Jurnal Health Sains: p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398�����

Vol. 2, No. 10, Oktober 2021

 

PENGALAMAN PERAWAT MERAWAT PASIEN ODGJ DENGAN COVID-19 DI RSJ SAMBANG LIHUM

 

Mohamad Hamsanie, Bahrul Ilmi, Muhamamad Syafwani

Universitas Muhammadiyah Banjarmasin, Poltekes Kemenkes Banjarmasin, Universitas Muhammadiyah Banjarmasin, Indonesia

Email[email protected], [email protected], [email protected]

 

info artikel

abstraK

Diterima

5 Oktober 2021

Direvisi

15 Oktober 2021

Disetujui

25 Oktober 2021

COVID-19 merupakan penyakit menular sehingga diperlukan perawatan khusus terlebih pada pasien ODGJ dengan COVID-19. Penelitian bertujuan mengekplorasi pengalaman perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan mendapatkan gambaran pengalaman perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 di RSJ Sambang Lihum. Metode yang digunakan adalah kualitatif fenomenologi dengan pemilihan sampel secara purposive sampling, dengan jumlah sampel sebanyak 5 partisipan. Hasil penelitian menemukan 5 tema utama yaitu respon psikologis perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19, respon fisik perawat dalam menggunakan APD level 3, proses adaptasi perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19, perilaku pasien ODGJ dengan COVID-19 saat dilakukan perawatan dan cara merawat pasien ODGJ dengan COVID-19. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa perawat dapat beradaptasi dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 melalui mekanisme koping dan upaya mempertahankan imunitas. Penguatan spiritual merupakan salah satu koping yang menjadi penyeimbang kesehatan fisik dan psikis perawat sehingga pengalaman perawat menjadi adaptif. Saran penelitian yaitu pengaturan pola kerja agar perawat tidak kelelahan saat bekerja dengan menggunakan APD level 3, pemberian pelatihan dalam menggunakan APD level 3 dan dukungan sarana dan prasarana untuk mendukung keselamatan dan kesehatan kerja dari perawat dalam memberikan pelayanan yang aman bagi pasien ODGJ dengan COVID-19.

 

ABSTRACT

COVID-19 is an infectious disease so special treatment is needed especially in ODGJ patients with COVID-19. The study aims to explore the experience of nurses in treating ODGJ patients with COVID-19. This study aims to explore and get an overview of the experience of nurses in caring for ODGJ patients with COVID-19 at Sambang Lihum Hospital. The method used is qualitative phenomenology with purposive sampling sample selection, with a sample count of 5 participants. The results of the study found 5 �main themes, namely the psychological response of nurses in caring for ODGJ patients with COVID-19, the physical response of nurses in using APD level 3, the process of nurse adaptation in caring for ODGJ patients with COVID-19, the behavior of ODGJ patients with COVID-19 when treatment and how to treat ODGJ patients with COVID-19.The results concluded that nurses can adapt in treating ODGJ patients with COVID-19 through coping mechanisms and efforts to maintain immunity. Spiritual strengthening is one of the copings that becomes a counterweight to the physical and psychological health of nurses so that the nurse's experience becomes adaptive. Research advice is to set work patterns so that nurses are not exhausted while working using APD level 3, providing training in using APD level 3 and support facilities and infrastructure to support occupational safety and health from nurses in providing safe services for ODGJ patients with COVID-19.

Kata Kunci:

COVID-19; ODGJ; pengalaman perawat

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

COVID-19; ODGJ; Nurse's experience


 


Pendahuluan

Pandemi COVID-19 merupakan sebuah kejadian yang fenomenal, dikarenakan kejadian ini terjadi pada hampir seluruh penjuru dunia. Pendemi ini awalnya terjadi pada akhir tahun 2019, dimana dunia telah dihebohkan dengan munculnya pandemi penyakit pernafasan yang bermula di kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Informasi yang tersebar mengenai penyakit Wuhan Pneumonia tersebut disebabkan oleh Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Virus tersebut menyebar sangat cepat ke seluruh penjuru wilayah China, hingga membuat pemerintah setempat menutup sebagian wilayah yang ada di China. Penyakit COVID-19 ini kemudian menyebar hampir ke seluruh negara di belahan bumi sehingga pada pada tanggal 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkannya sebagai pandemi.

Pandemi COVID-19 selain menimbulkan infeksi yang dapat mengakibatkan kematian juga menimbulkan dampak tekanan psikologis bagi sebagian besar penduduk dunia baik masyarakat umum maupun tenaga kesehatan. Dampak psikologis yang dirasakan berupa cemas dan khawatir akan tertular virus COVID-19. Hal ini wajar, dikarenakan penyebaran virus corona hampir tidak terkendali dan setiap hari angka kejadiannya terus bertambah.

Menurut data dari worldometer, kasus COVID-19 di seluruh dunia pertanggal 30 September 2020, terhitung 6 bulan sejak ditetapkan sebagai pandemi, COVID-19 telah menginfeksi manusia sebanyak 33,8 juta orang, dengan angka kematian telah mencapai 1 juta jiwa (4%). Pasien dinyatakan sembuh sebanyak 25 juta jiwa. Kasus aktif dari COVID-19 pada akhir bulan akhir september 2020 sebanyak 7.685.814 kasus dengan kondisi perawatan ringan sampai sedang berjumlah 7.620.223 kasus dan kondisi perawatan berat sampai kritis sebanyak 65.591 kasus (1%) Pada bulan Juni 2020 angka kejadian infeksi COVID-19 masih berkisar 10 juta kasus dalam 3 bulan meningkat 3 kali lipat lebih. Hal ini menunjukan bahwa kasus COVID-19 masih merupakan ancaman kesehatan yang harus dan sangat diwaspadai serta masih menjadi perhatian manusia diseluruh dunia.

Amerika merupakan negara dengan kasus infeksi virus COVID-19 tertinggi dari 211 negara yang melaporkan kasus infeksi COVID 19 ini dengan angka kejadian sebesar 7,4 juta orang dengan kasus kematian sebanyak 210 ribu orang lebih. Kemudian negara kedua tertinggi dilaporkan adalah negara India dengan 6.2 juta kasus infeksi dengan 97 ribu angka kematian, negara ketiga adalah Brasil, dan berturut-turut negara Rusia pada posisi ke-empat kemudian negara Kolombia berada pada posisi kelima.

Indonesia berada pada tingkat 23 tertinggi dari seluruh negara yang melaporkan terjadinya kasus COVID-19 dengan jumlah kasus sebanyak 287.008 orang yang telah terinfeksi. Jumlah kasus kematian sebanyak 10.740 orang. Kasus sembuh sebanyak 214.947 orang. kasus ini tersebar di 34 provinsi dan 483 kabupaten/kota di Indonesia.

Kalimantan Selatan termasuk salah satu provinsi yang mempunyai laju insiden yang tinggi dari pertambahan kasus COVID-19 di Indonesia. Data yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan pada tanggal 30 September 2020 diketahui jumlah kasus positif COVID-19 mencapai 10.348 kasus dan yang meninggal dunia sebanyak 422 orang. Jumlah kasus sembuh sebanyak 8819 orang. Kalimantan selatan berada pada urutan ke-15 kejadian COVID-19 di Indonesia.

Kota Banjarmasin menjadi pemegang rekor tertinggi untuk angka positif COVID-19 di Kalimantan Selatan, dan kota banjarmasin sempat menjadi daerah zona hitam karena tingginya prevalensi kasus COVID-19 dikota ini. Kasus terkonfirmasi COVID-19 di kota Banjarmasin pada tanggal 30 September 2020 adalah sebanyak 3258 kasus, kasus sembuh sebanyak 2677 orang dan kasus meninggal sebanyak 158 orang (Dinkes, 2013).

COVID-19 (Coronavirus Disease 2019) adalah penyakit jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya dan sekaligus menjadi pengalaman baru pada manusia. WHO menyatakan pandemi COVID-19 sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD)/ Public Health Emergency of International Concern (PHEIC)/Pandemi dikarenakan penyebaran dan penularannya sangat cepat pada manusia dengan angka kematian yang cukup tinggi. Tidak hanyak aspek kesehatan yang terpengaruh, tetapi dampak ekonomi bahkan dampak sosio dan spiritual pun terpengaruh secara signifikan. Beberapa upaya telah dilakukan manusia untuk berusaha mengatasi seluruh dampak yang terjadi pada hampir semua aspek dan tatanan kehidupan 7,8 miliar penduduk bumi sekarang ini.

Virus penyebab COVID-19 ini adalah Sars-Cov-2 dimana virus ini bersifat zoonosis yaitu virus yang ditularkan antara hewan dan manusia. Keluarga besar virus ini yaitu SARS disebutkan transmisi melalui kucing luwak (civet cats) dan MERS ditularkan dari hewan unta kepada manusia, namun pada COVID-19 hewan yang menjadi sumber penularan belum diketahui. Penyakit ini dikenali melalui tanda dan gejala umum yang ditimbulkan yaitu gejala gangguan pernafasan akut, demam, batuk dan sesak nafas. Masa inkubasi berkisar rata-rata 5-6 hari dan masa inkubasi terpanjang adalah 14 hari. Cara penularan dari human to human didapat melalui saluran pernafasan dari orang yang terinfeksi batuk atau bersin. virus COVID-19 ini dapat bertahan hidup pada permukaan benda-benda yang bisa mentransmisikan virus COVID-19 secara tidak langsung yang terkontak dengan orang lain. Pada kasus COVID-19 yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernafasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian (Kemenkes RI, 2019).

Banyaknya angka kejadian kasus pasien yang terinfeksi COVID-19 di Indonesia saat ini sangat berdampak pada tingginya beban kerja tenaga kesehatan dalam menangani kasus COVID-19. Hampir semua perawat saat ini berkutat dan terlibat dalam perawatan pasien COVID-19 pada semua fasilitas kesehatan. Perawat merupakan tenaga kesehatan yang paling sering berhadapan dengan pasien yang berpotensi terdapat virus COVID-19. Tidak sedikit perawat terpapar virus corona dan sakit bahkan sampai meninggal akibat terpapar virus COVID-19. Angka kematian petugas kesehatan yang dilaporkan pada bulan Juli secara global dari 30 negara terjadi peningkatan angka kematian lebih dari dua kali lipat. Disebutkan sejak timbulnya pandemi COVID-19 lebih dari 3000 tenaga kesehatan diketahui telah meninggal karena COVID-19. Hal ini mengakibatkan jumlah tenaga kesehatan makin berkurang.�

WHO mengatakan tingginya angka resiko tenaga kesehatan yang terpapar virus corona disebabkan oleh faktor lamanya paparan dan jumlah paparan virus dan faktor lain seperti keterbatasan alat pelindung diri (APD) yang memadai dan kurangnya pengetahuan terkait penggunaan APD yang benar. Hal ini dikarenakan perawat belum mempunyai pengalaman yang cukup. Perawat dituntut untuk dapat melaksanakan asuhan keperawatan dengan aman dan memperhatikan prinsip pencegahan penularan baik terhadap dirinya sendiri maupun kepada orang lain. Beberapa kebijakan pemerintah, peraturan serta prosedur operasinoal penangangan pasien COVID-19 yang dipadu dengan pengalaman perawat dilapangan dalam menangani masalah COVID-19 tentunya akan menjadi pengalaman baru bagi perawat dalam hal melayani pasien dalam masa pandemi COVID-19 agar tidak tertular dan tidak menularkan.

Penyakit COVID-19 dapat menginfeksi siapa saja dan siapa saja bisa tertular dan menularkan virus corona. Laki-laki dan perempuan, orang dewasa, anak-anak hingga lansia, bisa berpotensi terpapar dan tidak terkecuali orang dengan gangguan jiwa. Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) termasuk kelompok rentan dan berpotensi membahayakan jika terpapar COVID-19 dan hidup menggelandang. Banyak diantaranya tak terjangkau oleh layanan kesehatan.

Beberapa rumah sakit jiwa di negara-negara barat dan negara Asia telah melaporkan beberapa pasien ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) yang terpapar COVID-19. Seperti di salah satu rumah sakit jiwa di Korea Selatan yaitu pada Daenam Hospital telah menyebutkan 101 orang pasien dilakukan karantina dan sebanyak 7 orang pasien meninggal karena COVID-19. Western State hospital, di Washington menyebutkan terdapat 34 orang ODGJ telah terpapar oleh virus COVID-19.

(Nicholls et al., 2020) mengatakan �ini adalah hal terburuk dari semua keadaan yang ada di dunia, dimana 1 kasus akan mengakibatkan 10 kasus lainnya, karena mereka (pasien) dapat mengganggu area pribadi orang lain�, dengan kata lain ODGJ yang terpapar infeksi COVID-19 mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk tertular dan menularkan. Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi petugas kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan pada pasien ODGJ yang terpapar COVID-19.

Di Indonesia, beberapa rumah sakit jiwa telah melaporkan adanya ODGJ dengan masalah COVID-19, yaitu Rumah Sakit Jiwa HB Saanin, Padang Sumatra barat, RSJ Grhasia, Yogyakarta, RSJ Menur, Surabaya dan beberapa rumah sakit jiwa yang lain juga telah melaporkan merawat pasien ODGJ yang terkonfirmasi COVID-19. Begitu juga pada RSJ Sambang Lihum di Kalimantan Selatan.

RSJ Sambang Lihum adalah salah satu rumah sakit jiwa yang berada dalam lingkup Instansi pelayanan kesehatan di provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan data yang dilaporkan pihak RSJ Sambang Lihum ke Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan secara resmi sejak membuka ruang isolasi untuk merawat pasien suspek dan atau covid-pada bulan April 2020 sampai akhir bulan September 2020 telah merawat 51 orang pasien ODGJ. Dengan rincian pasien ODGJ dengan status menunjukan gejala dan hasil rapid tes reaktif sebanyak 39 orang, pasien ODGJ yang diisolasi karena terpapar pasien lainnya, mempunyai gejala demam dan flu dengan hasil tes rapid non reaktif sebanyak 7 orang, dan pasien ODGJ dengan status terkonfirmasi COVID-19 sebanyak 3 orang ODGJ. Kasus probabel 1 orang, Jumlah pasien yang telah sembuh sebanyak 44 orang, masih dirawat sebanyak 6 orang, dan yang meninggal 1 orang.

Secara khusus rumah sakit jiwa mempunyai keunikan dalam memberikan pelayanan perawatan pada pasien ODGJ dimana pasien yang mengalami gangguan fungsi mental mengalami masalah pada kemampuan kognitif yang tidak adekuat mengakibatkan pasien menjadi susah mengenali faktor resiko yang ada, sulit diarahkan dalam melakukan perlindungan terhadap dirinya seperti pasien yang tidak patuh mengikuti anjuran untuk menggunakan masker serta prosedur cuci tangan yang baik. Hal ini merupakan sebuah tantangan dan menjadi pengalaman baru dalam memberikan asuhan keperawatan dan pelaksanaan prosedur tindakan kepada pasien ODGJ dengan COVID-19 yang sebelumnya belum pernah terjadi. bahkan standar prosedur operasionalnya dibuat dengan menyesuaikan kondisi yang terdapat pada unit pelayanan pasien.

Berdasarkan data dari hasil survey kesiapsiagaan perawat dalam menangani pasien COVID-19 yang pernah dilakukan RSJ Sambang Lihum pada 106 responden perawat pada bulan Juni 2020 didapatkan hasil bahwa masih banyak keragu-raguan dan belum paham tentang prosedur penanganan pasien ODGJ dengan COVID-19. Seperti pemahaman tentang alur masuk dan keluar, alur transpormasi, evakuasi, zonasi ruangan, SPO tindakan, sebanyak 45% belum paham, dan masih ragu-ragu sebanyak 24%. Dalam hal pemasangan dan pelepasan APD coverall yang benar, masih banyak belum paham yaitu sebanyak 55%, dan ragu-ragu sebanyak 17%. Dalam hal pemberian bantuan hidup dasar pada pasien ODGJ dengan COVID-19 juga belum paham sebesar 47%. Hal ini menggambarkan pengalaman perawat untuk keperluan perlindungan diri saja masih belum mempunyai pengalaman yang matang. Belum lagi dengan kondisi pasien ODJG dengan COVID-19.

Perawat sebagai bagian dari garda terdepan dalam menangani kasus COVID-19 mendapat sebuah pengalaman yang langsung didapatkan secara bersamaan dengan perawat yang terlibat dalam tim penanganan COVID-19 lainnya. Pengalaman yang didapatkan oleh perawat bisa bersifat hal yang baru yang menyenangkan juga dapat bersifat yang tidak menyenangkan. Ada banyak hal yang mempengaruhi pengalaman perawat, seperti pengetahuan dan pelatihan yang telah didapatkan, fasilitas yang tersedia, kepentingan pribadi, kepentingan keluarga, kondisi kesehatan diri sendiri baik secara fisik dan psikis, tantangan yang sebelumnya belum pernah ditemukan, kebijakan dan aturan yang ada dan masih sering berubah-rubah, informasi, dan hal-hal lain yang mungkin dapat ditemui oleh perawat tersebut.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan secara tidak langsung (wawancara via telepon) kepada 2 orang dari perawat yang bertugas di Ruang Isolasi COVID-19 RSJ Sambang Lihum pada tanggal 5 Oktober 2020, perawat pertama mengatakan bahwa bergabung dengan tim COVID-19 merupakan pengalaman baru, sebelumnya perawat tersebut bertugas diruangan rawat inap jiwa biasa. Beberapa pengalaman yang diceritakan adalah pengalaman menggunakan APD coverall cukup menguras tenaga perawat, dimana saat menggunakan coverall, perawat merasa tidak nyaman karena sirkulasi udara tidak ada hingga membuat tubuh berkeringat, bernafas juga susah karena memakai masker yang berlapis. Perawat tersebut juga menceritakan pengalamannya terkait penanganan pasien ODGJ dengan COVID-19 yang tidak kooperatif memakai masker dan selalu ingin pulang karena tidak suka dengan tindakan isolasi, bahkan beberapa pasien yang berusaha kabur dengan merusak pintu teralis dan jendela, tentunya perawat mengalami kesusahan dalam upaya mencegah lari dan mengejar pasien karena perawat menggunakan APD. Perawat kedua menceritakan pada awal penyediaan fasilitas ruang COVID-19 masih banyak hal-hal yang belum dipahami tentang alur pelayanan, tata kelolaan pasien dan cara penerimaan pasien baru di ruangan, perawat bercerita pernah tidak sempat memakai APD level 3 ketika pasien baru masuk mengamuk, hal ini terjadi saat peutgas penerima pasien tidak mampu mengatasi pasien mengamuk, sehingga perawat tersebut terpaksa segera membantu. Hal ini mengakibatkan perawat kedua khawatir akan paparan penyakit pasien. Kedua perawat tersebut juga menceritakan pengalamannya tentang resiko APD yang bisa dirusak pasien saat mengamuk, selain itu kedua perawat menceritakan pengalaman dalam mengikuti karantina di asrama selama bertugas selama 14 hari. Perawat merasa cemas terhadap kesehatan diri sendiri dan kesehatan keluarga dirumah. Perasaan terpisah dengan keluarga juga menjadi beban psikologis pada perawat. Perawat tersebut merasa sedih karena terpisah dengan anak-anak tetapi tetap berusaha sabar dalam menjalani tugas sebagai tim COVID-19. Tentunya pengalaman perawat selama merawat pasien COVID-19 sangat beragam dan akan berbeda pengalaman perawat saat merawat pasien ODGJ dengan masalah COVID-19.

Teori adaptasi Calista Roy merupakan model keperawatan yang menjelaskan bagaimana individu mampu meningkatkan kesehatan dengan cara mempertahankan perilaku adaftif serta mampu merubah perilaku inadafttif.

Penerapan teori ini akan membantu seseorang beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdepensi selama sehat dan sakit (Alligood, 2015). Pendekatan teori adaptasi Calista Roy dipandang ideal untuk diterapkan terutama pada kondisi perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 yang memerlukan adaptasi terhadap kondisi yang sebelumnya belum pernah dialami oleh perawat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan mendapatkan gambaran pengalaman perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 di RSJ Sambang Lihum.

 

Metode Penelitian

Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, yang bertujuan untuk memperoleh pemahaman melalui fenomena yang dialami oleh partisipan dan untuk mengeksplorasi serta menggali lebih dalam tentang pengalaman perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19.

Pendekatan fenomenologi yang digunakan menekankan pada pengalaman partisipan melakukan perawatan terhadap pasien ODGJ dengan COVID-19. Partisipan menjelaskan apa yang dialaminya seperti mendengar, melihat, percaya, merasa, mengingat, memutuskan, menilai dan bertindak sehubungan dengan merawat pasien ODGJ dengan COVID-19.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2021 pada perawat yang masih aktif merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 di RSJ Sambang Lihum.

 

Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian yang telah dilakukan untuk menjelaskan pengalaman perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 di RSJ Sambang Lihum. Hasil penelitian ini akan dipaparkan menjadi dua bagian, yaitu: 1) Informasi umum tentang karakteristik partisipan sesuai dengan data demografi partisipan, 2) Deskripsi hasil penelitian yang menyajikan tema-tema yang muncul dari penelitian yang didapatkan dari sudut pandang partisipan tentang pengalaman perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19.

Hasil penelitian pada pengalaman perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 di RSJ Sambang Lihum mengidentifikasi 5 (lima) tema yang akan diuraikan satu persatu di dalam pembahasan ini.

1.   Interpretasi Hasil penelitian dan Analisis Tema

Tema yang akan diuraikan yaitu: 1) Respon psikologis perawat dalam merawat ODGJ dengan COVID-19; 2) Respon perawat menggunakan APD dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19; 3) Proses adaptasi perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19; 4) Perilaku pasien ODGJ dengan COVID-19 saat dilakukan perawatan; dan 5) Cara merawat pasien ODGJ dengan COVID-19.

2.   Respon psikologis perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19.

Tema pertama dari pengalaman perawat yaitu respon psikologis perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19. Respon psikologis ini berupa pengalaman yang dirasakan perawat saat awal dan sekarang bertugas dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19. Respon psikologis yang dialami oleh perawat meliputi 2 (dua) sub tema yaitu: 1) respon psikologis awal yang dirasakan perawat dalam merawat pasien dengan COVID-19; dan 2) respon psikologis sekarang perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19.

3.   Respon psikologis awal yang dirasakan perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19.

Penanganan kasus menular COVID-19 membuat petugas kesehatan mendapatkan stres secara psikologis. Seperti yang dikatakan (World Health Organization, 2020) bahwa beberapa pengalaman stres mungkin tidak akan dialami bagi petugas kesehatan yang tidak langsung terlibat dalam kondisi penanganan masalah COVID-19.

Kondisi psikologis yang dirasakan tenaga kesehatan selama menangani pandemi COVID-19 seperti stres akibat beban pekerjaan, stigma dan kekhawatiran terinfeksi belum menjadi fokus utama pemerintah, hal ini membuat respon psikologis perawat cukup beragam dalam menerima kondisi penugasan ditengah pandemi COVID-19 seperti saat ini (Handayani et al., 2020). Adapun respon psikologis awal yang dirasakan perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 akan dibahas dalam beberapa kategori dibawah ini, yaitu:

a.    Tidak siap

Kategori pertama dari respon psikologis awal yang dirasakan perawat saat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 adalah tidak siap. Perawat mengatakan tidak siap ketika dipilih menjadi tim perawatan pasien ODGJ dengan COVID-19 karena perawat tidak mempunyai pengalaman dalam merawat pasien dengan COVID-19 serta perawat merasa tidak aman melakukan kontak pada pasien ODGJ dengan COVID-19. Senada dengan (Shechter et al., 2020) mengatakan bahwa petugas kesehatan yang baru ditugaskan di tempat pelayanan pasien dengan COVID-19 mengalami dampak stres psikologis seperti cemas, ketakutan, depresi dan resiko bunuh diri.

Kurangnya informasi yang diketahui oleh perawat tentang COVID-19 menyebabkan perawat berasumsi bahwa COVID-19 sangat berbahaya, mudah menular, belum ada obatnya, dan jika tertular dapat menyebabkan kematian. Asumsi perawat ini sejalan dengan yang dikatakan oleh (Lu et al., 2020); (Sohrabi et al., 2020);� (Huang & Zheng, 2020) bahwa jumlah orang yang terinfeksi COVID-19 dan yang meninggal meningkat dari hari ke hari. Sementara terapi yang efektif dan vaksin untuk melawan virus COVID-19 belum ditemukan.

Ketidaksiapan perawat juga dipengaruhi adanya penolakan dari keluarga perawat yang tidak mendukung perawat dengan alasan khawatir tertular dan membawa resiko penyakit ke rumah saat merawat pasien ODGJ dengan COVID-19. Kondisi ini sejalan dengan pendapat (El-Hage et al., 2020) bahwa terdapat faktor risiko lain yang diidentifikasi yaitu perasaan tidak didukung, kekhawatiran tentang kesehatan pribadi, takut membawa infeksi dan menularkannya kepada anggota keluarga.

Perawat lainnya mengatakan alasan keluarga menolak karena perawat dan keluarga harus berpisah selama menjalani tugas dan karantina serta kemungkinan akan mendapat stigma negatif dari masyarakat.� Seperti yang dikatakan oleh (Kim et al., 2020) bahwa adanya karantina, informasi yang tidak memadai dan adanya stigma pada kelompok masyarakat dapat menimbulkan efek negatif pada psikologis. Semua hal tersebut akan berpengaruh pada respon psikologis awal yang dirasakan perawat dalam merawat pasien dengan COVID-19.

Menurut teori adaptasi Roy, adanya ketidaksiapan yang dirasakan oleh perawat berhubungan dengan perawat belum mempunyai pengetahuan dan pengalaman dalam penatalaksanaannya pasien dengan COVID-19. Hal ini menjadi stimulus fokal yang langsung dirasakan oleh perawat sebagai stressor yang mempengaruhi perawat secara biopsikososial. Selain itu, adanya perasaan khawatir akan tertular infeksi COVID-19 serta karantina di asrama menjadi stimulus kontekstual yang berkaitan dengan stimulus fokal, jika perawat tidak berhasil beradaptasi maka akan menimbulkan respon negatif, yaitu kecemasan semakin berat dan menimbulkan gangguan kesehatan pada dirinya. Perawat yang dipilih menjadi perawat pada tim perawatan COVID-19 akan mengatasi ketidaksiapan yang ada dengan mekanisme kontrol yaitu sistem regulator dan kognator.

b.   Cemas, khawatir dan takut tertular

Cemas, khawatir dan takut menjadi kategori yang kedua dari respon psikologis awal yang dirasakan perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19. Cemas, khawatir dan takut ini mengarah pada resiko tertular virus COVID-19 dari pasien karena perawat akan berada lebih sering, lebih dekat dengan pasien sehingga resiko akan tertularnya virus COVID-19 menjadi lebih besar.

Kecemasan sebenarnya merupakan reaksi normal terhadap situasi yang mengancam dan tak terduga seperti pada saat pandemi COVID-19 selama hal tersebut tidak berlebihan. Kecemasan dapat terjadi pada semua orang yang digambarkan sebagai kekhawatiran terhadap hal yang akan terjadi dimasa akan datang. Seperti yang disebutkan oleh (Annisa & Ifdil, 2016), bahwa kecemasan menimbulkan rasa tidak nyaman pada diri seseorang, dan merupakan pengalaman yang samar disertai dengan perasaan tidak berdaya serta tidak menentu yang disebabkan oleh suatu hal yang belum jelas.

Menjadi perawat yang bertugas untuk merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 mempunyai resiko untuk tertular dan resiko inilah yang menjadi sumber kecemasan, kekhawatiran dan ketakutan yang dirasakan oleh perawat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Trang et al., 2018) mengatakan bahwa krisis kesehatan pandemi COVID-19 menyebabkan perubahan psikologis seperti ketakutan, kecemasan, depresi, atau ketidakamanan. Gangguan ini tidak hanya dirasakan oleh tenaga kesehatan atau semua orang yang bekerja di bidang medis, tetapi juga seluruh warga negara.

Data yang didapatkan oleh (Aiyer et al., 2020) menyebutkan lebih dari separuh petugas kesehatan mengalami kecemasan dan depresi yang signifikan dan hampir 50% memiliki tingkat stres yang tinggi. Pernyataan ini dikuatkan lagi dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Chen et al., 2020) bahwa respon psikologis yang dialami oleh petugas kesehatan terhadap pandemi COVID-19 semakin meningkat karena disebabkan oleh perasaan cemas tentang kesehatan diri sendiri dan penyebaran penularan pada keluarga.

Ketakutan perawat terhadap risiko terpapar, terinfeksi dan kemungkinan menginfeksi keluarga dan orang lain saat nanti mereka selesai menjalankan tugas dan pulang ke rumah juga menjadi beban psikologis seperti yang disebutkan (Kang et al., 2020) bahwa banyak tenaga kesehatan harus mengisolasi diri dari keluarga dan orang terdekat meski tidak mengalami COVID-19, hal ini merupakan keputusan sulit dan dapat menjadi beban psikologis yang signifikan pada mereka.

Kecemasan merupakan hal yang normal dan wajar terjadi ketika seorang petugas kesehatan mendapat tugas atau akan menjalani sebuah tugas yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Perasaan cemas, khawatir dan takut yang dirasakan oleh perawat yang bertugas merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 menurut teori adaptasi Roy menjadi stimulus kontekstual yang dapat memicu adanya mekanisme kontrol sistem regulator dan kognator untuk mengatasinya. Kecemasan akan dapat berkurang atau bahkan hilang jika perawat mampu beradaptasi dengan baik.

c.    Khawatir berpisah dengan keluarga selama karantina

Kategori ketiga respon psikologis awal yang dirasakan perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 adalah perasaan khawatir berpisah dengan keluarga selama bertugas dan menjalani masa karantina. Tujuan dar karantina adalah sebagai perlindungan keluarga dari resiko paparan virus COVID-19.

Perawat mengatakan selama bertugas merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 wajib mengikuti karantina dan tinggal di asrama yang disediakan pihak Rumah Sakit. Kebijakan ini mengacu pada prinsip pencegahan penularan infeksi COVID-19 secara luas. Maksud pencegahan penyebaran COVID-19 ini sejalan dengan pendapat (Anmella et al., 2020) bahwa setelah bekerja, petugas kesehatan yang memiliki potensi terinfeksi dari pasien COVID-19 harus menerapkan langkah-langkah pencegahan dan perlindungan yang memadai dengan melakukan karantina. Dengan cara ini, mereka dapat melindungi diri mereka sendiri dan keluarga, kerabat dan teman mereka terhadap risiko tertular penyakit.

Perawat merasa khawatir berpisah dengan keluarga selama menjalankan tugas merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 karena merupakan hal yang belum biasa, dimana selama 14 hari perawat harus tinggal di asrama karantina dan tidak diperbolehkan pulang ke rumah. Perawat harus membiasakan diri untuk tinggal diasrama dengan fasilitas yang ada dan tidak seperti kondisi di rumah.

Sejalan dengan pendapat (Chen et al., 2020), bahwa tenaga kesehatan akan mengalami kondisi kejiwaan yang lebih berat karena terjadi pemisahan dari keluarga, situasi yang tidak biasa, peningkatan paparan terhadap virus corona, ketakutan penularan dan sarana teknis yang tidak memadai untuk membantu pasien. Bagi petugas layanan kesehatan akan sulit untuk tetap sehat secara mental dalam situasi seperti ini.

Menurut teori adaptasi Roy, kewajiban mengikuti karantina menjadi stimulus kontekstual yang dihadapi oleh partisipan, dimana stimulus ini bersifat eksternal yang dirasakan perawat dengan keluarga yang dapat mempengaruhi psikologis perawat dalam menjalani tugas dengan konsekuensi harus berpisah sementara dengan keluarga ditempat asrama karantina sementara selama 14 hari.

d.   Takut mendapat stigma negatif

Respon psikologis awal perawat yang keempat dirasakan perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 adalah takut mendapat stigma negatif jika masyarakat tahu dirinya terlibat merawat pasien ODGJ dengan COVID-19. Perawat mengatakan tidak menceritakan keterlibatannya merawat pasien COVID-19 kepada tetangga atau masyarakat dan perawat mengataakan lebih memilih menyembunyikan diri dari perannya sebagai perawat yang merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 dilingkungan tempat tinggalnya.

Perasaan takut mendapat stigma negatif berhubungan karena adanya informasi yang sering diakses masyarakat melalui media sosial yang menganggap bahwa COVID-19 sebagai sebuah penyakit yang sangat menular dan dapat mengakibatkan kematian. Kondisi inilah yang menimbulkan stigma negatif dari masyarakat terhadap pasien, keluarga dan tenaga kesehatan terkontak dengan pasien COVID-19 yang bereaksi dengan cara penolakan, intimidasi, sampai melakukan pengusiran pasien dan tenaga kesehatan dari tempat tinggal mereka karena dikhawatirkan membawa virus penyebab COVID-19.

Stigma menurut (Saraswati, 2020) merupakan sesuatu yang dianggap bernilai negative terhadap suatu keadaan atau kondisi. Stigma di masyarakat biasanya selalu ditandai dengan melekatnya anggapan dan penilaian negatif terhadap seseorang. Rasa takut terhadap stigma negatif menimbulkan stres bagi perawat. Sejalan yang diungkapkan (Dakay et al., 2020) mengatakan bahwa stigma negatif yang terjadi pada tenaga kesehatan dan sukarelawan yang bekerja berhubungan langsung dengan pasien yang mempunyai penyakit menular menyebabkan tingkat stres dan kelelahan yang lebih tinggi.

Menurut (Zakah, 2021) bentuk stigma yang diterima oleh tenaga kesehatan adalah mereka dianggap sebagai pembawa virus. Hal ini sesuai dengan pernyataan (World Health Organization, 2020) bahwa COVID-19 telah menimbulkan stigma sosial dan diskriminasi perilaku terhadap pasien yang terkena COVID-19 dan siapa pun yang telah melakukan kontak dengan orang tersebut dianggap telah terkontak dengan virus. Perasaan takut mendapat stigma negatif dalam bertugas sebagai perawat yang merawat pasien COVID-19 menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan sehingga perawat memilih diam atau tidak menceritakan kepada tetangga dan masyarakat sebagai perawat yang bertugas merawat pasien COVID-19.

(Ramaci et al., 2020) mengatakan bahwa stigma yang dialami pasien COVID-19 dan petugas kesehatan terkait COVID-19 menyebabkan gangguan konsep diri pada diri mereka. Sikap diam yang dilakukan oleh perawat sebagai koping untuk mengatasi stres sesuai yang dinyatakan oleh (World Health Organization, 2020) bahwa stigma sosial dapat mendorong orang untuk menyembunyikan penyakit untuk menghindari diskriminasi.

Sikap perawat yang memilih untuk diam atau menyembunyikan diri atau tidak menjelaskan kepada masyarakat tentang tugasnya sebagai perawat yang merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 bukan mekanisme koping yang tepat, karena tetap menimbulkan rasa takut. hal ini bertentangan dengan pendapat (Sulistiadi et al., 2020) yang menyarankan bahwa cara untuk mengatasi stigma adalah menyampaikan informasi yang benar tentang COVID-19 dengan mengungkapkan kebenaran, transparan dan informasi tentang kondisi nyata yang menunjukkan kepercayaan dalam masyarakat untuk menilai situasi dengan tepat.

Rasa takut mendapat stigma negatif yang dimiliki perawat jika dihubungkan dengan kerangka teori adaptasi Roy, masuk dalam stimulus residual karena stigma negatif adalah perasaan yang dirasakan perawat terkait dengan kepercayaan diri, sikap dan pengalaman yang didapat tetapi sulit untuk diukur.

4.   Respon psikologis sekarang dirasakan perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19

a.    Stres

Kategori yang pertama dari respon psikologis sekarang yang dirasakan perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 adalah stres. Tugas merawat pasien dengan COVID-19 memang menimbulkan dampak yang sangat luas bagi perawat, selain dampak secara individual bagi perawat juga berdampak pada luar diri perawat. dampak yang paling dekat diluar diri perawat adalah resiko penularan kepada orang lain, seperti teman dan keluarga.

Perawat juga menjelaskan stres yang dirasakan berkaitan dalam melaksanakan tugas merawat pasien COVID-19 harus menggunakan APD level 3. dimana penggunaan APD level 3 menimbulkan stres baik fisik maupun psikis. perawat juga mengatakan bahwa pengawasan dan pemantauan dilakukan lebih ketat pada pasien ODGJ yang mempunyai gejala aktif COVID-19, mempunyai penyakit penyerta dan pada pasien yang memerlukan perawatan total dalam pemenuhan kebutuhan ADL. Kondisi tersebut akan memerlukan kontak dan interaksi yang lebih lama sehingga dirasakan lebih tinggi stresnya dibandingkan jika bertugas di ruang perawatan ODGJ non COVID-19.

Sejalan dengan penelitian (Chen et al., 2020) bahwa banyak petugas kesehatan berada di garis depan yang bekerja di unit gawat darurat atau perawatan intensif kasus COVID-19 mempunyai beban kerja yang lebih berat dan lebih stres daripada biasanya karena yang dirawat adalah pasien COVID-19. Pernyataan yang hampir sama juga dinyatakan oleh (Handayani et al., 2020) bahwa para tenaga kesehatan mengalami stres yang lebih banyak akibat beban pekerjaan, stigma, dan kekhawatiran terinfeksi.

Faktor kurangnya pengalaman, keterbatasan APD dan adanya resiko pekerjaan juga menjadi tambahan stres dalam melakukan perawatan pasien dengan COVID-19 seperti yang diungkapkan dalam hasil penelitiannya mengatakan bahwa petugas kesehatan yang berada di garis depan berisiko lebih tinggi terinfeksi, bekerja di bawah tekanan yang tinggi, waktu kerja yang lama, beban kerja yang berlebihan, kadang tanpa pelatihan yang tepat dan peralatan perlindungan pribadi yang tidak memadai.

Berdasarkan uraian diatas dihubungkan dengan kerangka teori adaptasi Roy, stres yang dirasakan oleh perawat merupakan dampak psikologis yang muncul dari stimulus kontekstual, yaitu partisipan belum mempunyai pengalaman yang baik dalam tatalaksana perawatan pasien dengan COVID-19, kecemasan dan ketakutan akan tertular virus COVID-19 dan gangguan rasa nyaman yang timbul dari melakukan pekerjaan dengan prosedur yang belum pernah dilakukan sebelumnya yaitu merawat pasien COVID-19 diharuskan menggunakan APD level 3.

b.   Jenuh tinggal di karantina

Respon psikologis sekarang yang masih dirasakan perawat yang kedua adalah perasaan jenuh tinggal di karantina. Perawat mengatakan selama bertugas merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 wajib mengikuti karantina dan tinggal di asrama selama 14 hari. Kegiatan karantina membuat perawat berada jauh dari keluarga dan tidak ada kegiatan bermsyarakat karena harus mengisolasi diri sementara.

Karantina menjadi sebuah pembatasan sosial bagi perawat sehingga kegiatan berkumpul dengan teman yang lain pun jarang dilakukan untuk menghindari resiko penularan COVID-19. Perasaan jenuh ini dapat menjadi stres bagi perawat yang tinggal di tempat karantina. Seperti yang disebutkan (Droit-Volet et al., 2020) bahwa pengalaman emosional kehidupan sehari-hari selama karantina membuat perawat merasa waktu berjalan sangat lambat, merasa bosan, sedih dan perasaan ini sangat mempengaruhi mereka.

Perawat mengungkapkan kegiatannya hanya berada di sekitar kamar tidur dan teras. Minimnya kegiatan yang bisa dilakukan ditempat karantina menjadi salah satu faktor yang menyebabkan rasa jenuh dan bosan tinggal di tempat karantina. Sejalan yang dipaparkan (Banerjee, 2020) bahwa isolasi sosial ini menyebabkan kesepian kronis dan kebosanan yang jika terus berlanjut bisa menimbulkan dampak negatif pada kesehatan fisik dan kesehatan mental. Ditambahkan oleh (Loyola et al., 2020) bahwa dampak negatif pada kesehatan fisik adalah aktivitas fisik menurun pada saat isolasi, terutama kegiatan seperti olahraga. Sedangkan dampak negatif pada kesehatan mental dikemukakan oleh (Vahia et al., 2020) (Fried & Watkinson, 1990) bahwa masa karantina menimbulkan tekanan psikososial seperti perasaan terisolasi, kesepian, stres pasca-trauma, perilaku menghindar, kebingungan, ketakutan, kemarahan, kesedihan, mati rasa, dan insomnia.

Menurut teori adaptasi Roy, rasa jenuh dalam menjalani masa karantina karena adanya pembatasan hubungan sosial dan kurangnya kegiatan yang dapat dilakukan di tempat karantina. Rasa jenuh dalam menjalani karantina ini termasuk dalam stimulus kontekstual karena merupakan dampak psikologis tinggal di karantina.yang langsung dirasakan oleh perawat.

c.    Cemas dan khawatir berkurang

Kategori ketiga dari sub tema respon psikologis sekarang yang dirasakan perawat adalah rasa cemas dan khawatir sudah berkurang. Perawat mengatakan bahwa selama beberapa bulan bertugas merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 perasaannya sudah mulai rileks dan tenang karena sudah dapat menerima dan mengerti teknis kerja dan pola kerja di ruang perawatan pasien dengan COVID-19.

Berbagai cara dilakukan perawat dalam mengatasi kecemasannya dalam menjalani tugas merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 agar dapat merasa nyaman, aman dan tidak tegang.� Hal ini menandakan perawat berusaha mengendalikan stres dan kecemasannya ke arah yang positif. Sejalan dengan pendapat Shin dalam (Fakhri et al., 2018) bahwa kecemasan berasal dari persepsi individu terhadap peristiwa yang tidak terkendali, sehingga individu melakukan tindakan yang terkendali untuk mengatasi kecemasannya.

Perawat berupaya mengatasi kecemasanya dengan melakukan beberapa mekanisme koping seperti mencari informasi yang tepat, mempelajari cara pencegahan, mengatur pola kerja hingga melakukan aktivitas spiritual hingga dapat menurunkan kecemasan. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Taufiq dalam (Fakhri et al., 2018) bahwa manusia berusaha mengeluarkan kemampuan kognitif dan motorik agar dapat memberikan respon yang sesuai hingga sumber kecemasan dapat dihilangkan.

Hubungan penurunan kecemasan yang dirasakan perawat dengan teori adaptasi Roy, yaitu berada dalam bagian dari proses kontrol pada sistem kognator, dimana pencarian informasi, berpikiran positif dan melakukan hal positif telah dilakukan perawat untuk menurunkan kecemasannya agar mampu beradaptasi secara adaptif.

d.   Emosi positif.

Kategori keempat dari sub tema respon psikologis Sekarang yang dirasakan perawat adalah emosi positif yang diungkapkan oleh perawat yaitu ada perasaan bangga menjadi bagian dari tim perawatan yang merawat pasien dengan COVID-19.

Emosi positif mulai tumbuh ketika perawat berada dalam proses adaptasi. perasaan yang sebelumya tidak siap bertugas, tidak mempunyai pengalaman, cemas dan takut terhadap resiko penularan dirasakan mulai berkurang dan berganti dengan rasa bangga. Hal ini sesuai dengan pernyataan perawat yang mengatakan bahwa tidak semua perawat mendapat kesempatan dan mendapat pengalaman baru menjadi perawat yang merawat pasien ODGJ dengan COVID-19.

Menurut (Tunas et al., 2016) dalam penelitiannya mengatakan bahwa semakin tinggi rasa bangga menjadi karyawan maka komitmen afektif akan semakin meningkat. Komitmen afektif adalah keterikatan emosional karyawan dan keterlibatan karyawan pada organisasi. Karyawan yang mempunyai komitmen afektif yang kuat akan terus bekerja dalam organisasi tersebut.

Rasa bangga adalah salah satu jenis dari emosi positif. Ketika manusia meraih suatu target yang sudah ditetapkan sebelumnya atau dapat berkontribusi penting pada suatu proyek, maka manusia tersebut merasa bangga pada kemampuannya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hadi (2019), bahwa rasa bangga tersebut muncul sebagai respons keberhasilan memperoleh yang diinginkannya. Emosi positif dapat menjauhkan manusia dari stres dan selanjutnya emosi positif dapat menjadikan manusia lebih sehat secara fisik dan mental.

Emosi positif yang dirasakan perawat mampu membuat perawat lebih cepat dalam proses beradaptasi, tetap bertahan dalam tugasnya dan terus menjalankan tugas merawat pasien dengan COVID-19 walau telah mengetahui resiko penularannya.

Rasa bangga sebagai seorang perawat yang merawat pasien dengan COVID-19 mampu memicu semangat perawat dalam menghadapi tugasnya. Rasa bangga dapat mengurangi stres dan beban kerja karena merasa senang dapat memberi manfaat kesehatan kepada pasien yang dirawatnya. Emosi positif berupa rasa bangga ini membuat perawat bersedia untuk bekerja dan terus belajar menggali ilmu dan pengalaman dalam proses perawatan pada pasien ODGJ dengan COVID-19. Seperti yang dinyatakan oleh (Hasibuan et al., 2020) bahwa faktor kualitas kehidupan kerja yang memiliki� hubungan yang signifikan dengan kinerja adalah faktor kompensasi yang seimbang, faktor penyelesaian masalah dan� faktor rasa bangga�� terhadap institusi.

Emosi positif dalam teori adaptasi Roy berada pada mekanisme kontrol sistem kognator. Emosi positif berupa rasa bangga yang dirasakan perawat merupakan hasil dari pengalaman dan proses adaptasi yang didapat selama menjalani tugas sebagai perawat dalam tim perawatan pasien ODGJ dengan COVID-19. Perawat merasa dirinya diberi kepercayaan dan dukungan untuk berperan dan mengembangkan jenjang karir profesi sebagai perawat.

 

 

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa perawat dapat beradaptasi dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 dengan mekanisme koping dan upaya mempertahankan imunitas. pengalaman perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 merupakan pengalaman baru yang memerlukan adaptasi yang baik agar perawat tetap selamat dan sehat serta mampu memberikan pelayanan yang aman bagi pasien. Pengalaman perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 yang ditemukan pada penelitian ini meliputi 5 (lima) tema, yaitu: (1) respon psikologis perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19; (2) respon perawat dalam menggunakan APD level 3; (3) Proses adaptasi perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19; (4) perilaku pasien ODGJ dengan COVID-19 saat dilakukan perawatan dan (5) cara merawat pasien ODGJ dengan COVID-19.��

Tugas sebagai perawat yang merawat pasien ODGJ denga COVID-19 merupakan sebuah stressor baru mengharuskan perawat beradaptasi secara biopsikososial dan spiritual. Dimulai dari perawat tidak mempunyai pengalaman dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19 sampai perawat dapat melaksanakan tugas dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19. Pengalaman yang didapat oleh perawat juga tidak lepas dari adanya dukungan sosial dan dukungan dari pihak manajemen rumah sakit. Semuanya saling terkait dan mempengaruhi adaptasi perawat dalam merawat pasien ODGJ dengan COVID-19. Pengalaman menggunakan alat pelindung diri (APD) level 3 merupakan sebuah cara dan upaya untuk mencegah penularan penyakit infeksi COVID-19 tentunya juga harus dilatih agar jangan sampai terjadi cedera pada perawat dan cedera pada pasien.

 

BIBLIOGRAFI

 

Aiyer, A. A., Granger, C. J., Mccormick, K. L., Cipriano, C. A., Kaplan, J. R., Varacallo, M. A., Dodds, S. D., & Levine, W. N. (2020). The Impact Of Covid-19 On The Orthopaedic Surgery Residency Application Process. The Journal Of The American Academy Of Orthopaedic Surgeons. Google Scholar

 

Anmella, G., Fico, G., Roca, A., G�mez-Ramiro, M., V�zquez, M., Murru, A., Pacchiarotti, I., Verdolini, N., & Vieta, E. (2020). Unravelling Potential Severe Psychiatric Repercussions On Healthcare Professionals During The Covid-19 Crisis. Journal Of Affective Disorders, 273, 422�424. Google Scholar

 

Annisa, D. F., & Ifdil, I. (2016). Konsep Kecemasan (Anxiety) Pada Lanjut Usia (Lansia). Konselor, 5(2), 93�99. Google Scholar

 

Banerjee, D. (2020). The Covid-19 Outbreak: Crucial Role The Psychiatrists Can Play. Asian Journal Of Psychiatry, 50, 102014. Google Scholar

 

Chen, C., Gao, G., Xu, Y., Pu, L., Wang, Q., Wang, L., Wang, W., Song, Y., Chen, M., & Wang, L. (2020). Sars-Cov-2�Positive Sputum And Feces After Conversion Of Pharyngeal Samples In Patients With Covid-19. Annals Of Internal Medicine, 172(12), 832�834. Google Scholar

 

Dakay, K., Kaur, G., Gulko, E., Santarelli, J., Bowers, C., Mayer, S. A., Gandhi, C. D., & Al-Mufti, F. (2020). Reversible Cerebral Vasoconstriction Syndrome And Dissection In The Setting Of Covid-19 Infection. Journal Of Stroke And Cerebrovascular Diseases, 29(9), 105011. Google Scholar

 

Dinkes, J. (2013). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012. 2013. Semarang: Dinkes Jateng. Google Scholar

 

Droit-Volet, S., Gil, S., Martinelli, N., Andant, N., Clinchamps, M., Parreira, L., Rouffiac, K., Dambrun, M., Huguet, P., & Dubuis, B. (2020). Time And Covid-19 Stress In The Lockdown Situation: Time Free,�Dying� Of Boredom And Sadness. Plos One, 15(8), E0236465. Google Scholar

 

El-Hage, W., Hingray, C., Lemogne, C., Yrondi, A., Brunault, P., Bienvenu, T., Etain, B., Paquet, C., Gohier, B., & Bennabi, D. (2020). Les Professionnels De Sant� Face � La Pand�mie De La Maladie � Coronavirus (Covid-19): Quels Risques Pour Leur Sant� Mentale? L�encephale, 46(3), S73�S80. Google Scholar

 

Fakhri, S., Abbaszadeh, F., Dargahi, L., & Jorjani, M. (2018). Astaxanthin: A Mechanistic Review On Its Biological Activities And Health Benefits. Pharmacological Research, 136, 1�20. Google Scholar

 

Fried, P. A., & Watkinson, B. (1990). 36-And 48-Month Neurobehavioral Follow-Up Of Children Prenatally Exposed To Marijuana, Cigarettes, And Alcohol. Journal Of Developmental And Behavioral Pediatrics. Google Scholar

 

Handayani, D., Hadi, D. R., Isbaniah, F., Burhan, E., & Agustin, H. (2020). Corona Virus Disease 2019. Jurnal Respirologi Indonesia, 40(2), 119�129. Google Scholar

 

Hasibuan, A., Purba, B., Marzuki, I., Mahyuddin, M., Sianturi, E., Armus, R., Gusty, S., Chaerul, M., Sitorus, E., & Khariri, K. (2020). Teknik Keselamatan Dan Kesehatan Kerja. Yayasan Kita Menulis. Google Scholar

 

Huang, W., & Zheng, Y. (2020). Covid-19: Structural Changes In The Relationship Between Investor Sentiment And Crude Oil Futures Price. Energy Research Letters, 1(2), 13685. Google Scholar

 

Kang, L., Li, Y., Hu, S., Chen, M., Yang, C., Yang, B. X., Wang, Y., Hu, J., Lai, J., & Ma, X. (2020). The Mental Health Of Medical Workers In Wuhan, China Dealing With The 2019 Novel Coronavirus. The Lancet Psychiatry. Google Scholar

 

Kemenkes Ri, K. R. I. (2019). Pedoman Gizi Seimbang. Stikes Perintis. Google Scholar

 

Kim, L., Whitaker, M., O�halloran, A., Kambhampati, A., Chai, S. J., Reingold, A., Armistead, I., Kawasaki, B., Meek, J., & Yousey-Hindes, K. (2020). Hospitalization Rates And Characteristics Of Children Aged< 18 Years Hospitalized With Laboratory-Confirmed Covid-19�Covid-Net, 14 States, March 1�July 25, 2020. Morbidity And Mortality Weekly Report, 69(32), 1081. Google Scholar

 

Loyola, D. G., Xu, J., Heue, K.-P., & Zimmer, W. (2020). Applying Fp_Ilm To The Retrieval Of Geometry-Dependent Effective Lambertian Equivalent Reflectivity (Ge_Ler) Daily Maps From Uvn Satellite Measurements. Atmospheric Measurement Techniques, 13(2), 985�999. Google Scholar

 

Lu, H., Stratton, C. W., & Tang, Y. (2020). Outbreak Of Pneumonia Of Unknown Etiology In Wuhan, China: The Mystery And The Miracle. Journal Of Medical Virology, 92(4), 401. Google Scholar

 

Nicholls, S. J., Lincoff, A. M., Garcia, M., Bash, D., Ballantyne, C. M., Barter, P. J., Davidson, M. H., Kastelein, J. J. P., Koenig, W., & Mcguire, D. K. (2020). Effect Of High-Dose Omega-3 Fatty Acids Vs Corn Oil On Major Adverse Cardiovascular Events In Patients At High Cardiovascular Risk: The Strength Randomized Clinical Trial. Jama, 324(22), 2268�2280. Google Scholar

 

 

Ramaci, T., Barattucci, M., Ledda, C., & Rapisarda, V. (2020). Social Stigma During Covid-19 And Its Impact On Hcws Outcomes. Sustainability, 12(9), 3834. Google Scholar

 

Saraswati, P. S. (2020). Kebijakan Hukum Terhadap Penanganan Pandemi Covid-19 Di Indonesia. Kertha Wicaksana, 14(2), 147�152. Google Scholar

 

Shechter, A., Diaz, F., Moise, N., Anstey, D. E., Ye, S., Agarwal, S., Birk, J. L., Brodie, D., Cannone, D. E., & Chang, B. (2020). Psychological Distress, Coping Behaviors, And Preferences For Support Among New York Healthcare Workers During The Covid-19 Pandemic. General Hospital Psychiatry, 66, 1�8. Google Scholar

 

Sohrabi, C., Alsafi, Z., O�neill, N., Khan, M., Kerwan, A., Al-Jabir, A., Iosifidis, C., & Agha, R. (2020). World Health Organization Declares Global Emergency: A Review Of The 2019 Novel Coronavirus (Covid-19). International Journal Of Surgery, 76, 71�76. Google Scholar

 

Sulistiadi, W., Slamet, S. R., & Harmani, N. (2020). Handling Of Public Stigma On Covid-19 In Indonesian Society. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional (National Public Health Journal). Google Scholar

 

Trang, T. T. T., Zhang, J. H., Kim, J. H., Zargaran, A., Hwang, J. H., Suh, B.-C., & Kim, N. J. (2018). Designing A Magnesium Alloy With High Strength And High Formability. Nature Communications, 9(1), 1�6. Google Scholar

 

Tunas, I. G., Anwar, N., & Lasminto, U. (2016). Fractal Characteristic Analysis Of Watershed As Variable Of Synthetic Unit Hydrograph Model. The Open Civil Engineering Journal, 10(1). Google Scholar

 

 

Vahia, I. V, Blazer, D. G., Smith, G. S., Karp, J. F., Steffens, D. C., Forester, B. P., Tampi, R., Agronin, M., Jeste, D. V, & Reynolds Iii, C. F. (2020). Covid-19, Mental Health And Aging: A Need For New Knowledge To Bridge Science And Service. The American Journal Of Geriatric Psychiatry, 28(7), 695. Google Scholar

 

World Health Organization. (2020). Situation Report-62 Who Risk Assessment Global Level Very High. Google Scholar

 

Zakah, I. (2021). Mekanisme Koping Petugas Kesehatan Dalam Menghadapi Stresor Di Tengah Pandemi Covid-19. Stikes Insan Cendekia Medika Jombang. Google Scholar

 

 

 

 


Copyright holder:

Mohamad Hamsanie, Bahrul Ilmi, Muhamamad Syafwani (2021)

 

First publication right:

Jurnal Health Sains

 

This article is licensed under: