Jurnal Health Sains: p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398�����

Vol. 2, No. 11, November 2021

 

PROFIL PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN KLINIK ANAK DI RUMAH SAKIT MM INDRAMAYU PERIODE JANUARI � MARET 2021

 

Siti Masripah, Meiti Rosmiati

Politeknik Piksi Ganesha, Bandung, Jawa Barat, Indonesia

Email[email protected], [email protected]

 

info artikel

abstraK

Diterima

5 November 2021

Direvisi

15 November 2021

Disetujui

25 November 2021

Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi, yang digunakan untuk memepengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi. Antibiotik merupakan zat kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang mempunyai kemampuan dalam larutan encer untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme. Penelitian ini menggunakan metode non eksperimental. Adapun pengambilan data dilakukan secara retrospektif dan disajikan dalam bentuk tabel. Dalam penelitian ini berupa resep pasien anak rawat jalan yang menggunakan antibiotik di Rumah Sakit MM Indramayu di periode Januari hingga Maret Tahun 2021 yang berjumlah 257 resep. Berdasarkan Data yang diambil dari resep pasien anak rawat jalan berdasarkan kriteria inklusi. Kriteria Pasien yaitu pasien yang menggunakan antibiotik berumur 0-11 tahun. Kriteria antibiotik yang termasuk dalam penelitian yaitu Rifampicin, Isoniazid, Pyrazinamid, Metronidazol, Cefadroxil, Cotrimoxazol, Cefixim. Kekuatan antibiotik yang digunakan yaitu 100mg-450mg, 226mg, 70mg-300mg, 200mg-500mg, 30 mg, 100 mg, 125mg, 250mg, 500mg, 240mg, 125mg. Aturan pakai antibiotik yang digunakan yaitu 1 x 1 Puyer, 2 x 1 ml, 2 x 1 cth, 2 x 1 Tablet, 3 x 1 cth, 3 x 1 tablet. Bentuk Sediaan antibiotik yang digunakan puyer, syrup dan tablet. Hasil penelitian yang diperoleh antara lain: penggunaan jenis antibiotik terbanyak yaitu jenis antibiotik Rifampisin dan Isoniazid sebanyak 88 resep (34,24%), kekuatan sediaan terbanyak ditujukan oleh penggunaan Isoniazid kekuatan 70mg-150 mg sebanyak 57 resep (22,17%), penggunaan berdasarkan aturan pakai yaitu sehari satu kali satu sediaan pulveres/puyer rifampisin 450mg sebesar 88 resep (34,24%), dan bentuk sediaan antibiotik terbanyak yang digunakan adalah sediaan pulveres/puyer sebanyak 206 resep (80,15%).

 

ABSTRACT

Drugs are substances or combinations of substances, including biological products, which are used to influence or investigate physiological systems. Antibiotics are chemical substances produced by microorganisms that have the ability in aqueous solutions to inhibit the growth or kill microorganisms. This study uses non-experimental methods. The data collection was carried out retrospectively and presented in the form of a table. In this study, in the form of prescriptions for outpatient pediatric patients who used antibiotics at the MM Indramayu Hospital in the period January to March 2021, totaling 257 prescriptions. Based on data taken from outpatient pediatric patient prescriptions based on inclusion criteria. Patient criteria are patients who use antibiotics aged 0-11 years. The criteria for antibiotics included in the study were Rifampicin, Isoniazid, Pyrazinamide, Metronidazole, Cefadroxil, Cotrimoxazol, Cefixim. The strength of the antibiotics used are 100mg-450mg, 226mg, 70mg-300mg, 200mg-500mg, 30 mg, 100 mg, 125mg, 250mg, 500mg, 240mg, 125mg. The rules for using antibiotics are 1 x 1 powder, 2 x 1 ml, 2 x 1 cth, 2 x 1 tablet, 3 x 1 cth, 3 x 1 tablet. The dosage form of antibiotics used is powder, syrup and tablets. The results obtained include: the use of the most types of antibiotics, which is Rifampicin and Isoniazid antibiotics as many as 88 prescriptions (34.24%), the highest dosage strength is indicated by the use of Isoniazid strength 70mg-150 mg as many as 57 prescriptions (22.17%), the use of based on the rules of use, namely once a day, one dosage of pulveres rifampicin 450 mg by 88 prescriptions (34.24%), and the most antibiotic dosage forms used were pulveres/puyer preparations with 206 prescriptions (80.15%)

Kata Kunci:

resep; anak; antibiotik; Rumah Sakit MM Indramayu

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

prescription; pediatric; antibiotic; MM Indramayu Hospital




Pendahuluan

Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi, yang digunakan untuk memengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. Adapun bahan obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat dengan standar dan mutu sebagai bahan baku farmasi (KemenKes, 2016).

Obat adalah komoditas khusus bukan komoditas umum. Segala sesuatu yang berkaitan dengan obat dilakukan regulasi secara ketat karena menyangkut keamanan, keselamatan jiwa manusia. Mulai dari bahan baku, bahan penolong, kemasan, produksi, pengujian mutu, distribusi dan peredaran, promosi/iklan, penjualan, penggunaannya, dilakukan pengaturan secara rinci dan ketat (highly regulated). Ada lima aspek penting setidaknya yang harus dipenuhi oleh produk obat yaitu: keamanan (safety), khasiat (efficacy), kualitas (quality), penggunaan yang rasional (rational of use) dan informasi produk yang benar (the right information) (Sampurno et al., 2011).

Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri (PMK RI Nomor 2406, 2011). Sampai saat ini peresepan antibiotik oleh dokter pada kondisi yang bukan disebabkan oleh bakteri masih banyak ditemukan baik di rumah sakit maupun praktek swasta (Hersh et al., 2013). Ketidaktepatan diagnosis, indikasi, cara pemberian, frekuensi dan lama pemberian menjadi salah satu penyebab tidak terhambatnya bakteri dengan penggunaan antibiotik (DepKes, 2006).

Peresepan antibiotik pada anak-anak harus diberikan perhatian secara khusus untuk menghindari pemakaian yang irasional. Anak-anak umumnya lebih rentan terkena penyakit dibanding orang dewasa serta cenderung banyak diberikan antibiotik oleh dokter dalam pengobatannya. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, umur atau usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Kategori umum menurut Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah balita 0-5 tahun, anak-anak 6-11 tahun, remaja awal 12-16 tahun, remaja akhir 17-25 tahun, dewasa awal 26-35 tahun, dewasa akhir 36-45, lansia awal 46-55 tahun, lansia akhir 56-65 tahun, manula < 65 tahun.

Menurut penelitian (Meta et al., 2015), tentang Peresepan Antibiotik pada Pasien Anak Rawat Jalan di BLUD RS Ratu Zalecha Martapura: Prevalensi dan Pola Peresepan Obat di BLUD RS Ratu Zalecha Martapura pada data pasien rawat jalan di poli anak tahun 2014, menunjukkan bahwa dari 30 rekam medik yang diambil diperoleh 66,67% menerima resep antibiotik.

Menurut asalnya antibakteri dapat dibagi menjadi dua, yaitu antibiotik dan agen kemoterapetik. Antibiotik merupakan zat kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang mempunyai kemampuan dalam larutan encer untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme, contohnya penisilin, sefalosporin, kloramfenikol, tetrasiklin, dan lain-lain. Antibiotik yang relatif non toksis bagi pejamunya digunakan sebagai agen kemoterapetik dalam pengobatan penyakit infeksi pada manusia, hewan dan tanaman.Istilah ini sebelumnya digunakan terbatas pada zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme, tetapi penggunaan istilah ini meluas meliputi senyawa sintetik dan semisintetik dengan aktivitas kimia yang mirip, contohnya sulfonamida, kuinolon dan fluorikuinolon (Dorland, 2002; Setiabudi et al., 2007).

Infeksi bakteri terjadi bila bakteri mampu melewati barrier mukosa atau kulit dan menembus jaringan tubuh. Pada umumnya, tubuh berhasil mengeliminasi bakteri tersebut dengan respon imun yang dimiliki, tetapi bila bakteri berkembang biak lebih cepat daripada aktivitas respon imun tersebut maka akan terjadi penyakit infeksi yang disertai dengan tanda-tanda inflamasi. Terapi yang tepat harus mampu mencegah berkembang biaknya bakteri lebih lanjut tanpa membahayakan host (Kemenkes, 2011).

Penggolongan antibiotik berdasarkan struktur kimia dapat dibedakan sebagai berikut (Kasper et al., 2005; Katzung et al., 2011; Setiabudi et al., 2007):

1.    Beta laktam, penisilin (contohnya: penisilin, isoksazolil penisilin, ampisilin), sefalosporin (contohnya sefadroksil, sefaklor), monobaktam (contohnya: azteonam) dan karbapenem (contohnya: imipenem).

2.    Tetrasiklin, contohnya tetrasiklin dan doksisiklin.

3.    Makrolida, contohnya eritromisin dan klaritromisin

4.    Linkomisin, contohnya linkomisin dan klindamisin

5.    Kloramfenikol, contohnya kloramfenikol dan tiamfenikol

6.    Aminoglikosida, contohnya streptomisn, neomisin dan gentamisin.

7.    Sulfonamida (contohnya: sulfadizin, sulfisoksazol) dan kotrimoksazol (kombinasi trimetroprim dan sulfametoksazol).

8.    Kuinolon (contohnya: asam nalidiksat) dan fluorokuinolon (contohnya: siprofloksasin dan levofloksasin)

9.    Glikopeptida, contohnya vankomisin dan telkoplanin.

10. �Antimikrobakterium, isoniazid, rifampisin, pirazinamid.

11. �Golongan lain, contohnya polimiksin B, basitrasin, oksazolidindion.

Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibiotik yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik (contohnya sulfonamid, trimetroprim, kloramfenikol, tetrasiklin, linkomisin dan klindamisin) dan ada yang bersifat membunuh bakteri, dikenal sebagai aktivitas bakterisid (contohnya penisilin, sefalosporin, streptomisn, neomisin, kanamisin, gentamisin dan basitrasin). Pada kondisi immunocompromised (misalnya pada pasien neutropenia) atau infeksi di lokasi yang terlindung (misalnya pada cairan cerebrospinal), maka antibiotik bakterisid harus digunakan (KemenKes, 2016; Setiabudi et al., 2007).

Antibiotik bisa diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu (Kasper et al., 2005; Setiabudi et al., 2007):

a.     Menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri terdiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu komples polimer mukopeptida (glikopeptida). Obat ini dapat melibatkan otolisin bakteri (enzim yang mendaur ulang dinding sel) yang ikut berperan terhadap lisis sel. Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini seperti beta-laktam (penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor beta-laktamase), basitrasin, dan vankomisin. Pada umumnya bersifat baktersidal.

b.    Memodifikasi atau menghambat sintesis protein. Sel bakteri mensintesis berbagai protein yang berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA. Penghambatan terjadi melalui interaksi dengan ribosom bakteri. Yang termasuk dalam kelompok ini misalnya aminoglikosid, kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin), klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin. Selain aminoglikosida, pada umumnya antibiotik ini bersifat bakteriostatik.

c.     Menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat, misalnya trimetoprim dan sulfonamid. Pada umumnya antibiotik ini bersifat bakteriostatik.

d.    Mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat, misalnya kuinolon, nitrofurantoin.

e.     Memengaruhi permeabilitas membran sel bakteri. Antibiotika yang termasuk adalah polimiksin.

Berdasarkan spektrum kerjanya, antibiotik terbagi atas dua kelompok besar, yaitu antibiotik dengan aktivitas spektrum luas (broad-spectrum) dan aktivitas spektrum sempit (narrow spectrum).

1.    Antibiotik spektrum luas (broad-spectrum) bekerja terhadap lebih banyak bakteri, baik gram negatif maupun gram positif serta jamur. Contohnya: tetrasiklin dan kloramfenikol.

2.    Antibiotik spektrum sempit (narrow spectrum) bekerja terhadap beberapa jenis bakteri saja. Contohnya: penisilin hanya bekerja terhadap bakteri gram positif dan gentamisin hanya bekerja terhadap bakteri gram negatif.

Antibiotik beta-laktam merupakan obat yang menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri. Terdiri dari berbagai golongan obat yang mempunyai struktur cincin beta-laktam, yaitu penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, dan inhibitor beta-laktamase. Obat-obat antibiotik beta-laktam umumnya bersifat bakterisid, dan sebagian besar efektif terhadap organisme Gram-positif dan negatif.Antibiotik beta-laktam mengganggu sintesis dinding sel bakteri, dengan menghambat langkah terakhir dalam sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang memberikan stabilitas mekanik pada dinding sel bakteri (KemenKes, 2016).

Golongan penisilin diklasifikasikan berdasarkan spektrum aktivitas antibiotiknya. Salah satu golongan penisilin yang digunakan sebagai terapi sefalosporin adalah golongan aminopenisilin, sebagai contoh Ampisilin dan Amoksisilin. Selain mempunyai aktivitas terhadap bakteri Gram-positif, juga mencakup mikroorganisme Gram-negatif, seperti Haemophilus influenzae, Escherichia coli, dan Proteus mirabilis.

Obat-obat ini sering diberikan bersama inhibitorbeta-laktamase (asam klavulanat, sulbaktam, tazobaktam) untuk mencegah hidrolisis oleh beta-laktamase yang semakin banyak ditemukan pada bakteri Gram-negatif. Obat Ampisilin diberikan secara intramuskular, intravena dan oral sedangkan obat Amoksisilin hanya dapat diberikan secara oral dengan waktu paruh obat yaitu, 1,1-1,5 jam untuk ampisilin dan 1,2-2,0 jam untuk amoksisilin (RI, 2014a).

Sefalosporin menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mekanisme serupa dengan penisilin. Sefalosporin diklasifikasikan berdasarkan generasinya, yaitu generasi I hingga IV (Setiabudi et al., 2007):

Generasi I, yaitu Sefaleksin, sefalotin, sefazolin, sefradin dan sefadroksil merupakan antibiotik yang efektif terhadap Gram-positif dan memiliki aktivitas sedang terhadap Gram-negatif.

Generasi II, yaitu Sefaklor, sefamandol, sefuroksim, sefoksitin, sefotetan, sefmetazol dan sefprozil memiliki aktivitas antibiotik Gram-negatif yang lebih tinggi daripada generasi I.

Generasi III, yaitu Sefotaksim, seftriakson, seftazidim, sefiksim, sefoperazon, seftizoksim, sefpodoksim dan moksalaktam. Memiliki aktivitas kurang aktif terhadap kokus Gram-postif dibanding generasi I, tapi lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain yang memproduksi beta-laktamase. Seftazidim dan sefoperazon juga aktif terhadap P. aeruginosa, tapi kurang aktif dibanding generasi III lainnya terhadap kokus Gram-positif.

Generasi IV, yaitu sefepim dan sefpirom memiliki aktivitas lebih luas dibanding generasi III dan tahan terhadap beta-laktamase.

Banyak rumah sakit di negara berkembang menggunakan antibiotik sefalosporin dalam jumlah berlebihan, terutama di bagian bedah sebagai pilihan antibiotik profilaksis.

Mikroorganisme yang digunakan sebagai terapi sefalosporin adalah organisme komensal, seperti stafilokokkus gram negatif, Pseudomonas aeruginosa, enterococci dan Candida albicans, dan organisme yang lebih patogen seperti Clostridiumdifficile, penicillin-resistant pneumococci, multiply- resistant coliforms dan methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Beberapa organisme ini secara konstitutif resisten terhadap sefalosporin sementara yang lain telah resisten, biasanya akibat resistensi ganda (Russell et al., 2001).

Pemahaman mengenai sifat farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik sangat diperlukan untuk menetapkan jenis dan dosis antibiotik secara tepat. Agar dapat menunjukkan aktivitasnya sebagai bakterisida ataupun bakteriostatik, antibiotik harus memiliki beberapa sifat berikut ini (RI, 2014 ; Setiabudi et al., 2007):

a.     Aktivitas mikrobiologi. Antibiotik harus terikat pada tempat ikatan spesifiknya (misalnya ribosom atau ikatan penisilin pada protein).

b.    Kadar antibiotik pada tempat infeksi harus cukup tinggi. Semakin tinggi kadar antibiotik semakin banyak tempat ikatannya pada sel bakteri.

c.     Antibiotik harus tetap berada pada tempat ikatannya untuk waktu yang cukup memadai agar diperoleh efek yang adekuat.

d.    Kadar hambat minimal. Kadar ini menggambarkan jumlah minimal obat yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri.

Secara umum terdapat dua kelompok antibiotik berdasarkan sifat farmakokinetikanya, yaitu;

a.     Time dependent killing, Lamanya antibiotik berada dalam darah dalam kadar diatas Kadar Hambat Minimum (KHM) sangat penting untuk memperkirakan outcome klinik ataupun kesembuhan. Pada kelompok ini kadar antibiotik dalam darah diatas KHM paling tidak selama 50% interval dosis. Contoh antibiotik yang tergolong time dependent killing antara lain penisilin, sefalosporin, dan makrolida.

b.    Concentration dependent, Semakin tinggi kadar antibiotika dalam darah melampaui KHM maka semakin tinggi pula daya bunuhnya terhadap bakteri. Untuk kelompok ini diperlukan rasio kadar/ KHM sekitar 10. Ini mengandung arti bahwa rejimen dosis yang dipilih haruslah memiliki kadar dalam serum atau jaringan 10 kali lebih tinggi dari KHM. Jika gagal mencapai kadar ini di tempat infeksi atau jaringan akan mengakibatkan kegagalan terapi. Situasi inilah yang selanjutnya menjadi salah satu penyebab timbulnya resistensi.

Farmakokinetik (PK) membahas tentang perjalanan kadar antibiotik di dalam tubuh, sedangkan farmakodinamik (PD) membahas tentang hubungan antara kadar-kadar itu dan efek antibiotiknya. Dosis antibiotik dulunya hanya ditentukan oleh parameter PK saja. Namun, ternyata PD juga memainkan peran yang sama, atau bahkan lebih penting. Pada abad resistensi antibiotika yang terus meningkat ini, PD bahkan menjadi lebih penting lagi, karena parameter-parameter ini bisa digunakan untuk mendesain rejimen dosis yang melawan atau mencegah resistensi. Jadi walaupun efikasi klinis dan keamanan masih menjadi standar emas untuk membandingkan antibiotik, ukuran farmakokinetik dan farmakodinamik telah semakin sering digunakan beberapa ukuran PK dan PD lebih prediktif terhadap efikasi klinis.

1.    Penggunaan Antibiotik

Penggunaan antibiotik yang rasional didasarkan pada pemahaman dari banyak aspek penyakit infeksi. Faktor yang berhubungan dengan pertahanan tubuh pasien, identitas, virulensi dan kepekaan mikroorganisme, farmakokinetika dan farmakodinamika dari antibiotik perlu diperhatikan (Gould, 2005).

Pada fasilitas pelayanan kesehatan, antibiotik digunakan pada keadaan berikut (Gyssens, 2005):

1)    Terapi empiris.

a.     Pemberian antibiotika untuk mengobati infeksi aktif pada pendekatan buta (blind) sebelum mikroorganisme penyebab diidentifikasi dan antibiotik yang sensitif ditentukan. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi. Indikasi pemberian antibiotik pada terapi empiris adalah ditemukan sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri tertentu yang paling sering menjadi penyebab infeksi. Rute pemberian pada antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Durasi pemberian pada antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam.

2)    Terapi definitif.

b.    Pemberian antibiotik untuk mikroorganisme spesifik yang menyebabkan infeksi aktif atau laten. Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola resistensinya. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi, berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi. Indikasi pemberian antibiotik pada terapi definitif adalah sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi. Rute pemberian adalah antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi.

c.     Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Jika kondisi pasien memungkinkan, pemberian antibiotik parenteral harus segera diganti dengan antibiotik peroral. Durasi pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi.

3)    Terapi profilaksis

d.    Pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah timbulnya infeksi. Pemberian antibiotik sebelum, saat dan hingga 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi dengan tujuan untuk mencegah terjadi infeksi luka operasi. Diharapkan pada saat operasi antibiotik di jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal yang efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri.

2.    Umur

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, umur atau usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Berikut kategori umur menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia.


Tabel 1

Data Kategori Umur Menurut Departemen Kesehatan RI

Kategori

Umur (Tahun)

Balita

0-5

Anak-anak

6-11

Remaja awal

12-16

Remaja akhir

17-25

Dewasa awal

26-35

Dewasa akhir

36-45

Lansia awal

46-55

Lansia akhir

56-65

manula

>65


 

3.    Resep

Resep adalah permintaan tertulis dari seorang dokter kepada apoteker pengelola apotek untuk menyiapkan dan atau membuat, meracik, serta menyerahkan obat kepada pasien yang berhak menulis resep adalah dokter, dokter gigi, dan dokter hewan (Syamsuni, 2006).

Menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.280/MENKES/SK/V/1981 tentang penyimpanan resep di apotek, kertas resep harus disimpan, diatur menurut urutan tanggal dan nomor unit pembuatan, disimpan sekurang-kurangnya selama 3 tahun. Hal ini digunakan untuk memungkinkan penelusuran kembali apabila setelah sekian waktu terjadi sesuatu akibat dari obat yang diberikan. Resep-resep oleh apotek boleh dimusnahkan setelah melebihi 3 tahun dengan membuat proses verbal (berita acara) pemusnahan (Joenoes et al., 2011). Bagian- bagian suatu resep yang lengkap yaitu:

1)    Tanggal dan tempat ditulisnya resep (inscription)

2)    Aturan pakai obat tertulis (signature)

3)    Tanda buka penulisan resep dengan R/ (invocation)

4)    Nama obat, jumlah, dan cara membuatnya (praescriptio ordination) (Effendi et al., 2015)

4.    Rumah Sakit

Menurut WHO Rumah Sakit adalah instalasi yang menyediakan fasilitas rawat tinggal dalam rangka memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan. Sedangkan pengertian rumah sakit berdasarkan tujuan adalah menciptakan kondisi rumah sakit yang nyaman dan bersih bagi pendukung usaha penyembuhan penderita disamping mencegah penularan penyakit infeksi nosokomial kepada orang yang baik petugas maupun pengunjung. Saat ini standar baku mutu kesehatan lingkungan dan persyaratan kesehatan rumah sakit telah mengalami perubahan seiring dengan perkembangan kebijakan, peraturan perundang-undangan dan pedoman teknis yang terkait kesehatan lingkungan.

Ketentuan persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit yang tertuang dalam keputusan menteri kesehatan nomor 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit dinilai perlu dilakukan pembaharuan/adaptasi standar karena perkembangan masyarakat penilaian mutu kinerja antara lain akreditasi rumah sakit KARS/JCI, PROPER, Adipura, Kabupaten Kota Sehat dan Green Hospital (RI, 2014a).

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis ingin melakukan penelitian tentang �Profil Penggunaan Antibiotik pada Pasien Klinik Anak di Rumah Sakit MM Indramayu�.

Adapun penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit MM Indramayu mempunyai tujuan yaitu: untuk mengetahui karakteristik pasien (umur) pada pasien klinik anak di Rumah Sakit MM Indramayu periode Maret 2021, untuk mengetahui Profil penggunaan antibiotik pada klinik anak di Rumah sakit MM Indramayu meliputi: jenis antibiotik, bentuk sediaan, kekuatan dan aturan pakai.

Manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi Rumah Sakit tentang profil penggunaan antibiotik yang diberikan pada pasien anak di Rumah Sakit MM Indramayu.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian non experimental yang akan dipaparkan secara deskriptif. Pengembalian data dilakukan secara retrospektif dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik pasien yang meliputi umur serta untuk mengetahui profil penggunaan antibiotik, bentuk sedian, kekuatan dan aturan pakai.

Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2021 sampai Juni 2021. Tempat penelitian dilakukan di Rs MM Indramayu.

Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah seluruh resep pasien anak rawat jalan di Rumah Sakit MM Indramayu periode januri sampai maret 2021. Jumlah populasi dalam tiga bulan pada tahun 2021 adalah 423 resep pasien klinik anak.

Sampel yang digunakan adalah resep pasien anak rawat jalan yang menggunakan antibiotik di Rumah Sakit MM Indramayu pada bulan Januari sampai Maret 2021 yang memenuhi kriteria inklusi. Sampel diambil berdasarkan rumus slovin (Notoatmdojo, 2014).

Pada penelitian ini proses penumpulan data menggunakan data primer berupa data resep yang ada di Rumah Sakit MM Indramayu. Data yang diambil yaitu semua resep pasein anak rawat jalan yang menggunakan antibiotik dari Januari sampai Maret 2021.

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui karakteristik pasein dan profil penggunaan antibiotik pada resep pasein anak rawat jalan di Rumah Sakit MM Indramayu pada bulan Januari sampai Maret 2021, kemudian data yang telah diolah disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

 

Hasil dan Pembahasan

1.    Karakteristik Umur Pasien Anak Yang Menggunakan Antibiotik

Data karakteristik pasien anak yang menggunakan antibiotik di Rumah Sakit MM Indramayu periode Januari � Maret 2021 tertera pada tabel 2 dan gambar.

 

 

 

 

 


Tabel 2


Data karakteristik pasien anak yang menggunakan antibiotik di Rumah Sakit MM Indramayu periode Januari � Maret 2021

Variasiasi Umur

Jumlah Resep

Presentase (%)

0 tahun > - 5 tahun

5 tahun > - 11 tahun

176

81

68,48%

31,51%

Total

257

100 %



Gambar 1

Grafik Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Umur

 


Berdasarkan hasil penelitian dari 257 resep pasien anak menujukan bahwa menurut umur yang paling banyak menggunakan antibiotik adalah anak � anak dengan umur 0 tahun > -5 tahun dengan jumlah 176 resep (68,48%), hal ini kemungkinan disebabkan karena pada usia anak-anak belum menyadari pentingnya arti kebersihan dan system kekebalan tubuh yang belum berkembang sempurna sehungga mudah terserang penyakit.

2.    Berdasarkan Jenis Antibiotik

Berdasarkan jenis antibiotik yang digunakan pada pasien anak di Rumah Sakit MM Indramayu Periode Januari � Maret 2021 dilihat pada tabel 3.

 

 

 


Tabel 3

Data Jenis Antibiotik Pada Resep Pasien Anak di Rumah Sakit MM Indramayu Periode Januari � Maret 2021

No.

Jenis Antibiotik

Jumlah Resep

Presentase

(%)

1

Rifampicin

88

34,24%

2

Isoniazid

88

34,24%

3

Pyrazinamid

30

11,67%

4

Metronidazol

2

0,77%

5

Cefadroxil

15

5,83%

6

Cotrimoxazol

9

3,50%

7

Cefixim

25

9,72%

 

Total

257

100


Gambar 2

Grafik Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Jenis Antibiotik

 


Berdasarkan hasil penelitian jenis antibiotik yang digunakan pada pasein anak di Rumah Sakit MM Indramayu Periode Januari � Maret 2021 adalah antibiotik rifampicin sebanyak 88 resep (34,24%), isoniazid 88 resep (34,24%), pyrazinamid 30 resep (11,67%), metronidazole 2 resep (0,77%), cefadroxil 15 resep (5,83%), cotrimoxazol 9 resep (3,50%), cefixim 25 resep (9,72%) Dari hasil penelitian antibiotik yang sering digunakan adalah rifampicin.

Rifampisin merupakan turunan dari rifamisin, antibiotik yang berasal dari S. mediterranei. Senyawa ini berbentuk kristal gepeng berwarna merah jingga dengan titik leleh pada 183 � 1880C yang disertai penguraian. Rifampisin larut dalam klorofom dan DMSO, sedikit larut dalam air dengan PH 6,0 (Wattimena, 2014).

Rifampisin terutama aktif pada sel yang sedang tumbuh. Kerjanya menghambat RNA polymerase yang teragantung pada DNA dari mikrobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan mula terrbentuknya (bukan pemanjangan) rantai dalam sintesis RNA. Inti RNA polymerase dari berbagai sel eukariotik tidak mengikat rifampisin dan sintesis RNAnya tidak dipengaruhi. Rifampisin dapat menghambat sintesis RNA mitokondria mamalia tetapi diperlukan kadar yang lebih tinggi dari kadar untuk penghambatan pada kuman (Syarif, 2009).

3.    Berdasarkan Kekuatan

Berdasarkan kekuatan antibiotik pada resep anak di Rumah Sakit MM Indramayu periode Januari � Maret 2021 dapat dilihat pada tabel 3.


Tabel 3

Data Kekuatan Antibiotik Pada Resep Pasien Anak di Rumah Sakit MM Indramayu Periode Januari � Maret 2021.

Nama Antibiotik

Kekuatan

Jumlah Resep

Presentase (%)

Rifampicin

100mg-225mg

226mg-300mg

301mg-450mg

55

27

6

21,40%

10,50%

2,33%

Isoniazid

70mg-150mg

151mg-200mg

201mg-300mg

57

21

10

22,17%

8,17%

3,89%

Pyrazinamid

200mg-300mg

3001mg-500mg

19

11

7,39%

4,28%

Cefixim

30 mg

100 mg

23

2

8,94%

0,77%

Cefadroxil

125mg

250mg

500mg

9

3

3

3,50%

1,16%

1,16%

Cotrimoxazol

240mg

9

3,50%

Metronidazol

125mg

2

0,77%

Total

 

257

100%

 


Gambar 3

Grafik Penggunaan Antibiotik berdasarkan kekuatan

 


Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa kekuatan antibiotik yang digunakan pada resep pasien anak di Rumah Sakit MM Indramayu Periode Januari-Maret 2021 Adalah anribiotik rifampicin dengan kekuatan Rifampicin 100mg-225mg sebanyak 55 resep (21,40%), 226mg-300mg sebanyak 27 resep (10,50%), 301mg-450mg sebanyak 6 resep (2,33%), Isoniazid dengan kekuatan 70mg-150mg sebanyak 57 resep (22,17%), 151mg-200mg sebanyak 21 resep (8,17%), 201mg-300m sebanyak 10 resep (3,89%), Pyrazinamid dengan kekuatan 200mg-300mg sebanyak 19 resep (7,39%), 3001mg-500mg sebanyak 11 resep (4,28%), Cefixim dengan kekuatan 30 mg sebanyak 23 resep (8,94%), 100 mg 2 resep (0,77%), Cefadroxil dengan kekuatan 125mg sebanyak 9 resep (3,50%), 250mg sebanyak 3 resep (1,16%), 500mg sebanyak 3 resep (1,16%), Cotrimoxazol dengan kekuatan 240mg sebanyak 9 resep (3,50%), Metronidazol dengan kekuatan 125mg sebanyak 2 resep (0,77%). Antibiotik rifampicin, isoniazid, pyrazinamide paling banyak digunakan kareana disesuaikan dengan penyakit pasien.

4.    Berdasarkan Aturan Pakai

Berdasarkan aturan pakai antibiotik pada resep pasien anak di Rumah Sakit MM Indramayu Periode Januari-Maret 2021 pada tabel 4.


 

Tabel 4�

Data Aturan Pakai Antibiotik Pada Resep Pasien Anak di Rumah Sakit MM Indramayu Periode Januari-Maret 2021

Jenis Antibiotik

Aturan Pakai

Jumlah Resep

Persentase (%)

Rifampicin 100mg-450mg

1 x 1 Puyer

88

34,24%

Isoniazid 70mg-300mg

1 x 1 Puyer

88

34,24%

Pyrazinamid 200mg-500mg

1 x 1 Puyer

30

11,67%

Cefixim 30mg

 

Cefixim 100mg

2 x 1 ml

2 x 1 cth

2 x 1 Tablet

15

7

2

5,83%

2,72%

0,77%

Cefadroxil 125mg

Cefadroxil 250mg

Cefadroxil 500mg

3 x 1 cth

2 x 1 tablet

3 x 1 tablet

8

3

2

3,11%

1,167%

0,77%

Cotrimoxazol 240mg

2 x 1 cth

9

3,50%

Metronidazol 125mg

3 x 1 cth

2

0,77%

Total

 

257

100%

Gambar 4

�Grafik Penggunaan Antiobiotik Berdasarkan Aturan Pakai

 


Berdasarkan hasil penelitian aturan pakai antibiotik pada resep pasien anak di Rumah Sakit Indramayu perioda Januari-Maret 2021 adalah rifampicin Rifampicin 100mg-450mg dengan aturan pakai sehari 1 x 1 puyer sebanyak 88 resep (34,24%), isoniazid 70mg-300mg dengan aturan pakai sehari 1 x 1 Puyer sebanyak 88 resep (34,24%), Pyrazinamid 200mg-500mg dengan aturan pakai sehari 1 x 1 Puyer sebanyak 30 resep (11,67%), Cefixim 30mg dengan atura pakai sehari 2 x 1 ml sebanyak 15 resep (5,83%), sehari 2 x 1 cth sebanyak 7 resep (2,72%), Cefixim 100 mg dengan aturan pakai sehari 2 x 1 Tablet sebanyak 2 resep (0,77%), Cefadroxil 125mg dengan aturan pakai sehari 3 x 1 cth sebanyak 8 resep (3,11%), Cefadroxil 250mg dengan aturan pakai sehari 2 x 1 tablet sebanyak 3 resep (1,167%), Cefadroxil 500mg dengan aturan pakai sehari 3 x 1 tablet sebanyak 2 resep (0,77%), Cotrimoxazol 240mg dengan aturan pakai sehari 2 x 1 cth sebanyak 9 resep (3,50%), Metronidazol 125mg dengan aturan pakai sehari 3 x 1 cth sebanyak 2 resep (0,77%). Aturan pakai antibiotik yang palin banyak digunakan pada resep pasien anak adalah antibiotik rifampicin, isoniazid dengan aturan pakai 1 x 1 puyer sebanyak 88 resep (34,24%), rifampicin dan isoniazid diberikan secara oral tiap 24 jam sekali.

5.    Berdasarkan Bentuk Sedian antibiotik

Berdasarkan bentuk sedian antibiotik pada resep pasien anak di Rumah Sakit MM indramayu periode januari � maret 2021 dapat dilihat pada tabel 5.

 


Tabel 5

Data Bentuk Sediaan Antibiotik Pada Resep Pasien Anak di Rumah Sakit MM Indramayu Periode Januari-Maret 2021

Bentuk Sediaan

Jumlah Resep

Persentase (%)

Puyer

206

80,15%

Sirup

41

15,95%

Tablet

10

3,89%

Total

257

100%


 


�

Gambar 5

Grafik Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Bentuk Sediaan

 


Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa bentuk sediaan antibiotik yang digunakan pada pasien anak di Rumah Sakit MM Indramayu Periode Januari-Maret 2021 adalah bentuk sedian puyer sebanyak 206 resep (80,15%), bentuk sedian sirup sebanyak 41 resep (15,95%), dan sedian tablet sebanyak 10 resep (3,89%). Penggunaan antibiotik dalam bentuk sediaan puyer merupakan obat yang efek kerja nya lebih cepat dibandingkan dengan bentuk sediaaan tablet.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disampaikan berdasarkan karakteristik pasien anak di Rumah Sakit MM Indramayu Periode Januari � Maret 2021, umur pasien paling banyak menggunakan antibiotik adalah pasien anak dengan umur 0 tahun � 5 tahub sebesar 176 resep (68,48%). Berdasarkan profil penggunaan antibiotik yang terbanyak sebagai jenis antibiotik rifampicin dan isoniazid sebesar 88 resep (34,24%). Kekuatan antibiotik isoniazid 70mg-150mg sebesar 57 resep (22,17%). Aturan pakai antibiotik rifampicin 450mg sebesar 88 resep (34,24%). Bentuk sediaan puyer 206 (80,15%).

 

BIBLIOGRAFI

 

Depkes, R. I. (2006). Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas Terbatas. Jakarta, Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan Ri. Google Scholar

 

Dorland, W. A. N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland. Google Scholar

 

Effendi, D. B., Rosyid, N. H., Nandiyanto, A. B. D., & Mudzakir, A. (2015). Sintesis Nanoselulosa. Jurnal Integrasi Proses, 5(2). Google Scholar

 

Gould, I. M. (2005). The Clinical Significance Of Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus. Journal Of Hospital Infection, 61(4), 277�282. Google Scholar

 

Gyssens, I. C. (2005). Audits For Monitoring The Quality Of Antimicrobial Prescriptions. In Antibiotic Policies (Pp. 197�226). Springer. Google Scholar

 

Hersh, W. R., Weiner, M. G., Embi, P. J., Logan, J. R., Payne, P. R. O., Bernstam, E. V, Lehmann, H. P., Hripcsak, G., Hartzog, T. H., & Cimino, J. J. (2013). Caveats For The Use Of Operational Electronic Health Record Data In Comparative Effectiveness Research. Medical Care, 51(8 0 3), S30. Google Scholar

 

Joenoes, S., Sumono, K., Haq, N., Wisianto, A., Andriansyah, A., Rizki, H., Widjaja, F., Amri, N., Andoni, R., & Winant, N. R. (2011). 31st Annual Convention Proceedings, 2007. Google Scholar

 

Kasper, D., PlanellsCases, R., Fuhrmann, J. C., Scheel, O., Zeitz, O., Ruether, K., Schmitt, A., Po�t, M., Steinfeld, R., & Schweizer, M. (2005). Loss Of The Chloride Channel Clc7 Leads To Lysosomal Storage Disease And Neurodegeneration. The Embo Journal, 24(5), 1079�1091. Google Scholar

 

Katzung, B., Masters, S., & Trevor, A. (2011). Basic And Clinical Pharmacology. 12p Th P Ed. New York: Mc Graw-Hill Medical. Google Scholar

 

Kemenkes, R. I. (2016). Buku Kesehatan Ibu Dan Anak. In Kementrian Kesehat Ri Dan Jica Jakarta. Google Scholar

 

Kemenkes, R. I. (2011). Kementerian Kesehatan Ri. Buletin Jendela, Data Dan Informasi Kesehatan: Epidemiologi Malaria Di Indonesia. Jakarta: Bhakti Husada. Google Scholar

 

Meta, V., Wineini, R. B., & Intannia, D. (2015). Peresepan Antibiotik Pada Pasien Anak Rawat Jalan Di Blud Rs Ratu Zalecha Martapura : Prevalensi Dan Pola Peresepan Obat. Prosiding Seminar Nasional & Workshop �Perkembangan Terkini Sains Farmasi & Klinik 5,� 5, 268�273. Google Scholar

 

 

Notoatmdojo. (2014). Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta; Rineka Cipta. Google Scholar

 

Ri, K. (2014a). Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi Dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak Ditingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta2012. Google Scholar

 

Ri, K. (2014b). Peraturan Menteri Kesehatan No 28 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional Jaminan. Jakarta: Kemenkes Ri. Google Scholar

 

Russell, V., Scudder, M., & Dance, I. (2001). The Crystal Supramolecularity Of Metal Phenanthroline Complexes. Journal Of The Chemical Society, Dalton Transactions, 6, 789�799. Google Scholar

 

Sampurno, Y., Rice, A., Zhuang, Y., & Philipossian, A. (2011). An Approach For Correlating Friction Force And Removal Rate To Pad Topography During Tungsten Chemical Mechanical Planarization. Electrochemical And Solid State Letters, 14(8), H318. Google Scholar

 

Setiabudi, B. T., Campbell, I. H., Martin, C. E., & Allen, C. M. (2007). Platinum Group Element Geochemistry Of Andesite Intrusions Of The Kelian Region, East Kalimantan, Indonesia: Implications Of Gold Depletion In The Intrusions Associated With The Kelian Gold Deposit. Economic Geology, 102(1), 95�108. Google Scholar

 

Syamsuni, H. (2006). Farmasetika Dasar Dan Hitungan Farmasi. Jakarta: Egc. Google Scholar

 

Syarif, L. M. (2009). Promotion And Management Of Marine Fisheries In Indonesia. Towards Sustainable Fisheries Law, 31. Google Scholar

 

Wattimena, I. (2014). Menelusuri Arus Pemeriksaan Kesehatan Dan Pengobatan Ke Luar Negeri. Jurnal Ners Lentera, 2(1). Google Scholar

 


Copyright holder:

Siti Masripah, Meiti Rosmiati (2021)

 

First publication right:

Jurnal Health Sains

 

This article is licensed under: