Jurnal Health Sains: p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398�����
Vol. 2, No. 12, Desember 2021
AUDIT IMPLEMENTASI CLINICAL PATHWAY DIARE AKUT PADA ANAK UMUR 0 � 18 TAHUN DI RUMAH SAKIT PALANG MERAH INDONESIA BOGOR
Ellya Mulyaningsih, Muhammad Natsir Nugroho, Anastina Tahjoo
Universitas Esa Unggul, Jakarta, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
info artikel |
abstraK |
Diterima 5 Desember 2021 Direvisi 15 Desember 2021 Disetujui 25 Desember 2021 |
Untuk mengetahui kepatuhan multidisplin dalam implementasi clinical pathway pada kasus diare akut pada anak umur 0-18 tahun, kelengkapan pengisian clinical pathway sesuai dengan SPO yang diperlukan sebagai sarana dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan akreditasi di Rumah Sakit Palang Merah Indonesia Bogor. Penelitian ini didesain meggunakan mixed methode yaitu kuantitatif dan kualitatif dengan sequensial (sequential mixed method design). Strategi mixed method yang digunakan adalah sequential explanatoris sequencial design (Quan - Qual mixed methods design). Jumlah sampel 58 clinical pathway diare akut pada anak yang terintegrasi di dalam rekam medis, menggunakan teknik purposive sampling.� Pengumpulan data menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif dengan pendekatan grounded theory selanjutnya dianalisis menggunakan SPSS 16. Kemudian disusun kuesioner untuk melihat representasi social. Hasil penelitian kepatuhan DPJP dan perawat 100%, farmasi 0% dan nutritionis 53,4%, prognosis bonam 48,3%. Rata-rta LOS pada diare akut 4-6 hari (51,7%). Umur responden rata-rata 0-5 tahun (93,1%), jenis kelamin� laki-laki 60,3%, berat badan 1-20kg (93,1%), anamnesis BAB cair > 5x sehari �(44,8%), diagnosis diare akut dehidrasi 56,9%, varian diagnosis diare akut dehidrasi 65,5%, hasil kuisioner 40% participant menjawab ya untuk pengisian Clinical Pathwaysecara manual dan 76% participant menjawab setuju untuk pengisian clinical pathway dengan lengkap. Hasil analisis data dari kuisioner partisipan didapat efektivitas clinical pathway adalah 68% hal ini belum sesuai dengan standar yang ditetapkan yaitu 70%. Efektivitas tidak tercapai karena tidak semua multidisiplin terlibat dalam pengisisn clinical pathway. Hal ini karena audit dan evaluasi belum dilakukan dengan seharusnya. Efektivitas dapat tercapai bila semua multidisiplin dapat melaksanakan semua tugas yang didukung oleh sarana dan prasarana serta peraturan atau ketentuan yang dibuat sehingga dapat mencapai target dengan berorientasi pada hasil dan proses yang direncanakan.
ABSTRACT To find out multidisplin compliance in the implementation of clinical pathway in cases of acute diarrhea in children aged 0-18 years, the completeness of clinical pathway filling in accordance with the SPO is needed as a means in improving the quality of health services and accreditation at the Bogor Indonesian Red Cross Hospital. This research is designed using mixed methode that is quantitative and qualitative with sequential mixed method design. The mixed method strategy used is sequential explanatoris sequencial design (Quan - Qual mixed methods design). The sample number of 58 cinical pathways of acute diarrhea in children was integrated in the medical record, using purposive sampling techniques.� Data collection using quantitative and qualitative methods with a grounded theory approach is further analyzed using SPSS 16. Then a questionnaire was compiled to see social representations. The results of the DPJP and nurse compliance study were 100%, pharmaceuticals 0% and nutritionis 53.4%, bonam prognosis 48.3%. Average l.A. in acute diarrhea 4-6 days (51.7%). The average age of respondents was 0-5 years (93.1%), male sex 60.3%, weight 1-20kg (93.1%), liquid bab anamnesis > 5x a day (44.8%), acute diarrhea diagnosis dehydration 56.9%, acute diarrhea diagnosis variant dehydration 65.5%, 40% participant questionnaire results answered yes to filling clinical pathway manual and 76% of participants answered agreeing to complete clinical pathway filling. The results of the analysis of data from the participant questionnaire obtained the effectiveness of clinical pathway is 68% this is not in accordance with the standard set at 70%. Effectiveness is not achieved because not all multidisciplinary are involved in clinical pathway fillers. This is because audits and evaluations have not been done properly. Effectiveness can be achieved when all multidisciplinary can carry out all tasks supported by facilities and infrastructure and rules or regulations made so as to achieve the target with results-oriented and process-planned |
Kata Kunci: audit; efektivitas; clinical pathway; diare akut
Keywords: audit; effectiveness; clinical pathway; acute diarrhea |
Pendahuluan
Di Indonesia, diare menjadi penyebab utama kematian pada balita, yaitu 25,2%, lebih tinggi dibanding pneumonia, 15,5% (Riskesdas, 2007). Hal ini tentu menjadi masalah yang serius untuk Indonesia dalam rangka mencapai tujuan keempat dari pembangunan milenium (Millenium Development Goals/MDGs) yaitu menurunkan angka kematian bayi menjadi 2/3 dalam kurun waktu 25 tahun (1990- 2015).
Upaya peningkatan mutu layanan kesehatan, salah satunya adalah melalui program akreditasi baik tingkat Nasional maupun Internasional. RS PMI Bogor telah mengikuti akreditasi nasional pada tahun 2016, yang dilaksanakan untuk menciptakan Good Corporate Governance, yakni transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggung jawaban dan kewajaran.
RS PMI Bogor adalah rumah sakit swasta tipe B, selain sebagai institusi kesehatan juga sudah membuat clinical pathway untuk penyakit yang memiliki high volume, high cost, dan high risk/impact salah satu diantaranya adalah penyakit diare akut. Diare akut adalah termasuk dari penyakit yang sering terjadipada anak, dalam tatalaksana perawatannya termasuk dalam clinical pathway, merupakan kasus yang memerlukan modalitas sarana prasarana dan tatalaksananya sendiri meliputi aspek medikal.
Penyusunan clinical pathway di Rumah Sakit PMI Bogor. Didasari oleh integrasi multidisiplin sumber daya. Multidisiplin yang dimaksud adalah tenaga medis dokter spesialis, tenaga keperawatan (perawat dan perawat spesialis), tenaga kefarmasian (apoteker dan tenaga teknik kefarmasian), tenaga gizi (nutrisionis/ dietisien) dan tenaga rehabilitasi medis. Multidisiplin tergabung menjadi tim yang disebut dengan istilah professional pemberi asuhan (PPA).
Clinical Pathway perlu menjadi rencana perawatan multidisiplin terstruktur, dan juga memasukkan setidaknya tiga dari empat kriteria digunakan untuk menerjemahkan pedoman atau bukti ke dalam struktur lokal,� merinci langkah-langkah dalam pengobatan atau perawatan dalam rencana, jalur, algoritma, pedoman, protokol atau tindakan inventaris lainnya, memiliki kerangka waktu atau perkembangan berdasarkan kriteria, bertujuan untuk menstandarisasi perawatan untuk masalah klinis tertentu, prosedur atau episode perawatan kesehatan dalam populasi tertentu. (Roberts et al., 2017).
Tujuan utama dari penerapan Clinical Pathway adalah untuk menyelaraskan praktik klinis dengan rekomendasi pedoman untuk memberikan perawatan berkualitas tinggi dalam sebuah institusi. CPW dapat berfungsi sebagai alat yang berguna untuk mengurangi variasi dalam praktik klinis, sehingga memaksimalkan hasil pasien dan efisiensi klinis. (Małczak et al., 2017)
Pada hakikatnya, audit clinical pathway menjadi suatu kewajiban untuk dilakukan, seperti yang tertuang di dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik IndonesiaNo 496/MENKES/SK/IV/2005. Tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit (Supari, 2005).
Proses audit clinical pathway di Rumah Sakit di RS PMI Bogordilakukan dengan (1) memeriksa setiap tindakan yang diberikan oleh tenaga medis, tenaga keperawatan, nutrisionis, dan farmasi yang tertuang dalam catatan rekam medis. (2) Catatan rekam medis dimasukkan dalam formulir clinical pathway.� Simulasi pembobotan belum dilakukan untuk penilaian terhadap tindakan yang dilakukan.
Akan tetapi, penerapan clinical pathway sebagai standar pelayanan kesehatan tidak selalu berjalan dengan baik. Penyebabnya adalah kekurangan sumberdaya (perlengkapan alat medis maupun sumber daya manusia). Selain itu, ketidakterlaksanaan clinical pathway juga dapat disebabkan oleh kelalaian tenaga medis (dokter dan dokter spesialis) atau disiplin lainnya.
Ketidakterlaksanaan clinical pathway dapat menyebabkan mutu pelayanan kesehatan menjadi menurun, sehingga dapat merugikan pasien sebagai pihak yang mendapatkan pelayanan. Selain itu, dapat merugikan pihak rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan.
Problem utama clinical pathway adalah formulir clinical pathway diare akut yang tidak terisi dengan lengkap serta� kepatuhan multidisiplin dalam Implementasi clinical pathway diare akut di RS PMI Bogor belum dapat berjalan secara berkelanjutan,� sebagian besar belum dilakukan evaluasi untuk menilai efektivitasnya. Sebab yang lain adalah karena beban kerja yang tinggi, dokumen masih dalam bentuk kertas dan belum adanya pendidikan dan latihan dalam penyusunan prosedur dan perbaikan prosedur untuk para multidisiplin. PERMENKES 34 tahun 2017 (revisi permenkes 12 tahun 2012) Tentang Akreditasi Rumah Sakit. Kep Dirjen Yankes 173/2016 tentang�� kepatuhan terhadap Clinical Pathway.
Proses audit clinical pathway diare akut di RS PMI Bogor saat ini masih belum efektif, belumberjalan secara berkala. Indikator yang menunjukkan tidak efisien dari sistem audit di rumah sakit adalah peninjauan hasil audit tidak dapat dilakukan setiap saat. Salah satu faktor penyebabnya adalah ketersediaan sumber daya terbatas, sarana dan prasarana belum lengkap dan format data yang digunakan masih berbentuk dokumen kertas. Setiap melakukan evaluasi, petugas harus membuka lembaran kertas clinical pathway diare akut di dalam rekam medis.
Audit dapat menilai kinerja profesional kesehatan individu atau tim, departemen, rumah sakit, atau wilayah. Audit dapat berfokus pada berbagai indikator kualitas yang diukur dalam struktur, proses atau hasil perawatan. Audit juga dapat berfokus pada salah satu dari tiga domain kualitas perawatan kesehatan (efektivitas, keamanan, pemusatan pasien), serta banyak aspek kinerja lainnya, seperti ketepatan waktu, efisiensi dan kesetaraan. Namun, dalam praktiknya, sebagian besar audit berfokus pada proses perawatan dan / atau hasil pasien yang sangat berkorelasi dengan proses perawatan, dan fokus dari sebagian besar inisiatif adalah pada efektivitas dan keselamatan pasien.
Audit dapat didasarkan pada informasi yang tersedia secara rutin, seperti database administratif, catatan pasien elektronik atau daftar medis, atau mungkin didasarkan pada data yang dikumpulkan secara sengaja dari catatan medis atau pengamatan langsung. Prakarsa audit dan umpan balik dapat bersifat internal (dilakukan oleh individu atau kelompok praktisi lokal untuk praktik mereka sendiri), atau eksternal (dilakukan oleh badan profesional, kelompok penelitian atau struktur pemerintah).
Penelitain ini dapat menjadikan clinical pathaway diare akut� untuk memberikan informasi mengenai kepatuhan dalam pelaksanaan standar pelayanan, terwujudnya penyelenggaraan sistem manajemen klinik (good clinical governance) berbasis mutu dan keselamatan pasien secara berkesinambungan pelayanan (continuum of care) dan keselamatan pasien agar dapat terselenggaranya standarisasi proses asuhan klinis, mengurangi risiko proses asuhan klinis, mengurangi adanya variasi asuhan klinis dan memberikan asuhan klinis yang tepat waktu serta penggunaan sumber daya yang efisien dan konsisten sehingga menghasilkan mutu pelayanan yang tinggi dengan menggunakan praktek klinik yang berbasis bukti.
Pengetahuan yang direkomendasikan dapat digunakan oleh direktur medis dan keperawatan juga komite mutu dan keselamatan pasien untuk mendapatkan informasi permasalahan yang terjadi saat menjalankan implementasi clinical pathway. Berbagai pengetahuan tersebut menjadi dasar untuk melakukan perbaikan aturan-aturan di dalam implementasi clinical pathway agar tercipta mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit yang lebih baik.
Audit yang efektif pada dasarnya didukung oleh birokrasi, dan harus membangun struktur pemangku kepentingan yang sesuai. dimulai dengan membuat gugus tugas untuk meningkatkan kepatuhan, mencampurkan sumber informasi internal dan personel kunci dengan mitra eksternal ahli jika memungkinkan (Ferguson et al., 2014).
Sebagian besar proses audit mengukur kepatuhan terhadap rekomendasi dan dapat mencakup ukuran struktur, proses dan hasil perawatan; salah satu atau ketiga domain kualitas dapat dinilai: efektivitas, keamanan, dan� berpusat pada pasien. Dalam beberapa kasus sketsa klinis atau laporan kasus telah terbukti menjadi sumber informasi yang lebih valid tentang perilaku praktik daripada catatan. Dikasus lain, penggunaan pengalaman yang dilaporkan pasien atau ukuran hasil mungkin merupakan pendekatan yang menjanjikan, selama tindakan tersebut divalidasi dan dianggap dapat ditindaklanjuti (Boyce et al., 2014).
Skema audit dan umpan balik harus selalu mencakup target yang jelas dan rencana tindakan yang menetapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai target. Target ideal biasanya dianggap spesifik, terukur, dapat dicapai, relevan dan terikat waktu. Selain itu, umpan balik harus mencakup perbandingan dengan tolok ukur yang dapat dicapai tetapi menantang (misalnya, membandingkan kinerja dengan 10% rekan teratas). (Gardner et al., 2010).
�(Fischer et al., 2016) menemukan bahwa hambatan penerapan pedoman dapat dibedakan menjadi faktor pribadi, faktor terkait pedoman dan faktor eksternal, dan bahwa penerapan terstruktur dapat meningkatkan kepatuhan pedoman. Mengenai pendorong menuju kesadaran dan pemanfaatan pedoman, bahwa efek dari strategi implementasi yang berbeda pada proses perawatan bervariasi tetapi mulai dari tidak ada sampai sedang, tanpa keuntungan yang jelas dari intervensi multifaset atau tunggal.
Melihat masalah kepatuhan pedoman dari waktu ke waktu, pekerjaan baru-baru ini menemukan bahwa itu menurun sekitar setengah dari waktu setelah lebih dari satu tahun setelah intervensi implementasi tetapi bukti umumnya terlalu heterogen untuk kesimpulan yang benar-benar kuat (Ament et al., 2015). Sejumlah studi telah menangani konsep "implementabilitas" pedoman dalam beberapa tahun terakhir.
Strategi top-down yang dilakukan tidak aktif melibatkan profesional terkait memiliki sedikit atau tidak ada dampak. Penting juga untuk secara hati-hati memilih kelompok pasien yang menjadi target Clinical Pathway (CPW). Kepatuhan terhadap rekomendasi berbasis bukti harus selalu diukur sebelum pengembangan dan implementasi CPW untuk menunjukkan adanya, dan luasnya, dampak pada praktik klinis. CPW juga berkontribusi pada pengurangan komplikasi dan kesalahan pengobatan (Rotter et al., 2010).
Sebagian besar evaluasi CPW berfokus pada langkah-langkah efektivitas daripada pada penerapan CPW atau kepatuhan pada rekomendasi berbasis bukti dan bukti yang mendasari strategi implementasi mana yang paling berhasil masih langka. Menurut definisi, CPW mendukung keterlibatan pasien dalam praktik klinis tetapi aspek ini jarang dilaporkan di lebih dari 3.000 studi utama yang telah dinilai secara kritis dalam tinjauan sistematis yang disajikan di atas (Rotter et al., 2012)
Namun, lebih banyak keterlibatan pasien dalam proses pengambilan keputusan klinis dalam hal perawatan rumah sakit yang dipandu CPW sangat penting karena pasien harus memainkan peran sentral dalam proses ini (Van Arensbergen et al., 2012). Riset implementasi menunjukkan bahwa keterlibatan pasien merupakan faktor penting untuk keberhasilan atau kegagalan intervensi jalur klinis dalam hal kualitas perawatan yang diberikan. serta efisiensi klinis, misalnya dalam pengaturan rumah sakit anak. (Cen� et al., 2016).
Organisasi kesehatan dunia (WHO) mendefinisikan diare sebagai kejadian buang air besar dengan konsistensi lebih cair dari biasanya, dengan frekuensi 3 kali atau lebih selama 1 hari atau lebih. Definisi ini lebih menekankan pada konsistensi tinja daripada frekuensinya. Jika frekuensi BAB meningkat namun konsistensi tinja padat, maka tidak disebut sebagai diare. Bayi yang menerima ASI eksklusif sering mempunyai tinja yang agak cair, atau seperti pasta; hal ini juga tidak disebut diare. Ibu biasanya mengetahui kapan anak mereka terkena diare dan dapat menjadi sumber diagnosis kerja yang penting.
Diare menyerang anak pada tahun-tahun pertama kehidupannya. Insidensi diare tertinggi pada anak di bawah umur 2 tahun, dan akan menurun seiring bertambahnya usia. Diare merupakan masalah kesehatan terutama pada balita baik di tingkat global, regional maupun nasional. Pada tingkat global, diare menyebabkan 16% kematian, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pneumonia, sedangkan pada tingkat regional (negara berkembang), diare menyumbang sekitar 18% kematian balita dari 3.070 juta balita.
Gastroenteritis akut, ditandai dengan timbulnya diare dengan atau tanpa muntah, terus menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak-anak di sebagian besar negara dengan sumber daya terbatas. Meskipun umumnya penyakit ringan dan sembuh sendiri, gastroenteritis adalah salah satunya penyebab paling umum dari rawat inap dan berhubungan dengan beban penyakit yang berat. Di seluruh dunia, hingga 40% anak berusia kurang dari 5 tahun dengan diare dirawat di rumah sakit dengan rotavirus. Juga, beberapa mikroorganisme telah ditemukan terutama di negara dengan sumber daya terbatas, termasuk Shigella spp, Vibrio cholerae, dan infeksi protozoa.
Pencegahan tetap penting, dan vaksin rotavirus telah menunjukkan profil keamanan dan kemanjuran yang baik dalam uji klinis besar. Karena dehidrasi adalah komplikasi utama yang terkait dengan gastroenteritis, manajemen cairan yang tepat (oral atau intravena) adalah strategi rehidrasi yang efektif dan aman. Melanjutkan menyusui sangat dianjurkan. Perawatan baru seperti antiemetik (ondansetron), beberapa agen antidiare (racecadotril), dan agen kemoterapi sering diusulkan, tetapi belum direkomendasikan secara universal.
Diare cair pada anak sebagian besar disebabkan oleh infeksi rotavirus, V. cholera dan E.coli. Diare berdarah paling sering disebabkan oleh Shigela (UNICEF dan WHO, 2009). Sedangkan diare cair akut pada anak di bawah lima tahun paling banyak disebabkan oleh infeksi rotavirus. Kematian anak akibat diare rotavirus pada tahun 2004, sebesar 527.000 jiwa (WHO, 2005).
Rotavirus adalah virus RNA yang tergolong dalam famili Reoviridae. Penularan rotavirus terjadi melalui faecal-oral. Rotavirus akan menginfeksi dan merusak sel-sel yang membatasi usus halus dan menyebabkan diare cair akut dengan masa inkubasi 24-72 jam. Gejala yang timbul bervariasi dari ringan sampai berat, didahului oleh muntah -muntah yang diikuti 4-8 hari diare hebat yang dapat menyebabkan dehidrasi berat dan berujung pada kematian. Sebuah studi yang dilakukan oleh Sungkapalee et al. (2006) pada 103 anak positif rotavirus menunjukkan bahwa gejala klinis dari infeksi rotavirus meliputi diare cair akut (79,6%), demam (81,5%), mual atau muntah (80,6%).
Metode Penelitian
Tahap pertama analisis data kuantitatif diuji kebenarannya dengan terlebih dahulu dirumuskan suatu hipotesis yang hakekatnya merupakan kesimpulan dari teori. Untuk itu perlu dirancang teori mana yang akan diteliti. Analisi data kualitatif� dibangun berdasarkan hasil awal data kuantitatif dapat bertujuan untuk mengembangkan� dan mencari teori baru, dirancang diambil dengan deep interview dan observasi untuk mengeksplorasi implementasi clinical pathway.
Pendekatan kualitatif dengan deskripsi analitik, data kuantitatif diambil berupa deskriptif sederhana dari dokumentasi clinical pathway di rekam medis untuk mengetahui kelengkapan dalam penyertaan dan pengisian clinical pathway.Agar dapat dicapai dengan perspektif yang lebih heuristic, holistic, naturalistic, interpretif digunakan penelitian kualitatif (Creswell, 2010).
Proses pencampuran (mixing) data dalam strategi ini terjadi ketika hasil awal kuantitatif dapat menginformasikan proses pengumpulan data kualitatif. Untuk itulah dua jenis data ini terpisah namun tetap berhubungan. Metode ini dipilih karena menggunakan dua pendektan yaitu metode kuantitatif dan kualitatif. (Creswell, 2010). Skala gutman digunakan untuk melihat efektivitasnya.
Penelitian dilakukan di area ruang rawat inap Mawar di bagian pediatrik di RS PMI Bogor Dari bulan Desember2020 sampai dengan Januari 2021.
Instrument penelitian utama adalah peneliti sebagai instrument kunci, document Clinical Pathway diare akut yang terintegrasi dalam rekam medis, interview kepada multidisiplin� yaitu dokter penanggung jawab pasien (DPJP), farmasi, nutritionis/dietisien,� perawat�� di ruang rawat pediatrik, farmasi, kepala bidang� medis dan keperawatan dan ketua komite mutu di RS PMI Bogor.
Hasil dan Pembahasan
Gambaran umum Rumah Sakit Palang Merah Indonesia Bogor. Pada tahun 1970 RS PMI Bogor mendapatkan status rumah sakit tipe C menurut standar hasil Workshop Hospital. Sejak saat itu RS PMI Bogor lebih berkiprah di dunia kesehatan. Dari awal berdirinya sampai sekarang dan sesuai dengan perizinan dan klasifikasinya saat ini Rumah Sakit PMI Bogor menjadi Rumah Sakit� swasta tipe B.
Rumah Sakit PMI Bogor memiliki visi �Menjadi Rumah Sakit Yang Memberikan Pelayanan Berkualitas�. Dan misi memberikan pelayanan yang berorientasi kepada kepuasan pasien, mengembangkan unggulan pelayanan di bidang kegawat daruratan medik, membina profesionalisme kerja, melaksanakan penanganan medis pada kegawat daruratan dan bencana. Serta nilai-nilai, memberikan pelayanan dengan keramahtamahan, tidak membedakan status sosial ekonomi pasien, menyiapkan sumber daya manusia yang bermutu, berdedikasi tinggi dalam melaksanakan tugas dan memenuhi kebutuhan pasien.
Karakteristik Pelayanan Kesehatan di Rawat Jalan Afiat, memiliki moto �Healthcare with care� poliklinik Afiat RS PMI Bogor merupakan poliklinik eksklusif yang melayani dokter umum, gigi, spesialis & sub spesialis, penunjang medik yang lengkap serta didukung dengan hadirnya ratusan rekanan asuransi kesehatan yang telah bekerjasama.
A. Implementasi Clinical Pathway Diare Akut di RS PMI Bogor
1) Praktik audit dan implementasi clinical pathway diare akut di RS PMI Bogor.
Permenkes No 1438 tahun 2010 mengatur standar pelayanan yang harus dijadikan acuan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan di Indonesia dalam bentuk: PNPK (Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran) untuk tingkat nasional dan PPK (Panduan Praktik Klinis) untuk tingkat Rumah sakit Penyusunan PNPK yang berisi pernyataan yang sistematis, mutakhir, evidence-based untuk membantu dokter / pemberi jasa pelayanan lain dalam menangani pasien dengan kondisi tertentu. PNPK disusun oleh panel pakar (dari organisasi profesi, akademisi, klinis, pakar lain) di bawah koordinasi Kemenkes dan hasilnya disahkan oleh Menteri Kesehatan.
PNPK, PPK dan CP karena sifatnya yang canggih, mutakhir, maka PNPK harus diterjemahkan menjadi Panduan Praktik Klinis (PPK) oleh masih-masing fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) sesuai dengan keadaan setempat PPK disusun oleh Staf Medis fasyankes, dengan mengacu pada PNPK (bila ada), dan / atau sumber pustaka lain PPK dapat disertai perangkat pelaksanaan langkah demi langkah termasuk clinical pathway (CP), algoritma, SOP, standing orders PPK dan CP dibuat tidak untuk semua penyakit namun terbatas pada penyakit atau kondisi klinis yang lebih kurang homogen, perjalanan klinisnya dapat diprediksi, serta memerlukan pendekatan multidisiplin PPK.
Panduan praktik klinis adalah istilah teknis sebagai penggangti standar prosedur operasional (SPO) dalam undang-undang praktik kedokteran 2004 dan undang-undang keperawatan yang merupakan istilah administrative. Penggantian ini perlu untuk menghindarkan kesalahpahaman yang mungkin terjadi, bahwa �standar� merupakan hal yang harus dilakukan pada semua keadaan. Jadi secara teknis standar prosedur operasional (SPO) dibuat berupa panduan praktik klinis (PPK) yang dapat berupa atau disertai dengan salah satu atau lebih alur klinis (clinical pathway), protocol, prosedur, alogaritma dan standing order PPK.
B. Efektivitas Clinical� �pathwaydiare akut di RS PMI Bogor.
�Para multidisiplin dalam melakukan praktik dengan panduan PPK tersebut untuk menegakkan diagnosis, memberikan pengobatan, dan memberi penjelasan kepada pasien dan keluarganya tentang kemungkinan hasil pengobatan. Dalam tataran pelaksanaan, PPK mungkin memerlukan satu atau lebih perangkat untuk merinci panduan agar dapat dilakukan secara spesifik dalam bentuk alur klinis (clinical pathway), algoritme (diagram pengambilan keputusan cepat), protocol (panduan pelaksanaan tugas yang cukup kompleks), prosedur (panduan langkah-langkah tugas teknis), atau standing orders (instruksi tetap kepada perawat).
�PPK seharusnya dibuat untuk semua jenis penyakit / kondisi klinis yang ditemukan dalam fasyankes. Namun dalam pelaksanaannya dapat dibuat secara bertahap, dengan mengedepankan misalnya 10 penyakit tersering yang ada di tiap bagian yang high volume, high cost, dan high risk/impact.� PPK dibuat atas penyakit yang terbanyak di masing-masing divisi atau subspesialis dari semua SMF./Laboratorium. Selain PPK Kasus juga terdapat PPK Prosedur atau PPK. Tindakan tujuan PPK
1. Meningatkan mutu pelayanan pada keadaan klinis dan lingkungan tertentu
2. Mengurangi jumlah intervensi yang tidak perlu atau berbahaya
3. Memberikan opsi pengobatan terbaik dengan keuntungan maksimal
4. Memberikan opsi pengobatan dengan risiko terkecil
5. Memberikan tata laksana dengan biaya yang memadai.
Dari hasil observasi dan wawancara dengan multidisplin, bahwa Implementasi Clinical Pathway Diare Akut di RS PMI Bogor sudah berjalan dan terkoordinasi dengan para multidisiplin dengan baik.� Implementasi Clinical Pathway Diare Akut dilakukan pada saat pasien datang dan dievaluasi setiap hari sampai dengan pasien pulang, dalam implementasinya pasien dilibatkan dalam pengambilan keputusan dalam perawatan dan tindakan pasien.Bersamaan dengan diselenggarakannya akreditasi pada tahun 2016, RS PMI Bogor sudah membuat Clinical Pathway� mengenai penyakit-penyakit yang tatalaksananya termasuk kedalam� Clinical Pathway yaitu� penyakit dengan jumlah terbanyak, memiliki risiko tinggi dan pembiayaan yang tinggi. Diare Akut adalah salah satu penyakit yang termasuk kedalam Clinical Pathway yang dalam tatalaksana perawatannya memiliki modalitas sarana prasarana dan tatalaksananya secara medical.
Pimpinan RS PMI Bogor sangat mendukung audit Clinical Pathway Diare Akut, untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, namun dalam implementasinya audit untuk Clinical Pathway Diare Akut saat ini belum berjalan secara efektif karena keterbatasan jumlah sumber daya manusia(SDM) dan pandemic Covid-19, serta keterbatasan sarana dan prasarana.
Clinical Pathway Diare Akut disusun oleh tim yang teridiri dari multidisiplin yang terdiri dari dokter penaggungjawab pasien (DPJP), perawat, farmasi dan nutritionis. Monitoring dan evaluasi dan pelaporannya dilakukan oleh case manager yaitu seorang dokter.
Untuk meningkatkan pengetahuan multidisiplin dalam pengisian Clinical Pathway Diare Akut sudah dilakukan sosialisasi kepada semua professional pemberi asuhan namun pendidikan dan latihan belum dilakukan, sehingga masih ada multidisiplin yang tidak patuh dalam pengisisan clinical pathway dengan legkap.
Kajian ARSN (Asian Rotavirus Surveillance Networks) kedua yang dilakukan di beberapa negara di Asia (Cina, Taiwan, Hongkong, Vietnam, Myanmar, Thailand, Malaysia dan Indonesia) mendapatkan hasil bahwa infeksi rotavirus bertanggung jawab terhadap 45% kejadian diare di Asia (Nelson et al., 2008).
Berdasarkan definisi diare sesuai panduan praktek klinis (PPK) RS PMI Bogor, diare adalah buang air besar cair onset < 14 hari. Waktu frekuensi akut/kronik dalam penelitian ini yaitu BAB Cair >5x sehari 44,8%. Berdasarkan anamnesis anak yang menderita diare memiliki� berat badan 1-20kg yaitu 93,1%. Penelitian ini sejalan dengan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020). Balita yang menderita diare berdarah akan menyebabkan kehilangan zat gizi yang berdampak pada penurunan berat badan dan status gizi. Diare jenis ini sering terjadi pada anak dengan status gizi rendah, AIDS, dan anak dalam kondisi infeksi.
Jenis kelamin terbanyak anak yang menderita diare yaitu laki-laki 60,3% dan berumur 0-5 tahun 93,1%. Penelitian ini sejalan dengan (Zaini & Soenarto, 2019) diare karena rotavirus umumnya menyerang anak pada kelompok umur 6-24 bulan, dengan puncaknya pada usia 9-12 bulan. Bayi prematur, kelompok usia lanjut, dan orang dengan gangguan sistem imun rentan terhadap infeksi.
Kepatuhan DPJP dan PPA yaitu perawat, farmasi dan nutritionis. DPJP dan perawat 100%, nutritionis 53,4% sedangkan farmasi 0%. Menurut (Rotter et al., 2010) Kepatuhan terhadap rekomendasi berbasis bukti harus selalu diukur sebelum pengembangan dan implementasi CPW untuk menunjukkan adanya, dan luasnya, dampak pada praktik klinis. CPW juga berkontribusi pada pengurangan komplikasi dan kesalahan pengobatan.
Sesuai dengan indikator mutu dalam pelaksanaan Clinical pathway yaitu :
1. Kesesuaian lama hari perawatan,dalam penelitian ini, lama hari rawat belum sesuai dengan panduan praktik klinis yaitu 3-4 hari rawat, sedangkan dalam penelitian ini lama hari rawat yaitu 4-6 hari 51,7%. LOS dihitung sejak penerimaan klien masuk rumah sakit di perawatan rawat inap. Standar lama hari rawat di rumah sakit atau average length of stay (ALOS) berkisar 6-9 hari. Lamanya hari rawat dapat disebabkan oleh kondisi medis atau infeksi nasokomial.
2. Kesesuaian pemeriksaan penunjang sesuai program yaitu sudah sesuai dengan Clinical pathway adanya pemeriksaaan laboratorium dan tambahan pemeriksaan PCR dan dicatat sebagai varian penunjang.
3. Kesesuaian terapi yang diberikan sesuai program yaitu pemberian obat sudah sesuai dengan PPK namun pemberian obat diluar Clinical pathway karena kebutuhan pasien dan atas permintaan pasien hal ini dicatat sebagai varian obat.
4. Kesesuaian perjalanan penyakit pasien selama perawatan dengan kriteria inklusi dan ekslusi yang diberikan di awal Clinical pathway belum sesuai dengan PPK yaitu prognosis dubia ed malam, dalam penelitian ini prognosis terbanyak adalah prognosis bonam yaitu 48,30%.
Audit dilakukan dengan mengambil data pasien dari clinical pathway yang terintegrasi di dalam rekam medis. Elektronik medical record belum berjalan di ruang rawat inap RS PMI Bogor akan tetapi baru diuji coba di rawat jalan. Menurut (Akl et al., 2017). Telah disarankan bahwa sumber utama informasi untuk audit haruslah rekam medis dan data yang dikumpulkan secara rutin dari sistem elektronik.
Gabungan kendali mutu dan kendali biaya akan menjadi clinical efectivenes yang merupakan pilar dari cilinical governance, yang apabila dipadukan dengan pelayanan berfokus pada pasien (patient centered care) serta dilakukan secara berkesinambungan maka akan menjadi alur klinik terpadu (clinical pathway).
Pelaksanaan: PPK ICD-10: E86 ditandatangani tanggal 18 Juni 2018 oleh direktur RS PMI Bogor tentang pemberlakuan CP Daire akut dehidrasi. Sebaiknya dilakukan roadshow sosialisasi dan cara membuat CP kepada semua kepala SMF. Pengisisan CP sempat terhenti pada saat pandemic covid-19 pada tahun 2020 namun akan diberlakukan lagi pada tahun 2021 dengan membentuk tim case manager sesuai kebutuhan.
Audit dan feedback, hendaknya monitoring dan evaluasi dilakukan setiap 4 bulan (audit dengan komite medik) dan laporan hasil laksanaan setiap tahun kepada komite medik dan direktur. Evaluasi meliputi adanya varian dari indicator mutu yang sudah ditetapkan oleh masing-masing PIC CP peer SMF, adanya varian dilakukan analisis dan rencana tindak lanjut serta pelaporan perbaikan kembali.
Feedback, belum ada kesadaran mengisi CP oleh multidisiplin, perlu dilakukan pendampingan oleh PIC kepada unit terkait. Perlu dilakukan audit, monitoring dan evaluasi secara berkala. Koordinasi antar direksi, komite medik, unit pelaksana utama, unit penunjang dan pelaksana ruangan perlu dilakukan agar efektivitas implementasi dalam pengisisan clinical pathway dengan lengkap oleh multidisipin dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Kesimpulan
Efektivitas implementasi clinical pathwaydi RS PMI Bogor 68% belum sesuai dari yang diharapkan yaitu 70%, dikarena tidak semua multidisiplin terlibat dalam pengisisn clinical pathway. Hal ini karena audit dan evaluasi belum dilakukan dengan seharusnya. Efektivitas dapat tercapai bila semua multidisiplin dapat melaksanakan semua tugas yang didukung oleh sarana dan prasarana serta peraturan atau ketentuan yang dibuat sehingga dapat mencapai target dengan berorientasi pada hasil dan proses yang direncanakan.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian (Claudia, 2018) Mengidentifikasi beberapa elemen dari penerapan jalur yang sukses, yang diyakini sebagai elemen dasar penting dari program Clinical Effectivnes.
BIBLIOGRAFI
Akl, E. A., Meerpohl, J. J., Elliott, J., Kahale, L. A., Sch�nemann, H. J., Agoritsas, T., Hilton, J., Perron, C., Akl, E., & Hodder, R. (2017). Living Systematic Reviews: 4. Living Guideline Recommendations. Journal Of Clinical Epidemiology, 91, 47�53. Google Scholar
Ament, S. M. C., De Groot, J. J. A., Maessen, J. M. C., Dirksen, C. D., Van Der Weijden, T., & Kleijnen, J. (2015). Sustainability Of Professionals� Adherence To Clinical Practice Guidelines In Medical Care: A Systematic Review. Bmj Open, 5(12), E008073. Google Scholar
Boyce, M. B., Browne, J. P., & Greenhalgh, J. (2014). The Experiences Of Professionals With Using Information From Patient-Reported Outcome Measures To Improve The Quality Of Healthcare: A Systematic Review Of Qualitative Research. Bmj Quality & Safety, 23(6), 508�518. Google Scholar
Cen�, C. W., Johnson, B. H., Wells, N., Baker, B., Davis, R., & Turchi, R. (2016). A Narrative Review Of Patient And Family Engagement: The �Foundation� Of The Medical Home. Medical Care, 54(7), 697. Google Scholar
Claudia, M. (2018). The Influence Of Perceived Organizational Support, Job Satisfaction And Organizational Commitment Toward Organizational Citizenship Behavior (A Study Of The Permanent Lecturers At University Of Lambung Mangkurat, Banjarmasin). Journal Of Indonesian Economy And Business (Jieb), 33(1), 23�45. Google Scholar
Ferguson, J., Wakeling, J., & Bowie, P. (2014). Factors Influencing The Effectiveness Of Multisource Feedback In Improving The Professional Practice Of Medical Doctors: A Systematic Review. Bmc Medical Education, 14(1), 1�12. Google Scholar
Fischer, F., Lange, K., Klose, K., Greiner, W., & Kraemer, A. (2016). Barriers And Strategies In Guideline Implementation�A Scoping Review. Healthcare, 4(3), 36. Google Scholar
Gardner, B., Whittington, C., Mcateer, J., Eccles, M. P., & Michie, S. (2010). Using Theory To Synthesise Evidence From Behaviour Change Interventions: The Example Of Audit And Feedback. Social Science & Medicine, 70(10), 1618�1625. Google Scholar
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Pertanyaan Dan Jawaban Terkait Coronavirus Disease 2019 ( Covid-19 ). World Health Organization, 2019, 1�13. Google Scholar
Małczak, P., Pisarska, M., Piotr, M., Wysocki, M., Budzyński, A., & Pędziwiatr, M. (2017). Enhanced Recovery After Bariatric Surgery: Systematic Review And Meta-Analysis. Obesity Surgery, 27(1), 226�235. Google Scholar
Nelson, E. A. S., Bresee, J. S., Parashar, U. D., Widdowson, M.-A., Glass, R. I., & Network,� Members Of The A. R. S. (2008). Rotavirus Epidemiology: The Asian Rotavirus Surveillance Network. Vaccine, 26(26), 3192�3196. Google Scholar
Roberts, K., Demner-Fushman, D., Voorhees, E. M., Hersh, W. R., Bedrick, S., Lazar, A. J., & Pant, S. (2017). Overview Of The Trec 2017 Precision Medicine Track. The... Text Retrieval Conference: Trec. Text Retrieval Conference, 26. Google Scholar
Rotter, T., Kinsman, L., James, E. L., Machotta, A., Gothe, H., Willis, J., Snow, P., & Kugler, J. (2010). Clinical Pathways: Effects On Professional Practice, Patient Outcomes, Length Of Stay And Hospital Costs. Cochrane Database Of Systematic Reviews, 3. Google Scholar
Rotter, T., Kinsman, L., James, E., Machotta, A., Willis, J., Snow, P., & Kugler, J. (2012). The Effects Of Clinical Pathways On Professional Practice, Patient Outcomes, Length Of Stay, And Hospital Costs: Cochrane Systematic Review And Meta-Analysis. Evaluation & The Health Professions, 35(1), 3�27. Google Scholar
Supari, S. F. (2005). Diabetes Mellitus Masalah Kesehatan Masyarakat Yang Serius, Diperoleh 16 September 2008. Google Scholar
Van Arensbergen, P., Van Der Weijden, I., & Van Den Besselaar, P. (2012). Gender Differences In Scientific Productivity: A Persisting Phenomenon? Scientometrics, 93(3), 857�868. Google Scholar
Zaini, M., & Soenarto, S. (2019). Persepsi Orangtua Terhadap Hadirnya Era Teknologi Digital Di Kalangan Anak Usia Dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 3(1), 254�264. Google Scholar
Copyright holder: Ellya Mulyaningsih, Muhammad Natsir Nugroho, Anastina Tahjoo (2021)
|
First publication right: Jurnal Health Sains
|
This article is licensed under:
|