Jurnal Health Sains: p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398�����

Vol. 2, No. 7, Juli 2021

 

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIFUNGAL DI SALAH SATU KLINIK HEWAN KOTA BOGOR PADA TAHUN 2017 DAN 2018

 

Miyati Sofariah, Bayu Febram, Wiwin Winarsih

Institut Pertanian Bogor (IPB) Jawa Barat, Indonesia

Email[email protected], [email protected], [email protected]

 

INFO ARTIKEL

abstraK

Diterima

5 Juli 2021

Direvisi

15 Juli 2021

Disetujui

25 Juli 2021

Dermatofitosis merupakan infeksi kapang superfisial pada kulit yang sering ditemukan menyerang hewan peliharaan seperti kucing. Penyakit ini mudah terjadi dalam suasana dengan suhu dan kelembaban yang tinggi. Pemberian obat antifungal biasa dilakukan untuk menangani maupun mencegah kasus dermatofitosis. Tujuan penelitian ini untuk menggambarkan frekuensi penggunaan obat antifungal terbanyak dalam menangani kasus dermatofitosis di klinik hewan objek penelitian. Penelitian dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan 39 data rekam medis dari pasien yang terinfeksi dermatofita. Hasil penelitian menunjukkan obat antifungal yang digunakan untuk kasus dermatofitosis sebanyak dua kali penggunaan ketoconazole, 25 kali penggunaan itraconazole, 11 kali penggunaan salep racikan, dan satu kali penggunaan griseofulvin. Berdasar hasil penelitian, itraconazole merupakan obat antifungal yang paling banyak digunakan untuk menangani kasus dermatofitosis di klinik hewan tersebut.

 

ABSTRACT

Dermatofitosis is a superficial fungal infection of the skin that is often found attacking pets such as cats. The disease is easy to occur in an atmosphere with high temperatures and humidity. Administration of antifungal drugs is usually done to treat and prevent cases of dermatofitosis. The purpose of this study is to describe the frequency of use of antifungal drugs in handling cases of dermatofitosis in veterinary clinics of research objects. The research was conducted descriptively using 39 medical record data from patients infected with dermatofita. The results showed antifungal drugs used for cases of dermatofitosis as much as twice the use of ketoconazole, 25 times the use of itraconazole, 11 times the use of blended ointments, and one use of griseofulvin. Based on the results of the study, itraconazole is the most widely used antifungal drug to handle cases of dermatofitosis in veterinary clinics.

Kata Kunci:

antifungal; dermatofitosis; frekuensi penggunaan obat; itraconazole

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

antifunga; dermatophytosis; frequency of drug use; itraconazole



Pendahuluan

Dermatofitosis merupakan kasus penyakit infeksi fungal di permukaan kulit yang sering terjadi di beberapa klinik hewan yang disebabkan oleh kapang dermatofita. Penularan fungi pada tubuh hewan dapat dengan mudah terjadi baik secara langsung dari hewan tertular ke hewan sehat maupun secara tidak langsung dari hewan tertular dengan penggunaan alat- alat yang tercemar maupun spora yang tersebar di lingkungan. Distribusi geografis penyakit ini bervariasi pada setiap hewan. Penyakit yang disebabkan fungi ini umumnya bersifat zoonosis sehingga perlu adanya penanganan serius dalam mengobatinya. Dermatofitosis dipengaruhi oleh berbagai faktor, beberapa faktor predisposisi yang menyebabkan infeksi ini adalah personal hygiene, kondisi tempat tinggal padat yang dapat mengakibatkan kontak langsung kulit ke kulit atau kontak yang erat sesama hewan, serta adanya penyakit kronis (imunosupresi), penggunaan sitostatika, dan kortikosteroid jangka panjang (Surekha et al., 2015).

Penyakit yang disebabkan oleh kapang ini menginfeksi hewan domestik, khususnya hewan ternak, anjing, kucing, hewan peliharaan kecil seperti hamster dan kelinci percobaan bahkan semua mamalia dan burung (Adzima et al., 2013). Hewan seperti kucing dan anjing lebih rentan terkena dermatofitosis dalam kondisi rambut yang tebal dan panjang, kondisi ini menjadikan predileksi yang cocok bagi tumbuhnya fungi (Pohan & Adams, 2007). Dalam bidang kedokteran hewan, penyakit fungi yang sering ditemukan menyerang hewan peliharaan berupa ringworm. Infeksi ini dinamakan ringworm karena diduga penyebabnya adalah worm dan karena gejalanya dimulai dengan adanya peradangan pada permukaan kulit yang bila dibiarkan akan meluas secara melingkar seperti cincin (Surekha et al., 2015). Indonesia merupakan negara yang terletak di garis khatulistiwa dengan tingkat kelembaban yang tinggi yang memungkinkan fungi akan dengan mudah untuk tumbuh (Kurniawati et al., 2017).

Terdapat dua jenis (genera) penyebab penyakit fungi yang sering menular dari hewan ke manusia, yaitu Trichophyton sp. dan Microspora sp. (Soeharsono, 2007). Infeksi ini di Australia, kasus tinea capitis umumnya ditemukan menyerang pada anak- anak kulit putih pada umur muda sampai menjelang umur akil-balik. Pada suku Aborigin, tinea capitis ditemukan pula pada orang dewasa. Pada waktu terjadi kasus ringworm pada sapi perah asal Australia di daerah Boyolali tahun 1980-an mengakibatkan penularan terhadap beberapa pekerja di tempat tersebut (Soeharsono, 2007). Prevalensi dermatofitosis lebih tinggi pada peternakan dengan kelompok yang besar dibanding dengan kelompok kecil. Di Provinsi Aceh, khususnya di Banda Aceh kasus penyakit kulit yang disebabkan oleh fungi yang menyerang anjing sangat banyak terjadi (Adzima et al., 2013).

Gejala yang terlihat pada hewan yang terinfeksi dermatofitosis sering terjadi kerusakan disertai kerontokan rambut di seluruh muka, hidung dan telinga, perubahan yang tampak pada kulit berupa lingkaran atau cincin dengan batas jelas dan umumnya dijumpai di daerah leher, muka terutama sekitar mulut, pada kaki, dan perut bagian bawah. Selanjutnya terjadi keropeng, lepuh dan kerak, dan di bagian keropeng biasanya bagian tengahnya kurang aktif, sedangkan pertumbuhan aktif terdapat pada rambut berupa kekusutan, rapuh dan akhirnya patah dan ditemukan pula kegatalan (Riza et al., 2009). Mortalitas penyakit ini rendah, namun demikian kerugian ekonomis dapat terjadi karena kerusakan kulit dan rambut atau bobot badan turun karena hewan menjadi tidak tenang serta adanya risiko zoonosis yang ditimbulkan (Kotnik et al., 2007). Berdasarkan fakta tersebut, terapi antifungal dengan keefektifan obat yang tepat diperlukan dalam menangani kasus dermatofitosis pada hewan peliharaan.

Penelitian ini bertujuan mengetahui obat antifungal yang memiliki jumlah penggunaan tertinggi untuk kasus dermatofitosis di klinik hewan Starvet kota Bogor.

Penelitian ini sebagai penelitian pendahuluan yang diharapkan dapat memberikan informasi mengenai frekuensi penggunaan obat antifungal tertinggi di klinik hewan Starvet kota Bogor. Hasil yang didapat dalam penelitian diharapkan dapat memberikan wawasan tentang obat yang tepat dalam menangani dermatofitosis pada hewan peliharaan.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di klinik hewan Starvet kota Bogor. Pelaksanaan pengambilan data dimulai dari bulan September sampai bulan Oktober 2019. Data yang diambil berupa data sekunder yaitu data rekam medis tahun 2017 dan 2018.

Data yang digunakan pada penelitian ini berupa 543 data rekam medis tahun 2017 dan 2018 di klinik hewan Starvet kota Bogor. Data yang diambil adalah data rekam medis yang diduga terkena infeksi fungi. Data yang didapat kemudian disimpan dalam bentuk tabel yang memuat informasi berupa kode pasien, anamnese, signalement, dan treatment.

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dimasukkan ke dalam program microsoft excel. Analisis data dilakukan secara deskriptif dari rekam medis. Data dikelompokkan berdasarkan jenis penyakit dan obat yang paling banyak digunakan terhadap hewan yang mengalami infeksi akibat fungi.

 

Hasil dan Pembahasan

Dermatofitosis merupakan infeksi pada jaringan kulit yang disebabkan kelas dermatofita dan biasa disebut dengan ringworm atau tinea yang biasa menginfeksi kulit, rambut ataupun kuku dan mengakibatkan pembentukan koloni serta keratinisasi jaringan tubuh. Kapang dermatofita dikelompokkan menjadi tiga grup berdasarkan tempat hidup alaminya, yaitu geofilik, zoofilik, dan anthropofilik (Dehghan & Shokri, 2009). Dermatofitosis yang menginfeksi hewan biasanya bersifat zoofilik yaitu bersifat parasit pada hewan, tetapi dapat juga bersifat geofilik maupun anthropofilik (Chermette et al., 2008). Beberapa contoh dermatofita zoofilik di antaranya yaitu M. canis, T. verrucosum, dan T. mentagrophytes. Dermatofita geofilik hidup di tanah sebagai saprofit, contohnya adalah M. gypseum dan M. nanum (Mahmoudabadi et al., 2010). Manusia merupakan hospes utama dermatofita anthropofilik, namun kemungkinan dapat juga menyebabkan infeksi pada hewan, contohnya adalah T. rubrum dan Epidermophyton floccosum (Lakshmipathy & Kannabiran, 2010). Dermatofitosis biasanya ditemukan di hewan peliharaan, hewan ternak, dan terkadang ditemukan di satwa liar. Dermatofitosis merupakan penyakit kontagius dimana dapat mengakibatkan kejadian yang tinggi pada beberapa jenis hewan, meskipun tidak menyebabkan kesakitan yang serius, namun dermatofitosis dapat memberikan dampak yang besar dalam bidang ekonomi karena mudahnya kontaminasi serta penyebaran antar hewan sehingga kejadian dermatofitosis dapat berlangsung dalam jangka panjang (Lopes Louro, 2019). Faktor-faktor yang menjadi predisposisi antara lain adalah umur (sampai dengan dua tahun), kondisi imunosupresi atau terapi imunosupresan, penyakit lain, defisiensi nutrisi (khususnya protein dan vitamin A), suhu dan kelembaban yang tinggi (DeBoer & Moriello, 2006).

Penanganan dermatofitosis biasanya diawali dengan pemberian obat antifungal secara topikal (Aranceta et al., 2003). Terbinefine, butenafine, econazole, miconazole, ketoconazole, cloritromazole, dan ciclopirox merupakan contoh obat antifungal topikal yang biasa diberikan dalam kasus dermatofitosis. Obat topikal ini bersifat menyembuhkan hanya untuk daerah yang terinfeksi (dalam skala kecil), sehingga untuk menangani kasus dermatofitosis yang infeksinya lebih besar atau bersifat kronis, obat yang diberikan secara oral perlu diberikan karena dapat melakukan penetrasi pada rambut dibandingkan obat topikal yang tidak dapat mencapai ke dalam permukaan kulit (Lopes Louro, 2019).


 

Tabel 1

Jumlah Penggunaan Obat Antifungal Dalam Menangani Kasus Dermatofitosis

Kasus

Jenis Obat

Jumlah Penggunaan

Persentase (%)

Dermatofitosis

Ketokonazole

2

5.13

Itraconazole

25

64.10

Salep Racikan

11

28.21

Griseofulvin

1

2.56

Jumlah

39

100

 


Dalam rentang waktu dua tahun dengan jumlah kasus dermatofitosis sebanyak 39 kasus, pemberian obat antifungal yang diberikan berupa ketoconazole, itraconazole, salep racikan, dan griseofulvin. Jenis obat ketoconazole menunjukkan angka persentase penggunaan 5.13%, itracoynazole 64.10%, salep racikan 28.21%, dan griseofulvin sebanyak 2.56% dari total kasus dermatofitosis. Menurut (Harding et al., 2010) itraconazole dan ketoconazole merupakan obat antifungal yang efektif untuk pengobatan dermatofitosis. Kebanyakan antifungal bersifat fungistatik (Aranceta et al., 2003) namun dapat menjadi fungisida dalam konsentrasi yang lebih tinggi (MIMS 2012). Grafik penggunaan obat antifungal di klinik hewan Starvet dalam waktu dua tahun dapat dilihat di Grafik 1.

Grafik 1

Penggunaan Obat Antifungal Di Klinik Hewan Starvet Bogor

 

Berdasar penelitian yang dilakukan, obat antifungal yang memiliki jumlah penggunaan tertinggi dalam menangani kasus dermatofitosis yaitu itraconazole. Hal ini disebabkan karena itraconazole lebih efektif dan lebih aman untuk menangani dermatofitosis dibandingkan ketoconazole (Thakare et al., 2019). Itraconazole tergolong obat oral yang memiliki harga murah, meskipun tidak tersedia secara umum terutama di negara berkembang (Lestner & Hope, 2013). Itraconazole adalah obat pilihan terhadap infeksi dermatofita dengan kontraindikasinya adalah hewan yang sedang bunting. Sejak tahun 1983, itraconazole telah ditetapkan sebagai obat yang aman dan efektif dalam menangani berbagai kasus penyakit kulit. Itraconazole terbukti efektif dalam mengobati pasien yang menderita mikosis superfisial termasuk oral dan vaginal candidiasis, dermatofitosis, dan bahkan mikosis sistemik (Ding & Lou, 2011). Farmakokinetik dari itraconazole sangat bervariasi (Conway et al., 2004). Penyerapan itraconazole sangat tergantung pada pH lambung dan keberadaan makanan. Bioavaibilitas itraconazole mungkin hanya sekitar 50% apabila diberikan saat kondisi perut kosong sedangkan apabila diberikan dengan pakan bioavaibilitasnya mendekati 100%. Itraconazol memiliki ikatan protein yang sangat tinggi dan didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh, terutama ke jaringan-jaringan yang tinggi lemaknya (obat ini sangat lipofilik). Itraconaole dimetabolisme oleh hati menjadi metabolit yang berbeda, termasuk zona hidroksiitracona yang aktif (Plumb, 2011).

�Terdapat tiga mekanisme kerja yang dimiliki oleh obat-obatan antifungal, yaitu merusak membran sel, menghambat pembelahan sel dan menghambat pembentukan dinding sel. Antifungal golongan polyene bekerja dengan cara merusak membran sel jamur. Obat-obatan azole adalah kelas terbesar dalam kelompok antimikotik polyene sintesis. Ketokonazole merupakan golongan imidazole yang pertama kali ditemukan efektif bekerja pada rute pemberian per oral. Itraconazole termasuk dalam golongan triazole yang merupakan perkembangan dari 13 golongan imidazole. Itraconazole lebih poten, lebih tidak toksik dan secara oral terbukti lebih efektif terhadap berbagai jenis jamur (DeBoer & Moriello, 2006).

Mekanisme kerja itraconazole dan ketoconazole adalah dengan menghambat sitokrom P450 (dikenal juga sebagai P450DM, ERG11, ERG16 dan CYP51) 14 α-demethylase pada jamur. Enzim ini berperan dalam mengubah lanosterol menjadi ergosterol. Nitrogen dalam struktur azole membentuk ikatan kuat dengan Fe pada jamur sehingga mencegah jamur berikatan dengan substrat dan oksigen. Penghambatan C14 α-demethylase akan mengubah struktur membran dan mengubah permeabilitas serta susunan protein di dalamnnya (Myers et al., 2006).

Salep racikan merupakan obat antifungal yang memiliki kandungan bahan asam salisilat 10% yang diberikan secara topikal. Asam salisilat telah dibuktikan memiliki aktivitas antijamur, yaitu bersifat fungistatik. Bahan ini sering digunakan sebagai penguat obat-obatan antifungal lainnya karena efek antifungalnya sendiri termasuk lemah. Secara umum penggunaan terapi topikal lebih aman dibandingkan terapi secara oral, namun pemberian topikal memiliki potensi toksisitas sistemik, efek teratogenik, dan interaksi obat akibat absorpsi sistemik yang harus diwaspadai. Asam salisilat sering digunakan sebagai obat luar karena merupakan agen yang bersifat keratolitik dan antipruritik. Zat ini bekerja sebagai keratolitik dengan mengangkat sel-sel kulit yang berada di lapisan teratas, yaitu stratum korneum (Camenzind et al., 2000). Asam salisilat tidak diserap oleh kulit, tetapi membunuh sel epidermis dengan sangat cepat tanpa memberikan efek langsung pada sel dermis. Setelah beberapa hari akan menyebabkan terbentuknya lapisan-lapisan kulit yang baru. Asam salisilat mampu menghilangkan lemak interseluler, memiliki efek antihiperplastik, antimikrobial, dan menyebabkan deskuamasi stratum korneum tanpa menyebabkan inflamasi (Murlistyarini, 2015).

Griseofulvin merupakan agen antifungal sistemik pertama yang digunakan dalam menangani kasus dermatofitosis dan bersifat fungistatik. Griseofulvin bekerja menginduksi aktivitas sitokrom P450 pada hati. Griseofulvin pertama kali diisolasi dari Penicillium griseofulvum pada tahun 1939 dan ditetapkan sebagai obat antifungal pada tahun 1958 (Kavitha et al., 2020). Griseofulvin bersifat terbatas untuk kapang dermatofita dan memiliki berbagai efek samping yang berbahaya untuk tubuh. Efek samping yang disebabkan griseofulvin dapat berupa anoreksia, muntah, diare, anemia, neutropenia, leukopenia, trombositopenia, depresi, ataxia, hepatotoksisitas, dermatitis/fotosensitifitas dan nekrolisis epidermal. Efek samping bahan ini sangat rentan dialami anak kucing (misalnya depresi sumsum tulang) dibandingkan spesies lain. Bahan ini juga dapat menyebabkan penghambatan spermatogenesis serta bersifat teratogen pada kucing maupun anjing sehingga kontraindikasinya adalah hewan bunting dan tidak ada jaminan keamanan untuk hewan yang sedang laktasi (Plumb, 2011).

Berdasar data penelitian yang didapat, itraconazole banyak digunakan dalam menangani kasus dermatofitosis untuk hewan yang berumur 2 bulan sampai di atas 1 tahun. Menurut (DeBoer & Moriello, 2006) penggunaan itraconazole dapat mulai diberikan pada kucing berusia enam minggu. Berdasar struktur kimianya, itraconazole memiliki situs aktif molekul (cincin triazole) yang melekat pada rantai samping yang bertanggung jawab atas spektrum aktivitas antifungal, profil potensi, dan toksisitas (Lestner & Hope, 2013).� Tingkat penghambatan enzim kemungkinan merupakan fungsi dari kekuatan pengikatan antara triazol dan enzim, hal ini dianggap bahwa sebagian besar dimediasi oleh rantai samping yang berikatan dengan apoprotein (Lamb, 1999). Gambaran struktur kimia itraconazole dapat dilihat pada Gambar 1.

 

Gambar 1

Rangkuman Obat Itraconazole (Lestner Dan Hope 2013)

 

Itraconazole efektif untuk pengobatan dermatofitosis pada mukosa maupun sistemik karena memiliki spektrum yang lebih luas dibandingkan obat lain (Kartikawati, 2011). Itraconazole juga memiliki bioavaibilitas yang sangat tinggi dan penyerapan yang sempurna. Dosis untuk penggunaan itraconazole khusus dalam menangani dermatofitosis berkisar antara 5-10 mg/kgBB serta diberikan sehari sekali. Efek samping penggunaan itraconazole umumnya adalah anoreksia, muntah, dan hepatotoksik. Kejadian efek samping seperti ini tergolong minimal dibandingkan dengan obat lain pada kelasnya seperti ketoconazole.

Itraconazole juga tidak memiliki efek humoral seperti tidak dapat menurunkan kortisol dan konsentrasi testosteron tetapi dapat meningkatkan konsentrasi progesterone. Keuntungan dari itraconazole adalah interferensinya dengan system P-450 yang menghasilkan penghambatan pembentukan ergosterol, yaitu bahan komponen untuk pembentukan dinding sel jamur (Erawan et al., 2009). Itraconazole dengan keuntungannya yang lebih banyak dibandingkan dengan obat antifungal lain menjadikan obat ini sering digunakan dalam menangani kasus dermatofitosis di klinik hewan tersebut.

 

Kesimpulan

Obat antifungal yang memiliki jumlah penggunaan tertinggi dalam menangani kasus dermatofitosis di klinik hewan Starvet kota Bogor yaitu itraconazole. Hal ini dikarenakan obat tersebut lebih efektif dibandingkan obat antifungal lainnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Adzima, V., Jamin, F., & Abrar, M. (2013). Isolasi Dan Identifikasi Kapang Penyebabdermatofitosis Pada Anjing Di Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh. Jurnal Medika Veterinaria, 7(1). Google Scholar

 

Aranceta, J., Rodrigo, C. P., Majem, L. S., Barba, L. R., Izquierdo, J. Q., Vioque, J., Mar�, J. T., Verd�, J. M., Gonz�lez, J. L., & Tojo, R. (2003). Prevalencia De La Obesidad En Espa�a: Resultados Del Estudio Seedo 2000. Medicina Cl�nica, 120(16), 608�612. Google Scholar

 

Camenzind, V., Bombeli, T., Seifert, B., Jamnicki, M., Popovic, D., Pasch, T., & Spahn, D. R. (2000). Citrate Storage Affects Thrombelastograph� Analysis. The Journal Of The American Society Of Anesthesiologists, 92(5), 1242�1249. Google Scholar

 

Chermette, R., Ferreiro, L., & Guillot, J. (2008). Dermatophytoses In Animals. Mycopathologia, 166(5�6), 385�405. Google Scholar

 

Conway, M. A., Singer, J. A., & Tagini, A. (2004). The Self And Autobiographical Memory: Correspondence And Coherence. Social Cognition, 22(5: Special Issue), 491�529. Google Scholar

 

Deboer, D. J., & Moriello, K. A. (2006). Cutaneous Fungal Infections. Infectious Diseases Of The Dog And Cat. 3rd Edn. St. Louis: Saunders Elsevier, 550�569. Google Scholar

 

Dehghan, M., & Shokri, A. (2009). Numerical Solution Of The Nonlinear Klein�Gordon Equation Using Radial Basis Functions. Journal Of Computational And Applied Mathematics, 230(2), 400�410. Google Scholar

 

Ding, S., & Lou, X. W. D. (2011). Sno 2 Nanosheet Hollow Spheres With Improved Lithium Storage Capabilities. Nanoscale, 3(9), 3586�3588. Google Scholar

 

Erawan, I. G. M. K., Suartha, I. N., Budiari, E. S., Mustikawati, D., & Batan, I. W. (2009). Analisis Faktor Risiko Penyakit Distemper Pada Anjing Di Denpasar. Jurnal Veteriner September, 10(3), 173�177. Google Scholar

 

Harding, J. M., Spero, H. J., Mann, R., Herbert, G. S., & Sliko, J. L. (2010). Reconstructing Early 17th Century Estuarine Drought Conditions From Jamestown Oysters. Proceedings Of The National Academy Of Sciences, 107(23), 10549�10554. Google Scholar

 

Kartikawati, P. R. F. (2011). Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Stunted Growth Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Arjasa Kabupaten Jember. Google Scholar

 

Kavitha, K., Vijayakumar, V., & Udhayakumar, R. (2020). Results On Controllability Of Hilfer Fractional Neutral Differential Equations With Infinite Delay Via Measures Of Noncompactness. Chaos, Solitons & Fractals, 139, 110035. Google Scholar

 

Kotnik, J., Horvat, M., Tessier, E., Ogrinc, N., Monperrus, M., Amouroux, D., Fajon, V., Gibičar, D., �i�ek, S., & Sprovieri, F. (2007). Mercury Speciation In Surface And Deep Waters Of The Mediterranean Sea. Marine Chemistry, 107(1), 13�30. Google Scholar

 

Kurniawati, A., Gunawan, B. T., & Indrasari, D. P. R. (2017). Dampak Upah Minimum Terhadap Kemiskinan Di Indonesia Tahun 2006-2014. Jurnal Riset Ekonomi Dan Manajemen, 17(2), 233�252. Google Scholar

 

Lakshmipathy, D. T., & Kannabiran, K. (2010). Review On Dermatomycosis: Pathogenesis And Treatment. Natural Science, 2(07), 726. Google Scholar

 

 

Lamb, S. (1999). Constructing The Victim: Popular Images And Lasting Labels. Google Scholar

 

Lestner, J., & Hope, W. W. (2013). Itraconazole: An Update On Pharmacology And Clinical Use For Treatment Of Invasive And Allergic Fungal Infections. Expert Opinion On Drug Metabolism & Toxicology, 9(7), 911�926. Google Scholar

 

Lopes Louro, G. (2019). Curr�culo, G�nero Y Sexualidad: Lo. Descentrada. Revista Interdisciplinaria De Feminismos Y G�nero, 3(1). Google Scholar

 

Mahmoudabadi, A. Z., Najafyan, M., & Alidadi, M. (2010). Clinical Study Of Candida Vaginitis In Ahvaz, Iran And Susceptibility Of Agents To Topical Antifungal. Pak J Med Sci, 26(3), 607�610. Google Scholar

 

Murlistyarini, S. (2015). Pengelupasan Kulit Secara Kimiawi. Universitas Brawijaya Press. Google Scholar

 

Myers, P., Espinosa, R., Parr, C. S., Jones, T., Hammond, G. S., & Dewey, T. A. (2006). The Animal Diversity Web. Accessed October, 12(2006), 2. Google Scholar

 

Plumb, J. C. (2011). The Impact Of Social Support And Family Resilience On Parental Stress In Families With A Child Diagnosed With An Autism Spectrum Disorder. Google Scholar

 

Pohan, C. A., & Adams, C. (2007). Increasing Family Involvement And Cultural Understanding Through A University-School Partnership. Action In Teacher Education, 29(1), 42�50. Google Scholar

 

Riza, M., �zyapici, A., & Misirli, E. (2009). Multiplicative Finite Difference Methods. Quarterly Of Applied Mathematics, 67(4), 745�754. Google Scholar

 

Soeharsono, B. (2007). Perbaikan Kualitas Proses Produksi Makanan Ringan Di Pt. Prima Rasa Semesta. Google Scholar

 

Surekha, A., Anand, P. M. R., & Indu, I. (2015). E-Payment Transactions Using Encrypted Qr Codes. International Journal Of Applied Engineering Research, 10(77), 461. Google Scholar

 

Thakare, J. G., Pandey, C., Mahapatra, M. M., & Mulik, R. S. (2019). An Assessment For Mechanical And Microstructure Behavior Of Dissimilar Material Welded Joint Between Nuclear Grade Martensitic P91 And Austenitic Ss304 L Steel. Journal Of Manufacturing Processes, 48, 249�259. Google Scholar

 

 

 

 

 


 

 

Copyright holder:

Miyati Sofariah, Bayu Febram, Wiwin Winarsih (2021)

 

First publication right:

Jurnal Health Sains

 

This article is licensed under: