., Barani, M., Rahdar, A., Shahraki, S., Karimi, P., Cucchiarini, M., Khatami, M., & Pandey, S. (2021). Synthesis, Characterization, Toxicity And Morphology Assessments Of Newly Prepared Microemulsion Systems For Delivery Of Valproic Acid. Journal Of Molecular Liquids, 338, 116625. Google Scholar

 

Seid, L., Lakhdari, D., Berkani, M., Belgherbi, O., Chouder, D., Vasseghian, Y., & Lakhdari, N. (2022). High-Efficiency Electrochemical Degradation Of Phenol In Aqueous Solutions Using Ni-Ppy And Cu-Ppy Composite Materials. Journal Of Hazardous Materials, 423, 126986. Google Scholar

 

Susilo, A., Rumende, C. M., Pitoyo, C. W., Santoso, W. D., Yulianti, M., Herikurniawan, H., Sinto, R., Singh, G., Nainggolan, L., Nelwan, E. J., Chen, L. K., Widhani, A., Wijaya, E., Wicaksana, B., Maksum, M., Annisa, F., Jasirwan, C. O. M., & Yunihastuti, E. (2020). Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 7(1), 45. Google Scholar

 

Sutrisno, A., Lu, C., Lipson, R. H., & Huang, Y. (2009). Combined 135/137ba Solid-State Nmr At An Ultrahigh Magnetic Field And Computational Study Of Β-Barium Borate. The Journal Of Physical Chemistry C, 113(50), 21196�21201. Google Scholar

 

Taddei, S., Virdis, A., Ghiadoni, L., Mattei, P., Sudano, I., Bernini, G., Pinto, S., & Salvetti, A. (1996). Menopause Is Associated With Endothelial Dysfunction In Women. Hypertension, 28(4), 576�582. Google Scholar

 

Tallei, T. E., Tumilaar, S. G., Lombogia, L. T., Adam, A. A., Sakib, S. A., Emran, T. B., & Idroes, R. (2021). Potential Of Betacyanin As Inhibitor Of Sars-Cov-2 Revealed By Molecular Docking Study. Iop Conference Series: Earth And Environmental Science, 711(1), 12028. Google Scholar

 

Valdez-Cruz, N. A., Garc�a-Hern�ndez, E., Espitia, C., Cobos-Mar�n, L., Altamirano, C., Bando-Campos, C. G., Cofas-Vargas, L. F., Coronado-Aceves, E. W., Gonz�lez-Hern�ndez, R. A., & Hern�ndez-Peralta, P. (2021). Integrative Overview Of Antibodies Against Sars-Cov-2 And Their Possible Applications In Covid-19 Prophylaxis And Treatment. Microbial Cell Factories, 20(1), 1�32. Google Scholar

 

Villapol, S. (2020). Gastrointestinal Symptoms Associated With Covid-19: Impact On The Gut Microbiome. Translational Research, 226, 57�69. Google Scholar

 

Wahedi, H. M., Ahmad, S., & Abbasi, S. W. (2021). Stilbene-Based Natural Compounds As Promising Drug Candidates Against Covid-19. Journal Of Biomolecular Structure And Dynamics, 39(9), 3225�3234. Google Scholar

 

Williamson, G. (2017). The Role Of Polyphenols In Modern Nutrition. Nutrition Bulletin, 42(3), 226�235. Google Scholar

 

Zuo, Y., Yalavarthi, S., Shi, H., Gockman, K., Zuo, M., Madison, J. A., Blair, C., Weber, A., Barnes, B. J., & Egeblad, M. (2020). Neutrophil Extracellular Traps In Covid-19. Jci Insight, 5(11). Google Scholar

 


Copyright holder:

Teddy Tjahyanto, Eldy, Clarissa Felicia, Karmenia Jessica Kurnia Niaga, Olivia Larissa (2022)

 

First publication right:

Jurnal Health Sains

 

This article is licensed under: