Jurnal Health Sains: p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398�����

Vol. 2, No. 11, November 2021

 

PENGARUH SENAM DIABETIK TERHADAP SENSITIVITAS KAKI (ULKUS) DAN KADAR GULA DARAH PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE II

 

Aina Nurus Sofa, Alfiah Rahmawati

Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Jawa Tengah, Indonesia

Email[email protected], [email protected]

 

info artikel

abstraK

Diterima

5 November 2021

Direvisi

15 November 2021

Disetujui

25 November 2021

Di Indonesia angka kejadian penderita diabetes mellitus terus meningkat. Komplikasi diabetes terjadi pada semua organ tubuh dengan penyebab kematian 50% akibat penyakit jantung koroner dan 30% akibat gagal ginjal. Selain kematian, diabetes juga menyebabkan kecacatan. Sebanyak 30% penderita diabetes mengalami kebutaan akibat komplikasi retinopati dan 10% menjalani amputasi tungkai kaki karena ulkus diabetik. Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit gangguan metabolisme yang ditandai dengan meningkatnya glukosa dalam darah sebagai akibat dari adanya gangguan produksi insulin atau gangguan kinerja insulin atau karena kedua-duanya. Penatalaksanaan diabetes mellitus melalui cara lima pilar utama, salah satunya senam diabetik. Senam diabetik adalah bentuk latihan fisik aerobik bagi penderita diabetes dengan serangkaian gerakan yang telah dipilih secara sengaja mengikuti irama musik pilihan sehingga melahirkan ketentuan ritmis, kontinuitas dan durasi tertentu untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan. Senam ini direkomendasikan 3-5 kali/minggu. Tujuannya yaitu untuk mengetahui sensitivitas kondisi pada kaki penderita diabetes mellitus, perbedaan kadar gula darah sebelum dan sesudah melaksanakan senam diabetik pada pasien DM Tipe II. Pencarian artikel ini dilakukan berbasis data seperti google scholar. Kata kuncinya adalah �senam diabetic�, �sensitivitas kaki�, �kadar glukosa darah�, �pasien diabetes tipe II� dan penulis menemukan 5 artikel yang relevan dari 2014-2020. Artikel ini diharapkan menjadi tambahan informasi untuk tetap menjadwalkan senam diabetic secara rutin dan berkelanjutan.

 

ABSTRACT

In Indonesia the incidence of diabetes mellitus continues to increase. Complications of diabetes occur in all organs of the body with a 50% cause of death due to coronary heart disease and 30% due to kidney failure. Besides death, diabetes also causes disability. As many as 30% of diabetics overcome the complications of retinopathy and 10% overcome foot amputations due to diabetic ulcers. Diabetes mellitus is a disease characterized by evolution caused by differences in insulin production or impaired insulin performance or because of both. Management of diabetes mellitus through the five main pillars, one of which is diabetic exercise. Diabetic gymnastics is a form of aerobic physical exercise for diabetics with movements that have been deliberately chosen to follow the rhythm of the chosen music that requires the provision of rhythmic, continuity and a certain duration to achieve the expected goals. This gymnastics suggests 3-5 times / week. The aim is to determine the sensitivity of the feet of people with diabetes mellitus, the difference in blood sugar levels before and after formulation in patients with Type II DM. This search article is based on data such as Google Scholar. The key words are "diabetes exercise", "foot sensitivity", "blood glucose levels", "type II diabetes patients" and the authors found 5 relevant articles from 2014-2020. This article is expected to be an additional information to keep scheduling diabetic gymnastics regularly and continuously.

Kata Kunci:

senam diabetic; sensitivitas kaki; kadar glukosa darah; pasien diabetes tipe `II

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

diabetes exercise; foot sensitivity; blood glucose levels; type II diabetes patients


 


Pendahuluan

penyakit menular ke penyakit tidak menular, semakin banyak muncul penyakit degeneratif salah satunya adalah diabetes mellitus. Diabetes adalah suatu penyakit, dimana tubuh penderitanya tidak bisa secara otomatis mengendalikan tingkat gula (glukosa) dalam darahnya (Sudoyo, 2006).

Proses menua menjadikan lanjut usia (lansia) sebagai populasi yang rentan terhadap masalah, baik fisik, psikologis, dan sosial, khususnya yang terkait dengan proses menua. Kerentanan mengacu pada kondisi individu yang lebih sensitif terhadap faktor risiko daripada yang lain (Stanhope & Lancaster, 2013).

Kelompok beresiko (population risk) dapat menyebabkan terjadinya diabetes melitus. Population risk meliputi kelompok tertentu di komunitas atau masyarakat yang mengalami keterbatasan fisik, sosial, ekonomi, gaya hidup dan kejadian hidup atau pengalaman hidup dapat sebagai penyebab terjadinya masalah kesehatan (Stanhope & Lancaster, 2004). Suatu kelompok yang memiliki risiko atau kombinasi risiko salah satunya misalnya kemiskinan atau status sosial ekonomi rendah yang dapat mempengaruhi kesehatan, biasanya menjadi lebih lebih mudah atau rentan terserang penyakit (Lundy & Janes, 2014). Kelompok sosial yang mempunyai peningkatan risiko atau kerentanan terhadap kesehatan yang buruk (Stanhope & Lancaster, 2004).

Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit sillent killer atau penyakit metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) karena hormone insulin yang diproduksi oleh kelenjar pancreas tidak mampu bekerja dengan baik dan terjadi kegagalan sekresi insulin atau penggunaan insulin dalam metabolisme yang tidak adekuat. Kegagalan sekresi atau ketidak adekuatan penggunaan insulin dalam metabolisme tersebut dapat menimbulkan gejala hiperglikemia. Hiperglikemia kronik dan gangguan metabolik diabetik melitus lainnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan organ, seperti mata, ginjal, syaraf, dan sistem vaskular. Ulkus diabetikum merupakan salah satu komplikasi diabetes melitus pada sistem integumen, diawali dengan adanya rasa baal atau kesemutan. Sehingga untuk mempertahankan glukosa darah yang stabil membutuhkan terapi insulin atau obat pemacu sekresi insulin (Sudoyo, 2006).

Secara klinis terdapat dua tipe diabetes, yaitu DM tipe 1 yang disebabkan kurangnya insulin secara absolute akibat proses autoimun dan DM tipe 2 yang merupakan kasus terbanyak (90-95% dari seluruh kasus diabetes) yang umumnya mempunyai latar belakang kelainan diawali dengan resistensi insulin (American Diabetes Associations, 2007). Diabetes melitus tipe 2 berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, sehingga berjalan tanpa terdeteksi karena gejala yang dialami pasien sering bersifat ringan seperti kelelahan, irritabilitas, poliuria, polidipsi, dan luka yang lama sembuh (Smeltzer & Bare, 2008).

Prevalensi diabetes semakin meningkat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan pada tahun 2006 sedikitnya 171 juta orang mengalami diabetes. Insiden akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2030. Di Indonesia, pada tahun 2000-an, penduduk yang berusia diatas 20 tahun adalah 125 juta jiwa. Jika prevalensi kejadian DM 4.6 %, maka jumlah pasien DM 5.6 juta jiwa. Berdasarkan pola pertambahan penduduk seperti ini,diperkirakan awal tahun 2020 jumlah penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sekitar 178 juta jiwa dan diasumsikan akan terjadi kenaikan prevalensi kejadian DM sekitar 8.2 juta jiwa (Sudoyo, 2006).

Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi Diabetes Mellitus (DM) tipe II di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar untuk tahun-tahun mendatang. Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan dari hasil penelitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada dekade 1980 menunjukkan sebaran prevalensi DM tipe II antara 0,8% di Tanah Toraja, sampai 6,1% yang didapatkan di Manado. Hasil penelitian pada era 2000 menunjukkan peningkatan prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh penelitian di Jakarta (daerah urban) dari prevalensi DM 1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan kemudian menjadi 12,8% pada tahun 2001 di daerah sub-urban Jakarta.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat penyandang diabetes sejumlah 8,2 juta di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. Suatu jumlah yang sangat besar dan merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter spesialis/ subspesialis bahkan oleh semua tenaga kesehatan yang ada. Mengingat bahwa DM akan memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar, semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, seharusnya ikut serta dalam usaha penanggulangan DM, khususnya dalam upaya pencegahan (PERKENI, 2006).

Seiring dengan peningkatan jumlah penderita DM, maka komplikasi yang terjadi juga semakin meningkat, satu diantaranya adalah ulserasi yang mengenai tungkai bawah, dengan atau tanpa infeksi dan menyebabkan kerusakan jaringan di bawahnya yang selanjutnya disebut dengan kaki diabetes (KD). Manifestasi KD dapat berupa dermopati, selulitis, ulkus, gangrene, dan osteomyelitis. KD merupakan masalah yang kompleks dan menjadi alasan utama mengapa penderita DM menjalani perawatan di rumah sakit yang selama rawatan membutuhkan biaya sangat mahal dan sering tidak terjangkau oleh kebanyakan masyarakat umum.

Komplikasi kaki diabetik merupakan penyebab tersering dilakukannya amputasi yang didasari oleh kejadian non traumatik. Risiko amputasi 15-40 kali lebih sering pada penderita DM dibandingkan dengan non-DM. Komplikasi akibat kaki diabetik menyebabkan lama rawat penderita DM menjadi lebih panjang. Lebih dari 25% penderita DM yang dirawat adalah akibat kaki diabetik. Sebagian besar amputasi pada kaki diabetik bermula dari ulkus pada kulit. Bila dilakukan deteksi dini dan pengobatan yang adekuat akan dapat mengurangi kejadian tindakan amputasi. Ironisnya evaluasi dini dan penanganan yang adekuat di rumah sakit tidak optimal (Decroli, 2019).

Kebiasaan maupun perilaku masyarakat seperti kurang menjaga kebersihan kaki dan tidak menggunakan alas kaki saat beraktivitas akan beresiko terjadi perlukaan pada daerah kaki. Keadaan kaki diabetik lanjut yang tidak ditangani secara tepat dapat /berkembang menjadi suatu tindakan pemotongan amputasi kaki. Adanya luka dan masalah lain pada kaki merupakan penyebab utama kesakitan morbiditas, ketidakmampuan disabilitas, dan kematian mortalitas pada seseorang yang menderita diabetes melitus (Soegondo, 2009). Peran perawat komunitas dalam memberdayakan individu, keluarga, dan masyarakat sangat diperlukan dalam mengelola permasalahan kesehatan yang terjadi.

Resiko Ulkus kaki dapat dicegah dengan latihan jasmani seperti senam diabetic. Latihan jasmani merupakan upaya awal dalam mencegah, mengontrol, dan mengatasi diabetes. Dijelaskan (Chan et al., 2007) bahwa secara langsung latihan jasmani dapat menyebabkan penurunan glukosa darah karena latihan jasmani dapat menyebabkan terjadinya peningkatan pemakaian glukosa oleh otot yang aktif. Lebih lanjut (Ilyas, 2007) menjelaskan latihan jasmani akan menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah, menyebabkan lebih banyak jala-jala kapiler terbuka sehingga lebih banyak tersedia reseptor insulin dan reseptor menjadi lebih aktif yang akan berpengaruh terhadap penurunan glukosa darah pada pasien diabetes.

Diabetes Mellitus telah menjadi penyebab kematian terbesar keempat di dunia. Setiap tahun ada 3,2 juta kematian yang disebabkan langsung oleh diabetes. Berarti ada 1 orang per 10 detik atau 6 orang per menit yang meninggal akibat penyakit yang berkaitan dengan diabetes. Penderita DM di Indonesia sebanyak 4,5 juta pada tahun 1995, terbanyak ketujuh di dunia. Sekarang angka ini meningkat menjadi 8,4 juta dan diperkirakan akan menjadi 12,4 juta pada tahun 2025 atau urutan kelima di dunia (Tandra, 2017). Data dari Dinkes Jateng menunjukkan bahwa dari tahun 2007-2009, DM tipe II menempati urutan kedua dari lima belas besar Penyakit Tidak Menular di Jawa Tengah. Pada tahun 2007 jumlah penderita sebanyak 249.181, pada tahun 2008 sebanyak 200.295 penderita, dan pada tahun 2009 sebanyak 245.907 penderita. Kota Semarang menempati urutan pertama penderita DM tipe II dengan 36.353 penderita (Dinkes, 2013).

Penderita diabetes mellitus sebaiknya melaksanakan 4 (empat) pilar pengelolaan diabetes mellitus yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis (American Diabetes Associations, 2007). Latihan jasmani secara teratur dapat menurunkan kadar gula darah. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah (Vitahealth, 2006). Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, berenang, dan senam diabetes (Oktafia Rachmawati, 2010).

Latihan jasmani merupakan upaya awal dalam mencegah, mengontrol, dan mengatasi diabetes. (Ilyas, 2007) menjelaskan latihan jasmani menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah, jala-jala kapiler lebih banyak terbuka sehingga lebih banyak tersedia reseptor insulin dan reseptor menjadi lebih aktif yang akan berpengaruh terhadap penurunan glukosa darah pada pasien diabetes (Sigit et al., 2013).

Senam Diabetes Indonesia merupakan senam aerobic low impact dan ritmis yang telah dilaksanakan sejak tahun 1997 di klub-klub diabetes di Indonesia. Senam ini bertujuan untuk meningkatkan kesegaran jasmani atau nilai aerobic yang optimal bagi penderita diabetes tanpa komplikasi-komplikasi yang berat (Santoso, 2006). Senam ini direkomendasikan dilakukan dengan intensitas moderat (60-70 maksimum heart rate), durasi 30- 60 menit dengan frekuensi 3-5 kali/ minggu dan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut tidak melakukan senam (American Diabetes Associations, 2007).

Salah satu rumah sakit di semarang yang memiliki klub senam diabetes adalah Rumah Sakit Panti Wilasa Dr.Cipto Semarang. Pemilihan klub senam diabetes RS. Panti Wilasa Dr.Cipto Semarang dikarenakan klub tersebut merupakan salah satu klub senam diabetes yang besar di Semarang dan telah lama berdiri sejak tahun 2007. Pelaksanaan senam dilakukan seminggu 3 (tiga) kali setiap hari selasa, rabu, dan jumat.

Senam diabetes harus sering dilakukan karena senam tersebut bisa mengolah semua organ tubuh manusia, dimulai dari otak hingga ke bagian ujung kaki. Karena dampak dari penyakit diabetes dapat menyerang seluruh tubuh. Dampak paling ringan adalah kaki kesemutan. Sedangkan yang terparah adalah bisa mengakibatkan stroke. Gerakan yang bervariasi membuat otak bekerja untuk bisa menghafalnya. Membiasakan otak bekerja bisa meningkatkan daya ingat dan memperkuat konsentrasi. Hal ini merupakan terapi untuk stroke ringan serta mencegah terjadinya demensia (pikun). Pentingnya pengontrolan kadar gula darah bagi penderita diabetes untuk menghindarkan terjadinya komplikasi yang dapat menyebabkan kematian (Persadia, 2006).

 

Metode Penelitian

Dalam mencari artikel ini cara yang digunakan yaitu dengan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa inggris yang relevan terhadap suatu permasalahan. Pencarian dilakukan melalui data base antara lain google scholar. Keyword yang digunakan adalah senam diabetic, sensitivitas kaki, kadar glukosa darah, pasien diabetes tipe II. Dari berbagai artikel yang telah diperoleh penulis kemudian direview untuk memilih yang sesuai dengan kriteria dan didapatkan 5 artikel nasional yang selanjutnya dilakukan review.

Artikel pertama merupakan penelitian yang dilakukan oleh (Erlina, 2013) di RSU Unit Swadana Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi experiment melalui rancangan penelitian pretest dan posttest dengan jumlah responden 15 orang. Teknik pengambilan sampel purposive sampling. Responden diberi intervensi senam diabetes 3x/minggu selama 8 minggu. Alat yang digunakan glukotest. Untuk dapat menganalisis hasil perbedaan kadar glukosa darah sebelum dan sesudah intervensi menggunakan uji dependent sample test. Hasil penelitianya yaitu menunjukkan senam diabetes berpengaruh terhadap kadar glukosa darah pasien DM Tipe 2 (P=0,006). Stres menunjukkan hubungan yang kuat dengan kadar glukosa darah sebelum intervensi (r=0,688, P=0,005). Stres menunjukkan hubungan yang kuat dengan kadar glukosa darah sesudah intervensi (r=0,575, P=0,025). Hubungan berpola positif. Penggunaan OHO tidak berhubungan dengan kadar glukosa darah sebelum intervensi (P=0,285). Penggunaan OHO berhubungan dengan kadar glukosa darah sesudah intervensi (P=0,002). Hal ini sebagian besar terjadi pada perempuan yang berusia diantara (50 - 70 tahun) dan memiliki status gizi gemuk/obesitas dengan pre-intervensi 192,60 dan post-intervensi 159,73 dengan kadar gula darah (P=0,0006, a=0,05).

Artikel kedua yaitu hasil penelitian yang dilakukan oleh (Sunaryo & Sudiro, 2014) di Perkumpulan Diabetik dengan jumlah 101 responden (49 mengikuti senam diabetic dan 52 tidak mengikuti senam diabetik). Metode yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif kuantitatif dengan membandingkan nilai ankle brachial index pada 2 (dua) kelompok responden yaitu yang mengikuti senam diabetik dan tidak mengikuti senam diabetik. Hasil penelitian analisis hubungan antara senam diabetik dengan resiko ulkus kaki diabetik diperoleh bahwa pada responden yang tidak mengikuti senam diabetik terdapat 3 orang (6,1%) memiliki resiko ulkus diabetik sedang, 34 orang (69,4%) memiliki resiko ringan, dan 12 orang tidak beresiko. Pada kelompok responden senam diabetik, sebanyak 30 orang (57,7%) normal atau tidak beresiko ulkus kaki diebetik dan 22 orang (43,3%) memiliki resiko ringan mengalami ulkus kaki diabetik. Sedangkan hasil uji statistic pearson Chi Square diperoleh P value 0,001 berarti terdapat pengaruh senam diabetik terhadap penurunan resiko ulkus kaki diabetik. Selanjutnya dari hasil uji regresi logistik sederhana diperoleh nilai OR (Odds Rasio) 1,238 artinya pasien yang mengikuti senam diabetik memiliki peluang menurunkan resiko ulkus diabetik sebanyak 1 kali dibandingkan penderita DM yang tidak mengikuti senam.

Artikel ketiga yaitu penelitian yang dilakukan oleh (Ova Rachmawati, 2010) di RSUD dr.Moewardi Surakarta. Metode penelitianya yang digunakan adalah cross-sectional dengan pendekatan pre-post observasional dengan subyek penelitian dari penderita DM tipe II di daerah Surakarta baik laki-laki maupun perempuan yang berusia40-75 Tahun dengan jumlah sampel 42 (5 Laki-laki 37 Perempuan). Hasil penelitian data di uji statistic dengan menggunakan uji-t berpasangan p<0.05, sedangkan uji wiloxcon diperoleh nilai kemaknaan 0.000 (p<0.05) sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan GDS yang bermakna antara sebelum dan sesudah dilakukannya latihan jasmani yaitu dengan rata-rata hasil GDS pre 141.02 dan post 127.81.

Artikel keempat yaitu sebuah penelitian jenis kuantitatif dari (Sigit et al., 2013) pada lanjut usia di Desa Pasuruhan kecamatan� Mertoyudan Kabupaten Magelang dengan jumlah responden 125 (62 lansia kelompok intervensi dan 63 kelompok kontrol) pengambilan sampelnya melalui aksidental atau convenience sampling. �Metodologinya quasi eksperimental menggunakan rancangan pre and post test group design with control group. Hasil penelitian menunjukkan analisis kadar gula darahg sebelum dan sesudah perlakuan senam kaki pada lansia di magelang rata-rata kadar gula darah sebelum perlakuan pada kelompok intervensi sebesar 271,94 (SD= 60,53) dan pada kelompok kontrol rata-rata kadar gula darah sebesar 264,08 (SD= 52,64). Sedangkan untuk rata-rata kadar gula darah sesudah perlakuan pada kelompok intervensi sebesar 243,73 (SD= 49,73) dan pada kelompok kontrol rata-rata kadar gula darah sebesar 273,35 (SD= 50,85). Untuk rata-rata sensitivitas kaki sesudah perlakuan pada kelompok intervensi sebesar 2,68 (SD= 0,47) dan pada kelompok kontrol rata-rata sensitivitas kaki sebesar 1,87 (SD= 0,73). Selisih mean sensitivitas kaki sebelum dengan sesudah pada kelompok intervensi sebesar 28,71 sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 9,27.

Artikel kelima merupakan penelitian dari (Wibisana & Sofiani, 2017) pada pasien diabetes mellitus tipe II di Rumah Sakit Panti Wilasa Dr. Cipto Semarang dengan sampel berjumlah 42 orang. Penelitian ini menggunakan metode studi observasional dengan studi kohor bersifat retrospektif yaitu paparan telah terjadi sebelum peneliti memulai penelitianya karena senam diabetes telah dilakukan di klub senam diabetes RS. Panti Wilasa Dr. Cipto Semarang. Teknik pengambilan sampel dengan purpose sampling. Uji statistic yang digunakan adalah uji wilcoxon. Hasil penelitianya bahwa yang paling banyak terpapar adalah perempuan sebanyak 34 orang (80,95%) dan laki-laki 8 orang (19,05%).

Apabila berdasarkan data sampel yang paling muda adalah 42 tahun dan yang paling tua adalah 71 tahun. Sehingga bahwa pada kelompok terpapar banyak sampel penelitian yang berusia 51-55 tahun yaitu 9 orang (21,42%) sedangkan pada kelompok tidak terpapar banyak sampel penelitian yang berusia 46-50 tahun(33,33%). Jika melihat nilai signifikasi dari uji wilcoxon sebelum dan sesudah terpapar adalah 0,0001(p<0.05).

 

Hasil dan Pembahasan

Dari hasil literature review yang telah dipaparkan oleh semua artikel menjelaskan hasil penelitian tentang pengaruh senam diabetic untuk sensitivitas kaki dan menurunkan kadar glukosa darah pada penderita diabetes mellitus tipe II. Hasil rata-rata dari semua jurnal yang ditemukan mengatakan bahwa dengan dilakukanya senam diabetic pada pasien penderita diabetes mellitus tipe II mampu untuk menurunkan kadar glukosa darah di dalam tubuh dan dapat mempengaruhi sensitivitas kaki seperti dengan jogging, bersepeda dan lain-lain. Tetapi ada satu jurnal yang menjelaskan setelah diberikanya senam diabetic justru kadar glukosa darah semakin meningkat.

Senam diabetik salah satu efektivitas yang saat ini sering diberikan oleh pihak Rumah Sakit dan lainnya yang melibatkan seluruh penderita diabetes mellitus tipe II. Penderita diabetes mellitus (DM) sebagian besar berjenis kelamin perempuan. Hal itu dikarenakan seorang perempuan memproduksi hormone estrogen yang bisa menyebabkan peningkatan lemak pada jaringan subkutis sehingga perempuan cenderung memiliki lemak di dalam tubuhnya yang lebih banyak. Lemak tubuh perempuan >35% sedangkan lemak tubuh laki � laki >25%.

Selain itu faktor usia seperti seorang lansia yang berusia 50-70 tahun salah satu penyebab kadar glukosa darah menjadi naik. Dimana usia ini sangat erat kaitanya dengan hiperglikemia. Bahwa sering bertambahnya usia (50-92%) usia lanjut mengalami gangguan toleransi glukosa. Peningkatan kadar glukosa darah pada lansia merupakan hasil resistensi insulin akibat perubahan komposisi tubuh, turunya aktivitas fisik, perubahan pola makan dan penurunan fungsi neurohormonal.

Adanya faktor status gizi gemuk yaitu menurut (Medicastore, 2007) menyatakan 80-90% pasien DM tipe II mengalami obestitas. Hal ini disebabkan oleh membrane otot yang semakin jenuh sehingga menyebabkan terjadinya resistensi insulin (Soegondo, 2009).

Rerata kadar glukosa darah seseorang berdasarkan diagnosis DM masih menunjukkan hasil di atas normal yaitu 159,73 mg/dl. Sesuai dengan karakteristik sampel yang tergolong lanjut usia rerata glukosa darah yang dicapai tergolong berhasil dengan baik. Dinyatakan (Santoso, 2006) bahwa sesudah latihan jasmani pada pasien lanjut usia termasuk cukup baik jika kadar glukosa darahnya 140-180 mg/dl.

Maka dari itu, adanya latihan jasmani seperti senam diabetic yang diberikan oleh beberapa pihak rumah sakit didasari oleh berbagai alasan antara lain kesadaran pasien untuk meningkatkan status kesehatan dan mengontrol gula darah, mengisi kesibukan dan anjuran dokter. Namun juga ada masyarakat di Indonesia yang masih beranggapan bahwa penanganan diabetic hanya dengan pengobatan saja atau bahkan tidak mau melakukan latihan fisik hal ini dipengaruhi oleh faktor pengetahuan yang dilimiki dan persepsi terhadap penanganan dan perawatan diabetes, motivasi diri dan informasi yang kurang.

Hasil pemberian latihan fisik pada lansia sejalan dengan pernyataan dari (World Health Organization, 2008) diabetes melitus merupakan keadaan hiperglikemia kronis yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan keturunan secara bersama-sama, dan mempunyai karakteristik hiperglikemia kronis tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol. Faktor utama yang harus dikendalikan adalah nilai kadar gula darah, diupayakan dalam rentang normal atau mendekati rentang normal. Tingginya angka atau kadar gula darah menunjukkan tingkat kesakitan yang terjadi. Tanda-tanda awal yang biasanya dirasakan lansia seperti banyak makan (polifagi) banyak kencing (poliuri), banyak minum (polidipsi). Seandainya dilakukan pemeriksaan gula darah lebih lanjut akan menunjukkan adanya peningkatan.

Frekuensi senam dalam penelitian ini memenuhi standar minimal yaitu 3 kali perminggu dengan teratur. Hal ini sesuai dengan prinsip senam diabetes yang menyatakan untuk mencapai hasil yang optimal latihan harus dilakukan teratur 3-5 kali perminggu dan tidak lebih 2 hari berurutan tanpa latihan (American Diabetes Associations, 2007).

Penurunan kadar glukosa darah pasien diabetes mellitus (DM) juga dipengaruhi oleh tercapainya intensitas yang baik selama intervensi. Intensitas senam dinilai dari target nadi, tekanan darah dan kadar glukosa darah sebelum dan sesudah intervensi. Kondisi ini sesuai dengan konsep yang menyatakan latihan akan bermanfaat jika mencapai kondisi optimal yaitu tekanan darah setelah latihan tidak lebih dari 180 mmHg dan denyut nadi mencapai 60-79% MHR. Jika kurang dari 60% latihan kurang bermanfaat dan jika lebih dari 79% akan membahayakan kesehatan pasien (Santoso, 2006).

Pendapat (Stanhope & Lancaster, 2013) yang menyatakan bahwa lansia termasuk suatu kelompok rentan (vulnerable population) yang lebih mudah untuk mengalami masalah kesehatan sebagai akibat terpajan resiko atau akibat buruk dari masalah kesehatan. Salah satu masalah yang berkaitan dengan bertambahnya usia yaitu diabetes melitus. Lansia yang kadar gula darahnya tinggi, akan menjadikan viskositas atau kekentalan darah tinggi, sehingga akan menghambat sirkulasi darah dan persyarafan terutama daerah atau ujung kaki sebagai tumpuan tubuh utama. Viskositas yang tinggi ini juga akan meningkatkan kemampuan bakteri untuk merusak sel-sel tubuh, sehingga kalau terjadi luka cenderung sulit atau lama proses penyembuhannya. Salah satu upaya yang dapat membantu meningkatkan sirkulasi darah yaitu melakukan aktivitas atau latihan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat (Miller et al., 2004) dengan teori aktivitasnya yang menyatakan bahwa penuaan yang sukses tergantung dari bagaimana lansia merasakan kepuasan dalam melakukan dan mempertahankan aktivitas. Hal ini berkaitan dengan interaksi sosial dan keterlibatan lansia di lingkungannya sehingga kehilangan peran akan menghilangkan kepuasan seorang lansia. Pendapat itu juga diperkuat oleh (Barnedh et al., 2006) yang menyatakan bahwa aktivitas fisik mempunyai hubungan bermakna dengan gangguan ekstremitas dimana aktivitas fisik yang rendah, salah satunya tidak teratur berolahraga berisiko untuk terjadinya gangguan gerak. Biasanya pada lansia diperlukan model intervensi melalui edukasi, supporting dari perawat, dengan juga menerapkan prinsipprinsip teori psikososial, sehingga permasalahan kurangnya motivasi untuk menjaga kesehatan pada lansia dapat diatasi.

Perubahan nilai sensitivitas kaki senada dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian di Spanyol yang dilakukan oleh (Sihombing, 2012). Pada 318 diabetisi dengan neuropati dilakukan perawatan kaki diabet yang dilakukan dengan menjaga sirkulasi darah kaki dihasilkan kelompok yang tidak melakukan perawatan kaki 13 kali berisiko terjadi ulkus diabetika dibandingkan kelompok yang melakukan perawatan kaki secara teratur (Stanhope & Lancaster, 2013).

Senam kaki merupakan salah satu bentuk keterampilan dimana untuk mencapai peningkatannya diperlukan waktu yang lama dan teratur serta harus dipraktekkan. Hal ini sesuai dengan penelitian (El-Sahar et al., 2015) yang menyebutkan bahwa ada peningkatan keterampilan secara signifikan setelah 6 bulan latihan. Begitu pula penelitian (Barnett et al., 2003) yang mendapati bahwa latihan fisik yang dilakukan 1 jam per minggu selama satu tahun dapat menurunkan angka kerusakan sebesar 40 %. Oleh karena itu, senam kaki yang dilakukan secara teratur dan seimbang dapat berdampak positif bagi lansia.

Pengelolaan kaki diabetes mencakup pengendalian gula darah, debridemen/ membuang jaringan yang rusak, pemberian antibiotik, dan obat-obat vaskularisasi. Komplikasi kaki diabetik adalah penyebab amputasi ekstremitas bawah nontraumatik yang paling sering terjadi di dunia industri. Sebagian besar komplikasi kaki diabetik mengakibat kan amputasi yang dimulai dengan pembentukan ulkus di kulit. Risiko amputasi ekstremitas bawah 15 - 46 kali lebih tinggi pada penderita diabetik dibandingkan dengan orang yang tidak menderita diabetes melitus. Selain daripada itu menurut Amstrong & Lawrence, 1998, komplikasi kaki merupakan alasan tersering seseorang harus dirawat dengan diabetes, berjumlah 25% dari seluruh rujukan diabetes di Amerika Serikat dan Inggris.

Gangguan sensitivitas akan menyebabkan berkurangnya aliran darah dan hantaran oksigen pada serabut saraf yang kemudian menyebabkan degenerasi dari serabut saraf. Keadaan ini akan mengakibatkan neuropati. Di samping itu, dari kasus ulkus/ gangren diabetes kaki diabetes melitus, 50% akan mengalami infeksi akibat munculnya lingkungan gula darah yang subur untuk berkembangnya bakteri patogen. Karena kekurangan suplai oksigen, bakteri-bakteri yang akan tumbuh subur terutama bakteri anaerob. Hal ini karena plasma darah penderita diabetes yang tidak terkontrol dengan baik, mempunyai kekentalan (viskositas) yang tinggi. Sehingga aliran darah menjadi melambat. Akibatnya, nutrisi dan oksigen jaringan tidak cukup. Hal ini menyebabkan luka sukar sembuh dan kuman anaerob berkembang biak.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan sebagian besar kadar glukosa darah seseorang sebelum dilakukan intervensi berupa latihan fisik lebih tinggi dibandingkan setelah adanya intervensi. Hal itu membuktikan bahwa latihan fisik seperti halnya senam, jogging, bersepeda atau lari kecil mampu menurunkan kadar glukosa yang ada di dalam tubuh sehingga sangat berpengaruh terhadap penurunan kadar glukosa bagi penderita diabetes mellitus tipe II. Biasanya senam yang mampu mendukung penurunan kadar glukosa darah harus rutin dilakukan selama 3-5 hari dalam seminggu diberikan dengan tempat dan suasana yang menyenangkan sehingga dapat meningkatkan kenyamanan, semangat dan motivasi.

Untuk hasil senstivitas pada kaki penderita diabetes mellitus sebelum intervensi lebih tinggi dibandingkan setelah adanya intervensi berupa senam kaki. Hasil analisis ini menyatakan adanya pengaruh senam diabetic terhadap penurunan resiko ulkus kaki diabetic. Oleh karena itu, penderita diabetes mellitus yang mengikuti senam diabetic berpeluang menurunkan resiko ulkus kaki diabetic dibandingkan yang tidak mengikuti senam diabetic.

 

BIBLIOGRAFI

 

American Diabetes Associations. (2007). Clinical Practise Recommendations. Google Scholar

 

Barnedh, H., Sitorus, F., & Ali, W. (2006). Penilaian Keseimbangan Menggunakan Skala Keseimbangan Berg Pada Lansia Di Kelompok Lansia Puskesmas Tebet. Universitas Indonesia. Google Scholar

 

Barnett, A., Smith, B., Lord, S. R., Williams, M., & Baumand, A. (2003). CommunityBased Group Exercise Improves Balance And Reduces Falls In AtRisk Older People: A Randomised Controlled Trial. Age And Ageing, 32(4), 407�414. Google Scholar

 

Chan, J. C. N., Deerochanawong, C., Shera, A. S., Yoon, K.-H., Adam, J. M. F., Van Binh, T., Chan, S.-P., Fernando, R. E., Horn, L. C., & Khue, N. T. (2007). Role Of Metformin In The Initiation Of Pharmacotherapy For Type 2 Diabetes: An Asian-Pacific Perspective. Diabetes Research And Clinical Practice, 75(3), 255�266. Google Scholar

 

Decroli, E. (2019). Diabetes Mellitus Tipe 2 (2th Editio). Pusat Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Google Scholar

 

Dinkes, J. (2013). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012. 2013. Semarang: Dinkes Jateng. Google Scholar

 

El-Sahar, A. E., Safar, M. M., Zaki, H. F., Attia, A. S., & Ain-Shoka, A. A. (2015). Sitagliptin Attenuates Transient Cerebral Ischemia/Reperfusion Injury In Diabetic Rats: Implication Of The Oxidative�Inflammatory�Apoptotic Pathway. Life Sciences, 126, 81�86. Google Scholar

 

Erlina, L. (2013). Pengaruh Berbagai Pengaturan Posisi Duduk Terhadap Fungsi Ventilasi Paru Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Healthy Journal Jurnal Ilmiah Kesehatan Ilmu Keperawatan, 1(1), 30�40. Google Scholar

 

Ilyas, E. I. (2007). Manfaat Latihan Jasmani Bagi Penyandang Diabetes, Dalam Soegondo. S., Et Al, Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu, Jakarta: Fkui. Google Scholar

 

Lundy, K. S., & Janes, S. (2014). Caring For The Public�s Health (Elsevier (Ed.); 3th Editio). Jones & Bartlettn Learning. Google Scholar

 

Medicastore. (2007). Diabetes, The Sillent Killer. Google Scholar

 

Miller, J. M., Fabian, A. C., Reynolds, C. S., Nowak, M. A., Homan, J., Freyberg, M. J., Ehle, M., Belloni, T., Wijnands, R., & Van Der Klis, M. (2004). Evidence Of Black Hole Spin In Gx 339�4: Xmm-Newton/Epic-Pn And Rxte Spectroscopy Of The Very High State. The Astrophysical Journal Letters, 606(2), L131. Google Scholar

 

Perkeni. (2006). Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetus Mellitus Tipe Ii Di Indonesia. Google Scholar

 

Persadia. (2006). Senam Diabetes Seri 3. Google Scholar

 

Rachmawati, Oktafia. (2010). Hubungan Latihan Jasmani Terhadap Kadar Glukosa Darah Penderita Diabetes Mellitus Tipe Ii. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma, 5(2), 112�117. Google Scholar

 

Rachmawati, Ova. (2010). Hubungan Latihan Jasmani Terhadap Kadar Glukosa Darah Penderita Diabetes Melitus Tipe-2. Google Scholar

 

Santoso. (2006). Senam Diabetes Seri 3. (3rd Ed.). Yayasan Diabetes Indonesia. Google Scholar

 

Sigit, P., Junaiti, S., & Widyastuti. (2013). Pengaruh Senam Kaki Tehadap Sensitivitas Kaki Dan Kadar Gula Darah Pada Aggregate Lansia Diabetes Mellitus Di Magelang Jawa Tengah. Google Scholar

 

Sihombing, D. (2012). Gambaran Perawatan Kaki Dan Sensasi Sensorik Kaki Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Poliklinik Dm Rsud. Students E-Journal, 1(1), 29. Google Scholar

 

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2008). Brunner & Suddarth�s: Texbook Of Medical Surgical Nursing. Lippincott. Google Scholar

 

Soegondo. (2009). Buku Ajar Penyakit Dalam: Insulin: Farmakoterapi Pada Pengendalian Glikemia Diabetes Mellitus Tipe 2 (4th Editio). Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Google Scholar

 

Stanhope, M., & Lancaster, J. (2004). Community Public Health Nursing (Elsevier (Ed.); 6th Editio). Mosby Publication. Google Scholar

 

Stanhope, M., & Lancaster, J. (2013). Foundations Of Nursing In The Community-Community Oriented Practice (Elsevier (Ed.); Fourth Edi). Mosby Publication. Google Scholar

 

Sudoyo, A. W. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (4th Ed.). Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Google Scholar

 

 

 

Sunaryo, T., & Sudiro, S. (2014). Pengaruh Senam Diabetik Terhadap Penurunan Resiko Ulkus Kaki Diabetik Pada Pasien Dm Tipe 2 Di Perkumpulan Diabetik. Interest: Jurnal Ilmu Kesehatan, 3(1). Google Scholar

 

Tandra, H. (2017). Segala Sesuatu Yang Harus Anda Ketahui Tentang Diabetes. Gramedia Pustaka Utama. Google Scholar

 

Vitahealth. (2006). Diabetes Informasi Lengkap Untuk Penderita Dan Keluarganya. Gramedia Pustaka. Google Scholar

 

Wibisana, E., & Sofiani, Y. (2017). Pengaruh Senam Kaki Terhadap Kadar Gula Darah Pasien Diabetes Melitus Di Rsu Serang Provinsi Banten. Jurnal Jkft, 2(2), 107�114. Google Scholar

 

World Health Organization. (2008). Technical Brief For Policy Maker. Google Scholar

 

 

 

 

 


Copyright holder:

Aina Nurus Sofa, Alfiah Rahmawati (2021)

 

First publication right:

Jurnal Health Sains

 

This article is licensed under: