Jurnal Health Sains: p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398�����

Vol. 2, No. 7, Juli 2021

 

DEFINISI, PENYEBAB, KLASIFIKASI, DAN TERAPI SINDROM DISPEPSIA

 

Wildani Zakiyah, Annastya Eka Agustin, Annisa Fauziah, Nur Sa�diyyah, Galih Ibnu Mukti

Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA) Jawa Barat, Indonesia

Email[email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

 

info artikel

abstraK

Diterima

5 Juli 2021

Direvisi

15 Juli 2021

Disetujui

25 Juli 2021

Dispepsia merupakan penyakit sindrom gejala yang ditandai dengan rasa nyeri atau tidak nyaman pada bagian atas atau ulu hati. Dispepsia organik antara lain karena terjadinya gangguan di saluran cerna atau di sekitar saluran cerna, seperti pankreas, kandung empedu dan lain-lain. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui definisi, penyebab, klasifikasi, dan terapi sindrom dispepsia. Metode yang digunakan dalam pembuatan review artikel ini adalah pengumpulan literature dari sumber jurnal yang ada yang berkaitan dengan dyspepsia secara umum yang bersumber dari google, google scholar, dan e-book dengan menggunakan kata kunci �dyspepsia�, �klasifikasi dyspepsia�, �penyebab dyspepsia�, dan �terapi dyspepsia� dalam pencarian literatur. Didapatkan hasil ispepsia organik terjadi karena adanya kelainan organik. Pada dispepsia organik terlihat kelainan yang nyata terlihat pada endoskopi terhadap organ saluran pencernaan seperti ulkus peptik atau yang dikenal dengan tukak peptik, gastritis, stomach cancer, gastro esophageal reflux disease (GERD), hiperasiditas. Kesimpulan yang didapatkan adalah dalam penyembuhannya penyakit dispepsia bisa ditangani dengan terapi farmakologi yang meliputi penggunaan obat-obatan seperti; antasida, antikolinergik, antagonis H2 dan lainnya. Selain itu penyakit dispepsiajuga bisa ditangani dengan terapi non farmakologi yang meliputi menjaga pola makan, mengurangi stress dan lainnya.

 

ABSTRACT

Dyspepsia is a symptomatic syndrome disease characterized by pain or discomfort in the upper part or heartburn. Organic dyspepsia is caused by disorders in the gastrointestinal tract or around the gastrointestinal tract, such as the pancreas, gallbladder and others. The purpose of this study is to find out the definition, causes, classification, and therapy of dyspepsia syndrome. The method used in reviewing this article is the collection of literature from existing journal sources related to dyspepsia in general sourced from google, google scholar, and e-book using the keywords "dyspepsia", "classification of dyspepsia", "causes of dyspepsia", and "dyspepsia therapy" in literature search. Obtained organic ispepsia results occur due to organic abnormalities. In organic dyspepsia there are noticeable abnormalities seen in endoscopy of digestive tract organs such as peptic ulcer or known as peptic ulcer, gastritis, stomach cancer, gastro esophageal reflux disease (GERD), hyperacidity. The conclusion obtained is that in the cure of dyspepsia disease can be treated with pharmacological therapy which includes the use of drugs such as; antacids, anticholinergics, H2 antagonists and others. In addition, dyspepsia can also be treated with non-pharmacological therapies that include maintaining a diet, reducing stress and others.

Kata Kunci:

dispepsia; fungsional; organik; lambung

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

dyspepsia; functional; organic; stomach




Pendahuluan

Dispepsia merupakan penyakit sindrom gejala yang sering ditemukan di kalangan masyarakat yang ditandai dengan adanya rasa nyeri atau tidak nyaman pada bagian atas atau ulu hati (Satria, 2018). Menurut (Sorongan et al., 2013) pada penelitiannya di tahun 2013 timbulnya dari penyakit dispepsia ini dapat disebabkan oleh faktor diet maupun lingkungan, seperti pengeluaran cairan pada asam lambung, fungsi motorik lambung, persepsi visceral lambung, psikologi, dan infeksi Helicobacter pylori. Penelitian (Soewadji, 2012) juga ditemukan bahwa, adanya jeda antara jadwal makan yang cukup lama dan ketidakteraturan jadwal makan berkaitan dengan munculnya gejala dyspepsia.

Dispepsia merupakan sindrom saluran pencernaan atas yang banyak dijumpai di seluruh dunia. Banyak faktor yang diduga berkaitan seperti riwayat penyakit, riwayat keluarga, pola hidup, makanan maupun faktor psikologis. Dispepsia diklasifikasikan menjadi organik dan fungsional. Gejala dapat berlangsung kronis dan kambuhan sehingga berdampak bagi kualitas hidup penderita (Purnamasari, 2017). Dispepsia juga bisa disebabkan karena kumpulan gejala berupa mual, muntah, kembung, begah, dan�� nyeri pada�� epigastrium.�� Kejadian�� dispepsia dapat�� dipengaruhi oleh keteraturan makan dan� makanan� iritatif (Jian, 2020).

Sindrom dispepsia dapat dipengaruhi oleh faktor keteraturan makan dan psikologi, termasuk stres kerja. Perawat termasuk kelompok pekerja dengan tuntutan kerja dan kepadatan aktivitas cukup tinggi sehingga dapat mempengaruhi keteraturan makan dan stres kerja (Saftarina, 2019).

Di lingkungan masyarakat sekitar, penyakit dispepsia sering disamakan dengan penyakit maag, hal tersebut dikarenakan adanya kesamaan gejala yang dirasakan. asumsi ini sebenarnya kurang tepat, sebab kata maag berasal dari bahasa Belanda, yang artinya lambung, sementara kata dyspepsia berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata yaitu �dys� yang berarti buruk dan �peptei � yang berarti pencernaan. Sehingga, dispepsia ini memiliki arti pencernaan yang buruk (Fithriyana, 2018). Menurut (Arsyad & Sulfemi, 2018), ada beberapa gejala penyakit dispepsia yaitu diantaranya, nyeri epigastrik, rasa penuh pada bagian epigastrik, dan rasa cepat kenyang, mual dan muntah.

Kasus dispepsia di kota-kota besar di Indonesia juga relative tinggi. Dari penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI Tahun 2015, angka kejadian dispepsia di Surabaya mencapai 31,2 %, Denpasar 46 %, Jakarta 50 %, Bandung 32,5 %, Palembang 35,5 %, Pontianak 31,2 %, Medan 9,6 % dan termasuk Aceh mencapai 31,7 %. Angka dari kasus-kasus tersebut dapat mengalami kenaikan disetiap tahunnya (Depkes, 2010). Banyaknya kasus yang terjadi serta tidak diimbanginya dengan pengetahuan dalam mengatasinya membuat keadaan semakin memprihatinkan. Penderita dari penyakit ini tidak hanya di Indonesia, tetapi terjadi juga diseluruh dunia (Kemenkes, 2018).

Dari data yang diperoleh dari (Organization, 2016) kasus penyakit dispepsia di dunia mencapai 13-40% dari total populasi setiap Negara. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa di Eropa, Amerika Serikat dan Oseania, prevalensi dispepsia sangat bervariasi antara 5-43 %. Kemudian, (Octaviana & Anam, 2018) memprediksikan bahwa, apabila tidak ditangani dengan serius maka pada Tahun 2020 proporsi angka kematian akibat penyakit tidak menular seperti dispepsia akan terus meningkat menjadi 73% dan proporsi kesakitan menjadi 60% di dunia. Sedangkan untuk negara SEARO (South East Asian Regional Office) pada Tahun 2020 diprediksi bahwa, angka kematian dan kesakitan karena penyakit tidak menular akan meningkat menjadi 42%-50%.

 

Metode Penelitian

�� Metode yang digunakan dalam pembuatan review artikel ini adalah pengumpulan literature dari sumber jurnal yang ada yang berkaitan dengan dyspepsia secara umum yang bersumber dari google, google scholar, dan e-book dengan menggunakan kata kunci �dyspepsia�, �klasifikasi dyspepsia�, �penyebab dyspepsia�, dan �terapi dyspepsia� dalam pencarian literatur. Penelusuran lebih lanjut dapat dilihat secara manual pada penulisan daftar pustaka.

 

Hasil dan Pembahasan

a.     Definisi

Dispepsia adalah penyakit yang tidak menular saluran pencernaan namun banyak terjadi di kalangan masyarakat di dunia. Sindrom dispepsia berupa kumpulan gejala atau sindrom rasa dari nyeri atau rasa tidak nyaman di lambung, mual, muntah, kembung, mudah kenyang, rasa perut penuh, sendawa berulang atau kronis. Keluhan yang timbul biasanya berbeda pada tiap individu penderita.

b.    Penyebab

Dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit baik yang bersifat organik dan fungsional. Penyakit yang bersifat organik antara lain karena terjadinya gangguan di saluran cerna atau di sekitar saluran cerna, seperti pankreas, kandung empedu dan lain-lain. Sedangkan penyakit yang bersifat fungsional dapat dipicu karena faktor psikologis dan faktor intoleran terhadap obat-obatan dan jenis makanan tertentu. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan dispepsia adalah:

1.    Gangguan pergerakan (motilitas) piloroduodenal dari saluran pencernaan bagian atas (esofagus, lambung dan usus halus bagian atas).

2.    Menelan terlalu banyak udara atau mempunyai kebiasaan makan salah (mengunyah dengan mulut terbuka atau berbicara).

3.    Menelan makanan tanpa dikunyah terlebih dahulu dapat membuat lambung terasa penuh atau bersendawa terus.

4.    Mengkonsumsi makanan/minuman yang bisa memicu timbulnya dispepsia, seperti minuman beralkohol, bersoda (soft drink), kopi. Minuman jenis ini dapat mengiritasi dan mengikis permukaan lambung.

5.    Obat penghilang nyeri seperti Nonsteroid Anti Inflamatory Drugs (NSAID) misalnya aspirin, Ibuprofen dan Naproven (Rani & Mariappan, 2011).

6.    Pola makan, pola makan yang tidak teratur ataupun makan yang terburu-buru dapat menyebabkan terjadinya dyspepsia.

c.     Klasifikasi

Dispepsia terbagi menjadi dua golongan yaitu dispepsia organik atau yang sering disebut dengan dispepsia struktural dan dispepsia non-organik atau yang sering disebut dengan dispepsia fungsional. Dispepsia organik terjadi karena adanya kelainan organik. Pada dispepsia organik terlihat kelainan yang nyata terlihat pada endoskopi terhadap organ saluran pencernaan seperti ulkus peptik atau yang dikenal dengan tukak peptik, gastritis, stomach cancer, gastro esophageal reflux disease (GERD), hiperasiditas. Dispepsia non organik tidak ditemukan adanya kelainan saat dilakukan pemeriksaan fisik dan endoskopi, hanya ditandai dengan nyeri atau tidak nyaman perut bagian atas yang kronis atau berulang. Awalnya dispepsia fungsional dibedakan menjadi 3 golongan yaitu �ulcer-like�,�reflux-like�, dan �dysmotility-like�. Namun karena lebih banyak gejala dipicu oleh konsumsi makanan (�80%) maka penggolongan dyspepsia fungsional saat ini dibagi menjadi dua yaitu Sindrom Nyeri Epigastrium (nyeri epigastrium atau rasa terbakar) dan Sindrom Distress Postprandial (rasa penuh pasca-makan dan cepat kenyang).


Tabel 1

Kriteria Dispepsia Fungsional Tipe Nyeri Epigastrium

Diagnosis:

Nyeri/ terbakar di epigastrium, minimal intensitas sedang, setidaknya sekali seminggu

Nyeri tidak boleh generalisasi ke daerah perut atau dada, atau di daerah perut lainnya.

Nyeri tidak hilang dengan buang air besar atau flatus

Nyeri tidak memenuhi kriteria nyeri kandung empedu

atau sfingter Oddi. Kriteria terpenuhi 3 bulan terakhir

dengan onset minimal 6 bulan sebelum diagnosis.

Kriteria Pendukung:

Nyeri dapat terbakar, tapi tanpa retrosternal.

Nyeri biasanya diinduksi atau reda oleh konsumsi makan

Gejala tipe distress postprandial dapat terjadi bersama

 

Tabel 2

Kriteria Dispepsia Fungsional Tipe Distress Postprandial

Salah satu dari:

Rasa penuh pasca-makan dalam porsi biasa, beberapa kali seminggu

Cepat kenyang sehingga berkurang porsi makan biasa, beberapa kali seminggu

Kriteria terpenuhi 3 bulan terakhir dengan onset minimal 6 bulan sebelum diagnosis

Kriteria pendukung:

Sensasi perut kembung atau mual pasca-makan

Gejala tipe nyeri epigastrium dapat terjadi bersama

 


a)    Terapi Farmakologi

1.    Antihiperasiditas

a.     Antasida

Golongan antasida ini termasuk yang mudah didapat dan murah. Antasida akan menetralisir sekresi asam lambung. Antasida biasanya mengandung zat yang tidak larut dalam air seperti natrium bikarbonat, Al (OH)3, Mg (OH)2, dan magnesium trisiklat (kompleks hidrotalsit). Pemberian antasida tidak dapat dilakukan terus-menerus, karena hanya bersifat simtomatis untuk mengurangi nyeri. Magnesium trisiklat merupakan adsorben nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2. Zat magnesium bersifat pencahar sehingga menyebabkan diare sedangkan aluminium menyebabkan konstipasi oleh sebab itu kedua zat ini dikombinasikan.

b.    NaHCO3

Antasida jenis ini larut dalam air dan bekerja cepat, Namun zat utama NaHCO3 dapat menyebabkan darah bersifat basa (alkalosis) jika dosisnya berlebih. Terlepasnya senyawa karbondioksida dari kompleks obat ini dapat mennyebabkan sendawa.

c.     Kombinasi Bismut dan Kalsium

Kombinasi antara Bi dan Ca dapat membentuk lapisan pelindung pada lesi di lambung. Namun obat ini dijadikan pilihan terakhir karena bersifat neurotoksik yang menyebabkan kerusakan otak dengan gejala kejang-kejang dan kebingungan aatau yang dikenal dengan ensefalopati. Selain itu, dapat menyebabkan konstipasi, dan kalsium dapat menyebabkan sekresi asam lambung yang berlebih. Kelebihan kalsium dapat menyebabkan hiperkalsemia.

d.    Sukralfat

Golongann sukralfat yang sering dikombinasikan dengan aluminium hidroksida, dan bismuth koloidal dapat digunakan untuk melindungi tukak lambung agar tidak teriritasi asam lambung dengan membentuk lapisan dinding pelindung.

2.    Antikolinergik

Obat yang termasuk golongan ini obat yang agak selektif yaitu pirenzepin yang bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan sekresi asam lambung sekitar 28% sampai 43%. Kerja obat pirenzepin tidak spesifik dan juga memiliki efek sitoprotektif.

3.    Antagonis reseptor H2

Obat yang termasuk golongan obat ini adalah simetidin, nizatidin, roksatidin, dan famotidin. Ranitidin merupakan yang paling banyak digunakan dalam pemilihan obat golongan ini, namun telah ditarik dari peredaran karena adanya N-Nitrosodimethylamine (NDMA) pemicu kanker. Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik dengan mekanisme penghambatan reseptor H2 sehingga sekresi asam lambung berkurang.

4.    Proton pump inhibitor (PPI)

Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeprazol, esomeprazol lansoprazol, dan pantoprazol. Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung pada pompa proton yang merupakan tempat keluarnnya proton (ion H+).

5.    Sitoprotektif

Obat yang termasuk golongan ini prostaglandin sinetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain bersifat siroprotektif juga dapat menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan prostaglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mucus, dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas.

6.    Golongan prokinetik

Obat yang termasuk golongan ini yaitu cisapride, domperidon, dan metoclopramide. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki asam lambung.

7.    Golongan anti depresi

Obat yang termasuk golongan ini adalah golongan trisiclic antidepressants (TCA) seperti amitriptilin. Obat ini biasanya dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan cemas dan depresi. Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum jelas. Beberapa pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah pemberantasan helicobacter pylori, PPI, dan terapi psikologi. Pengobatan yang belum didukung bukti: antasida, antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal, antagonis reseptor H2, misoprostol, golongan prokinetik, selective serotonin-reuptake inhibitor, sukralfat, dan antidepresan.

b)    Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan untuk penanganan kasus dyspepsia yaitu:

1.    Mengurangi stress

Stress berlebihan dapat menyebabkan produksi asam lambung meningkat, sehingga dapat memicu dispepsia. Istirahat yang cukup dan melakukan kegiatan yang disukai dapat meminimalisir stress.

2.    Mengatur pola hidup sehat

Pola hidup yang sehat dapat dilakukan dengan olahraga secara teratur, menjaga berat badan agar tidak obsesitas, menghindari berbaring setelah makan, makan banyak terutama pada malam hari, merokok, menghindari makanan yang berlemak tinggi dan pedas serta menghindari minuman yang asam, bersoda, mengandung alkohol dan kafein.

3.    Terapi hangat /dingin

Terapi kompres hangat Warm Water Zack (WWZ) dilakukan dengan menggunakan botol karet yang berisi air hangat kemudian diletakan pada bagian perut yang nyeri.

4.    Terapi Komplementer

Terapi komplemeter berguna untuk mengurangi nyeri yang terjadi pada lambung. Terapi ini dapat dilakukan dengan terapi aromaterapi, mendengar music, menonton televisi, memberikan sentuhan terapeutik, dan teknik relaksasi nafas dalam.

 

Kesimpulan

Dispepsia merupakan penyakit yang mengganggu saluran pencernaan yang disebabkan oleh berbagai penyakit. Dispepsia ini dapat diklasifikasikan menjadi dispepsia organik dan non-organik atau fungsional. Dispepsia organik terjadi pada organ saluran pencernaan dan terlihat nyata jika dilakukan endoskopi sedangkan pada dispepsia non-organik tidak ditemukan adanya kelainan pada organ saluran pencernaan dan penyebab nya bisa dipicu oleh masalah psikologis atau intoleran obat-obatan. Dalam penyembuhannya penyakit dispepsia bisa ditangani dengan terapi farmakologi yang meliputi penggunaan obat-obatan seperti; antasida, antikolinergik, antagonis H2 dan lainnya. Selain itu penyakit dispepsiajuga bisa ditangani dengan terapi non farmakologi yang meliputi menjaga pola makan, mengurangi stress dan lainnya.

 

BIBLIOGRAFI

 

Arsyad, A., & Sulfemi, W. B. (2018). Metode Role Playing Berbantu Media Audio Visual Pendidikan Dalam Meningkatkan Belajar Ips. Jurnal Pipsi (Jurnal Pendidikan Ips Indonesia), 3(2), 41�46. Google Scholar

 

Depkes, R. I. (2010). Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Depkes Ri. Google Scholar

 

Fithriyana, R. (2018). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Dispepsia Pada Pasien Di Wilayah Kerja Puskesmas Bangkinang Kota. Prepotif: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2(2), 43�53. Google Scholar

 

Jian, H. (2020). Hubungan Antara Keteraturan Makan Dan Makanan Iritatif Dengan Kejadian Sindrom Dispepsia Pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Angkatan 2017-2018. Universitas Andalas. Google Scholar

 

Kemenkes, R. I. (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018. In Online) Http://Www. Depkes. Go. Id/Resources/Download/Info-Terkini/Materi_Rakorpop_2018/Hasil% 20riskesdas (Vol. 202018). Google Scholar

 

Octaviana, E. S. L., & Anam, K. (2018). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Upaya Keluarga Dalam Pencegahan Penyakit Dispepsia Di Wilayah Kerja Puskesmas Mangkatip Kabupaten Barito Selatan. Jurnal Langsat, 5(1). Google Scholar

 

Organization, W. H. (2016). World Health Statistics 2016: Monitoring Health For The Sdgs Sustainable Development Goals. World Health Organization. Google Scholar

 

Purnamasari, L. (2017). Faktor Risiko, Klasifikasi Dan Terapi Sindrom Dispepsia. Cermin Dunia Kedokteran, 44(12), 870�873. Google Scholar

 

Rani, S. V., & Mariappan, S. (2011). Work/Life Balance Reflections On Employee Satisfaction. Serbian Journal Of Management, 6(1), 85�96. Google Scholar

 

Saftarina, F. (2019). Kejadian Sindrom Dispepsia Pada Perawat Di Rsud Abdul Moeloek Bandar Lampung. Journal Medulla, 8(2), 27�32. Google Scholar

 

Satria, A. P. (2018). Pengaruh Pemberian Bubur Tepung Tapioka (Amylum Manihot) Kombinasi Madu (Caiba Pentandra) Terhadap Skala Nyeri Epigastrik Pada Penderita Dispepsia Di Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Siring Kecamatan Samarinda Utara. Google Scholar

 

Soewadji, J. (2012). Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: Mitra Wacana Media. Google Scholar

 

Sorongan, I. M., Pangemanan, D. H. C., & Untu, F. M. (2013). Hubungan Antara Pola Makan Dengan Kejadian Sindroma Dispepsia Pada Siswa-Siswi Kelas Xi Di Sma Negeri 1 Manado. Jurnal Keperawatan, 1(1). Google Scholar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Copyright holder:

Wildani Zakiyah, Annastya Eka Agustin, Annisa Fauziah, Nur Sa�diyyah, Galih Ibnu Mukti (2021)

 

First publication right:

Jurnal Health Sains

 

This article is licensed under: