Jurnal Health Sains: p�ISSN:
2723-4339 e-ISSN:
2548-1398�����
Vol. 2, No. 11, November 2021
PENGARUH SENAM DIABETIK TERHADAP SENSITIVITAS KAKI
(ULKUS) DAN KADAR GULA DARAH PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE II
Aina Nurus
Sofa, Alfiah Rahmawati
Universitas Islam
Sultan Agung, Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
info artikel |
abstraK |
Diterima 5 November 2021 Direvisi 15 November 2021 Disetujui 25 November 2021 |
Di Indonesia angka kejadian penderita diabetes mellitus terus
meningkat. Komplikasi
diabetes terjadi pada semua
organ tubuh dengan penyebab kematian 50% akibat penyakit jantung koroner dan 30% akibat gagal ginjal. Selain kematian, diabetes juga menyebabkan
kecacatan. Sebanyak 30% penderita diabetes mengalami kebutaan akibat komplikasi retinopati dan 10% menjalani amputasi tungkai kaki karena ulkus diabetik. Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit gangguan metabolisme yang ditandai dengan meningkatnya glukosa dalam darah sebagai
akibat dari adanya gangguan produksi insulin atau gangguan kinerja insulin atau karena kedua-duanya.
Penatalaksanaan diabetes mellitus melalui cara lima pilar utama, salah satunya senam diabetik. Senam diabetik adalah bentuk latihan fisik aerobik bagi penderita diabetes dengan serangkaian gerakan yang telah dipilih secara sengaja mengikuti irama musik pilihan sehingga melahirkan ketentuan ritmis, kontinuitas dan durasi tertentu untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan. Senam ini direkomendasikan 3-5 kali/minggu. Tujuannya yaitu untuk mengetahui
sensitivitas kondisi pada
kaki penderita diabetes mellitus, perbedaan kadar gula darah sebelum dan sesudah melaksanakan senam diabetik pada pasien DM Tipe II. Pencarian artikel ini dilakukan
berbasis data seperti
google scholar. Kata kuncinya adalah
�senam diabetic�, �sensitivitas kaki�, �kadar glukosa darah�, �pasien diabetes tipe II� dan penulis menemukan 5 artikel yang relevan dari 2014-2020. Artikel ini diharapkan
menjadi tambahan informasi untuk tetap menjadwalkan senam
diabetic secara rutin dan
berkelanjutan. ABSTRACT In Indonesia the incidence of diabetes mellitus continues to increase.
Complications of diabetes occur in all organs of the body with a 50% cause of
death due to coronary heart disease and 30% due to kidney failure. Besides
death, diabetes also causes disability. As many as 30% of diabetics overcome
the complications of retinopathy and 10% overcome foot amputations due to
diabetic ulcers. Diabetes mellitus is a disease characterized by evolution
caused by differences in insulin production or impaired insulin performance
or because of both. Management of diabetes mellitus through the five main
pillars, one of which is diabetic exercise. Diabetic gymnastics is a form of
aerobic physical exercise for diabetics with movements that have been
deliberately chosen to follow the rhythm of the chosen music that requires
the provision of rhythmic, continuity and a certain duration to achieve the
expected goals. This gymnastics suggests 3-5 times / week. The aim is to
determine the sensitivity of the feet of people with diabetes mellitus, the
difference in blood sugar levels before and after formulation in patients
with Type II DM. This search article is based on data such as Google Scholar.
The key words are "diabetes exercise", "foot
sensitivity", "blood glucose levels", "type II diabetes
patients" and the authors found 5 relevant articles from 2014-2020. This
article is expected to be an additional information to keep scheduling
diabetic gymnastics regularly and continuously. |
Kata Kunci: senam diabetic; sensitivitas
kaki; kadar glukosa darah; pasien diabetes tipe `II Keywords: diabetes exercise; foot sensitivity; blood glucose levels; type II diabetes
patients |
Pendahuluan
penyakit menular ke
penyakit tidak menular, semakin banyak muncul penyakit
degeneratif salah satunya adalah diabetes mellitus. Diabetes adalah
suatu penyakit, dimana tubuh penderitanya
tidak bisa secara otomatis mengendalikan tingkat gula (glukosa) dalam darahnya (Sudoyo, 2006).
Proses menua menjadikan lanjut usia (lansia)
sebagai populasi yang rentan terhadap masalah, baik fisik,
psikologis, dan sosial, khususnya yang terkait dengan proses menua. Kerentanan mengacu pada kondisi individu yang lebih sensitif terhadap faktor risiko daripada yang lain (Stanhope & Lancaster, 2013).
Kelompok beresiko (population risk) dapat menyebabkan terjadinya diabetes melitus. Population
risk meliputi kelompok tertentu di komunitas atau masyarakat yang mengalami keterbatasan fisik, sosial, ekonomi, gaya hidup
dan kejadian hidup atau pengalaman hidup dapat sebagai
penyebab terjadinya masalah kesehatan (Stanhope & Lancaster, 2004). Suatu
kelompok yang memiliki risiko atau kombinasi
risiko salah satunya misalnya kemiskinan atau status sosial ekonomi rendah yang dapat mempengaruhi kesehatan, biasanya menjadi lebih lebih
mudah atau rentan terserang penyakit (Lundy & Janes, 2014). Kelompok
sosial yang mempunyai peningkatan risiko atau kerentanan terhadap kesehatan yang buruk (Stanhope & Lancaster, 2004).
Diabetes Mellitus
(DM) merupakan penyakit sillent killer atau penyakit metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah
(hiperglikemia) karena
hormone insulin yang diproduksi oleh kelenjar pancreas tidak mampu bekerja dengan
baik dan terjadi kegagalan sekresi insulin atau penggunaan insulin dalam metabolisme yang tidak adekuat. Kegagalan sekresi atau ketidak adekuatan
penggunaan insulin dalam metabolisme tersebut dapat menimbulkan gejala hiperglikemia. Hiperglikemia kronik dan gangguan metabolik diabetik melitus lainnya akan menyebabkan
kerusakan jaringan dan
organ, seperti mata, ginjal, syaraf, dan sistem vaskular. Ulkus diabetikum merupakan salah satu komplikasi diabetes melitus pada sistem integumen, diawali dengan adanya rasa baal atau kesemutan. Sehingga untuk mempertahankan glukosa darah yang stabil membutuhkan terapi insulin atau obat pemacu
sekresi insulin (Sudoyo, 2006).
Secara klinis terdapat dua tipe diabetes, yaitu DM tipe 1 yang disebabkan kurangnya insulin secara absolute akibat proses autoimun dan DM tipe 2 yang merupakan kasus terbanyak (90-95% dari seluruh kasus diabetes) yang umumnya mempunyai latar belakang kelainan diawali dengan resistensi insulin (American Diabetes Associations, 2007). Diabetes melitus tipe 2 berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, sehingga berjalan tanpa terdeteksi karena gejala yang dialami pasien sering bersifat
ringan seperti kelelahan, irritabilitas, poliuria, polidipsi, dan luka yang lama sembuh (Smeltzer & Bare, 2008).
Prevalensi diabetes semakin meningkat. Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) menyatakan pada tahun
2006 sedikitnya 171 juta
orang mengalami diabetes. Insiden
akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2030. Di Indonesia, pada tahun
2000-an, penduduk yang berusia
diatas 20 tahun adalah 125 juta jiwa. Jika prevalensi kejadian DM 4.6 %, maka jumlah pasien DM 5.6 juta jiwa. Berdasarkan
pola pertambahan penduduk seperti ini,diperkirakan awal tahun 2020 jumlah penduduk Indonesia yang berusia
di atas 20 tahun sekitar 178 juta jiwa dan diasumsikan akan terjadi kenaikan
prevalensi kejadian DM sekitar 8.2 juta jiwa (Sudoyo, 2006).
Berbagai penelitian epidemiologi
menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi Diabetes Mellitus (DM) tipe
II di berbagai penjuru
dunia. WHO memprediksi adanya
peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar untuk tahun-tahun
mendatang.
Untuk Indonesia, WHO memprediksi
kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan dari hasil
penelitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan
pada dekade 1980 menunjukkan
sebaran prevalensi DM tipe II antara 0,8% di Tanah Toraja, sampai 6,1% yang didapatkan di Manado. Hasil penelitian
pada era 2000 menunjukkan peningkatan
prevalensi yang sangat tajam.
Sebagai contoh penelitian di Jakarta (daerah urban)
dari prevalensi DM 1,7%
pada tahun 1982 menjadi
5,7% pada tahun 1993 dan kemudian
menjadi 12,8% pada tahun
2001 di daerah sub-urban Jakarta.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
Indonesia (2003) diperkirakan penduduk
Indonesia yang berusia di atas
20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa. Dengan prevalensi
DM pada daerah urban sebesar
14,7% dan daerah rural sebesar
7,2%, maka diperkirakan
pada tahun 2003 terdapat penyandang diabetes sejumlah 8,2 juta di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta
penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi
DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. Suatu jumlah yang sangat besar dan merupakan beban yang sangat berat untuk dapat
ditangani sendiri oleh dokter spesialis/ subspesialis bahkan oleh semua tenaga kesehatan
yang ada. Mengingat bahwa DM akan memberikan
dampak terhadap kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar, semua pihak,
baik masyarakat maupun pemerintah, seharusnya ikut serta dalam usaha
penanggulangan DM, khususnya
dalam upaya pencegahan (PERKENI, 2006).
Seiring dengan peningkatan jumlah penderita DM, maka komplikasi yang terjadi juga semakin meningkat, satu diantaranya adalah ulserasi yang mengenai tungkai bawah, dengan atau tanpa
infeksi dan menyebabkan kerusakan jaringan di bawahnya yang selanjutnya disebut dengan kaki diabetes
(KD). Manifestasi KD dapat berupa dermopati, selulitis, ulkus, gangrene, dan
osteomyelitis. KD merupakan masalah
yang kompleks dan menjadi alasan utama mengapa
penderita DM menjalani perawatan di rumah sakit yang selama rawatan membutuhkan biaya sangat mahal dan sering tidak terjangkau oleh kebanyakan masyarakat umum.
Komplikasi kaki diabetik merupakan
penyebab tersering dilakukannya amputasi yang didasari oleh kejadian non traumatik. Risiko amputasi 15-40 kali lebih sering pada penderita DM dibandingkan dengan non-DM. Komplikasi akibat kaki diabetik menyebabkan lama rawat penderita DM menjadi lebih panjang.
Lebih dari 25% penderita DM yang dirawat adalah akibat kaki diabetik. Sebagian besar amputasi pada kaki diabetik bermula dari ulkus
pada kulit. Bila dilakukan deteksi dini dan pengobatan yang adekuat akan dapat
mengurangi kejadian tindakan amputasi. Ironisnya evaluasi dini dan penanganan yang adekuat di rumah sakit tidak optimal (Decroli, 2019).
Kebiasaan maupun perilaku
masyarakat seperti kurang menjaga kebersihan kaki dan tidak menggunakan alas kaki saat beraktivitas akan beresiko terjadi perlukaan pada daerah kaki. Keadaan kaki diabetik lanjut yang tidak ditangani secara tepat dapat /berkembang
menjadi suatu tindakan pemotongan amputasi kaki. Adanya luka dan masalah lain pada kaki merupakan penyebab utama kesakitan morbiditas, ketidakmampuan disabilitas, dan kematian mortalitas pada seseorang yang menderita diabetes melitus (Soegondo, 2009). Peran perawat komunitas dalam memberdayakan individu, keluarga, dan masyarakat sangat diperlukan dalam mengelola permasalahan kesehatan yang terjadi.
Resiko Ulkus kaki dapat dicegah dengan latihan jasmani seperti senam diabetic. Latihan jasmani
merupakan upaya awal dalam mencegah,
mengontrol, dan mengatasi
diabetes. Dijelaskan (Chan et al., 2007) bahwa secara langsung latihan jasmani dapat menyebabkan penurunan glukosa darah karena latihan
jasmani dapat menyebabkan terjadinya peningkatan pemakaian glukosa oleh otot yang aktif. Lebih lanjut
(Ilyas, 2007)
menjelaskan latihan jasmani akan menyebabkan
terjadinya peningkatan aliran darah, menyebabkan
lebih banyak jala-jala kapiler terbuka sehingga lebih banyak tersedia
reseptor insulin dan reseptor
menjadi lebih aktif yang akan berpengaruh terhadap penurunan glukosa darah pada pasien diabetes.
Diabetes
Mellitus telah menjadi penyebab kematian terbesar keempat di dunia. Setiap tahun ada
3,2 juta kematian yang disebabkan langsung oleh
diabetes. Berarti ada 1 orang
per 10 detik atau 6 orang
per menit yang meninggal akibat penyakit yang berkaitan dengan diabetes. Penderita DM di Indonesia sebanyak
4,5 juta pada tahun 1995, terbanyak ketujuh di dunia. Sekarang angka ini meningkat menjadi
8,4 juta dan diperkirakan akan menjadi 12,4 juta pada tahun 2025 atau urutan kelima
di dunia (Tandra, 2017).
Data dari Dinkes Jateng menunjukkan bahwa dari tahun
2007-2009, DM tipe II menempati
urutan kedua dari lima belas besar Penyakit Tidak Menular di Jawa Tengah. Pada tahun 2007 jumlah penderita sebanyak 249.181, pada tahun 2008
sebanyak 200.295 penderita,
dan pada tahun 2009 sebanyak
245.907 penderita. Kota Semarang menempati
urutan pertama penderita DM tipe II dengan 36.353 penderita (Dinkes, 2013).
Penderita diabetes mellitus sebaiknya melaksanakan 4 (empat) pilar pengelolaan diabetes mellitus yaitu
edukasi, terapi gizi medis, latihan
jasmani, dan intervensi farmakologis (American Diabetes Associations, 2007). Latihan jasmani secara teratur dapat menurunkan
kadar gula darah. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran
juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah (Vitahealth, 2006). Latihan jasmani
yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, berenang, dan senam diabetes (Oktafia Rachmawati, 2010).
Latihan jasmani
merupakan upaya awal dalam mencegah,
mengontrol, dan mengatasi diabetes.
(Ilyas, 2007)
menjelaskan latihan jasmani menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah, jala-jala
kapiler lebih banyak terbuka sehingga lebih banyak tersedia reseptor insulin dan reseptor menjadi lebih aktif
yang akan berpengaruh terhadap penurunan glukosa darah pada pasien diabetes (Sigit et al., 2013).
Senam Diabetes Indonesia merupakan senam aerobic low impact dan ritmis yang telah dilaksanakan sejak tahun 1997 di klub-klub diabetes
di Indonesia. Senam ini bertujuan
untuk meningkatkan kesegaran jasmani atau nilai aerobic yang optimal bagi penderita diabetes tanpa komplikasi-komplikasi yang berat (Santoso, 2006). Senam ini direkomendasikan dilakukan dengan intensitas moderat (60-70 maksimum heart rate),
durasi 30- 60 menit dengan frekuensi 3-5 kali/ minggu dan tidak lebih dari 2 hari
berturut-turut tidak melakukan senam (American Diabetes Associations, 2007).
Salah satu rumah sakit di semarang yang memiliki klub senam diabetes adalah Rumah Sakit Panti
Wilasa Dr.Cipto
Semarang. Pemilihan klub
senam diabetes RS. Panti Wilasa
Dr.Cipto Semarang dikarenakan klub tersebut merupakan salah satu klub senam diabetes yang besar di Semarang dan telah lama berdiri sejak tahun
2007. Pelaksanaan senam dilakukan
seminggu 3 (tiga) kali setiap hari selasa,
rabu, dan jumat.
Senam diabetes harus
sering dilakukan karena senam tersebut bisa mengolah semua
organ tubuh manusia, dimulai dari otak
hingga ke bagian ujung kaki. Karena dampak dari penyakit
diabetes dapat menyerang seluruh tubuh. Dampak paling ringan adalah kaki kesemutan. Sedangkan yang terparah adalah bisa mengakibatkan
stroke. Gerakan yang bervariasi membuat
otak bekerja untuk bisa menghafalnya.
Membiasakan otak bekerja bisa meningkatkan
daya ingat dan memperkuat konsentrasi. Hal ini merupakan terapi untuk stroke ringan serta mencegah terjadinya demensia (pikun). Pentingnya pengontrolan kadar gula darah bagi penderita
diabetes untuk menghindarkan
terjadinya komplikasi yang dapat menyebabkan kematian (Persadia, 2006).
Metode Penelitian
Dalam mencari artikel ini cara
yang digunakan yaitu dengan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa inggris yang relevan terhadap suatu permasalahan. Pencarian dilakukan melalui data base antara lain google scholar. Keyword yang digunakan adalah senam diabetic, sensitivitas
kaki, kadar glukosa darah, pasien diabetes tipe II. Dari berbagai artikel yang telah diperoleh penulis kemudian direview untuk memilih yang sesuai dengan kriteria
dan didapatkan 5 artikel nasional yang selanjutnya dilakukan review.
Artikel pertama
merupakan penelitian yang dilakukan oleh (Erlina,
2013) di RSU Unit Swadana
Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi experiment melalui rancangan penelitian pretest dan
posttest dengan jumlah responden 15 orang. Teknik pengambilan
sampel purposive sampling. Responden
diberi intervensi senam
diabetes 3x/minggu selama 8
minggu. Alat yang digunakan
glukotest. Untuk dapat menganalisis hasil perbedaan kadar glukosa darah
sebelum dan sesudah intervensi menggunakan uji
dependent sample test. Hasil penelitianya yaitu menunjukkan senam diabetes berpengaruh terhadap kadar glukosa darah pasien
DM Tipe 2 (P=0,006). Stres menunjukkan hubungan yang kuat dengan kadar
glukosa darah sebelum intervensi (r=0,688,
P=0,005). Stres menunjukkan
hubungan yang kuat dengan kadar glukosa
darah sesudah intervensi (r=0,575, P=0,025). Hubungan
berpola positif. Penggunaan OHO tidak berhubungan dengan kadar glukosa darah
sebelum intervensi
(P=0,285). Penggunaan OHO berhubungan
dengan kadar glukosa darah sesudah
intervensi (P=0,002). Hal ini sebagian
besar terjadi pada perempuan yang berusia diantara (50 - 70 tahun) dan memiliki status gizi gemuk/obesitas dengan pre-intervensi 192,60 dan
post-intervensi 159,73 dengan
kadar gula darah (P=0,0006,
a=0,05).
Artikel kedua
yaitu hasil penelitian yang dilakukan oleh (Sunaryo
& Sudiro, 2014) di Perkumpulan
Diabetik dengan jumlah 101 responden (49 mengikuti senam diabetic dan 52 tidak
mengikuti senam diabetik). Metode yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif kuantitatif dengan membandingkan nilai ankle
brachial index pada 2 (dua) kelompok
responden yaitu yang mengikuti senam diabetik dan tidak mengikuti senam diabetik. Hasil penelitian analisis hubungan antara
senam diabetik dengan resiko ulkus kaki diabetik diperoleh bahwa pada responden yang tidak mengikuti senam diabetik terdapat 3 orang (6,1%) memiliki resiko ulkus diabetik sedang, 34 orang (69,4%) memiliki resiko ringan, dan 12 orang tidak beresiko. Pada kelompok responden senam diabetik, sebanyak 30 orang (57,7%) normal atau
tidak beresiko ulkus kaki diebetik dan 22 orang
(43,3%) memiliki resiko ringan mengalami ulkus kaki diabetik. Sedangkan hasil uji statistic pearson Chi Square diperoleh P value 0,001 berarti terdapat pengaruh senam diabetik terhadap penurunan resiko ulkus kaki diabetik. Selanjutnya dari hasil uji regresi logistik sederhana diperoleh nilai OR (Odds Rasio) 1,238 artinya pasien yang mengikuti senam
diabetik memiliki peluang menurunkan resiko ulkus diabetik
sebanyak 1 kali dibandingkan
penderita DM yang tidak mengikuti senam.
Artikel ketiga yaitu
penelitian yang dilakukan
oleh (Ova Rachmawati, 2010) di RSUD dr.Moewardi Surakarta. Metode penelitianya yang digunakan adalah cross-sectional dengan pendekatan pre-post observasional dengan subyek penelitian dari penderita DM tipe II di daerah Surakarta baik laki-laki maupun perempuan yang
berusia40-75 Tahun dengan jumlah sampel 42 (5 Laki-laki 37 Perempuan). Hasil penelitian
data di uji statistic dengan menggunakan
uji-t berpasangan p<0.05, sedangkan
uji wiloxcon diperoleh nilai kemaknaan 0.000 (p<0.05)
sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan GDS yang bermakna antara sebelum dan sesudah dilakukannya latihan jasmani yaitu dengan rata-rata hasil GDS pre 141.02 dan post 127.81.
Artikel keempat yaitu
sebuah penelitian jenis kuantitatif dari (Sigit et al., 2013) pada lanjut usia
di Desa Pasuruhan kecamatan� Mertoyudan Kabupaten Magelang dengan jumlah responden 125 (62 lansia kelompok intervensi dan 63 kelompok kontrol) pengambilan sampelnya melalui aksidental atau convenience
sampling. �Metodologinya
quasi eksperimental menggunakan
rancangan pre and post
test group design with control group. Hasil penelitian menunjukkan analisis kadar gula darahg sebelum dan sesudah perlakuan senam kaki pada
lansia di magelang rata-rata
kadar gula darah sebelum perlakuan pada kelompok intervensi sebesar 271,94 (SD= 60,53) dan pada kelompok
kontrol rata-rata kadar
gula darah sebesar 264,08
(SD= 52,64). Sedangkan untuk
rata-rata kadar gula darah sesudah perlakuan pada kelompok intervensi sebesar 243,73 (SD= 49,73) dan pada kelompok
kontrol rata-rata kadar gula
darah sebesar 273,35 (SD=
50,85). Untuk rata-rata sensitivitas
kaki sesudah perlakuan pada
kelompok intervensi sebesar 2,68 (SD= 0,47) dan pada kelompok
kontrol rata-rata sensitivitas
kaki sebesar 1,87 (SD= 0,73). Selisih
mean sensitivitas kaki sebelum
dengan sesudah pada kelompok intervensi sebesar 28,71 sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 9,27.
Artikel kelima merupakan
penelitian dari (Wibisana & Sofiani, 2017) pada pasien diabetes mellitus tipe II di Rumah Sakit Panti Wilasa
Dr. Cipto Semarang dengan sampel berjumlah 42 orang. Penelitian ini menggunakan metode studi observasional dengan studi kohor
bersifat retrospektif yaitu paparan telah
terjadi sebelum peneliti memulai penelitianya karena senam
diabetes telah dilakukan di
klub senam diabetes RS. Panti
Wilasa Dr. Cipto Semarang.
Teknik pengambilan sampel dengan purpose sampling. Uji statistic yang digunakan adalah uji wilcoxon. Hasil penelitianya bahwa yang paling banyak terpapar adalah perempuan sebanyak 34 orang (80,95%)
dan laki-laki 8 orang (19,05%).
Apabila berdasarkan data sampel yang paling muda adalah 42 tahun dan yang paling tua adalah 71 tahun.
Sehingga bahwa pada kelompok terpapar banyak sampel penelitian
yang berusia 51-55 tahun yaitu 9 orang (21,42%) sedangkan
pada kelompok tidak terpapar banyak sampel penelitian yang berusia 46-50 tahun(33,33%). Jika melihat nilai signifikasi dari uji wilcoxon sebelum dan sesudah terpapar adalah 0,0001(p<0.05).
Hasil dan Pembahasan
Dari hasil
literature review yang telah dipaparkan
oleh semua artikel menjelaskan hasil penelitian tentang pengaruh senam diabetic untuk sensitivitas kaki dan menurunkan kadar glukosa darah
pada penderita diabetes mellitus tipe
II. Hasil rata-rata dari semua
jurnal yang ditemukan mengatakan bahwa dengan dilakukanya senam diabetic
pada pasien penderita
diabetes mellitus tipe II mampu
untuk menurunkan kadar glukosa darah
di dalam tubuh dan dapat mempengaruhi sensitivitas kaki seperti dengan jogging, bersepeda dan
lain-lain. Tetapi ada satu jurnal yang menjelaskan setelah diberikanya senam diabetic justru
kadar glukosa darah semakin meningkat.
Senam diabetik
salah satu efektivitas yang
saat ini sering diberikan oleh pihak Rumah Sakit
dan lainnya yang melibatkan
seluruh penderita diabetes
mellitus tipe II. Penderita
diabetes mellitus (DM) sebagian besar
berjenis kelamin perempuan. Hal itu dikarenakan seorang perempuan memproduksi hormone
estrogen yang bisa menyebabkan
peningkatan lemak pada jaringan
subkutis sehingga perempuan cenderung memiliki lemak di dalam tubuhnya yang lebih banyak. Lemak tubuh perempuan >35% sedangkan lemak
tubuh laki � laki >25%.
Selain itu
faktor usia seperti seorang lansia yang berusia 50-70 tahun salah satu penyebab kadar glukosa darah menjadi
naik. Dimana usia ini sangat
erat kaitanya dengan hiperglikemia. Bahwa sering bertambahnya
usia (50-92%) usia lanjut mengalami gangguan toleransi glukosa. Peningkatan kadar glukosa darah
pada lansia merupakan hasil resistensi insulin akibat perubahan komposisi tubuh, turunya aktivitas fisik, perubahan pola makan dan penurunan fungsi neurohormonal.
Adanya faktor
status gizi gemuk yaitu menurut (Medicastore, 2007) menyatakan 80-90% pasien DM tipe II mengalami obestitas. Hal ini disebabkan oleh membrane otot yang semakin jenuh sehingga menyebabkan terjadinya resistensi insulin (Soegondo, 2009).
Rerata kadar
glukosa darah seseorang berdasarkan diagnosis
DM masih menunjukkan hasil di atas normal yaitu 159,73 mg/dl. Sesuai dengan karakteristik sampel yang tergolong lanjut usia rerata
glukosa darah yang dicapai tergolong berhasil dengan baik. Dinyatakan (Santoso, 2006) bahwa sesudah latihan jasmani pada pasien lanjut usia termasuk
cukup baik jika kadar glukosa
darahnya 140-180 mg/dl.
Maka dari
itu, adanya latihan jasmani seperti senam diabetic yang diberikan
oleh beberapa pihak rumah sakit didasari
oleh berbagai alasan antara lain kesadaran pasien untuk meningkatkan
status kesehatan dan mengontrol
gula darah, mengisi kesibukan dan anjuran dokter. Namun juga ada masyarakat di Indonesia yang masih beranggapan bahwa penanganan diabetic hanya dengan pengobatan
saja atau bahkan tidak mau
melakukan latihan fisik hal ini
dipengaruhi oleh faktor pengetahuan yang dilimiki dan persepsi terhadap penanganan dan perawatan
diabetes, motivasi diri dan
informasi yang kurang.
Hasil pemberian
latihan fisik pada lansia sejalan dengan pernyataan dari (World Health Organization, 2008) diabetes melitus merupakan keadaan hiperglikemia kronis yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan keturunan secara bersama-sama, dan mempunyai karakteristik hiperglikemia kronis tidak dapat
disembuhkan tetapi dapat dikontrol. Faktor utama yang harus dikendalikan adalah nilai kadar
gula darah, diupayakan dalam rentang normal atau mendekati rentang normal. Tingginya angka atau kadar
gula darah menunjukkan tingkat kesakitan yang terjadi. Tanda-tanda awal yang biasanya dirasakan lansia seperti banyak makan (polifagi) banyak kencing (poliuri), banyak minum (polidipsi). Seandainya dilakukan pemeriksaan gula darah lebih lanjut akan
menunjukkan adanya peningkatan.
Frekuensi senam dalam
penelitian ini memenuhi standar minimal yaitu 3 kali perminggu dengan teratur. Hal ini sesuai dengan
prinsip senam diabetes yang menyatakan
untuk mencapai hasil yang optimal latihan harus dilakukan teratur 3-5 kali perminggu dan tidak lebih 2 hari
berurutan tanpa latihan (American Diabetes Associations, 2007).
Penurunan kadar
glukosa darah pasien diabetes mellitus (DM) juga dipengaruhi
oleh tercapainya intensitas
yang baik selama intervensi. Intensitas senam dinilai dari target nadi, tekanan darah
dan kadar glukosa darah sebelum dan sesudah intervensi. Kondisi ini sesuai
dengan konsep yang menyatakan latihan akan bermanfaat jika mencapai kondisi
optimal yaitu tekanan darah setelah latihan
tidak lebih dari 180 mmHg dan denyut nadi mencapai 60-79% MHR. Jika kurang dari 60% latihan kurang bermanfaat dan jika lebih dari 79% akan membahayakan kesehatan pasien (Santoso, 2006).
Pendapat (Stanhope & Lancaster, 2013) yang menyatakan
bahwa lansia termasuk suatu kelompok rentan (vulnerable
population) yang lebih mudah
untuk mengalami masalah kesehatan sebagai akibat terpajan resiko atau akibat buruk
dari masalah kesehatan. Salah satu masalah yang berkaitan dengan bertambahnya usia yaitu diabetes melitus. Lansia yang kadar gula darahnya tinggi, akan menjadikan
viskositas atau kekentalan darah tinggi, sehingga akan menghambat sirkulasi darah dan persyarafan terutama daerah atau ujung
kaki sebagai tumpuan tubuh utama. Viskositas
yang tinggi ini juga akan meningkatkan kemampuan bakteri untuk merusak sel-sel
tubuh, sehingga kalau terjadi luka
cenderung sulit atau lama proses penyembuhannya.
Salah satu upaya yang dapat membantu meningkatkan sirkulasi darah yaitu melakukan
aktivitas atau latihan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat (Miller et al., 2004) dengan teori aktivitasnya yang menyatakan bahwa penuaan yang sukses tergantung dari bagaimana lansia merasakan kepuasan dalam melakukan dan mempertahankan aktivitas. Hal ini berkaitan dengan
interaksi sosial dan keterlibatan lansia di lingkungannya sehingga kehilangan peran akan menghilangkan kepuasan seorang lansia. Pendapat itu juga diperkuat oleh (Barnedh et al., 2006) yang menyatakan
bahwa aktivitas fisik mempunyai hubungan bermakna dengan gangguan ekstremitas dimana aktivitas fisik yang rendah, salah satunya tidak teratur berolahraga
berisiko untuk terjadinya gangguan gerak. Biasanya pada lansia diperlukan model intervensi melalui edukasi, supporting dari perawat, dengan juga menerapkan prinsipprinsip teori psikososial, sehingga permasalahan kurangnya motivasi untuk menjaga kesehatan
pada lansia dapat diatasi.
Perubahan nilai
sensitivitas kaki senada dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian di Spanyol yang dilakukan oleh (Sihombing, 2012). Pada 318 diabetisi
dengan neuropati dilakukan perawatan kaki diabet yang dilakukan dengan menjaga sirkulasi darah kaki dihasilkan kelompok yang tidak melakukan perawatan kaki 13 kali berisiko terjadi ulkus diabetika
dibandingkan kelompok yang melakukan perawatan kaki secara teratur (Stanhope & Lancaster, 2013).
Senam kaki merupakan salah satu bentuk keterampilan dimana untuk mencapai
peningkatannya diperlukan waktu yang lama dan teratur serta harus dipraktekkan.
Hal ini sesuai dengan penelitian (El-Sahar et al., 2015) yang menyebutkan
bahwa ada peningkatan keterampilan secara signifikan setelah 6 bulan latihan. Begitu pula penelitian (Barnett et al., 2003) yang mendapati
bahwa latihan fisik yang dilakukan 1 jam per minggu selama satu
tahun dapat menurunkan angka kerusakan sebesar 40 %. Oleh karena itu, senam kaki yang dilakukan secara teratur dan seimbang dapat berdampak positif bagi lansia.
Pengelolaan kaki diabetes mencakup pengendalian gula darah, debridemen/ membuang jaringan yang rusak, pemberian antibiotik, dan obat-obat vaskularisasi. Komplikasi kaki diabetik adalah penyebab amputasi ekstremitas bawah nontraumatik yang paling sering terjadi di dunia industri.
Sebagian besar komplikasi
kaki diabetik mengakibat kan amputasi yang dimulai dengan pembentukan ulkus di kulit. Risiko amputasi
ekstremitas bawah 15 - 46
kali lebih tinggi pada penderita diabetik dibandingkan dengan orang yang tidak menderita diabetes melitus. Selain daripada itu menurut
Amstrong & Lawrence, 1998, komplikasi
kaki merupakan alasan tersering seseorang harus dirawat dengan
diabetes, berjumlah 25% dari
seluruh rujukan diabetes di
Amerika Serikat dan Inggris.
Gangguan sensitivitas
akan menyebabkan berkurangnya aliran darah dan hantaran oksigen pada serabut saraf yang kemudian menyebabkan degenerasi dari serabut saraf.
Keadaan ini akan mengakibatkan neuropati. Di samping itu, dari kasus
ulkus/ gangren diabetes
kaki diabetes melitus, 50% akan
mengalami infeksi akibat munculnya lingkungan gula darah yang subur untuk berkembangnya
bakteri patogen. Karena kekurangan suplai oksigen, bakteri-bakteri yang akan tumbuh subur
terutama bakteri anaerob. Hal ini karena plasma darah penderita diabetes yang tidak terkontrol dengan baik, mempunyai kekentalan (viskositas) yang tinggi. Sehingga aliran darah menjadi
melambat. Akibatnya, nutrisi dan oksigen jaringan tidak cukup. Hal ini menyebabkan luka sukar sembuh dan kuman anaerob berkembang
biak.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan sebagian besar kadar glukosa
darah seseorang sebelum dilakukan intervensi berupa latihan fisik lebih
tinggi dibandingkan setelah adanya intervensi. Hal itu membuktikan bahwa latihan fisik seperti
halnya senam, jogging, bersepeda
atau lari kecil mampu menurunkan
kadar glukosa yang ada di dalam tubuh
sehingga sangat berpengaruh
terhadap penurunan kadar glukosa bagi
penderita diabetes mellitus tipe
II. Biasanya senam yang mampu
mendukung penurunan kadar glukosa darah
harus rutin dilakukan selama 3-5 hari dalam seminggu
diberikan dengan tempat dan suasana yang menyenangkan sehingga dapat meningkatkan kenyamanan, semangat dan motivasi.
Untuk hasil senstivitas
pada kaki penderita diabetes mellitus sebelum intervensi lebih tinggi dibandingkan
setelah adanya intervensi berupa senam kaki.
Hasil analisis ini menyatakan adanya pengaruh senam diabetic terhadap penurunan resiko ulkus kaki diabetic. Oleh karena itu, penderita diabetes mellitus
yang mengikuti senam diabetic berpeluang
menurunkan resiko ulkus kaki diabetic dibandingkan
yang tidak mengikuti senam
diabetic.
BIBLIOGRAFI
American
Diabetes Associations. (2007). Clinical Practise Recommendations. Google Scholar
Barnedh,
H., Sitorus, F., & Ali, W. (2006). Penilaian Keseimbangan Menggunakan Skala
Keseimbangan Berg Pada Lansia Di Kelompok Lansia Puskesmas Tebet. Universitas
Indonesia. Google Scholar
Barnett,
A., Smith, B., Lord, S. R., Williams, M., & Baumand, A. (2003). Community‐Based Group Exercise Improves
Balance And Reduces Falls In At‐Risk
Older People: A Randomised Controlled Trial. Age And Ageing, 32(4),
407�414. Google Scholar
Chan,
J. C. N., Deerochanawong, C., Shera, A. S., Yoon, K.-H., Adam, J. M. F., Van
Binh, T., Chan, S.-P., Fernando, R. E., Horn, L. C., & Khue, N. T. (2007).
Role Of Metformin In The Initiation Of Pharmacotherapy For Type 2 Diabetes: An
Asian-Pacific Perspective. Diabetes Research And Clinical Practice, 75(3),
255�266. Google Scholar
Decroli,
E. (2019). Diabetes Mellitus Tipe 2 (2th Editio). Pusat Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Google Scholar
Dinkes,
J. (2013). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012. 2013. Semarang:
Dinkes Jateng. Google Scholar
El-Sahar,
A. E., Safar, M. M., Zaki, H. F., Attia, A. S., & Ain-Shoka, A. A. (2015).
Sitagliptin Attenuates Transient Cerebral Ischemia/Reperfusion Injury In
Diabetic Rats: Implication Of The Oxidative�Inflammatory�Apoptotic Pathway. Life
Sciences, 126, 81�86. Google Scholar
Erlina,
L. (2013). Pengaruh Berbagai Pengaturan Posisi Duduk Terhadap Fungsi Ventilasi
Paru Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Healthy Journal Jurnal Ilmiah
Kesehatan Ilmu Keperawatan, 1(1), 30�40. Google Scholar
Ilyas,
E. I. (2007). Manfaat Latihan Jasmani Bagi Penyandang Diabetes, Dalam Soegondo.
S., Et Al, Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu, Jakarta: Fkui. Google Scholar
Lundy,
K. S., & Janes, S. (2014). Caring For The Public�s Health (Elsevier
(Ed.); 3th Editio). Jones & Bartlettn Learning. Google Scholar
Medicastore.
(2007). Diabetes, The Sillent Killer. Google Scholar
Miller,
J. M., Fabian, A. C., Reynolds, C. S., Nowak, M. A., Homan, J., Freyberg, M.
J., Ehle, M., Belloni, T., Wijnands, R., & Van Der Klis, M. (2004).
Evidence Of Black Hole Spin In Gx 339�4: Xmm-Newton/Epic-Pn And Rxte Spectroscopy
Of The Very High State. The Astrophysical Journal Letters, 606(2),
L131. Google Scholar
Perkeni.
(2006). Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetus Mellitus Tipe Ii Di
Indonesia. Google Scholar
Persadia.
(2006). Senam Diabetes Seri 3. Google Scholar
Rachmawati,
Oktafia. (2010). Hubungan Latihan Jasmani Terhadap Kadar Glukosa Darah Penderita
Diabetes Mellitus Tipe Ii. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma, 5(2),
112�117. Google Scholar
Rachmawati,
Ova. (2010). Hubungan Latihan Jasmani Terhadap Kadar Glukosa Darah Penderita
Diabetes Melitus Tipe-2. Google Scholar
Santoso.
(2006). Senam Diabetes Seri 3. (3rd Ed.). Yayasan Diabetes Indonesia. Google Scholar
Sigit,
P., Junaiti, S., & Widyastuti. (2013). Pengaruh Senam Kaki Tehadap
Sensitivitas Kaki Dan Kadar Gula Darah Pada Aggregate Lansia Diabetes Mellitus
Di Magelang Jawa Tengah. Google Scholar
Sihombing,
D. (2012). Gambaran Perawatan Kaki Dan Sensasi Sensorik Kaki Pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 Di Poliklinik Dm Rsud. Students E-Journal, 1(1),
29. Google Scholar
Smeltzer,
S. C., & Bare, B. G. (2008). Brunner & Suddarth�s: Texbook Of
Medical Surgical Nursing. Lippincott. Google Scholar
Soegondo.
(2009). Buku Ajar Penyakit Dalam: Insulin: Farmakoterapi Pada Pengendalian
Glikemia Diabetes Mellitus Tipe 2 (4th Editio). Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Google Scholar
Stanhope,
M., & Lancaster, J. (2004). Community Public Health Nursing
(Elsevier (Ed.); 6th Editio). Mosby Publication. Google Scholar
Stanhope,
M., & Lancaster, J. (2013). Foundations Of Nursing In The
Community-Community Oriented Practice (Elsevier (Ed.); Fourth Edi). Mosby
Publication. Google Scholar
Sudoyo,
A. W. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (4th Ed.). Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Google Scholar
Sunaryo,
T., & Sudiro, S. (2014). Pengaruh Senam Diabetik Terhadap Penurunan Resiko
Ulkus Kaki Diabetik Pada Pasien Dm Tipe 2 Di Perkumpulan Diabetik. Interest:
Jurnal Ilmu Kesehatan, 3(1). Google Scholar
Tandra,
H. (2017). Segala Sesuatu Yang Harus Anda Ketahui Tentang Diabetes.
Gramedia Pustaka Utama. Google Scholar
Vitahealth.
(2006). Diabetes Informasi Lengkap Untuk Penderita Dan Keluarganya.
Gramedia Pustaka. Google Scholar
Wibisana,
E., & Sofiani, Y. (2017). Pengaruh Senam Kaki Terhadap Kadar Gula Darah
Pasien Diabetes Melitus Di Rsu Serang Provinsi Banten. Jurnal Jkft, 2(2),
107�114. Google Scholar
World
Health Organization. (2008). Technical Brief For Policy Maker. Google Scholar
Copyright holder: Aina Nurus Sofa, Alfiah Rahmawati (2021) |
First publication right: Jurnal Health Sains |
This article is licensed under: |