Jurnal Health Sains: p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398�����
Vol. 3, No. 2, Februari 2022
IMPLEMENTASI DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) NON FISIK KEFARMASIAN DI KABUPATEN PURWAKARTA TAHUN 2019
M Arief Jatmiko, Hermawan Saputra, Abdullah Antaria, Desrialita Faryanti�
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]
info artikel |
abstraK |
Diterima 5 Februari 2022 Direvisi 15 Februari 2022 Disetujui 25 Februari 2022 |
Dana Alokasi Khusus (DAK) Non Fisik Kefarmasian merupakan salah satu anggaran APBN yang diberikan kepada Kabupaten/Kota di bidang Kefarmasian dengan menu distribusi obat, vaksin, dan bahan medis habis pakai (BMHP) serta dukungan pemanfaatan sistem informasi atau aplikasi logistik obat dan BMHP secara elektronik sebagai upaya pemerintah dalam menjamin ketersediaan obat di pelayanan kesehatan dasar. Fokus dalam penelitian ini adalah implementasi kebijakan penerapan DAK non fisik BOK kefarmasian di Dinas Kesehatan Kabupaten Purwakarta. Kinerja implementasi kebijakan perlu dianalisis dalam rangka evaluasi untuk menghasilkan umpan balik bagi proses pengembangan kebijakan selanjutnya. Teknik pengumpulan data yaitu melalui wawancara mendalam kepada informan kunci, observasi, dan telaah dokumen. Penelitian ini menggunakan pendekatan model implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn. Hasil penelitian diperoleh bahwa masih perlu ditingkatkan pemahaman terhadap pelaksana dalam menyusun perencanaan kegiatan serta rendahnya kepatuhan pelaporan realisasi DAK Non fisik sesuai dengan Petunjuk teknis yang ditetapkan.
ABSTRACT Non-physical DAK for pharmaceuticals is one of the APBN budgets given to districts/cities in the pharmaceutical sector with a menu of distribution of drugs, vaccines and medical consumables (BMHP) as well as support for the use of information systems or drug logistics applications and electronic BMHP as a government effort to guarantee availability of drugs in primary health services. The focus of this research is the implementation of non-physical DAK pharmaceutical BOK implementation policies at the Purwakarta District Health Office. The performance of policy implementation needs to be analyzed in order to evaluate to generate feedback for the next policy development process. Data collection techniques are through in-depth interviews with key informants, observation, and document review. This research uses the Van Meter and Van Horn policy implementation model approach. The results of the research show that it is still necessary to improve the understanding of implementers in planning activities and the low compliance of reporting on the realization of Non-physical DAK in accordance with the established technical guidelines |
Kata Kunci: Dana Alokasi Khusus (DAK); farmasi; van meter, van horn
Keywords: non-physical DAK; pharmaceuticals; Van Meter; Van Horn |
Pendahuluan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Keuangan Pusat dan Keuangan Daerah, definisi Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional antara lain di bidang kesehatan (Indonesia, 2004). Hal ini menjadikan DAK Bidang Kesehatan sebagai salah satu sumber pembiayaan daerah di bidang kesehatan. Sesuai amanat UU dimana DAK berfungsi membantu daerah untuk memenuhi urusan daerah, sehingga DAK bersifat Suplemen/melengkapi, bukan sebagai substitusi anggaran kesehatan di daerah. Oleh karena itu, kurangnya kontribusi APBD di daerah khususnya untuk memenuhi kebutuhan obat di daerahnya mengakibatkan kualitas pelayanan kesehatan di daerah menjadi berkurang.
Salah satu menu DAK Non Fisik untuk kabupaten/kota yaitu menu distribusi obat, vaksin, dan bahan medis habis pakai (BMHP), serta dukungan pemanfaatan sistem informasi atau aplikasi logistik obat dan BMHP secara elektronik yang selanjutnya disebut DAK Non Fisik BOK Kefarmasian, merupakan upaya pemerintah dalam menjamin ketersediaan obat di pelayanan kesehatan dasar (Martira, 2021). Seperti diketahui, Indonesia secara geografis merupakan sebuah negara kepulauan dengan dua per tiga luas lautan lebih besar daripada daratan. Kesulitan akses dan jangkauan transportasi yang belum merata menjadikan kendala dalam pendistribusian, penyediaan obat, dan perbekalan kesehatan di fasilitas kesehatan di kabupaten/kota.
Oleh karena itu, dalam mendukung upaya ketersediaan obat, vaksin dan BMHP di pelayanan kesehatan, kabupaten/kota dapat mengusulkan penggunaan DAK Non Fisik BOK Kefarmasian sebagai upaya mencegah terjadinya kekosongan obat di pelayanan kesehatan dasar.
Tabel 1
Alokasi DAK Non Fisik BOK Kefarmasian TA. 2017-2019
Tahun |
Alokasi (Rp) |
Realisasi (Rp) |
(%) |
2017 |
73.168.484.621 |
50.358.059.514 |
68,82 |
2018 |
98.045.342.442 |
62.851.814.689 |
64,10 |
2019 |
103.507.243.000 |
77.318.514.958 |
74,70 |
Sumber: (Kemenkes RI, 2020)
Metode Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih karena peneliti ingin mengetahui bagaimana implementasi DAK Non Fisik BOK Kefarmasian dengan mengeksplorasi secara mendalami faktor-faktor yang berpengaruh terhadap implementasi sebuah kebijakan serta hubungan antara faktor-faktor tesebut melalui variabel-variabel yang dikembangkan oleh (Van Meter & Van Horn, 1975) yaitu standar dan sasaran kebijakan, sumber daya, komunikasi antar badan pelaksana, karakteristik pelaksana, kecenderungan/sikap pelaksana, serta lingkungan sosial, ekonomi, dan politik terkait dengan implementasi kebijakan DAK Non Fisik BOK Kefarmasian di Kabupaten Purwakarta tahun 2020 (Van Meter & Van Horn, 1975).
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2019 setelah melalui prosedur kaji etik dan dinyatakan layak untuk dilaksanakan, serta memperoleh izin dari instansi terkait. Lokasi penelitian adalah di Provinsi Jawa Barat, tepatnya di Dinas Kesehatan Kabupaten Purwakarta, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, dan Kementerian Kesehatan. Penelitian dilakukan dengan metode wawancara mendalam terhadap informan kunci dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang akan diteliti, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, dan Direktorat Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan di Kementerian Kesehatan. Menurut (Martha & Kresno, 2016), informan kunci adalah individu yang memiliki pengetahuan khusus dan yang bersedia berbagi pengetahuan dengan peneliti (Martha & Kresno, 2016). Selain itu akan dilakukan pula observasi dan telaah dokumen sebagai triangulasi metode.
Hasil dan Pembahasan
Pada penelitian ini indikator yang digunakan untuk menilai kinerja implementasi kebijakan pelaksanaan DAK Non Fisik di Kabupaten Purwakarta adalah indikator proses dan output. Indikator proses digunakan untuk memperoleh informasi mengenai tahapan yang telah dilaksanakan dalam rangka implementasi kebijakan penerapan DAK Non Fisik. Indikator output digunakan untuk memperoleh informasi mengenai manfaat langsung yang dirasakan oleh pelaksana kebijakan penerapan DAK Non Fisik. Dari hasil wawancara mendalam diketahui bahwa sebagian besar informan dapat merasakan manfaat dari anggaran DAK Non Fisik Kefarmasian.
Usulan perencanaan kegiatan anggaran sesuai dengan Petunjuk Teknis DAK Non Fisik dilakukan secara elektronik melalui aplikasi e-Renggar yang dikembangkan oleh Kementrian Kesehatan. Bahkan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan sebagai pengampu anggaran DAK Non Fisik Kefarmasian sudah mengembangkan Aplikasi E-desk untuk memudahkan dalam proses verifikasi berkas usulan kegiatan sebelum usulan ditetapkan secara definitive melalui e-Renggar.
Akan tetapi, dalam proses pelaksanaannnya program ini tidak berjalan sesuai harapan. Dalam implementasi program DAK Non Fisik terdapat kegiatan yang tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Hal ini dikarenakan kurang adanya koordinasi dalam perencanaan usulan kegiatan DAK Non Fisik antara UPTD Perbekalan Kesehatan dengan Seksi Perencana di Dinas Kesehatan Kabupaten Purwakarta. Hal ini mengakibatkan pemanfaatan anggaran DAK Non Fisik menjadi tidak opitmal. Tidak adanya keterlibatan Provinsi dalam penyusunan rencana kegiatan dan anggaran DAK Non Fisik di kabupaten pun menjadi salah satu hal yang menyebabkan tidak optimalnya penyerapan anggaran DAK Non Fisik di kabupaten Purwakarta. Provinsi tidak diberikan hak akses untuk melakukan verifikasi dan review terhadap usulan kegiatan kabupaten karena pengajuan usulan kegiatan langsung ke Kementerian melalui aplikasi e-Renggar. Provinsi hanya sebatas melakukan pendampingan pada saat desk atau review usulan kegiatan DAK Non Fisik.
Hasil studi (Saraswati, 2020) dalam (Yuyun et al., 2018) menyatakan bahwa kegiatan perencanaan DAK Bidang Kesehatan akan terlaksana dengan baik apabila didukung oleh komponen-komponen yang memadai, yakni sumber daya manusia (SDM), metode, sarana prasarana, dan material. SDM perencana harus mengerti cara merencanakan dengan baik, material (data) perencanaan juga harus valid, metode perencanaan harus seragam dan diketahui oleh perencana (Yuniar & Muslim, 2018). Untuk mengantisipasi perencanaan daerah yang masih belum baik, pemerintah hendaknya mempunyai basis data yang valid agar dapat mempunyai peta kebutuhan kefarmasian daerah sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk menilai usulan daerah.
Rencana Kerja Anggaran (RKA) merupakan kesepakatan antara pemerintah dan kabupaten/kota untuk melaksanakan kegiatan yang disesuaikan dengan pagu alokasi yang diperoleh. Hal ini dilakukan untuk menjamin bahwa daerah melaksanakan kegiatan yang mendukung prioritas nasional dan pemerintah pusat juga menjamin akan menyediakan dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut.
Pemantauan dan evaluasi DAK Non Fisik perlu dilakukan secara rutin dan saling berkoordinasi terutama antara UPTD, Seksi Perencanaan, dan Aparatur Daerah. Kurangnya koordinasi dalam hal pemantauan dapat menyebabkan proses pelaporan terhadap pelaksanaan kegiatan DAK Non Fisik di kabupaten pun menjadi terhambat. Kepatuhan pelaporan yang masih sangat rendah dapat mengakibatkan pelaporan realisasi anggaran DAK Non Fisik sering terlambat.
Namun, realisasi anggaran DAK Non Fisik yang tidak optimal pun dapat disebabkan oleh ketidaksesuaian antara perencanaan kegiatan dengan Juknis DAK Non Fisik yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan. Hal ini diakibatkan karena Juknis diterbitkan setelah proses usulan kegiatan telah disetujui oleh Kementerian Kesehatan. Beberapa kegiatan dalam rangka distribusi obat dan vaksin seperti pengambilan obat dan vaksin ke Instalasi Farmasi Provinsi yang sudah disetujui. Usulannya pada saat desk perencanaan dengan pusat dan telah terbit menjadi Daftar Pelaksanaan Anggaran (DPA) DAK Non Fisik, tidak dapat diserap karena dalam Juknis tidak diperkenankan. Sesuai Juknis DAK Non Fisik alokasi distribusi obat dan vaksin hanya boleh digunakan untuk pengiriman obat dan vaksin ke Puskesmas.
Permasalahan lain dalam implementasi DAK Non Fisik adalah proses penyaluran anggarannya dari kas negara ke kas daerah. Penyaluran DAK Non Fisik dilakukan sesuai PMK No.03/2019 yang dilakukan secara per bidang dan bertahap disesuaikan dengan kinerja daerah. Seringkali pelaksanaan kegiatan dan penyerapan anggaran di daerah masih belum ada pada Triwulan 1 dan 2 dengan berbagai alasan dan pertimbangan teknis. Hal ini menggambarkan ketidakmampuan daerah memenuhi target kinerja penyaluran per tahap sehingga pelaksanaan kegiatan DAK Non Fisik menjadi terhambat.
1. Standar dan Tujuan Kebijakan
Menurut (Van Meter & Van Horn, 1975) ukuran dan tujuan kebijakan dapat ditentukan berdasarkan pernyataan yang tertuang di dalam regulasi atau panduan yang menjelaskan kriteria untuk evaluasi kinerja kebijakan tersebut (Van Meter & Van Horn, 1975). Pada beberapa kejadian ukuran dan tujuan kebijakan harus disimpulkan sendiri oleh penelitinya karena banyak kebijakan sulit untuk diidentifikasi dan diukur kinerjanya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sifat kebijakan tersebut yang kompleks, jangkauan yang jauh untuk mencapai tujuannya, atau mengalami ambigu dan kontradiksi antara pernyataan yang tertuang di dalam ukuran dan tujuan kebijakan.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam diketahui bahwa semua informan mengetahui terkait peraturan pelaksanaan DAK Non Fisik BOK Kefarmasian walaupun hanya sebatas pemahaman terkait operasional pelaksanaan kegiatan yang dituangkan dalam Petunjuk Teknis DAK Non Fisik. Informan mengetahui bahwa tujuan adanya DAK Non Fisik Kefarmasian adalah memastikan ketersediaan logistik farmasi di setiap fasilitas kesehatan dan melakukan pemantauan penyimpanan dan pergerakan obat dan vaksin dalam sebuah sistem informasi logitik. Hal ini seperti yang diamanatkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/422/2017 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 Revisi I � Tahun 2017.
2. Sumber Daya Kebijakan
Sumber daya yang disediakan dalam implementasi DAK Non Fisik di Kabupaten Purwakarta sudah cukup lengkap. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, semua informan menyatakan bahwa tidak ada regulasi atau Peraturan Daerah yang menghambat pelaksanaan DAK Non Fisik Kefarmasian. Petunjuk Teknis yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan melalui Peraturan Meteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2019 sudah cukup jelas mengatur operasional pelaksanaan DAK Non Fisik Kefarmasian. Menu kegiatan yang disediakan dalam Juknis relatif sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program kefarmasian di Kabupaten Purwakarta.
Meskipun begitu masih ada kebutuhan daerah yang diharapkan dapat diakomodir melalui Petunjuk Teknis DAK Non Fisik Kefarmasian ini diantara pengadaan prasarana penunjang dalam rangka pelaksanaan pemantauan ketersediaan obat. Penelitian sebelumnya menyatakan hasil yang senada, dimana (Yuyun et al., 2018) dan (Srimulat et al., 2022) menyatakan bahwa kendala pelaksanaan DAK dan belanja daerah adalah Juknis yang kurang dapat mengakomodasi kebutuhan daerah, masih rendahnya akurasi data teknis yang diperlukan, formulasi alokasi DAK belum menjamin kesesuaian antara kepentingan nasional dan kebutuhan daerah, belum tersedianya pedoman yang jelas tentang koordinasi pengelolaan DAK secara utuh dan terpadu di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota (Yuniar & Muslim, 2018).
Selain itu, alokasi DAK Non Fisik Kefarmasian yang diterima oleh Kabupaten Purwakarta masih dirasa belum memenuhi kebutuhan daerah. Dukungan alokasi DAK Non Fisik dalam hal pemenuhan kebutuhan Program Kesehatan bervariatif kecukupannya. Penelitian (Sanjaya & Hidayat, 2016) juga menyatakan bahwa pengelolaan sistem informasi obat dan perbekalan kesehatan sangat tergantung pada sumber daya, alat bantu, dan kemampuan masing-masing instalasi farmasi (Sanjaya & Hidayat, 2016).
Sebenarnya penentuan alokasi ini telah melewati tahapan sinkronisasi dan harmonisasi usulan kebutuhan daerah serta pembahasan kebijakan alokasi DAK Non Fisik dalam rangka RUU APBN bersama DPR sebelum dilakukan penetapan pagu pada Perpres Rincian APBN. Namun sebagian daerah masih menyatakan belum sesuai alokasi yang diberikan dengan kebutuhan di daerahnya. Kondisi tersebut dapat terjadi salah satunya dengan pertimbangan kondisi keuangan negara yang belum sepenuhnya dapat mengakomodir kebutuhan daerah bersumber dari DAK. Untuk itu dalam tahapan perhitungan alokasi, dilakukan perhitungan skala prioritas dari usulan yang dibutuhkan. Alokasi yang tidak dapat diakomodir diharapkan dapat didukung melalui DAU atau sumber lainnya. Kurangnya kontribusi APBD dalam pelaksanaan kegiatan Kefarmasian di Kabupaten Purwakarta menajdikan anggaran DAK Non Fisik ini menjadi sumber anggaran yang utama dalam rangka menjamin ketersediaan obat di Fasilitas Kesehatan. Hal ini tentunya dapat menghambat keberlanjutan implementasi kebijakan Program Kefarmasian jika suatu saat DAK Non Fisik dihentikan. Untuk keberhasilan implementasi kebijakan diperlukan sumber daya yang memadai (Van Meter & Van Horn, 1975).
3. Karakteristik Badan Pelaksana
Pada penelitian ini badan pelaksana dalam Implementasi DAK Non Fisik Kefarmasian adalah UPTD Perbekalan Kesehatan Kabupaten Purwakarta, Sub Bagian Perencana Dinas Kesehatan Kabupaten Purwakarta, Sub Bagian Perencana Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Seksi Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, serta Bagian Program dan Infromasi Setditjen Kefarmasian dan Alkes.
Dari hasil wawancara mendalam diketahui bahwa diperlukan suatu forum koordinasi dan asistensi dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan DAK Non Fisik untuk meningkatkan keterampilan petugas pengelola DAK Non Fisik di Kabupaten Purwakarta antara Seksi Perencanaan selaku koordinator perencana di Dinas Kesehatan Kabupaten dengan UPTD Perbekalan Kesehatan selaku pelaksana dalam menyusun perencanaan kegiatan. Pemahaman terhadap menu-menu DAK Non Fisik yang dituangkan dalam petunjuk teknis perlu disosialisasikan agar menghasilkan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan yang sesuai dengan aturan yang berlaku.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan seksi farmasi di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat telah dibuat grup komunikasi melalui WhatsApp Group yang melibatkan seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Hal ini bertujuan agar Seksi Farmasi Provinsi dapat memberikan informasi dan memantau pelaksanaan kegiatan DAK Non Fisik di daerah. Selain itu Dinas Kesehatan Provinsi pun secara rutin melakukan pertemuan sosialisasi terkait DAK dengan mengundang para perencana di Kabupaten/Kota se-Provinsi Jawa barat.
Komunikasi pelaksana terkait DAK Non Fisik Kefarmasian pun sudah berjalan dengan baik. Namun kualitas pelaksanaan masih dirasa kurang, hal ini dinyatakan dengan masih kurangnya kualitas perencanaan, kesalahan atau keterlambatan input data dalam aplikasi pelaporan dan perencanaan.
Kognisi merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi kemampuan pelaksana, yaitu seberapa jauh pelaksana memahami serta mampu melakukan tugas yang menjadi kewenangannya (Nawarni & Stepanus, 2020). Ketidakmampuan administratif pelaksana dalam menanggapi kebutuhan dan tugas yang diberikan dapat menyebabkan suatu program berjalan tidak efektif. Kapasitas pelaksana yang rendah juga merupakan salah satu permasalahan dalam implementasi kebijakan di negara berkembang (Purwanto & Sulistyastuti, 2015).
Adapun komitmen pelaksana DAK Non Fisik yang sudah cukup baik dan berperan dalam keberhasilan pelaksanaan program kefarmasian di Kabupaten Purwakarta. Hampir seluruh responden berpendapat bahwa DAK Non Fisik membantu pembiayaan daerah untuk mendukung ketersediaan obat. Hal inilah yang membuat pelaksana berkomitmen dalam melaksanakan DAK Non Fisik.
4. Hubungan Antar Organisasi
(Van Meter & Van Horn, 1975) menyatakan bahwa implementasi yang efektif mensyaratkan agar ukuran dan tujuan kebijakan dapat dimengerti oleh setiap individu yang bertanggung jawab atas pencapaian kebijakan. Untuk itu diperlukan kejelasan dan konsistensi dalam penyampaian informasi. Selain itu transmisi atau metode penyampaian informasi harus berjalan dengan baik agar tidak terjadi distorsi informasi (Horn and Meter, 1975).
Pada transmisi kebijakan Implementasi DAK Non Fisik Kefarmasian, media yang digunakan untuk sosialisasi adalah pertemuan di tingkat Provinsi melalui pertemuan yang diselenggarakan oleh Seksi Kefarmasian Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat melalui dana dekonsentrasi. Media komunikasi lain yang dominan digunakan adalah WhatsApp Group yang dibentuk oleh Seksi Farmasi Provinsi. Hanya yang menjadi masalah adalah anggota yang dilibatkan dalam WhatsApp Group tersebut adalah Seksi Farmasi di Dinas Kesehatan Kabupaten Purwakarta sedangkan pengelola DAK Non Fisik Kefarmasian adalah UPTD Perbekalan Kesehatan. Hal ini berpotensi terputusnya informasi terkait kebijakan Pengelolaan DAK Non Fisik.
Menurut Edward III dalam (Anggara, 2014), masalah komunikasi yang umum terjadi adalah dalam hal transmisi, kejelasan, dan konsistensi (Anggara, 2014). Sebuah kebijakan hendaknya ditransmisikan kepada petugas yang melaksanakan kebijakan. Yang terjadi dalam implementasi DAK Non Fisik Kefarmasian ini adalah transmisi kebijakan hanya dilakukan terbatas kepada orang tertentu dan justru tidak langsung ke pelaksana. Sehingga terkadang terdapat ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan informasi yang terjadi. Program yang didesentralisasikan merupakan program yang melibatkan banyak pihak dalam semua level. Hal yang penting dilakukan adalah komunikasi yang memerlukan saluran transmisi yang baik, semakin banyak organisasi yang harus dilalui oleh suatu informansi maka akan semakin banyak orang yang harus merinci sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya distorsi informasi (Winarno et al., 2014).
Mengenai kejelasan, hampir semua informan mengatakan bahwa kebijakan penerapan e-logistik sudah jelas, dan panduan penggunaan yang dituangkan ke dalam Petunjuk Teknis pun juga sudah jelas. Namun demikian terdapat informan yang meyatakan belum begitu memahami tujuan DAK Non Fisik Kefarmasian. Hal ini menunjukan bahwa komunikasi belum berjalan dengan optimal. Menurut Edward III dalam (Ayuningtyas et al., 2018) komunikasi suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para pelaksana. Mengenai konsistensi, sebagian informan mengatakan konsisten karena siapa pun pejabat di Kementerian Kesehatan maupun Dinas Kesehatan Provinsi yang berbicara, informasi yang disampaikannya sama.
5. Kondisi Lingkungan
Berdasarkan struktur organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Purwakarta, UPTD Perbekalan Kesehatan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Dinas Kesehatan.Walaupun begitu dalam melakukan tugas dan fungsinya berkoordinasi dengan semua Bidang di lingkungan Dinas Kesehatan. Dari hasil penelitian, kondisi lingkungan tidak mempengaruhi kinerja implementasi DAK Non Fisik Kefarmasian di Kabupaten Purwakarta secara signifikan. Dalam proses perencanaan serta usulan kegiatan DAK Non Fisik, UPTD Perbekalan Kesehatan langsung berkoordinasi dengan Subag Program dan Informasi selaku koordinator perencanaan kegiatan dan anggaran di Dinas Kesehatan Kabupaten. Semua perencanaan kegiatan yang diusulkan oleh UPTD Perbekalan Kesehatan melalui DAK Non Fisik Kefarmasian direview terlebih dahulu untuk dilihat kesesuaiannya dengan menu kegiatan yang diatur dalam Petunjuk Teknis.
Sedangkan dari sisi infrastruktur, sistem informasi berupa aplikasi pelaporan yang telah dikembangkan oleh pemerintah dirasa mempermudah dalam hal perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan DAK Non Fisik Kefarmasian baik oleh Dinas Kesehatan Kabupaten maupun oleh pemerintah pusat. Namun, diharapkan sistem informasi yang dikembangkan tidak terlalu banyak, bisa saling terintegrasi, dan datanya dapat dilihat secara realtime. Pada pokoknya manfaat dari aplikasi ini bergantung dari kepatuhan dan kevalidan daerah untuk mengisi dan melaporkan datanya. Dari segi geografis, luas Kabupaten Purwakarta hanya 2,8% dari luas Provinsi Jawa Barat dengan jumlah puskesmas sebagai unit pelaksana teknis kesehatan sebanyak 20 puskesmas. Berdasarkan hasil wawancara, puskesmas paling jauh dapat ditempuh paling lama 2 jam dari pusat kota. Artinya, kondisi geografis Kabupaten Purwakarta masih dapat terjangkau dan relatif mudah.
6. Sikap Pelaksana
Disposisi pelaksana merupakan respon pelaksana kebijakan yang terdiri dari elemen pemahaman, arah penerimaan, dan intensitasnya terhadap sebuah kebijakan (Van Meter & Van Horn, 1975). Hampir semua informan memahami bahwa DAK Non Fisik Kefarmasian bermanfaat dan dalam menyelesaikan permasalahan di Kabupaten Purwakarta. Terkait arah penerimaan hampir semua informan menerima kebijakan DAK Non Fisik Kefarmasian meskipun dengan intensitas yang berbeda-beda. Disposisi badan pelaksana dapat menghambat implementasi kebijakan. Hal ini sesuai dengan penelitian Bolaji, (Ferina et al., 2021) bahwa disposisi badan pelaksana menjadi hambatan dalam implementasi kebijakan, terutama jika kebijakan tersebut tidak memberikan manfaat secara langsung bagi pelaksana tersebut, atau apabila pelaksana kebijakan memiliki opini yang berbeda.
Kesimpulan
Implementasi DAK Non Fisik Kefarmasian di Kabupaten Purwakarta telah berjalan dengan baik dimana penyusunan proposal telah berdasarkan data kondisi riil daerah. Namun masih yang perlu diperhatikan adalah pemahaman terhadap pelaksana dalam menyusun perencanaan kegiatan sesuai dengan Petunjuk Teknis yang ditetapkan. Rendahnya kepatuhan dan ketepatan pelaporan realisasi DAK pun masih perlu ditingkatkan kembali.
Beberapa hal yang menjadi kendala dalam pemanfaatan dana DAK Non Fisik Kefarmasian di Kabupaten Purwakarta pada tahun 2019 yaitu pada proses penerbitan Juknis cukup terlambat, kurang fleksibel dan kurang disosialisasikan menu kegiatan yang ditawarkan, perencanaan dan penganggaran dilakukan tanpa melibatkan stakeholder, SDM pelaksana kegiatan DAK Non Fisik sudah cukup berkualitas namun jumlahnya masih kurang memadai, dan implementasi Juknis belum mampu mengakomodir kebutuhan di daerah akibatnya penyerapan dana DAK Non Fisik Kefarmasian tidak dapat terserap dengan maksimal.
BIBLIOGRAFI
Anggara, S. (2014). Kebijakan Publik. Cv Pustaka Setia. Google Scholar
Ayuningtyas, D., Oktarina, R., & Misnaniarti, N. N. D. S. (2018). Etika Kesehatan Pada Persalinan Melalui Sectio Caesarea Tanpa Indikasi Medis Bioethics In Childbirth Through Sectio Caesaria Without Medical Indication. Jurnal Mkmi, 14(1), 9�16. Google Scholar
Ferina, F., Isnaeni, B., & Wulansari, E. M. (2021). Peran Kementerian Kesehatan Dalam Pengendalian Risiko Covid-19 Bagi Tenaga Kesehatan Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 66 Tahun 2016 Tentang Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit. Jurnal Lex Specialis, 2(1). Google Scholar
Indonesia, R. (2004). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta (Id): Ri. Google Scholar
Martha, E., & Kresno, S. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Bidang Kesehatan. Google Scholar
Martira, A. (2021). Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat Dan Daerah Dalam Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional. Dharmasisya, 1(1), 3. Google Scholar
Nawarni, A. N., & Stepanus, M. (2020). Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Efektivitas Transfer Pelatihan Pada Pelaksanaan Pekerjaan. Jurnal Manajemen Dan Usahawan Indonesia, 42(4), 24. Google Scholar
Purwanto, E. A., & Sulistyastuti, D. R. (2015). Implementasi Kebijakan Publik, Gava Media. Yogyakarta. Google Scholar
Sanjaya, G. Y., & Hidayat, A. W. (2016). Pemantauan Obat Dan Perbekalan Kesehatan Di Indonesia: Tantangan Dan Pengembangannya. Jurnal Manajemen Dan Pelayanan Farmasi (Journal Of Management And Pharmacy Practice), 6(2), 159�168. Google Scholar
Saraswati, P. S. (2020). Kebijakan Hukum Terhadap Penanganan Pandemi Covid-19 Di Indonesia. Kertha Wicaksana, 14(2), 147�152. Google Scholar
Srimulat, F. E., Siregar, J. S., Budiman, S., Ritonga, M., & Ruwaidah, R. (2022). College Students� Readiness For Online Learning: An Exploratory Study. Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan, 4(1), 176�184. Google Scholar
Van Meter, D. S., & Van Horn, C. E. (1975). The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework. Administration & Society, 6(4), 445�488. Google Scholar
Winarno, A. S., Kyvernitakis, I., & Hadji, P. (2014). Successful Treatment Of 1-34 Parathyroid Hormone (Pth) After Failure Of Bisphosphonate Therapy In A Complex Case Of Pregnancy Associated Osteoporosis And Multiple Fractures. Zeitschrift F�r Geburtshilfe Und Neonatologie, 218(04), 171�173. Google Scholar
Yuniar, E., & Muslim, M. H. (2018). Sistem Informasi Layanan Kesehatan Dengan Menggunakan Codeigniter Pada Puskesmas Bululawang. Antivirus: Jurnal Ilmiah Teknik Informatika, 12(1). Google Scholar
Yuyun, M. F., Ng, L. L., & Ng, G. A. (2018). Endothelial Dysfunction, Endothelial Nitric Oxide Bioavailability, Tetrahydrobiopterin, And 5-Methyltetrahydrofolate In Cardiovascular Disease. Where Are We With Therapy? Microvascular Research, 119, 7�12. Google Scholar
Copyright holder: M Arief Jatmiko, Hermawan Saputra, Abdullah Antaria, Desrialita Faryanti (2022)
|
First publication right: Jurnal Health Sains
|
This article is licensed under:
|