Jurnal Health Sains: p–ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398 Vol. 2,
No. 11, November
2021
Adha Riyanti,
Rida Emelia
Politeknik Piksi Ganesha, Bandung, Jawa Barat, Indonesia Email: [email protected], [email protected]
INFO ARTIKEL |
ABSTRAK |
Diterima 5 November 2021 Direvisi 15 November 2021 Disetujui 25 November 2021 |
Swamedikasi adalah perilaku manusia yang biasanya dilakukan masyarakat untuk medapatkan solusi terkait masalah kesehatan, untuk alasan ini swamedikasi harus diawasi oleh apoteker. Batuk adalah salah satu gejala ISPA yang dapat diatasi dengan swamedikasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tingkat pengetahuan pasien ISPA pada swamedikasi obat batuk di Apotek siaga-24 cikampek. Serta untuk mengetahui peranan tenaga teknis farmasi dalam memberikan informasi tentang swamedikasi obat batuk. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan menggunakan rancangan penelitian cross sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan cara kuisioner pada 55 responden. Populasi pada penelitian ini adalah pasien ISPA denganngejala batuk yang berusia 15 sampai dengan 50 tahun. Teknik pangambilan sampel menggunakan metode purposive sampling dan penelitian ini dilakukan pada bulan April - Mei 2021. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa 95.83% responden memiliki tingkat pengetahuan swamedikasi obat batuk yang tinggi dan 4.17% menunjukan tingkat pengetahuan swamedikasi yang rendah. Kemudian 87.50% petugas farmasi memberikan informasi lengkap tentang swamedikasi obat batuk dan 12.50% tenaga farmasi tidak lengkap dalam memberikan informasi swamedikasi obat batuk. Mayoritas responden memahami tentang jenis batuk yang diderita serta memahami dalam pemilihan obat sehingga dapat tercapainya swamedikasi obat batuk yang tepat sesuai gejala. |
Kata Kunci: swamedikasi; batuk; tingkat pengetahuan |
|
|
ABSTRACT Self-medication is a human
behavior that people
usually do to get solutions related to health
problems, for this reason self-medication must be supervised by pharmacists. Cough is one of the
symptoms of ARI that can be treated
with self-medication. The purpose of this study was to find out how the level of knowledge
of ARI patients on cough medicine self-medication
at Apotek standby-24 Cikampek. And to know the role of pharmacy technical personnel in providing
information about cough
medicine self-medication. This study uses a quantitative descriptive method
using a cross sectional research design. Data was collected by means
of a questionnaire on 55 respondents. The population in this study were ARI patient with cough symtoms aged 15 to 50 years. The sampling
technique used was purposive sampling method. This research was conducted in April - May 2021. The
results of this study showed that 95.83% of respondents had a high level of knowledge
of cough medicine self-medication and 4.17% showed
a low level of self-medication |
Keywords: self-medication; cough; level of knowledge |
knowledge. Then 87.50% of pharmacy staff
provided complete information on self-medication of cough medicine and 12.50% of pharmacy staff
were incomplete in providing information on self- medication of cough medicine. The
majority of respondents understand what
type of cough they suffer from and understand the selection of cough
medicine so that self-medication of cough medicine can be achieved according to symptoms. |
Dewasa ini kesehatan merupakan suatu hal yang menjadi pokok kebutuhan dalam hidup manusia. Semua kehidupan manusia sangat membutuhkan kesehatan untuk dapat melaksanakan kegiatan sehari-harinya. Swamedikasi cenderung mengalami peningkatan dikalangan masyarakat untuk mengatasi gejala atau penyakityang dianggap ringan. Swamedikasi merupakan kegiatan pemilihan dan penggunaan baik itu Obat modern, herbal, maupun obat tradisional oleh seorang individu untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit (World Health Organization, 2020). Oleh karenanya perilaku swamedikasi ini sangat banyak terjadi pada masyarakat. Dengan antusias yang sangat banyak maka pengetahuan mengenai obat juga sangat perlu diinformasikan oleh tenaga teknis farmasi kepada para pengunjung apotek.
Masyarakat Indonesia banyak yang melakukan swamedikasi sebagai usaha untuk merawat keluhan atau sakit yang dialaminya. Data Badan Pusat Statistik tahun 2019, sebesar 71,46 persen masyarakat Indonesia melakukan swamedikasi. Angka ini terus naik selama tiga tahun terakhir. Pada tahun 2017, 69,43 persen dan pada tahun 2018 yaitu 70,74 persen (Apruzzi et al., 2019). Pada dasarnya, bila dilakukan secara rasional, swamedikasi memberikan keuntungan besar bagi pemerintah dalam pemeliharaan kesehatan nasional (DepKes, 2008). Biaya sakit dapat ditekan dan dokter sebagai tenaga profesional kesehatan lebih terfokus pada kondisi kesehatan yang lebih serius dan kritis. Namun jika tidak dilakukan secara benar justru
menimbulkan masalah baru yaitu tidak sembuhnya penyakit karena adanya resistensi bakteri dan ketergantungan, munculnya penyakit baru karena efek sampig obat antara lain seperti pendarahan system pencernaan, reaksi hipersensitif, drug withdrawal symtomps, serta meningkatnya angka kejadian keracunan (Galato et al., 2009).
Batuk merupakan sebuah gejala penyakit yang paling umum dimana prevalensinya dijumpai pada sekitar 15 % pada anak-anak dan 20% pada orang dewasa. Satu dari sepuluh pasien yang berkunjung ke praktek dokter setiap tahunnya memiliki keluhan utama batuk. Batuk dapat menyebabkan perasaan tidak enak, gangguan tidur, mempengaruhi aktivitas sehari-hari dan menurunkan kwalitas hidup. Batuk dapat juga menimbulkan berbagai macam komplikasi seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, sakit kepala, pingsan, herniasi diskus, hernia inguinalis, patah tulang iga, perdarahan subkonjungtiva, dan inkontinensia urin. Batuk merupakan refleks fisiologis kompleks yang melindungi paru dari trauma mekanik, kimia dan suhu.
Batuk juga merupakan mekanisme pertahanan paru yang alamiah untuk menjaga agar jalan nafas tetap bersih dan terbuka dengan jalan:
1. Mencegah masuknya benda asing ke saluran nafas.
2. Mengeluarkan benda asing atau sekret yang abnormal dari dalam saluran nafas.
Sering kali batuk merupakan masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Penyebabnya amat beragam dan pengenalan patofisiologi batuk akan sangat
membantu dalam menegakkan diagnosis dan penanggulangan penderita batuk. Menurut KKM (2007) sangat penting untuk mengobati batuk dengan jenis obat batuk yang benar. Menurut (Beers, 2003) pengobatan batuk secara umumnya dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis batuknya berdahak atau tidak. Jenis-jenis obat batuk yang terkait dengan batuk yang berdahak dan tidak berdahak yang dibahaskan di sini adalah mukolitik, ekspektoran dan antitusif.
ISPA atau Infeksi Saluran Pernafasan Akut adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung hingga alveoli, termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (DepKes, 2006). Sampai saat ini ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang utama. Pneumonia merupakan salah satu penyakit ISPA yang menjadi pembunuh utama balita di Indonesia. Oleh karena itu dalam upaya Pemberantasan Penyakit ISPA (P2 ISPA), penanggulangan pneumonia pada balita merupakan fokus utama.
Apotek siaga 24 cikampek yang terletak di dekat jl by pass merupakan apotek swasta yang dimiliki perorangan. Apotek siaga 24 cikampek menjual obat bebas, obat bebas terbatas serta melayani resep dokter. Berdasarkan penelitian kepada 55 pasien ISPA yang pernah melakukan swamedikasi penggunaan obat batuk. Alasan terkuat mereka melakukan swamedikasi adalah adanya pengalaman penyakit yang sama sebanyak 95%. Sehingga penulis memilih judul ini untuk dijadikan penelitian agar dapat memberikan masukan kepada tenaga farmasi untuk memberikan informasi yang tepat dalam swamedikasi obat batuk.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peranan Tenaga Farmasi dalam swamedikasi obat batuk pada pasien ISPA di apotek siaga 24 cikampek.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan saran
dan kritik masukan pada apotek dalam hal penyampaian informasi swamedikasi obat batuk guna meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya untuk pasien ISPA yang akan melakukan swamedikasi obat batuk.
Pengetahuan berasal dari kata “tahu”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) kata tahu memiliki arti antara lain mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami, dan sebagainya), mengenal dan mengerti. (Mubarak et al., 2011), pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui berdasarkan pengalaman manusia itu sendiri dan pengetahuan akan bertambah sesuai dengan proses pengalaman yang dialaminya.
Sedangkan menurut (Notoatmodjo, 2012), pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia yakni, indera pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan dan perabaan. Sebagian pengetahuan manusia didapat melalui mata dan telinga.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan pengetahuan merupakan segala sesuatu yang dilihat, dikenal, dimengerti terhadap suatu objek tertentu yang ditangkap melalui pancaindera yakni, indera pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan dan perabaan.
A. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif menurut (Notoatmodjo, 2012) mempunyai 6 tingkatan, yaitu:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat kembali (recall) suatu materi yang telah dipelajari dan diterima dari sebelumnya. Tahu
merupakan tingkatan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang telah dipelajari antara lain mampu menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan suatu materi secara benar. Misalnya, seorang siswa mampu menyebutkan bentuk bullying secara benar yakni bullying verbal, fisik dan psikologis. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan sebuah pertanyaan misalnya: apa dampak yang ditimbulkan jika seseorang melakukan bullying, apa saja bentuk perilaku bullying, bagaimana upaya pencegahan bullying di sekolah.
2. Memahami (comprehension)
Memahami merupakan suatu kemampuan untuk menjelaskan dan menginterpretasikan materi yang diketahui secara benar. Orang yang telah paham terhadap suatu materi atau objek harus dapat menyebutkan, menjelaskan, menyimpulkan, dan sebagainya. Misalnya siswa mampu memahami bentuk perilaku bullying (verbal, fisik dan psikologis), tetapi harus dapat menjelaskan mengapa perilaku bullying secara verbal, fisik maupun psikologis dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi merupakan kemampuan seseorang yang telah memahami suatu materi atau objek dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum- hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau
situasi yang lain. Misalnya, seseorang yang telah paham tentang proses penyuluhan kesehatan, maka dia akan mudah melakukan kegiatan penyuluhan kesehatan dimana saja dan seterusnya.
4. Analisis (analysis)
Analisis merupakan suatu kemampuan seseorang untuk menjabarkan materi atau objek tertentu ke dalam komponen- komponen yang terdapat dalam suatu masalah dan berkaitan satu sama lain. Pengetahuan seseorang sudah sampai pada tingkat analisis, apabila orang tersebut telah dapat membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tertentu. Misalnya, dapat membedakan antara bullying dan school bullying, dapat membuat diagram (flow chart) siklus hidup cacing kremi, dan sebagainya.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis merupakan suatu kemampuan seseorang untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian suatu objek tertentu ke dalam bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. Misalnya, dapat meringkas suatu cerita dengan menggunakan bahasa sendiri, dapat membuat kesimpulan tentang artikel yang telah dibaca atau didengar.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi merupakan suatu kemampuan seseorang untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek tertentu. Penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria
yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya, seorang guru dapat menilai atau menentukan siswanya yang rajin atau tidak, seorang ibu yang dapat menilai manfaat ikut keluarga berencana, seorang bidan yang membandingkan antara anak yang cukup gizi dengan anak yang kekurangan gizi, dan sebagainya.
B. Sumber pengetahuan
Pengetahuan diperoleh melalui proses kognitif, dimana seseorang harus mengerti atau mengenali terlebih dahulu suatu ilmu pengetahuan agar dapat mengetahui pengetahuan tersebut. Menurut (Rachman et al., 2008), sumber pengetahuan terdiri dari:
1. Pengetahuan Wahyu (Revealed Knowledge)
Pengetahuan wahyu diperoleh manusia atas dasar wahyu yang diberikan oleh tuhan kepadanya. Pengetahuan wahyu bersifat eksternal, artinya pengetahuan tersebut berasal dari luar manusia. Pengetahuan wahyu lebih banyak menekankan pada kepercayaan.
2. Pengetahuan Intuitif (Intuitive Knowledge)
Pengetahuan intuitif diperoleh manusia dari dalam dirinya sendiri, pada saat dia menghayati sesuatu. Untuk memperoleh intuitif yang tinggi, manusia harus berusaha melalui pemikiran dan perenungan yang konsisten terhadap suatu objek tertentu. Intuitif secara umum merupakan metode untuk memperoleh pengetahuan tidak berdasarkan penalaran rasio, pengalaman, dan pengamatan indera. Misalnya, pembahasan tentang keadilan. Pengertian adil
akan berbeda tergantung akal manusia yang memahami. Adil mempunyai banyak definisi, disinilah intusi berperan.
3. Pengetahuan Rasional (Rational Knowledge)
Pengetahuan rasional merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan latihan rasio atau akal semata, tidak disertai dengan observasi terhadap peristiwa- peristiwa faktual. Contohnya adalah panas diukur dengan derajat panas, berat diukur dengan timbangan dan jauh diukur dengan materan.
4. Pengetahuan Empiris (Empirical Knowledge)
Empiris berasal dari kata Yunani “emperikos”, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui sebuah pengalamannya sendiri. Pengetahuan empiris diperoleh atas bukti penginderaan yakni, indera penglihatan, pendengaran, dan sentuhan- sentuhan indera lainnya, sehingga memiliki konsep dunia di sekitar kita. Contohnya adalah seperti orang yang memegang besi panas, bagaimana dia mengetahui besi itu panas? dia mengetahui dengan indera peraba. Berarti dia mengetahui panasnya besi itu melalui pengalaman-pengalaman indera perabanya.
5. Pengetahuan Otoritas (Authoritative Knowledge)
Pengetahuan otoritas diperoleh dengan mencari jawaban pertanyaan dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman dalam bidang tersebut. Apa yang dikerjakan oleh orang yang kita ketahui mempunyai wewenang, kita terima sebagai suatu kebenaran.
Misalnya, seorang siswa akan membuka kamus untuk mengetahui arti kata-kata asing, untuk mengetahui jumlah penduduk di Indonesia maka orang akan melihat laporan biro pusat statistik Indonesia.
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Menurut (Mubarak et al., 2011), ada tujuh faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu :
1. Tingkat pendidikan
Pendidikan merupakan suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan seseorang agar dapat memahami suatu hal. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah orang tersebut menerima informasi. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pengetahuannya.
2.Pekerjaan
Pekerjaan adalah suatu kegiatan yang harus dilakukan terutama untuk memenuhi kebutuhan setiap hari. Lingkungan pekerjaan dapat membuat seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, seseorang yang bekerja sebagai tenaga medis akan lebih mengerti mengenai penyakit dan pengelolaanya daripada non tenaga medis.
3.Umur
Umur mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Dengan
bertambahnya umur individu, daya tangkap dan pola pikir seseorang akan lebih berkembang, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik.
4. Minat
Minat merupakan suatu keinginan yang tinggi terhadap sesuatu hal. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni, sehingga seseorang memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam.
5. Pengalaman
Pengalaman merupakan suatu kejadian yang dialami seseorang pada masa lalu. Pada umumnya semakin banyak pengalaman seseorang, semakin bertambah pengetahuan yang didapatkan. Dalam hal ini, pengetahuan ibu dari anak yang pernah atau bahkan sering mengalami diare seharusnya lebih tinggi daripada pengetahuan ibu dari anak yang belum pernah mengalami diare sebelumnya.
6. Lingkungan
Lingkungan merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada didalam lingkungan tersebut. Contohnya, apabila suatu wilayah mempunyai sikap menjaga kebersihan lingkungan, maka sangat mungkin masyarakat sekitarnya mempunyai sikap menjaga kebersihan lingkungan.
7. Informasi
Seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih banyak akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas.
A. Pengertian Swamedikasi
Swamedikasi berarti mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obatan yang sederhana yang dibeli bebas di apotek atau toko obat atas inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter. Swamedikasi atau pengobatan sendiri adalah perilaku untuk mengatasi sakit ringan sebelum mencari pertolongan ke petugas atau fasilitas kesehatan. Lebih dari 60% dari anggota mayarakat melakukan swamedikasi, dan 80% diantaranya mengandalkan obat modern (Stephanie, 2012).
Swamedikasi merupakan salah satu bagian dari self-care. Sedangkan self-care adalah apa yang dilakukan manusia untuk dirinya sendiri utnuk meningkatkan dan memelihara kesehatan, mencegah dan menghadapi penyakit. Swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan obat modern, herbal, maupun obat tradisional oleh seorang individu untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit (World Health Organization, 2020).
Jumlah masyarakat yang melakukan swamedikasi cenderung meningkat, karena pengetahuan masyarakat tentang penyakit ringan dan gejala serta pengobatannya, motivasi masyarakat untuk mencegah atau mengobati penyakit ringan yang mampu dikenali sendiri, ketersediaan dan kemudahan mendapatkan obat- obatan yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter atau OTR/ obat tanpa resep (OTC / over the counter) secara lua dan terjangkau untuk mengatasi penyakut ringan atau gejala yang muncuk, serta diterimanya pengobatan
tradisional sebagai dari sistem kesehatan (Widayati, 2006).
Pemilihan obat yang tepat akan sangat mempengaruhi dalam kesembuhan dan kesehatan pasien. Obat merupakan komoditi kesehatan yang tidak lepas dari efek yang diinginkan maupun efek samping yang tidak diinginkan, sehingga ketepatan dalam pemilihan jenis obat yang tepat sangat diperlukan.
Untuk menetapkan jenis obat yang dibutuhkan perlu diperhatikan:
a. Gejala atau keluhan penyakut
b. Kondisi khusus misalnya hamil, menyusui, bayi, lanjut usia, diabetes mellitus dan lain-lain.
c. Pengalaman alergi atau reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat tertentu.
d. Nama obat, zat berkhasiat, kegunaan, cara pemakaian, efek samping dan interaksi obat yang dibaca pada etiket atau brosur obat.
e. Pilihan obat yangs esuai dengan gejala penyakit dan tidak ada interaksi obat dengan obat yang sedang diminum.
f. Untuk pemilihan obat yang tepat dan informasi yang lengkap, tanyakan kepada Apoteker (DepKes, 2008)
Penggunaan dan pemilihan obat untuk digunakan secara swamedikasi harus tetap menggunakan dasar pengobatan yang rasional. Pengobatan yang rasional adalah pengobatan yang sesuai dengan keputusan menteri mengenai pengobatan yang rasional yakni Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.189/SK/Menkes/III/2006 tentang Kebijakan Obatn Nasional Tentang Kebijakan Penggunaan Obat Rasional. Menurut World Health Organization
(WHO) tahun 1998, penggunaan obat rasional bila:
Pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhan
Periode waktu yang tepat Harga yang terjangkau
B. Terapi Rasional
Penggunaan obat yang rasional adalah pasien menerima obat yang tepat dengan keadaan kliniknya, dalam dosis yang sesuai dengan keadaan individunya, pada waktu yang tepat dan dengan harga terjangkau bagi dia dan komunitasnya. Perngertian lain dari penggunaan obat yang rasional adalah suatu perilaku pengobatan terhadap suatu penyakit dan pemahaman aksi fisiologi yang ebnar dari penyakit sesuai dnegan konteks tersebut, terapi rasional meliputi kriteria:
a. Tepat indikasi
Tepat indiaksi adalah adanya kesesuaian antara diagnosis pasien dengan obat yang diberikan.
b. Tepat obat
Tepat obat adalah pemilihan obat dengan memperhatikan efektivitas, keamanan, rasionalitas dan murah.
c. Tepat dosis regimen
Tepat dosis regimen adalah pemberian obat yang tepat dosis (takaran obat), tepat rute (cara pemberian), tepat saat (waktu pemberian), tepat interval (frekuensi), dan tepat lama pemberian.
d. Tepat pasien
Tepat pasien adalah obat yang diberikan sesuai dengan kondisi pasien. Kondisi pasien misaknya umur, faktor genetic, kehamilan, alergi dan penyakit lain.
A. Pengertian Obat
Obat adalah bahan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruh atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi (Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992). Sebelum mengunakan obat, bacalah sifat dan cara pemakaiannya pada etiket, brosur atau kemasan obat agar penggunaannya tepat dan aman.
Penggunaan obat selain harus memperhatikan efek yang diinginkan juga harus mnegetahui efek yang tidak di inginkan. Efek samping obat adalah setiap respon obat ynag merugikan dan tidak diharapkan terjadi karena penggunaan obat dengan dosis atau takaran normal pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi. Yang perlu diketahui tentang efek samping obat adalah:
Baca dengan seksama kemasan atau brosur obat, efek samping yang mungkin timbul.
Untuk mendapatkan informasi tentang efek saming yang lebih lengkap dan apa yang harus dilakukan bila mengalaminya, tanyakan pada Apoteker.
Efek samping yang mungkin timbul antara lain rekasi alergi gatal-gatal, ruam, mengantuk, mual dan lain- lain.
Penggunaan obat pada kondisi tertentu seperti pada ibu hamil, menyusui, lanjut usia, gagal ginjal, dan lain-lain dapat menimbulkan efek samping yang fatal, penggunaan obat harus dibawah pengawasan Dokter-Apoteker (Ashford et al., 2010).
B. Penggolongan Obat
Obat yang digunakan di Indonesia dapat digolongkan menjadi 4 (empat) golongan utama berdasarkan penggunannya. Yakni obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, dan obat narkotika. Berikut adalah penjelasan penggolongan obat:
1. Obat bebas
Obat bebas yaitu obat yang bisa dibeli bebas di apotek, bahkan di warung, tanpa resep dokter, ditandai dengan lingkaran hijau bergaris tepi hitam. Obat bebas ini digunakan untuk mengobati gejala penyakit yang ringan, contoh: paracetamol.
2. Obat bebas terbatas
Obat bebas terbatas yakni obat-obatan yang dalam jumlah tertentu masih bisa dibeli di apotek, tanpa resep dokter, dan disertai tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru bergaris tepi hitam, contoh : CTM
Tanda Obat bebas terbatas Tanda peringatan khusus pada obat bebas terbatas adalah :
P.No. 1: Awas! Obat keras. Bacalah aturan pemakaiannya.
P.No. 2: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari badan.
P.No. 3: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.
P.No. 4: Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar.
P.No. 5: Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan.
3. Obat keras
Obat keras yakni obat yang hanya dapat dibeli dengan resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat keras adalah lingkaran merah bergaris tepi hitam, Contoh: Golongan Antibiotik.
4. Obat psikotropika dan narkotika Obat psikotropika yakni obat
keras baik alamiah maupun sintetis bukan narkotik, yang bersifat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku, Contoh: Diazepam.
Obat narkotika yakni obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan, Contoh : Morfin.
Tanda
Obat Psikotropika dan Narkotik
A. Pengertian Batuk
Batuk merupakan ekspirasi eksplosif yang menyediakan mekanisme protekal normal untuk membersikan cabang trakeobronkial daris ekret dan zat-zat asing. Masyarakat lebih cenderung mencari pengobatan apabila batuknya berkepanjangan sehingga mengganggu aktivitas seharian atau mencurigai kangker (Weinberger et al., 2005).
Batuk bias terjadi secara volunter tetapi selalunya terjadi akibat respon involunter akibat dari iritasi terhadap infeksi seperti infeksi saluran pernapasan atas maupun bawah, asap rokok, abu dan bulu hewan terutama kucing. Antara lain penyebab akibat penyakit respiratori adalah seperti asma, postnasal drip, penyakit pulmonal obstruktif kronis, bronkiektasis, trakeitis, croup, dan fibrosis interstisial. Batuk juhga bias terjadi akibat dari refluks gastro- esofagus atau terapi inhibitor ACE (angiotensis-converting enzyme) (McGowan Jr, 2006).
Batuk bukanlah merupakan penyakit, mekanisme batuk timbul oleh karena paru-paru mendapatkan agen pembawa penyakit masuk kedalamnya sehingga menimbulkan batuk untuk mengeluarkan agen tersebut. Batuk dapat juga menimbulkan berbagai macam komplikasi seperti pneumotoraks, pneumomediastimun, sakit kepala, pingsan, herniasi diskus, hernia inguinalis, patah tulang iga, pendarahan subkonjungtiva, dan inkontinesia urin. Batuk merupakan refleks fisiologi kompleks yang melindungi paru dari trauma mekanik, kimia dan suhu. Batuk juga merupakan mekanisme pertahanan paru yang alamiah untuk menjaga agar jalan nafas tetap bersih dan terbuka denga jalan :
1. Mencegah masuknya benda asing kesaluran nafas
2. .Mengeluarkan benda asing atau sekret yang abnormal dari dalam saluran nafas (Yunus & Rezki, 2020).
Batuk menjadi tidak fisiologis bila dirasakan sebagai gangguan. Batuk semacam itu seringkali merupakan tanda suatu penyakit didalam atau diluar paru dan kadang-kadang merupakan gejala dini suatu penyakit. Batuk mungkin sangat berarti pada penularan penyakit melalui udara. Batuk merupakan salah satu gejala penyakit saluran nafas disamping sesak dan sakit dada. Seringkali batuk merupakan masalah yang dihadapi para dokter dalam pekerjaannya sehari-hari. Penyebabnya amat beragam dan pengenalan patofisiologi batuk akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan penanggulangan penderita batuk (Ikawati, 2008).
B. Gejala Dan Penyebab Batuk Gejala Batuk :
1. Demam yang tinggi disertai otot tubuh yang kaku
2. Bersin-bersin dan hidung tersumbat
3. Sakit tenggorokan Penyebab Batuk :
1. Umumnya disebabkan oleh infeksi disaluran pernafasan bagian atas yang merupakan gejala flu.
2. Infeksi saluran pernafasan bagian atas (ISPA).
3. Alergi
4. Asma atau tuberculosis
5. Benda asing yang masuk kedalam saluran nafas
6. Tersedak akibat minum susu
7. Menghirup asap rokok sari orang sekitar
C. Mekanisme Batuk
Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu:
1. Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus fagus dilaring, trakea, bronkus besar, atau serat afferent cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk dilapisan faring dan esophagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang (Meiti, 2011).
2. Fase inspirasi
Pada fase inspirasi glottis secara reflek terbuka lebar akibat kontraksi otot abduktor akrtilago aritoneidea. Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat, sehingga udara dengan cepat dan dalam jumlah banyak masuk kedalam paru. Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah akibat kontraksi otot toraks, perut dan diafragma, sehingga dimensi lateral dada membesar mengakibatkan peningkatan volume paru. Masuknya udara kedalam paru dengan jumlah banyak memberikan keuntungan yaitu akan memperkuat fase ekspirasi sehingga lebih cepat dan kuat serta memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga menghasilkan mekanisme pembersihan yang potensial (Meiti, 2011).
3. Fase kompresi
Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraski otot abduktor akrtilago aritoneidea, glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada fase ini tekanan intratoraks meninggi sampai 300 cm agar terjadi batuk yang efektif. Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik setelah glotis terbuka. Batuk dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu meningkatkan tekanan intratoraks
walaupun glotis tetap terbuka (Meiti, 2011).
4. Fase ekspirasi/ekspulsi
Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot ekspirasi, sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan kecepatan yang tinggi disertai dnegan pengeluaran benda-benda asing dan bahan-bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot pernafasan dan cabang- cabang bronkus merupakan hal yang penting dalam fase mekanisme batuk dan disinilah fase batuk yang sebenarnya. Suara batuk sangat bervariasi akibat getaran sekret yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita suara (Meiti, 2011).
D. Jenis-Jenis Batuk
1. Batuk berdasarkan produktifitasnya Berdasarkan produktifitasnya batuk dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu batuk berdahak (produktif) dan batuk kering (batuk nonproduktif) (Chandrasoma et al., 2006).
a. Batuk Berdahak (batuk produktif)
Batuk berdahak ditandai dengan adanya dahak pada tenggorokan. Batuk berdahak dapat terjadi karena adanya infeksi pada saluran nafas, seperti influenza, bronchitis, radang paru dan sebagainya. Selain itu batuk berdahak terjadi karena saluran nafas peka terhadap paparan debu, polusi udara, asap rokok, lembab yang berlebihan dan sebagainya (Chandrasoma et al., 2006).
b. Batuk Kering (batuk non produktif)
Batuk yang ditandai dengan tidak adanya sekresi dahak dalam saluran nafas,
suaranya nyaring dan menyebabkan timbulnya rasa sakit pada tenggorokan. Batuk kering dapat disebabkan karena adanya infeksi virus pada saluran nafas, adanya faktor-faktor alergi (seperti debu, asap rokok, dan perubahan suhu) dan efek samping dari obat (misalnya penggunaan obat antihipertensi captopril) (Chandrasoma et al., 2006).
2. Batuk berdasarkan waktu berlangsungnya
Bersadarkan waktu berlangsungnya, batuk dapat dibedakan menajdi 3, yaitu batuk akut, batuk sub akut, dan batuk kronis (Guyton et al., 2008).
a. Batuk Akut
Batuk akut adalah batuk yang gejala terjadinya kurang dari 3 minggu. Penyebab batuk ini umumnya adalah iritasi, adanya penyempitan saluran nafas akut dan adanya Infeksi virus atau bakteri (Guyton et al., 2008).
b. Batuk Subakut
Batuk sub akut adalah batuk yang gejala terjadinya antara 3-8 minggu. Batuk ini biasanya disebabkan karena adanya infeksi akut saluran pernafasan oleh virus yang mengakibatkan adanya kerusakan epitel pada saluran nafas (Guyton et al., 2008).
c. Batuk kronis
Batuk kronis adalah batuk yang gejala batuknya terjadi lebih dari 8 minggu. Batuk ini biasanya menjadi pertanda atau gejala adanya penyakit lain yang lebih berat seperti asma,
tuberkulosis, bronkitis dan sebagainya (Guyton et al., 2008).
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif observasional. Responden yang dipilih adalah pasien ISPA dengan gejala batuk di Apotek Siaga-24 cikampek dengan menggunakan purposive sampling. Pengambilan data yang digunakan adalah metode survey dengan memberikan kuesioner terstruktur kepada responden yang berusia 15 sampai dengan 50 tahun.
Populasi adalah keseluruhan dari subjek penelitian yang ada dalam wilayah penelitian maka penelitiannya merupakan penelitian populasi. Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti.
Dalam penelitian ini populasi yang digunakan adalah pasien ISPA dengan gejala batuk yang berusia 15 sampai dengan 50 tahun periode bulan April - Mei 2021 di Apotek Siaga-24 cikampek.
Untuk teknik pangambilan sampel pada pasien ISPA di Apotek siaga-24 menggunakan penelitian cross sectional adalah non probability sampling.
A. Hasil Penelitian
1. Jenis Kelamin
Berikut merupakan hasil data yang didapat dari 48 responden.
Dari data berikut didapat hasil yakni jumlah jumlah jenis kelamin responden.
Jenis Kelamin Responden
Jenis Kelamin |
Frekuensi |
|
Jumlah |
Presentage |
|
Laki-Laki |
19 |
39,58% |
Perempuan |
29 |
60,42% |
Jumlah |
48 |
100% |
2. Usia
Berikut merupakan hasil data yang didapat dari 48 responden. Dari data berikut diketahui usia responden adalah 15 – 50 tahun.
|
B. Pembahasan
Pada penelitian ini responden adalah pasien ISPA dengan gejala batuk di Apotek Siaga-24 cikampek. Responden yang didapat adalah sebanyak 48 sesuai dengan perhitungan sampel yang dilakukan. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan purposive sampling yakni teknik penentuan sampel dengan perhtiungan tertentu (Margiono et al., 2018). Pemilihan sekelompok subjek dalam purposive sampling didasarkan atas ciri-ciri tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri yang sudah diketahui sebelumnya. Dengan kata lain unit sampel yang dihubungi disesuaikan dengan kreiteria-kriteria tertentu yang diterapkan berdasarkan tujuan penelitian (Dahlan & Norfarizan Hanoon, 2008).
Kriteria pemilihan sampel pada penelitian ini didasarkan pada 2 kriteria yakni inklusi dan ekslusi, yang mana kriteria inklusinya adalah :
1. Pasien ispa dengan gejala batuk
2. Bersedia mengisi kuisioner
Sementara untuk kriteria ekslusinya adalah: mengalami cacat mental dan fisik. Ada 3 kriteria responden yang digunakan pada penelitian ini yakni, jenis kelamin,
usia, dan pasien ISPA yang melakukan swamedikasi obat batuk di Apotek Siaga-
24. Kriteria dari reponden dapat dilihat dari tabel 1, 2, 3. Sesuai tabel tersebut dapat lihat bahwa jumlah reponden laki- laki yakni 19 orang dengan presentasi 39.58% dan jumlah reponden perempuan sebanyak 29 orang dengan presentasi 60,42%. Responden pada pasien ISPA dengan gejala batuk memiliki kisaran usia antara 15-50 tahun. Usia akan berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan swamedikasinya. Untuk rentang usia 15 -
25 tahun terdapat 7 responden dengan presentasi 15.00%, usia 26-35 tahun terdapat 16 responden dengan presentasi 33.33%, usia 36-45 tahun terdapat 13 reponden dengan presentasi 27.08%, usia 46-50 tahun terapat 12 responden dengan presentasi 25.00% dari seluruh total responden 48. Dari 48 responden seluruhnya pernah melakukan swamedikasi obat batuk alasannya karena penyakit yang berulang, hemat biaya dan obat yang mudah didapat.
Seperti telah didasar teori batuk merupakan eskpirasi eksplosif yang menyediakan mekanisme protektif normal untuk membersihkan cabang trakeobronkial dari sekret dan zat-zat asing (Weinberger et al., 2005). Mengetahui definisi batuk merupakan salah satu dasar untuk melakukan swamedikasi batuk. Bila kita tidak dapat memahami apa itu batuk, maka kita akan salah dalam mengambil langkah terapeutiknya.
Pada penelitian ini pernyataan mengenai definisi batuk tertera pada nomor 1 yakni “Batuk adalah susatu daya pertahanan tubuh untuk mengeluarkan benda asing dari saluran nafas (membersikan jalan nafas)” dan jawaban tepat untuk pernyataan ini adalah “BENAR” seperti tertera pada tabel 2 dari 48 responden sebanyak 45 atau 93.75% menjawab benar pada penelitian ini.
Kategori indikator selanjutnya adalah megetahui jenis-jenis batuk. Ada 2 jenis batuk yakni batuk berdasarkan produktivitasnya, dan batuk berdasarkan waktu berlangsungnya. Pada penelitian ini jenis batuk yang dimaksudkan adalah batuk berdasarkan produktivitasnya yang tebagi atas 2 macam yakni batuk kering dan batuk berdahak (Chandrasoma et al., 2006).
Pada penelitian ini pernyataan untuk mengetahui jenis-jenis batuk terdapat pada nomor 2 yakni “Batuk kering adalah batuk yang tidak mengeluarkan dahak atau lendir” serta nomor 3 yakni “Batuk berdahak adalah batuk yang mengeluarkan dahak atau lendir”. Dan kedua pernyataan tersebut jawabannya adalah “BENAR”.
Data yang didapat dari responden, jumlah responden yang menjawab benar sebanyak 94.79%.
Kategori indikator selanjutnya adalah megetahui jenis-jenis batuk. Ada 2 jenis batuk yakni batuk berdasarkan produktivitasnya, dan batuk berdasarkanb waktu berlangsungnya. Pada penelitian ini jenis batuk yang dimaksudkan adalah batuk berdasarkan produktivitasnya yang tebagi atas 2 macam yakni batuk kering dan batuk berdahak (Chandrasoma et al., 2006).
Pernyataan yang menunjukan indikator peranan tenaga farmasi dalam memberikan informasi jenis batuk yang diderita pasien sesuai dengan pernyataan nomor 1 yakni “Ketika saya tidak mengerti jenis batuk apa yang saya derita, maka petugas farmasi akan memberikan informasi jenis batuk apa yang saya derita” pada penelitian ini sebanyak 91.67% atau sebanyak 46 pasien mendapatkan informasi jenis batuk yang diderita dari petugas farmasi.
Selanjutnya untuk indikator memberikan informasi pemilihan obat batuk yang tepat sesuai dengan pernyataan
nomor 2 yaitu “Ketika saya tidak mengerti pemilihan obat batuk yang tepat maka petugas farmasi akan memilih jenis obat batuk ekspectoran (pengencer dahak) jika saya batuk berdahak dan petugas akan memilih jenis obat batuk antitusif (penekan batuk) jika saya batuk kering”. Pada pernyataan tersebut diperoleh 97.92% responden mendapatkan informasi pemilihan obat batuk yang tepat dari opetugas farmasi.
Untuk indikator Menginformasikan aturan minum obat batuk terdapat pada pernyataan nomor 3,4,5 yaitu:
• Ketika saya tidak mengerti aturan minum obat batuk petugas farmasi akan memberikan informasi tentang aturan minum obat batuk.
• jika lupa minum obat batuk tidak minum obat batuk dalam 2 dosis sekaligus.
• jika batuk tidak kunjung sembuh tidak dianjurkan untuk meminum obat melebihi takaran yang dianjurkan.
Pada pernyatan ini sebanyak 95.83% reponden mendapatkan informasi aturan minum obat batuk yang tepat dari petugas farmasi.
Pernyataan nomor 6 “Jika obat sudah kadaluarsa obat tidak boleh diminum” untuk indicator peranan tenaga farmasi dalam menginformasikan tentang stabilitas obat sebanyak 87.50% atau sebanyak 42 reponden yang mendapatkan informasi ini.
Indikator terakhir untuk peranan tenaga farmasi dalam memberikan informasi adalah menginformasikan efek samping obat sesuai denga pernyataan nomor 7 “petugas farmasi akan menginformasikan efek samping obat batuk adalah: mengantuk, pusing, sakit perut, muncul ruam pada kulit, alergi, dan ketergantungan” sebanyak 89.58% responden mendapatkan informasi tentang
efek samping obat batuk dari petugas farmasi.
Dari semua hasil data yang didapat untuk peranan tenaga farmasi dalam memberikan informasi seputar swamedikasi didapat sebanyak 87.50% atau sebanyak 42 responden yang mendapatkan informasi lengkap dari petugas famasi tentang swamedikasi obat batuk. Petugas farmasi tidak dapat memberikan informasi secara menyeluruh terkadang dikarenakan pasien yang sudah memahami tentang swamedikasi obat batuk yang baik serta dikarenakan waktu konsultasi yang kurang cukup.
Berdasarkan penelitian, hasil dan pembahasn yang telah dipaparkan pada bab- bab sebelumnya, maka penulis dapat menarik kesimpulan pasien ISPA dengan gejala batuk yang melakukan swamedikasi obat batuk di apotek siaga-24 cikampek memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi sebanyak 95.83%. Tenaga farmasi yang bekerja di apotek siaga-
24 cikampek memberikan informasi yang lengkap kepada pasien ISPA tentang swamedikasi obat batuk sebanyak 87.50%. Mayoritas responden memahami tentang jenis batuk apa yang diderita serta memahami dalam pemilihan obat batuk sesuai dengan batuk yang diderita sehingga dapat tercapainya swamedikasi obat batuk yang tepat sesuai gejala.
Apruzzi, F., Lawrie, C., Lin, L., Schäfer- Nameki, S., & Wang, Y.-N. (2019). Fibers Add Flavor. Part I. Classification Of 5d Scfts, Flavor Symmetries And BPS States. Journal Of High Energy Physics, 2019(11), 1–107. Google Scholar
Ashford, S., Edmunds, J., & French, D. P.
(2010). What Is The Best Way To Change Self‐Efficacy To Promote Lifestyle And Recreational Physical Activity? A Systematic Review With Meta‐Analysis. British Journal Of Health Psychology, 15(2), 265–288. Google Scholar
Beers, K. (2003). When Kids Can’t Read: What Teacher’s Can Do (Vol. 20, Issue 3). Heinemann Portsmouth, NH. Google Scholar
Chandrasoma, P., Makarewicz, K., Wickramasinghe, K., Ma, Y., & Demeester, T. (2006). A Proposal For A New Validated Histological Definition Of The Gastroesophageal Junction. Human Pathology, 37(1), 40–47. Google Scholar
Dahlan, I., & Norfarizan Hanoon, N. A. (2008). Chemical Composition, Palatability And Physical Characteristics Of Venison From Farmed Deer. Animal Science Journal, 79(4), 498–503. Google Scholar
Depkes, R. I. (2006). Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas Terbatas. Jakarta, Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. Google Scholar
Depkes, R. I. (2008). Farmakope Herbal Indonesia. In Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Google Scholar
Galato, D., Galafassi, L. De M., Alano, G. M., & Trauthman, S. C. (2009). Responsible Self-Medication: Review Of The Process Of Pharmaceutical Attendance. Brazilian Journal Of Pharmaceutical Sciences, 45, 625–633. Google Scholar
Guyton, J. R., Brown, B. G., Fazio, S., Polis, A., Tomassini, J. E., & Tershakovec, A.
M. (2008). Lipid-Altering Efficacy And
Safety Of Ezetimibe/Simvastatin Coadministered With Extended-Release Niacin In Patients With Type Iia Or Type Iib Hyperlipidemia. Journal Of The American College Of Cardiology, 51(16), 1564–1572. Google Scholar
Ikawati, Z. (2008). Kajian Keamanan Pemakaian Obat Anti-Hipertensi Di Poliklinik Usia Lanjut Instalasi Rawat Jalan RS Dr Sardjito. Majalah Ilmu Kefarmasian, 5(3), 5. Google Scholar
Margiono, A., Zolin, R., & Chang, A. (2018). A Typology Of Social Venture Business Model Configurations. International Journal Of Entrepreneurial Behavior & Research. Google Scholar
Mcgowan Jr, J. E. (2006). Resistance In Nonfermenting Gram-Negative Bacteria: Multidrug Resistance To The Maximum. American Journal Of Infection Control, 34(5), S29–S37. Google Scholar
Meiti, P. J. (2011). Fiercer Than A Tiger- White Collar Offenders Face Harsh Sentencing In Post-Booker World. American University Criminal Law Brief, 1(1), 1. Google Scholar
Mubarak, M., Kazi, J. I., Naqvi, R., Ahmed,
E., Akhter, F., Naqvi, S. A. A., & Rizvi,
S. A. H. (2011). Pattern Of Renal Diseases Observed In Native Renal Biopsies In Adults In A Single Centre In Pakistan. Nephrology, 16(1), 87–92. Google Scholar
Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Google Scholar
Rachman, S., Radomsky, A. S., & Shafran, R. (2008). Safety Behaviour: A Reconsideration. Behaviour Research And Therapy, 46(2), 163–173. Google Scholar
Stephanie, A. (2012). Swamedikasi Batuk- Pilek Pada Ibu-Ibu Pkk Di Kecamatan Nglipar Kabupaten Gunungkidul (Kajian Pengetahuan Dan Sikap). Skripsi. Google Scholar
Weinberger, A., Ertl, B., Fischer, F., & Mandl, H. (2005). Epistemic And Social Scripts In Computer–Supported Collaborative Learning. Instructional Science, 33(1), 1–30. Google Scholar
Widayati, S. (2006). Analisis Perbedaan Persepsi Tentang Pelayanan Rawat Inap Antara Pasien Rujukan Dari Petugas Kesehatan Dengan Kemauan Sendiri\Keluarga Di Divisi Geriatri Rs Dr Kariadi Semarang. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Google Scholar
World Health Organization. (2020). Situation Report-62 WHO RISK ASSESSMENT
Global Level Very High. Google Scholar
Yunus, N. R., & Rezki, A. (2020). Kebijakan Pemberlakuan Lock Down Sebagai Antisipasi Penyebaran Corona Virus Covid-19. SALAM: Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-I. = Google Scholar