Jurnal Health Sains: p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398�����

Vol. 2, No. 10, Oktober 2021

 

PENGARUH PEMBERIAN GENTAMISIN PADA DOSIS TERAPI TERHADAP GINJAL TIKUS PUTIH (RATTUS NORVEGICUS)

 

Nyoman Gede Trisna Anandita

Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Jawa Timur, Indonesia

Email: [email protected]

 

info artikel

abstraK

Diterima

5 Oktober 2021

Direvisi

15 Oktober 2021

Disetujui

25 Oktober 2021

Gentamisin merupakan suatu antibiotik golongan aminoglikosida yang digunakan oleh klinisi kepada pasien karena sifatnya yang dapat membunuh kuman (bakterisid), efektif untuk pengobatan infeksi, memiliki spektrum luas terhadap bakteri gram negatif (Pseudomonas, Proteus dan Klebsiella), kecenderungan untuk terjadi resistensi rendah, dan harga yang terjangkau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian gentamisin pada dosis terapi terhadap ginjal tikus putih (Rattus norvegicus).Unit eksperimen pada penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus), berumur 3-5 bulan dengan berat 110-120 gram dan dalam keadaan sehat dengan besar replikasi yang diambil sebanyak 24 ekor yang dibagi dalam 3 kelompok yaitu kelompok kontrol, kelompok perlakuan 1 yang diberikan gentamisin dengan dosis 4 mg/kgbb/hari dan kelompok perlakuan 2 dengan pemberian gentamisin 8 mg/kgbb/hari selama 7 hari. Analisis data penelitian ini menggunakan pengolahan data dengan Uji Statistik Kruskal Wallis. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh pemberian gentamisin pada dosis terapi terhadap ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) terbukti dengan nilai p-value = 0,000 (<0,05). Rata-rata nilai nekrosis ginjal tertinggi ada pada kelompok perlakuan 2 yaitu sebesar 11,951% dan nilai nekrosis ginjal terendah pada kelompok kontrol yaitu sebesar 0,581%.

 

ABSTRACT

Gentamicin is an aminoglycoside antibiotic often used as bactericide by clinicians when treating patients due to its effectiveness in curing infections. Gentamicin is a broad-spectrum antibiotic, effective in acting against a wire-range of gram-negative bacteria (Pseudomonas, Proteus dan Klebsiella), and is affordably priced. Moreover, there is evidently low tendency for bacteria to develop resistance to Gentamicin. The purpose of this study is to scientifically describe the effect of therapeutic dosage of gentamicin on renal function in white white rats (Rattus norvegicus). The subjects of this experiment were 24 healthy white rats, age 3-5 months and weigh 110-120 grams, which were organized into three different groups based on the dosage of gentamicin injected: control group, the treatment group 1 was given gentamicin at a dose of 4 mg / kg / day and 2 treatment groups were administreted by gentamicin 8 mg / kg / day in 7 days. The data found in this study were analyzed by Kruskal Wallis statistical test. This study showed that there was a significant effect of therapeutic dosage of gentamicin on renal function in white rats as shown by the p-value = 0.000 (<0.05). The average value of renal necrosis is highest in the treatment group 2 that is equal to 11.951% and the lowest renal necrosis in the control group that is equal to 0.581%.

Kata Kunci:

Gentamisin; ginjal

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

gentamicin; kidney



Pendahuluan

Gentamisin merupakan suatu antibiotik golongan aminoglikosida yang digunakan oleh klinisi kepada pasien karena sifatnya yang dapat membunuh kuman (bakterisid), efektif untuk pengobatan infeksi, memiliki spektrum luas terhadap bakteri gram negatif (Pseudomonas, Proteus dan Klebsiella), kecenderungan untuk terjadi resistensi rendah, dan harga yang terjangkau (Tisa, 2017). Indikasi penggunaan gentamisin antara lain digunakan untuk septicemia, infeksi saluran kemih, endokarditis bakterial, infeksi saluran empedu, sepsis pada anak-anak disebabkan oleh kuman gram negatif (Hardjosaputra, 2008).

Gentamisin dapat digunakan sebagai terapi profilaksis dengan lama pemakaian tidak lebih dari 5 hari. Pemakaian lama (lebih dari 5 hari) dapat digunakan untuk terapi penyakit tapi harus dengan pertimbangan besar dosis yang diberikan berdasarkan pemantauan fungsi ginjal, pendengaran pasien dan berdasarkan konsentrasi obat dalam serum darah (Ikhsan et al., 2020). Dosis terapi gentamisin pada orang dewasa adalah 4-8 mg/kgbb/hari (KEE & Hayes, 1996).

Gentamisin termasuk dalam obat dengan ambang terapi sempit dan concentration dependent sehingga jika kadar obat sedikit saja meningkat di dalam darah akan memiliki dampak besar pada pasien karena dapat melewati ambang terapi obat sehingga obat tidak efektif lagi untuk terapi infeksi (Pusporini & Fuadiyah, 2020). Oleh karena itu pengukuran kadar serum gentamisin selama terapi perlu dilakukan untuk menghindari efek toksik atau resistensi. Efek toksik gentamisin muncul jika digunakan dengan dosis tinggi 60 mg/kgbb/hari yang dapat menimbulkan toksisitas berupa ototoksisitas dan nefrotoksisitas (Ikhsan et al., 2020).

Sekitar 8-26% gangguan fungsi ginjal pada pasien terjadi akibat diterapi dengan gentamisin lebih dari 3-5 hari, manifestasi awal terjadinya toksisitas adalah diawali dengan ekskresi enzim daribrush border tubulus ginjal, kemudian diikuti oleh kelainan ginjal dalam kemampuan mengkonsentrasikan cairan, proteinuria ringan, dan ditemukannya hialin dan granular cast (Andriani, 2014). Terjadinya gangguan fungsi ginjal dikarenakan oleh gentamisin masuk kedalam ginjal mencapai maksimal di kortek ginjal dan sel tubulus, melalui proses endositosis dan sequestration, gentamisin berikatan dengan lisosom sampai membentuk myeloid body atau lisosom sekunder dan fosfolipidosis. Kemudian membran lisosom pecah dan melepas asam hidrolase sehingga mengakibatkan kematian sel (Chasani, 2008).

Kelainan bagian ginjal yang terjadi akibat toksisitas gentamisin yaitu pada bagian distal dari nefron akan terjadi fase non-oliguria yang dapat mengurangi kepekaan terhadap vasopressin endogen.� Selain itu pada bagian tubulus dapat terjadi nekrosis tubulus akut yang berat, namun yang paling umum ditemukan adalah peningkatan ringan kadar kreatinin plasma. Penurunan fungsi ginjal hampir selalu dapat disembuhkan karena sel-sel tubulus proksimal dapat beregenerasi (Andriani, 2014).

Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian gentamisin pada dosis terapi terhadap ginjal tikus putih (Rattus norvegicus).

 

Metode Penelitian

Penelitian ini eksperimental laboratorium. Subyek penelitian adalah 24 ekor tikus putih jantan (Rattus norvegicus) berumur 3-5 bulan dengan berat 110 - 118gram yang dibagi menjadi 3 kelompok percobaan yaitu kelompok 1 sebagai kelompok kontrol, sedangkan kelompok 2 dan 3 sebagai kelompok perlakuan.

Data hasil penelitian ditabulasi dan dianalisis dengan statistik deskriptif. Hasil dari data yang diperoleh berdistribusi tidak normal atau homogen, maka analisis yang dilakukan dengan menggunakan uji Kruskall-Wallis dan dilanjut dengan uji Mann Whitney untuk melihat pengaruh antar kelompok.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Hasil Penelitian

Uji normalitas p = 0,072 berarti distribusi normal (p > 0,05). Dilanjutkan dengan uji homogenitas didapatkan nilai p = 0,000, berarti tidak homogen (p < 0,05). Dilanjutkan uji Kruskal Wallis.

1.   Hasil Uji Kruskal Wallis Antar Kelompok


Tabel 1

Hasil Uji Kruskal Wallis Antar Kelompok

Variabel Penelitian

p

Keterangan

Nekrosis ginjal

0,000

Ada perbedaan

Sumber: Data diolah 2016

 


Dari hasil output di atas menunjukkan signifikansi p-value = 0,000 yaitu <α (0.05) maka H0 ditolak dan H1 diterima berarti ada pengaruh pemberian gentamisin pada dosis terapi terhadap ginjal tikus putih (Rattus norvegicus).

2.   Hasil Uji Mann-Whitney


 

Tabel 2

Hasil Uji Mann-Whitney

Kelompok Perlakuan

Nekrosis ginjal %

K

0,581 � 0,096A

P1

3,083 � 0,762B

P2

11,951 � 0,946C

 


Keterangan: Superscript A, B, C dengan huruf yang sama pada kolom variabel penelitian (nekrosis ginjal) berarti tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p > 0,05).

Pada output tabel diatas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna rata-rata nekrosis ginjal antar kelompok perlakuan (P1 dan P2) dengan kelompok kontrol, terbukti dengan tingkat signifikansi di bawah 0,05.

B.  Pembahasan

Ginjal merupakan sepasang organ berwarna kemerahan yang pada orang dewasa memiliki berat sekitar 150gram berukuran kira-kira sekepalan tangan, terletak pada dinding posterior abdomen, diluar rongga peritoneum. Ginjal menjalankan fungsinya yang paling penting sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah dan keadaan dalam tubuh dengan mengekskresikan zat terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di eksresikan keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan urin (Maksum, 2015). Ginjal merupakan organ yang berfungsi untuk membuang produk sisa metabolisme yang tidak dibutuhkan oleh tubuh.Selain itu ginjal juga membuang zat asing yang diproduksi tubuh ataupun yang dikonsumsi. Pada penyakit ginjal kronik atau gagal ginjal akut akan terjadi abnormalitas komposisi dan volume cairan tubuh yang berat dan cepat sehingga fungsi homeostatik akan terganggu (Mauliyani et al., 2018).

Antibiotik adalah suatu bahan atau zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang lain.

Kemampuan antibiotik untuk memberikan efek toksik pada bakteri tetapi relatif tidak toksik untuk manusia disebut toksisitas selektif (Rossefine, 2013). Penggunaan antibiotik yang sembarangan dan tidak tepat dosis, dapat menggagalkan terapi pengobatan yang sedang dilakukan. Selain itu dapat menimbulkan bahaya seperti resistensi dan suprainfeksi. Berdasarkan struktur kimianya, penggolongan antibiotik dibedakan menjadi golongan Beta-Laktam, golongan aminoglikosida, golongan tetrasiklin, golongan makrolida, golongan linkomisin dan golongan kuinolon.

Gentamisin adalah antibiotik golongan aminoglikosida yang mempunyai potensi tinggi dan berspektrum luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif dengan sifat bakterisid. Aminoglikosida adalah produk alami dan turunan semisintetik dari actinomycetes. Golongan aminoglikosida yang pertama kali digunakan dalam praktek klinis adalah streptomisin yang berasal dari Streptomyces griseus. Aminoglikosida yang saat ini digunakan termasuk streptomisin, gentamisin, tobramisin, amikasin dan neomisin (Rahmawati & Budiono, 2013). Cara kerja gentamisin sebagai antibakteri adalah berikatan dengan komponen ribosom 30S dan menyebabkan kode pada mRNA salah dibaca oleh tRNA pada waktu sintesis protein. Akibatnya akan terbentuk protein yang abnormal dan nonfungsional bagi sel bakteri. Pemberian gentamisin secara oral tidak dapat diserap, tetapi diserap cepat setelah suntikan intramuscular dengan kadar puncak yang tercapai dalam waktu 0,5-1 jam. Reabsorpsi gentamisin terjadi pada lumen tubulus proksimal, kadarnya dalam jaringan kortikal ginjal bisa mencapai 100 kali lebih tinggi daripada kadarnya dalam serum. Efek toksik gentamisin muncul jika digunakan dengan dosis tinggi 60 mg/kgbb/hari yang dapat menimbulkan toksisitas berupa ototoksisitas dan nefrotoksisitas. (Ikhsan et al., 2020).

Gentamisin secara selektif terakumulasi di sel-sel kortikal ginjal dan dapat menyebabkan kerusakan tubulus proksimal dan disfungsi glomerulus. Nefrotoksisitas terjadi karena gentamisin masuk kedalam ginjal mencapai maksimal di kortek ginjal dan sel tubulus, melalui proses endositosis dan sequestration, gentamisin berikatan dengan lisosom sampai membentuk myeloid body atau lisosom sekunder dan fosfolipidosis, kemudian membran lisosom pecah dan melepas asam hidrolase sehingga mengakibatkan kematian sel (Chasani, 2008). Gejala yang paling sering timbul akibat nefrotoksisitas gentamisin adalah gagal ginjal non-oligurik yang memburuk secara bertahap dalam beberapa hari, disertai proteinuria dan peningkatan kadar urea dan kreatinin darah. Efek ini terjadi tergantung pada dosis dan biasanya bersifat reversible (Mauliyani et al., 2018).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian gentamisin pada dosis terapi terhadap ginjal tikus putih (Rattus norvegicus). Rata-rata nilai nekrosis ginjal tertinggi ada pada kelompok P2 (kelompok dengan pemberian gentamisin dosis 8 mg/kgbb/hari) yaitu sebesar 11,951% dan nilai nekrosis ginjal terendah ada pada kelompok kontrol yaitu sebesar 0,581%. Hasil ini menunjukkan adanya peningkatan nekrosis pada ginjal setelah diinjeksi gentamisin.

Namun pada kelompok kontrol ditemukan juga terjadi nekrosis sebesar 0,581%. Dalam kondisi normal tikus penelitian sudah mengalami nekrosis walaupun kecil. Trauma, suhu yang ekstrim (panas maupun dingin), tenaga listrik, cahaya matahari, dan radiasi dapat menimbulkan kerusakan inti sehingga menyebabkan nekrosis (Pringgoutomo et al., 2002).

Walaupun pada penelitian ini menggunakan gentamisin dengan dosis yaitu 4 mg/kgbb/hari dan 8 mg/kgbb/hari atau dosis terapi tetap bisa meningkatkan nekrosis pada ginjal. Pemberian gentamisin secara intramuskular dapat menyebabkan beberapa efek toksik yang tidak diinginkan antara lain terjadinya gangguan fungsi ginjal (nefrotoksisitas), liver (hepatotoksik) dan gangguan pada saraf telinga (ototoksik). Gangguan fungsi tersebut ditandai dengan adanya sel yang mengalami degenerasi akibat pemberian gentamisin (Nurfadilah, 2020).

Hasil penelitian yang didapatkan ini sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh oleh (PLN, 2012), disebutkan bahwa terjadi perubahan pada ginjal tikus wistar yang diberikan gentamisin selama 7 dan 10 hari yaitu adanya sel - sel tubulus yang mengalami degenerasi hidropik, nekrosis dan perlemakan ginjal di antara tubulus.

Terjadinya degenerasi sel pada ginjal disebabkan oleh gentamisin masuk kedalam ginjal mencapai maksimal di kortek ginjal dan sel tubulus, melalui proses endositosis dan sequestration, gentamisin berikatan dengan lisosom sampai membentuk myeloid body atau lisosom sekunder dan fosfolipidosis. Kemudian membran lisosom pecah dan melepas asam hidrolase sehingga mengakibatkan degenerasi sel hingga terjadi nekrosis (Chasani, 2008).

Gambaran klinis pada ginjal kelompok kontrol jaringan ginjal terlihat normal. Sedangkan pada kelompok dengan pemberian gentamisin menunjukkan struktur glomerulus normal dengan sebagian besar sel-sel mengalami degenerasi hidropik dan sebagian kecil fokus nekrosis.

 

Kesimpulan

Ada pengaruh pemberian gentamisin pada dosis terapi terhadap ginjal tikus putih (Rattus norvegicus). Rata-rata nilai nekrosis ginjal tertinggi ada pada kelompok P2 (kelompok dengan pemberian gentamisin dosis 8 mg/kgbb/hari) yaitu sebesar 11,951 dan nilai nekrosis ginjal terendah ada pada kelompok kontrol yaitu sebesar 0,581. Hasil ini menunjukkan adanya peningkatan nekrosis pada ginjal setelah diinjeksi gentamisin.

Pemberian gentamisin pada tikus Wistar dengan dosis 4-8 mg/kg BB/hari selama 7-10 hari menunjukkan nekrosis pada ginjal berkisar antara 10-13%. Terjadinya nekrosis pada ginjal menunjukkan adanya toksisitas gentamisin walaupun pada dosis terapi.

 

BIBLIOGRAFI

 

Andriani, L. (2014). Pengaruh Pemberian Kombinasi Ekstrak Daun Mangga Gadung Dan Ekstrak Buah Pare Terhadap Kadar Glukosa Darah Studi Eksperimental Pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus Novergicus) Yang Diinduksi Alloxan. Fakultas Kedokteran Unissula. Google Scholar

 

Chasani, S. (2008). Antibiotik Nefrotoksik: Penggunaan Pada Gangguan Fungsi Ginjal. Laporan Penelitian. Google Scholar

 

Hardjosaputra, S. L. (2008). Doi: Data Obat Di Indonesia. Google Scholar

 

Ikhsan, I., Wirahmi, N., & Slamet, S. (2020). Hubungan Aktifitas Fisik Dengan Risiko Jatuh Pada Lansia Di Wilayah Kerja Puskesmas Nusa Indah Kota Bengkulu. Journal Of Nursing And Public Health, 8(1), 48�53. Google Scholar

 

Kee, J. R., & Hayes, E. (1996). Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Google Scholar

 

Maksum, M. (2015). The Relations Between Hemodialysis Adequacy And The Life Quality Of Patients. Jurnal Majority, 4(1). Google Scholar

 

Mauliyani, Z., Triastuti, N. J., & Med, M. (2018). Perbedaan Retensi Memori Antara Stimulus Unimodal Dan Bimodal Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Google Scholar

 

Nurfadilah, N. (2020). Uji Efektivitas Minyak Jintan Hitam (Nigella Sativa L.) Dalam Melindungi Hepatotoksisitas Pada Tikus (Rattus Novergicus) Akibat Pemberian Levofloksasin Secara Subkronik. Universitas Hasanuddin. Google Scholar

 

Pln, S. (2012). Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Wistar (Rattus Norvegicus) Yang Telah Diinduksi Gentamisin Terhadap Pemberian Jahe (Zingiber Officinale)[Skripsi]. Manado: Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Google Scholar

 

Pringgoutomo, S., Himawan, S., & Tjarta, A. (2002). Buku Ajar Patologi I (Umum). Jakarta: Sagung Seto, 18�28. Google Scholar

 

Pusporini, R., & Fuadiyah, D. (2020). Mengenal Pereda Nyeri Dalam Kedokteran Gigi. Universitas Brawijaya Press. Google Scholar

 

Rahmawati, I., & Budiono, U. (2013). Sensitivitas Antibiotik Pada Pasien Sepsis Di Intensive Care Unit Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang Periode 1 Januari�31 Desember 2011. Faculty Of Medicine Diponegoro University. Google Scholar

 

Rossefine, E. F. (2013). Evaluasi Kualitatif Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Paska Bedah Dengan Metode Gyssens Di Ruang Inap Terpadu Rsup. H. Adam Malik Periode Juli-September 2012. Google Scholar

 

Tisa, A. S. (2017). Produksi Siderofor Dan Karakterisasi Dari Mutan Enterobacter Sp. Bm-18. Universitas Andalas. Google Scholar

 

 


Copyright holder:

Nyoman Gede Trisna Anandita (2021)

 

First publication right:

Jurnal Health Sains

 

This article is licensed under: