Jurnal Health Sains: p�ISSN:
2723-4339 e-ISSN:
2548-1398�����
Vol. 2, No. 7, Juli 2021
PERBEDAAN KELEMBABAN, KEPADATAN HUNIAN, VENTILASI RUMAH
TERHADAP KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT PADA BALITA
Dina Arihta Tarigan, Eli Heryanti
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes)
Mitra Ria Husada, Jakarta, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
INFO ARTIKEL |
abstraK |
Diterima 5 Juli 2021 Direvisi 15 Juli 2021 Disetujui 25 Juli 2021 |
Kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kesakitan utama pada balita di Negara berkembang. Demikian juga di Wilayah Kerja Puskesmas Klapanunggal. Kondisi ini terlihat
dari pertama prevalensi penyakit ISPA yang selalu mengalami kenaikan dan menempati urutan pertama dari sepuluh besar penyakit berdasarkan laporan tahunan Puskesmas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kondisi fisik lingkungan rumah yang meliputi kepadatan hunian, kelembaban, ventilasi rumah dengan kejadian ISPA. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2020 di Kecamatan Klapanunggal. Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan Cross Sectional. Subjek
yang diteliti yaitu seluruh rumah yang didalamnya terdapat balita berusia nol sampai lima tahun dengan besar sampel 97 responden. Pengumpulan data melalui wawancara tersetruktur, observasu. Uji
statistic menggunakan uji kai kuadarat.
Ahsil penelitian menunjukkan ada hubungan antara kepadatan hunian (OR= 8,254, p=
0,001), Ventilasi Rumah
(OR= 2,625, p= 0,003), dan kelembaban rumah (OR= 3,010, p= 0,018) dengan
kejadian ISPA. Berdasarkan
penelitian ini upaya untuk mengurangi
kejadian ISPA pada balita
adalah dilakukan penyuluhan kepada masyarakat untuk menibgkatkan kualitas hunian rumah serta penyebarluasan informasi. ABSTRACT The incidence of Acute Respiratory Infection (ARI)
is one of the main causes of illness in children under five in developing
countries. Likewise in the working area of the Klapanunggal
Health Center. This condition can be seen from the first prevalence of ARI,
which always increases and is the first of the top ten based on the annual
report of the Puskesmas. This study aims to
determine the relationship between the physical conditions of the home
environment which includes occupancy density, humidity, house ventilation
with the incidence of ARI. This research was conducted in August 2020 in Klapanunggal District. This type of research uses a cross
sectional approach. The subjects studied were all houses in which there were
toddlers aged zero to five years with a sample size of 97 respondents. Data
collection through structured interviews, observation. Statistical test using
kai quadaract test. The results of the study showed
that there was a relationship between occupancy density (OR = 8.254, p =
0.001), home ventilation (OR = 2.625, p = 0.003), and humidity (OR = 3.010, p
= 0.018) with the incidence of ARI. Based on this research, an effort to
reduce the incidence of ARI in children under five is to provide counseling
to the community to improve the quality of housing and disseminating
information about poor indoor air quality that can cause confusion with ISPA. |
Kata Kunci: infeksi saluran
pernafasan akut; balita; kondisi lingkungan fisik rumah Keywords: acute respiratory
tract infection; toddlers; physical condition of the house |
Pendahuluan
Penyakit infeksi merupakan penyebab kematian balita di negara maju maupun di negara berkembang.
Salah satu penyakit infeksi yang paling sering diderita adalah Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) (Kusumanata & Endrawati, 2013).
ISPA masih menjadi masalah kesehatan yang sangat penting karena menyebabkan
kematian bayi dan balita yang cukup tinggi. Infeksi Saluran Pernafasan Akut ini menyebabkan
empat dari 15 juta perkiraan kematian pada anak berusia dibawah lima tahun pada setiap tahunnya, dan sebanyak dua pertiga kematian
tersebut adalah bayi (Widjaja, 2002).
Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut didasarkan adanya interaksi antara komponen host, agen dan environmet. Berubahnya satu komponen mengakibatkan
keseimbangan terganggu sehingga menimbulkan penyakit ISPA (P. S. Dewi et al., 2014). Faktor resiko kejadian
ISPA pada balita dipengaruhi
oleh faktor intriksik (umur, jenis kelamin,
status gizi, status imunisasi)
dan faktor ekstrinsik meliputi kepadatan hunian tempat tinggal,
polusi udara, ventilasi, letak dapur,jenis bahan bakar, penggunaaan obat nyamuk,asap rokok, penghasilan keluarga, serta faktor pendidikan ibu, umur dan pengetahuan
ibu (Achmadi, 2020).
Di Indonesia ISPA merupakan
penyakit yang sering terjadi pada anak dengan episode penyakit batuk pilek diperkirakan
3-6 kali pertahun. ISPA juga merupakan
salah satu penyebab utama kunjungan pasien kesarana kesehatan yaitu 40%-60% dari seluruh kunjungan
ke Puskesmas dan 15%-30% dari seluruh kunjungan
rawat jalan dan rawat inap Rumah
Sakit. Diperkirakan kematian akibat ISPA khususnya Pneumonia mencapai 5 kasus diantara 1000 balita. Ini berarti
ISPA mengakibatkan 150.000 balita
meninggal tiap tahunnya, atau 12.500 korban perbulan, atau 416 kasus perhari, atau 17 anak perjam
atau seorang bayi tiap 5 menit
(T. Murti et al., 2016).
Pada tahun 2013 menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat ISPA masih merupakan urutan pertama penyakit terbanyak pada balita di Provinsi jawa Barat sebanyak 33.44% (D. P. Dewi & Parami, 2010). Prevalensi ISPA sekabupaten bogor sebanyak 33.70%. Menurut RISKESDAS 2018 prevalensi
ISPA menurut diagnosis Tenaga Kesehatan sebanyak 4.4%, lalu prevalensi ISPA berdasarkan
diagnosis Tenaga Kesehatan dan Gejala sebanyak 9.3% (Atullatifah & Purba, 2021).
Menurut Profil Kesehatan provinsi Jawa Barat prevalensi ISPA pada tahun 2017 sebanyak 24.68%. Sedangkan prevalensi ISPA di Kecamatan Klapanunggal sebanyak 44,23%.
Indonesia merupakan salah
satu negara yang mempunyai beban tuberculosis yang terbesar diantara 8 negara yaitu India
(27%), China (9%), Indonesia (8%), Philipina (6%),
Pakistan (5%), Nigeria (4%), Bangladesh (4%), dan Afrika Selatan (3%). Secara global kasus baru tuberkulosis sebesar 6,4 juta, setara dengan 64% dari insiden tuberculosis (10,0 juta). Tuberculosis tetap menjadi 10 penyebab kematian tertinggi di dunia dan kematian tuberkulosis secara global diperkirakan 1,3 juta pasien (T. Murti et al., 2016).
Jumlah kasus tuberkulosis pada tahun 2018 ditemukan sebanyak 566.623 kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2017 yang sebesar 446.732 kasus. Jumlah kasus tertinggi
yang dilaporkan terdapat di
provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa
Barat, Jawa Timur, dan Jawa
Tengah. Kasus tuberculosis di tiga
provinsi tersebut sebesar 44% dari jumlah seluruh kasus tuberkulosis di Indonesia (Nuroctavia et al., 2021). Menurut Provinsi pada tahun 2018 di Jawa Barat sebanyak (71,0), di Jawa Timur sebanyak (64,0), di Jawa Tengah sebanyak (67,7). Jumlah kasus tuberkulosis pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan yaitu 1,3 kali dibandingkan pada perempuan. Pada
masing-masing provinsi di seluruh
Indonesia kasus lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Menurut World Health Organization (Organization, 2016)
kasus ISPA di seluruh dunia
sebanyak 18,8 miliar dan kematian sebanyak 4 juta orang per tahun. Tingkat mortalitas penyakit ISPA sangat tinggi pada balita, anak-anak, dan orang lanjut usia terutama
di negara-negara dengan pendapatan
per kapita rendah dan menengah. Kasus ISPA di Indonesia
pada tahun 2015 menempati urutan pertama sebanyak 25.000 jiwa se-Asia Tenggara
pada tahun 2015.
Pada tahun 2013 menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat ISPA masih merupakan urutan pertama penyakit terbanyak pada balita di Provinsi jawa Barat sebanyak 33.44%. Prevalensi ISPA sekabupaten bogor sebanyak 33.70%. Menurut RISKESDAS 2018 prevalensi
ISPA menurut diagnosis Tenaga Kesehatan sebanyak 4.4%, lalu prevalensi ISPA berdasarkan
diagnosis Tenaga Kesehatan dan Gejala sebanyak 9.3%. Menurut Profil Kesehatan provinsi Jawa Barat prevalensi ISPA pada tahun 2017 sebanyak 24.68%. Sedangkan prevalensi ISPA di Kecamatan Klapanunggal sebanyak 44,23%.
Berdasarkan
data Puskesmas Klapanunggal,
menunjukkan bahwa ISPA merupakan infeksi yang paling sering diderita oleh masyarakat khususnya bayi dan balita. Responden yang akan diambil yaitu orang tua yang memiliki bayi dan balita. ISPA menempati urutan pertama dalam daftar sepuluh penyakit tertinggi pada bayi dan anak-anak sebesar 44,23%. ISPA terjadi di wilayah Klapanunggal
RT 02 RW 08 Desa klapanunggal
Kecamatran Klapanunggal Kabupaten Bogor. Berdasarkan data
ini maka penulis melakukan ingin melakukan penelitian mengenai hubungan antara faktor lingkungan fisik rumah dengan
kejadian ISPA di wilayah kerja
Puskesmas Klapanunggal Tahun 2020.
Tujuan penelitian Untuk mengetahui Perbedaan antara kondisi fisik lingkungan rumah dengan kejadian
ISPA pada balita di wilayah Kerja
Puskesmas Klapanunggal Tahun 2020.
Hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberikan informasi tekait variabel-variabel yang mempengaruhi
penyakit terjadinya ISPA di
Kecamatan Klapanunggal sehingga dapat menajdi bahan masukan
untuk melakukan upaya-upaya pencegahan untuk menurunkan tingkat prevalensi penyakit ISPA di Kecamatan Klapanunggal.
Penelitian yang dilakukan ini menggunakan
desain cross
sectional, rancangan penelitian
cross sectional adalah
penelitian non ekperimental
yang mempelajari dinamika hubungan faktor-faktor resiko dengan efek
dengan pendekatan point
time, yaiu variabel diobservasi pada saat yang sama termasuk variabel-variabel
faktor resiko dan variabel efek.
Pemilihan desain penelitian cross sectional
ini karena memiliki beberapa keuntungan yaitu memberikan kemudahan untuk dilakukan dan murah serta tidak
memerlukan follow up (B. Murti, 2003). Selain itu dengan desain
penelitian ini sifatnya relatif sederhana, ekonomis dalam segi waktu,
dan banyak variabel yang dapat dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2012).�
Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Klapanunggal Bogor di Bulan Agustus- September 2020.
Jenis data dalam
penelitian ini berupa data kuantitatif yang meliputi kepadatan hunian, kelembaban dan ventilasi.
Hasil dan Pembahasan
A.
Hasil Penelitian
1.
Analisis Univariat
Tabel 1
Sebaran Balita Menurut
Kejadian ISPA Di Wilayah Kerja
Puskesmas Klapanunggal tahun 2020
Kasus ISPA |
Jumlah (n) |
Persen (%) |
ISPA |
63 |
64,9 |
Tidak ISPA |
34 |
35,1 |
Total |
97 |
100,0 |
Tabel 1 menunjukkan bahwa anak balita
di wilayah Kerja Puskesmas Klapanunggal yang menderita ISPA dari 97 anak balita
ada 63 anak balita (64,9%) yang menderita
ISPA dan 34 anak balita
(35,1%) tidak menderita
ISPA.
Tabel 2
Sebaran Kepadatan Hunian
Di Wikayah Kerja Puskesmas Klapanunggal
Kepadatan
hunian rumah |
Jumlah |
Persen |
Tidak Memenuhi Syarat |
42 |
43,3 |
Memenuhi Sayat |
56 |
56,7 |
Total |
97 |
100,0 |
Tabel 2 Menunjukkan tentang kepadatan hunian rumah didapatkan
kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat terdapat 42 (43,3%) responden dan yang memenuhi syarat adalah 56 (56,7%) responden.
Tabel 3
Sebaran ventilasi Rumah
Di Wilayah Kerja
Puskesmas Klapanunggal
Ventilasi
rumah |
Jumlah |
Persen |
Tidak Memenuhi Syarat |
52 |
53,6 |
Memenuhi Syarat |
45 |
46,4 |
Total |
97 |
100,0 |
Tabel 3 Tentang kelembaban rumah didapatkan kelembaban yang tidak memenuhi syarat ada 54 (55,7%) responden dan 43 (44,3%) responden
dengan kelembaban yang memenuhi syarat.
2.
Analisis Bivariat
Tabel 4
Sebaran Frekuensi dan Hubungan
Lingkungan Fisik dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah Kerja Puskesmas Klapanunggal Tahun 2020
Variabel |
Ispa |
Tidak ISPA |
|
Nilai P |
|||
n |
% |
n |
% |
jml |
% |
||
Kepadatan hunian |
|||||||
TM. Syarat |
37 |
88,1 |
5 |
11,9 |
42 |
43,3 |
0,000 |
M. Syarat |
26 |
47,3 |
29 |
52,7 |
55 |
56,7 |
|
Ventilasi |
|||||||
TM. Syarat |
39 |
75 |
13 |
25 |
52 |
53,6 |
0,033 |
M Syarat |
24 |
53.3 |
21 |
46.7 |
45 |
46,4 |
|
Kelembaban |
|||||||
TM. Syarat |
41 |
75,9 |
13 |
24,1 |
54 |
55,7 |
0,018 |
M. Syarat |
22 |
51,2 |
21 |
48,8 |
43 |
44,3 |
a.
��Perbedaan
antara Kepadatan Hunian dengan Kejadian
ISPA Pada Balita
Analisis keterkaitan
hubungan variabel kepadatan hunian rumah responden dengan kejadian ISPA pada Balita di wilayah Kerja Puskesmas Klapanunggal dengan uji chi square, secara
statistic ada hubungan yang
bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada Balita. Berarti balita yang tinggal pada rumah dengan kepadatan
hunian jurang dari 10m2/orang bereriko terkena ISPA di banding balita
yang tinggal denga kepadatan
hunian lebih dari 10m2/orang.
b.
Perbedaan antara
Ventilasi Rumah dengan Kejadian ISPA Pada Balita
Analisis mengenai variabel ventilasi, diperoleh bahwa pada kelompok balita dengan ventialsi rumah yang tidak memenuhi syarat terdapat 39 balita yang menderita penyakit ISPA, dan pada
kelompok balita yang tinggal dengan ventilasi yang memenuhi syarat terdapat 24 balita yang menderita ISPA. Hasil
uji statistic chi square dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA pada balita.
c.
��Perbedaan
antara Kelembaban Rumah dengan Kejadian
ISPA Pada Balita
Hasil analisis hubungan
variabel kelembaban rumah responden dengan kejadian ISPA balita di wilayah Kerja Puskesmas Klapanunggal, di peroleh bahwa pada kelompok balita dengan kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat terdapat 41 balita yang menderita ISPA, dan kelompok balita yang tinggal dengan kelembaban rumah yang memenuhi syarat terdapat 22 balita yang menderita ISPA. Dengan uji statistic chie square,
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kelembaban dengan kejadian ISPA pada balita, yang berarti balita yang tinggal rumah dengan
kelemababan yang tidak memenuhi syarat mempunyai resiko untuk menderita ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal pada rumah dengan ventilasi
yang memenuhi syarat.
B.
Pembahasan
1.
Kondisi lingkungan
Fisik Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Balita
a.
��Perbedaan
Kepadatan Hunian Ruma Dengan Kejadian
ISPA Pada Balita
Pada hasil penelitian,
didapatkan bahwa proporsi balita tidak sakit keseluruhannya
tinggal di rumah yang tidak padat penghuni
atau memenuhi syarat tinggal, sedangkan balita lainnya yang menderita ISPA tinggal di rumah yang kepadatan huniannya tidak memenuhi syarat. Pada uji analisis bivariat didapatkan hasil adanya perbedaan
yang bermakna kepadatan hunian kejadian ISPA pada balita artinya balita yang tinggal ditempat dimana kepadatan huniannya tidak memenuhi syarat mempunyai resiko lebih besar
terkena ISPA dibandingkan balita yang tinggal di rumah dengan kepadatan
hunian yang memenui syarat. Pada hunian rumah yang padat akan memudahkan penularan penyakit khususnya penyakit saluran pernafasan. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian (Irianto et al., 2014)
menyatakan ada perbedaan yang bermakna kepadatan hunian rumah balita kejadian
penyakit ISPA pada balita. Kemudian didukung oleh penelitian (Nurjazuli, 2017)
menyatakan yang menyatakan balita yang tinggal dengan kepadatan hunian yang kurang baik mempunyai resiko menderita ISPA-pneumonia lebih besar dibandingkan
dengan balita yang tinggal dirumah dengan kepadatan hunian yang baik.
b.
Perbedaan Ventilasi
Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Balita
Hasil penelitian yang didapatkan,
balita yang tidak sakit ISPA yaitu sebagian besar tinggal di rumah yang memiliki ventilasi yang memenuhi syarat dan hanya sebagian balita yang terkena ISPA tinggal dirumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat. Berdasarkan analisis bivariat, bahwa ada perbedaan yang bermakna kepemilikan ventilasi kejadian ISPA pada balita, dan balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat mempunyai peluang yang lebih besar untuk terjadi
ISPA. Ventilasi merupakan tempat keluar masuknya
udara dari dan keluar ruangan rumah, sehingga kualitas udara dalam rumah tetap
stabil. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian (Mulyani et al., 2018)
menyatkan yang menyatakan ada perbedaan yang bermakna ventilasi rumah kejadian ISPA pada balita. Begitu juga penelitian (Nurjazuli, 2017)
menyatakan bahwa yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat mempunyai resiko menderita ISPA-pneumonia lebih besar dibanding
dengan balita yang tinggal dirumah dengan luas ventilasi
yang memenuhi.
c.
��Perbedaan
Kelembaban Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Balita
Hasil penelitian yang didapatkan,
terdapat perbedaan yang signifikan yang terjadi antara faktor kelembaban
udara didalam rumah terhadap kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Klapanunggal. Dimana balita yang tinggal dengan kondisi kelembaban udaranya dialam rumahnya tidak memenuhi syarat berisiko terkena ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal dengan kondisi kelembaban didalam rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Johanes Lo, 2011)
di Kecamatan payakumbuh, dengan hasil uji bivariat menunjukkan ada perbedaan yang bermakna kondisi kelembaban didalam rumah kejadian ISPA pada balita, dimana balita yang memiliki rumah dengan kurang
dari 40 atau lebih dari 70 berisiko
menderita ISPA lebih besar dibandingkan balita yang kelembaban rumahnya sesuai standar. Kepmenkes Nomor 829/1999 menyatakan bahwa rumah yang memenuhi syarat bila nilai kelembabanya
antara 40% - 70%. Tingkat kelembaban
selain dipengaruhi oleh lingkungan rumah juga dipengaruhi faktor cuaca. Keringat manusia juga mempengaruhi kelembaban, semakin banyak manusia yang tinggal semakin tinggi khususnya karena uap air baik dari pernafasan
maupun keringat. Dibandingkan dengan kelembaban diluar ruang, diruang tertutup yang terdapat banyak orang juga mempengaruhi kelembaban (Achmadi, 2020).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian
dan pembahasan yang telah diuraikan di bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan masih tingginya angka kejadian ISPA pada balita di wilayah Kerja Puskesmas Klapanunggal Bogor Tahun 2020. Adanya perbedaan yang bermakna kepadatan hunian kejadian ISPA pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Klapanunggal Bogor Tahun 2020. Adanya perbedaan yang bermakna ventilasi rumah kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Klapanunggal Bogor Tahun 2020. Adanya perbedaan yang bermakna kelembaban rumah kejadian ISPA pada balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Klapanunggal Bogor Tahun 2020.
BIBLIOGRAFI
Achmadi, U.
F. (2020). Hubungan Konsentrasi Kadar Debu Pm10 Dengan Kejadian Gejala Ispa
(Infeksi Saluran Pernapasan Akut) Pada Pekerja Proyek Konstruksi X Di Depok
Tahun 2018. Jurnal Nasional Kesehatan Lingkungan Global, 1(3). Google Scholar
Atullatifah,
Ci. N., & Purba, I. G. (2021). Hubungan Kondisi Fisik Lingkungan Rumah
Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Kelurahan Timbangan Kecamatan Indralaya
Utara. Sriwijaya University. Google Scholar
Dewi,
D. P., & Parami, D. (2010). Identifikasi Faktor-Faktor Profesionalisme
Manajer Proyek Pada Proyek Konstruksi. Jurnal Ilmiah Teknik Sipil, 14(1).
Google Scholar
Dewi,
P. S., Darmadi, I. G. W., & Marwati, N. M. (2014). Hubungan Faktor-Faktor
Sanitasi Rumah Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut Di Wilayah Kerja
Puskesmas Iv Denpasar Selatan Tahun 2014. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 4(2),
175�180. Google Scholar
Irianto,
J., Ramaswamy, G., Serra, R., & Knight, M. M. (2014). Depletion Of
Chondrocyte Primary Cilia Reduces The Compressive Modulus Of Articular
Cartilage. Journal Of Biomechanics, 47(2), 579�582. Google Scholar
Johanes
Lo, S. (2011). Kepemimpinan Organisasi Menurut Karakteristik Industri Dan
Hubungan Dengan Kinerja Organisasi Dan Turbulensi Lingkungan Pada Perusahaan
Publik Di Jabotabek. Institut Pertanian Bogor. Google Scholar
Kusumanata,
M., & Endrawati, S. (2013). Pola Pengobatan Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(Ispa) Pasien Pediatrik Rawat Inap Di Rrsud Karanganyar Bulan November
2013-Maret 2014. Ijms-Indonesian Journal On Medical Science, 1(2).
Google Scholar
Mulyani,
S., Wijayanti, A., & Masitoh, E. (2018). Pengaruh Corporate Governance
Terhadap Tax Avoidance (Perusahaan Pertambangan Yang Terdaftar Di Bei). Jurnal
Riset Akuntansi Dan Bisnis Airlangga, 3(1). Google Scholar
Murti,
B. (2003). Prinsip Dan Metode Riset Epidemiologi. Google Scholar
Murti,
T., Badar Kirwono, S. K. M., & Werdani, K. E. (2016). Faktor Risiko
Kejadian Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukoharjo. Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Google Scholar
Notoatmodjo,
S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Google Scholar
Nurjazuli,
N. (2017). Model Development Of Problem Based Learning Curriculum Management
For Public Health Student. Fkm Undip. Google Scholar
Nuroctavia,
M. M., Supriatin, T., & Cikwanto, C. (2021). Analisis Gambaran
Self-Efficacy Ibu Dengan Anak Yang Sedang Menjalani Pengobatan Tuberkulosis Di
Ruang Poliklinik Rs Mitra Plumbon Cirebon. Journal Of Nursing Practice And
Education, 1(2), 159�168. Google Scholar
Organization,
W. H. (2016). World Health Statistics 2016: Monitoring Health For The Sdgs
Sustainable Development Goals. World Health Organization. Google Scholar
Widjaja,
A. C. (2002). Penanganan Ispa Pada Anak Di Rumah Sakit Kecil Negara
Berkembang. Penerbit Buku Kedokteran Egc. Google Scholar
Copyright holder: Dina Arihta Tarigan,
Eli Heryanti (2021) |
First publication right: |
This article is licensed under: |