Jurnal Health Sains: p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 2, No.
4, April 2021���������������������������������������������������
Raden Erwin Affandi dan Kadhafi
Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Email: [email protected] dan [email protected]
ARTIKEL
INFO |
ABSTRACT |
Tanggal diterima: 5 April 2021 Tanggal revisi: 15 April 2021 Tanggal yang disetujui: 25 ��April 2021������������������������������ |
Hypersensitivity reactions are
immune reactions, generally triggered by lymphocytes. Hypersensitivity reactions to radiopharmaceuticals are comparatively
few. Most mention incidents of 1-6
reactions per 100,000 giving. The main cause
comes from the farmaka and chemicals present in the kit, not from the radiation source itself. the cause of this
low prevalence and lack of
reporting is due to the fact that the use of trace ingredients in the manufacture of radiophragmatics and administered in small
amounts as micro-doses cause a mild and temporary
reaction, which requires little
or no subsequent therapy. . The purpose
of this study
was to find out the hypersensitivity reactions on nuclear medicine examination. This research is a study
using the method
of literature study
or literature review.
The conclusion of this
study is prophylactic action, in allergic people, with
premedication can be given before
it is given to patients. Documentation and reporting of these adverse
reaction events to the authorities and manufacturers is important for pharmacovigilance and awareness of the possibility of an allergic reaction to the radioafarmaka permberian. |
Keywords: hipersensitivity, radiopharmaceutical; PET; SPECT; allergy |
|
|
ABSTRAK Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi imun, umumnya dipicu oleh limfosit. Reaksi hipersensitivitas terhadap radiofarmaka secara komparatif jumlahnya sangat sedikit. Sebagian besar menyebutkan insiden 1-6 reaksi per 100.000 pemberian. Penyebab utama bersumber dari farmaka dan bahan kimia yang ada dalam kit, bukan dari sumber radiasi itu sendiri. penyebab rendahnya prevalensi dan kurangnya pelaporan ini dikarenakan fakta bahwa penggunaan bahan dalam jumlah kecil (trace) pada pembuatan radioframaka dan diberikan dalam jumlah yang kecil sebagai mikro-dosis menyebabkan reaksi yang ringan dan sementara, yang membutuhkan sedikit atau tanpa terapi selanjutnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui reaksi hipersensitivitas pada pemeriksaan kedokteran nuklir. Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode studi kepustakaan atau literature review. Kesimpulan penelitian ini yaitu tindakan profilaksis, pada orang alergi, ������������������������������������������ �������������dengan premedikasi dapat diberikan sebelum diberikan � |
Kata Kunci: hipersensitivitas; radiofarmaka; PET; SPECT; alergi |
kepada pasien. Dokumentasi dan melaporkan kejadian reaksi merugikan ini pada pihak berwenang dan pabrik pembuat penting untuk farmakovigilansi dan kesadaran akan kemungkinan terjadinya reaksi alergi terhadap permberian radioafarmaka tersebut. |
Radiofarmaka adalah suatu zat campuran radioaktif yang digunakan untuk diagnosis dan terapi dalam pengobatan penyakit pada manusia. Di kedokteran nuklir hampir 90% radiofarmaka digunakan untuk keperluan diagnosis sedangkan sisanya untuk terapi (Saha & Saha, 2010). Radiofarmaka yang digunakan dikedokteran nuklir adalah senyawa bahan radioaktif yang tersusun atas suatu radionuklida dan suatu farmaka. Senyawa ini dapat diberikan secara intravena, intratekal dan per oral. Karena zat tersebut diberikan pada manusia, maka harus steril dan bebas pyrogen dan harus melalui kontrol uji kualitas sebagaimana obat konvensional (Silindir & Ozer, 2008). Radiofarmaka digunakan dalam jumlah yang sangat sedikit (tracer amount). Sehingga secara signifikan tidak sama seperti obat konvensional, tidak ada hubungan dosis-respon pada radiofarmaka. Bahkan saat radiofarmaka digunakan untuk keperluan terapi, efek yang didapatkan bukan efek farmakologis tapi efek radioaktivitas. Kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh penggunaan radiofarmaka untuk terapi karena disebabkan oleh efek radiasi yang tinggi daripada efek farmakologi, namun, hal ini biasanya merupakan suatu target terapi dan menyebabkan kerusakan minimal pada jaringan non-target (non-tumor) (Saha & Saha, 2010; Silindir & Ozer, 2008).
Menurut WHO farmakovigilans didefinisikan sebagai ilmu atau aktivitas yang berkaitan dengan deteksi, penilaian, pemahaman dan pencegahan efek samping obat atau berbagai masalah lain yang berkaitan dengan penggunaan obat.
Reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD) didefinisikan oleh WHO sebagai �suatu efek terhadap obat yang
membahayakan dan tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis normal pada manusia untuk tujuan pencegahan, diagnosis atau terapi, serta modifikasi fungsi fisiologis� (Organization, 2002). Pernyataan secara umum ini menunjukkan efek apapun yang merugikan yang dapat terjadi pada pemberian obat secara normal dan meliputi berbagai reaksi seperti efek samping, efek toksis, reaksi anafilaktik, perubahan biodistribusi, interaksi obat dan semua efek yang tidak disukai yang dapat timbul.
Istilah |
Definisi WHO |
Reaksi���������������� Samping Obat |
Respon tubuh yang berbahaya dan tidak diinginkan terhadap obat yang diberikan dalam dosis normal. |
Reaksi samping yang����������������������� tidak
diharapkan |
Reaksi samping yang
timbul tidak sesuai dengan label yang
terdapat pada formularium |
Efek samping |
Efek apapun yang muncul pada obat yang diberikan dalam dosis normal
sesuai dengan efek farmakologi. |
Reaksi samping |
Reaksi yang tidak
diharapkan yang muncul
pada saat pengobatan yang belum tentu
ada hubungan sebab akibat. |
Reaksi����� samping berat |
Reaksi samping
yang berat, fatal dan mengancam jiwa. |
Tabel 2
|
Sumber: British National Formulary, Maret 2013
Penyebab utama ROTD pada penggunaan radiofarmaka bersumber dari farmaka dan bahan kimia yang ada dalam kit, bukan dari sumber radiasi itu sendiri.Walaupun dalam keadaan khusus masalah radiofarmaka dapat disebabkan oleh efek radiasinya , akan tetapi hal ini lebih tepat dikategorikan sebagai masalah yang berkaitan dengan overdosis (Shani, Atkins, & Wolf, 1976).
Laporan awal tentang ROTD pada kedokteran nuklir berkisar tahun 1972, yang melaporkan insiden 1 dari 9979 dalam periode 4 tahun dari tahun 1970-1976 (Atkins, Hauser, Richards, & Klopper, 1972). Pada studi meta- analisis yang dilakukan oleh Salvatore et al, mereka melaporkan prevalensi dari ROTD
radiofarmaka berkisar antara 0-11 kasus per
100.000 penggunaan (Salvatori, Treglia, & Mores, 2012). Silberstein melaporkan prevalensi 2.1 per 100.000 dengan laporan yang menunjukkan tidak ada hospitalisasi dan kematian pada periode tahun 2007-2011 (Silberstein, 2014).
Prevalensi Reaksi
Samping Terhadap Radiofarmaka Pada Berbagai
Studi
Referensi |
Tahun |
Negara |
Reaksi samping |
Jumlah pemberian |
Prevalensi (per 100.000) |
3 |
1996 |
USA |
18 |
783525 |
2.3 |
4 |
1997 |
Eropa |
8 |
71046 |
11 |
5 |
1998 |
USA |
0 |
81801 |
0 |
6 |
2006 |
Jepang |
16 |
1277906 |
1.2 |
7 |
2007 |
Jepang |
19 |
1264098 |
1.5 |
8 |
2008 |
Jepang |
32 |
1189127 |
2.7 |
9 |
2009 |
Jepang |
11 |
192072 |
0.9 |
Salvatori et al, merumuskan alasan penyebab rendahnya prevalensi dan kurangnya pelaporan ini dikarenakan fakta bahwa penggunaan bahan dalam jumlah kecil (trace) pada pembuatan radioframaka dan diberikan dalam jumlah yang kecil sebagai mikro-dosis menyebabkan reaksi yang ringan dan sementara, yang membutuhkan sedikit atau tanpa terapi selanjutnya, kekhawatiran dokter terhadap potensi litigasi (digugat di pengadilan), meyakini kebutuhan informasi tentang hal ini rendah, waktu yang diperlukan untuk melengkapi formulir yang dibutuhkan dan tidak tersedianya formulir tentang hal ini dan ketidakmampuan dokter mengenali ROTD tersebut dapat menjadi alasan tambahan (Salvatori et al., 2012).
Disini menjelaskan ROTD akibat reaksi imunologi pada penggunaan radiofarmaka untuk diagnosis dan terapi dan pada penggunaan bahan kontras pada pemeriksaan PET/CT atau SPECT/CT atau MRI.
Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode studi kepustakaan atau literature review.
Jenis literature review yang digunakan adalah metode narrative review. Kami mencari artikel yang relevan dengan materi dari Pubmed dengan artikel berbahasa inggris. Kami menggunakan kata kunci seperti: allergy, radiopharmaceuticals, nuclear medicine.
Kami melakukan inklusi
artikel dan review artikel, kemudian mengeksklusi
artikel non-english. Semua artikel
dianalisis untuk didiskusikan kejadian suatu reaksi alergi
atau hipersensitivitas pada pemeriksaan kedokteran nuklir. Kami juga
melakukan diskusi kejadian reaksi
alergi pada pemeriksaan dengan bahan kontras.
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan kriteria inklusi
dan eksklusi tersebut
kami mendapatkan 16 artikel yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas pada pemeriksaan kedokteran nuklir. Artikel tersebut
dapat berupa penelitian, systematic review maupun case-report.
Tempat dilakukan penelitian dari artikel tersebut semua berasal dari luar negeri, di benua asia, eropa, dan amerika.
1. Reaksi Hipersesitivitas
Reaksi alergi adalah reaksi imun, umumnya dipicu oleh limfosit. Menurut (Gell & Coombs, 1963) pertama kali yang mengkategorikan reaksi alergi menjadi kelas I sampai IV berdasarkan mekanisme��������������������������� patologi���������� yang berbeda.Sistem ini masih menjadi dasar klasifikasi walupun ada subkategori baru yang muncul dengan perkembangan ilmu ilmunologi. Terlepas dari klasifikasi dan mekanisme yang tepat, patogenesis terjadinya reaksi alergi berpusat pada sintesis dan pelepasan mediator kimia (Keeling, 1998).
� Reaksi tipe I (reaksi segera atau anafilaktik) dimediasi Sebagian besar oleh antibodi golongan IgE (terdapat pada permukaan sel mast dan basophil) yang memicu pelepasan mediator farmakologi terutama histamin. Secara klinis reaksi tipe I dikenali dengan adanya urtikaria dan angioedema, rhinitis, bronkokonstriksi, dan syok anafilaktik (Gell & Coombs, 1963; Keeling, 1998).
� Reaksi tipe II (sitotoksik/ membrane) adalah reaksi dimana antibody IgG dan IgM mengikat antigen permukaan sel atau jaringan yang menyebabkan gangguan autoimun dan hematologi. Walaupun penting pada kedokteran umum sebagai penyebab trombositopenia dan anemia hemolitik namun tipe ini tidak pernah dijumpai pada pemberian radiofarmaka. Hal ini harus������ dibedakan������� dengan trombositopenia akibat radiasi yang biasanya didapatkan pada terapi target radionuklida.
� Reaksi tipe III (kompleks imun) biasanya disebabkan oleh antibody IgG, IgM atau IgA yang bereaksi dengan antigen pada jaringan dimana komplemen diaktivasi dan terjadi proses pembentukan dan deposisi kompleks imun yang mengakibatakan kerusakan jaringan local.walaupun sering disebut penyakit serum (serum sickness), tipe ini adalah reaksi alergi yang penting yang dijumpai pada penggunaan radiofarmaka, dengan manifestasi paling sering berupa demam ringan, urtikaria, bercak maculopapular pada kulit, dan poliartralgia pada tahap lanjut (Keeling, 1998).
� Reaksi tipe IV (mediasi-sel atau hipersensitivitas lambat) reaksi yang dimediasi oleh sel limfosit T yang tersensitisasi.
����
ROTD terhadap radiofarmaka secara komparatif jumlahnya sangat sedikit. Sebagian besar menyebutkan insiden 1-6 reaksi per 100.000 injeksi, angka kejadian yang kecil tersebut sangat mungkin disebabkan karena jumlah bahan yang sangat kecil yang diguanakan pada penggunaaan radiofarmaka.
Sidik tulang dengan agen difosfonat adalah radiofarmaka yang paling sering dilaporkan menyebabkan reaksi samping. Angka paling tinggi sekitar 1 dalam 800 injeksi penggunaan radiofarmaka metilen difosfonat (99mTc-MDP), eritema, mual, muntah dan malaise adalah gejala tipikal reaksi alergi difosfonat dan dapat muncul 2-3 jam pasca-injeksi (Abuhanoglu & �zer, 2012; Lieberman et al., 2015).
Jenis radiofarmaka lain yang sering disebutkan sebagai penyebab reaksi alergi adalah golongan 99mTc berlabel koloid dan albumin. Dalam hal ini insiden lebih tinggi sekitar 1 per 400 injeksi penggunaan agen MAA (99mTc -MAA) untuk citra perfusi paru pernah dilaporkan. Agregasi ini terakumulasi dan membentuk mikroemboli pada pembuluh kapiler paru hal ini dianggap aman karena mudahnya terfragmentasi dan di degradasi secara biologis, namun, teknik yang buruk saat proses labeling dapat membentuk substansi, misal ferri klorida, bertahan pada suspensi sehingga dapat menyebabkan reaksi anafilaksis. Reaksi pada jantung dan otak pada MAA yang mencapai sirkulasi dapat menjadi konsekuensi lainnya.
Gejala tipikal akibat reaksi koloid antara lain pucat, mual, memerah dan perubahan denyut nadi. Koloid digunakan untuk pemeriksaan sidik hati dan lien (Chicken, Mansouri, Ell, & Keshtgar, 2007). Reaksi imunologis akibat penggunaaan koloid penyebab utamanya
adalah bahan stabilizer yang digunakan pada sediaan gelatin, human serum albumin atau dextran yang digunakan pada sediaan ini dapat bersifat antigenic dengan dextran yang berat molekul tinggi lebih antigenik dibanding dextran dengan berat molekul rendah.
Reaksi alergi pada radiofarmaka technetium lainnya sangat jarang dilaporkan sebagai penyebab ROTD (Silberstein, 2014).
Kemungkinan terjadinya suatau ROTD akibat radiofarmaka spect lainnya juga sangat rendah.
Ishibashi dkk, melaporkan reaksi alergi 18 jam setelah pemberian I-131 MIBG secara intravena, dimana terjadi gejala ruam dan gatal pada wajah dan dada dengan erupsi eritema makulopapular yang mengesankan suatu eritema multiforme. Reaksi alergi ini berespon dengan pengobatan pada lesi tersebut menggunakan prednisone dan antihistamin (Ishibashi et al., 2009).
Sebuah kasus yang berpotensi fatal berupa reaksi anafilaksis terhadap� ������������������� orthoiodohippurane, radiofarmaka berlabel iodium 125 atau iodium 131 yang kadang digunakan untuk sidik ginjal, pernah dilaporkan 7 menit setelah pemberian radiofarmaka. Penderita menunjukkan gejala yang akut, kemerahan, mual, nyeri perut, gatal, sesak, takikardia, dan gangguan kesadaran. Reaksi alergi ini membaik dengan pemberian adrenalin dan kortikosteroid (St�ckel, Ennow, Kristensen, & R�dbro, 1983).
Reaksi alergi berupa eritema dan reaksi vasovagal pernah
dilaporkan pada penggunaan thallium
(Abuhanoglu & �zer, 2012).
Pencitraan hibrida dengan PET/CT atau PET/MRI menyiratkan akan kebutuhan terhadap agen kontras yang dapat meningkatkan terjadinya reaksi alergi pada pemeriksaan kedokteran nuklir. Hal ini membutuhkan staf yang dapat menangani reaksi alergi tersebut ketika terjadi dan keberadaan pedoman yang dapat digunakan oleh seluruh staf yang bekerja di departemen kedokteran nuklir. Reaksi alergi terhadap radiofarmaka PET yang dilaporkan masih rendah walaupun ada peningkatan pada penggunaan modalitas ini dan jumlah radiofarmaka yang tersedia (Hesse, Vinberg, Berthelsen, & Ballinger, 2012).
Codreanu et al melaporkan dua reaksi alergi yang terjadi pasca penggunaan radiofarmaka F-FDG secara intravena pada seorang laki-laki usia 59 tahun yang dirujuk dengan riwayat kanker sel skuamosa pada sinus piriformis kanan. Pasien tersebut dilakukan pemeriksaan PET/CT tanpa kontras. Setelah pemberian radiofarmaka, pada pasien timbul ruam tubuh, gatal, dengan papula kemerahan yang gatal pada wajah, dada, perut dan ekstremitas. Gejala ini membaik setelah ditangani oleh dermatologis. Semua penyebab lain dari pasien telah disingkirkan. Persiapan pencitraan berikutnya dengan premedikasi menggunakan prednisone mengakibatkan tidak adanya reaksi ini (Codreanu, Dasanu, Weinstein, & Divgi, 2013).
Laporan tentang reaksi alergi terhadap radiofarmaka terapeutik sangat jarang. Walaupun munculnya ROTD pada pemberian terapi ini dapat terjadi akibat efek deterministic dari radiofarmaka ini, hal ini berkaitan dengan besar radiasi yang diberikan dibandingkan akibat efek farmakologi.
Media kontras intravaskular yang digunakan untuk pencitraan diagnosis klinis termasuk media berbasis iodium dan gadolinium.
Berbagai macam kontras intravascular bervariasi dalam hal toksisitasnya tergantung dari pada viskositas, osmolaritas dan imunogenisitas. Media kontras dibagi menjadi
� Media kontras osmolaritas tinggi
� Media kontras osmolaritas rendah
� Media kontras iso-osmolar
Patogenesis dari reaksi yang merugikan tersebut kemungkinan melibatkan efek pada sel secara langsung, induksi enzim dan aktivasi komplemen, fibrinolitik, kinin, dan sistem lainnya (Siddiqui & Straube, 2017).
Reaksi terhadap agen kontras bisa akut dan tertunda reaksi idiosinkratik dapat berupa reaksi ringan, sedang dan berat. Mayoritas reaksi merugikan yang akut, non-renal dapat dipertimbangkan suatu reaksi idiosinkrasi dan dapat terjadi dalam 20 menit pasca pemberian kontras. Reaksi ringan berupa mual, muntah, kemerahan dan urtikaria. Reaksi sedang berupa muntah yang sering, urtikaria, bronkospasme, edema pada wajah dan laring dan serangan vasovagal. Reaksi berat berupa syok hipovolemik, henti jantung, edema paru dan kejang.
Reaksi non-idiosinkrasi termasuk bradikardia, hipotensi, reaksi vasovagal, neuropati, reaksi kardiovaskular, panas, rasa metalik pada lidah, sinkop dan kejang. Kontras berbahan dasar gadolinium digunakan untuk pemeriksaan MRI dan berhubungan����������������������������� dengan������������ berbagai���������� �������������������� resiko terjadinya sistemik fibrosis nefrogenik tergantung dari jenis kontras gadolinium yang digunakan, dan khususnya terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Broome��� DR������������������ et.al������������������ melaporkan kejadian nefrogenik sistemik fibrosis pada pengguanaan���������������������� ��������������� media������ kontras������ berbasis gadolinium pada pasien yang memiliki gangguan fungsi ginjal. Gejala sisitemik fibrosis nefrogenik yang ditimbul berupa pengerasan pada kulit secaar general mirip dengan scleroderma, dimana fibrosis dapat mengenai organ lainnya, hemodialisis 2 hari sebelum pemeriksaan tidak dapat mencegah� terjadinya�������� sistemik������������ fibrosis nefrogenik.������������������ Beberapa�������������������� ��������������� pasien tersebut menunjukkan���������������������������������������������������� abnormalitas�������������� ��������������� berupa peningkatan uptake pada kulit dan otot ekstremitas����������������������������� pada���� pencitraan������������������ dengan Technetium-99m HDP (Broome et al.,
2007).
Mayoritas reaksi hipersensistivitas terhadap radiofarmaka memerlukan sedikit atau tanpa pengobatan. Saat ini tidak ada protokol khusus untuk penatalaksanaan
reaksi hipersensitivitas terhadap radiofarmaka.
Premedikasi dengan prednisone 50 mg secara oral pada 13 jam, 7 jam dan 1 jam sebelum dilakukan prosedur. Jika pasien tidak bisa diberikan secara oral maka dapat menggunakan hidrokortison 200 mg secara IV pada 13 jam, 7 aam dan
1 jam sebelum prosedur. Pada keadaan emergensi hidrokortison 200 mg IV dapat diberikan 1 jam sebelum prosedur.
Mual dan muntah memerlukan penanganan suportif dan simptomatis. Jika urtikaria berat dapat diberikan antihistamin secara oral atau intravena. Pada bronkospasme, oksigen dengan masker, beta agonist inhaler dan adrenalin (1:1000, 0,2-0,3 ml i.m) dapat diberikan. Jika terdapat edema laring, oksigen dengan masker dan adrenalin (1;1000, 0.5 ml i.m) harus diberikan.
Bila terjadi hipotensi, elevasi kaki, beri oksigen dan infus cairan secara cepat, diutamakan normal saline atau ringer laktat. Jika tidak berespon adrenalin (1;1000, 0.5 ml i.m) harus diberikan.
Reaksi vasovagal (berupa hipotensi dan bradikardia) elevasi kaki dapat membantu diikuti dengan pemberian oksigen, cairan infus dan pemberian atropine (0.6-1.0 mg) intravena.
Dalam kasus reaksi anafilaktoid generalisata, panggil tim resusitasi, lanjutkan
dengan oksigen, suction, pemberian adrenalin (1;1000, 0.5 ml i.m) dan H1 bloker,
difenhidramine, 25-50 mg secara intravena.
Dengan meningkatnya penggunaan prosedur kedokteran nuklir baik untuk diagnosis maupun terapi, reaksi alergi terhadap radiofarmaka, walaupun jarang, dapat terjadi dan harus diketahui oleh staf kedokteran nuklir untuk memastikan diagnosis dan penanganan lebih dini.
Protokol pengobatan untuk penatalakasanan reaksi alergi harus diletakkan ditempat untuk mengurangi morbiditas dan kemungkinan terjadi keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Tindakan profilaksis, pada orang alergi, dengan premedikasi dapat diberikan sebelum diberikan kepada pasien. Dokumentasi dan melaporkan kejadian reaksi merugikan ini pada pihak berwenang dan pabrik pembuat penting untuk farmakovigilansi dan kesadaran akan kemungkinan terjadinya reaksi alergi terhadap permberian radioafarmaka tersebut.
Abuhanoglu, G�rhan, & �zer, A. Yekta. (2012). Adverse Reactions To Radiopharmaceuticals. Fabad Journal Of Pharmaceutical Sciences, 37(1), 43. Google Scholar
Atkins, H. L., Hauser, W., Richards, P., & Klopper, J. (1972). Adverse Reactions To Radiopharmaceuticals. Journal Of Nuclear Medicine, 13(3), 232�233. Google Scholar
Broome, Dale R., Girguis, Mark S., Baron, Pedro W., Cottrell, Alfred C., Kjellin, Ingrid, & Kirk, Gerald A. (2007). Gadodiamide-Associated Nephrogenic Systemic Fibrosis: Why Radiologists Should Be Concerned. American Journal Of Roentgenology, 188(2), 586�592. Google Scholar
Chicken, Dennis W., Mansouri, Reza, Ell, Peter J., & Keshtgar, Mohammed R. S. (2007). Allergy To Technetium-Labelled Nanocolloidal Albumin For Sentinel Node Identification. Annals Of The Royal College Of Surgeons Of England, 89(2), W12. Google Scholar
Codreanu, Ion, Dasanu,
Constantin A., Weinstein, Gregory S., & Divgi, Chaitanya. (2013). Fluorodeoxyglucose- Induced
Allergic Reaction: A Case Report. Journal Of Oncology
Pharmacy
Practice, 19(1), 86�88. Google Scholar
Gell, Philip George Houthem, & Coombs, Robin Royston Amos. (1963). Clinical Aspects Of Immunology. Clinical Aspects Of Immunology. Google Scholar
Hesse, Birger, Vinberg, N., Berthelsen, A. K., & Ballinger, J. R. (2012). Adverse Events In Nuclear Medicine�Cause For Concern? Springer. Google Scholar
Ishibashi, Naoya, Abe, Katsumi, Furuhashi, Satoru, Fukushima, Shoko, Yoshinobu, Takashi, Takahashi, Motoichiro, Matsumoto, Chiyuki, Fukuda, Kyoko, Kobayashi, Takayuki, & Mochizuki, Norisuke. (2009). Adverse Allergic Reaction To 131 I Mibg. Annals Of Nuclear Medicine, 23(7), 697�699. Google Scholar
Keeling, D. H. (1998). Untoward Reactions. In Clinical Nuclear Medicine (Pp. 587� 599). Springer. Google Scholar
Lieberman, Phillip, Nicklas, Richard A., Randolph, Christopher, Oppenheimer, John, Bernstein, David, Bernstein, Jonathan, Ellis, Anne, Golden, David B. K., Greenberger, Paul, & Kemp, Steven. (2015). Anaphylaxis�A Practice Parameter Update 2015. Annals Of Allergy, Asthma & Immunology, 115(5), 341�384. Google Scholar
Organization, World Health. (2002). Safety Of Medicines: A Guide To Detecting And Reporting Adverse Drug Reactions: Why Health Professionals Need To Take Action. World Health Organization. Google Scholar
Saha, Gopal B., & Saha, Gopal B. (2010). Fundamentals Of Nuclear Pharmacy (Vol. 6). Springer. Google Scholar
Salvatori, Massimo, Treglia, Giorgio, & Mores, Nadia. (2012). Further Considerations On Adverse Reactions To
Radiopharmaceuticals.��������� European Journal Of Nuclear Medicine And Molecular Imaging, 39(8), 1360�1362. Google Scholar
Shani, Jashovam, Atkins, Harold L., & Wolf, Walter. (1976). Adverse Reactions To Radiopharmaceuticals. Seminars In Nuclear Medicine, 6(3), 305�328. Elsevier. Google Scholar
Siddiqui, N., & Straube, A. (2017). Intracellular Cargo Transport By Kinesin-3 Motors. Biochemistry (Moscow), 82(7), 803�815. Google Scholar
Silberstein, Edward B. (2014). Prevalence Of Adverse��������� Events� To Radiopharmaceuticals From 2007 To 2011. Journal Of Nuclear Medicine, 55(8), 1308�1310. Google Scholar
Silindir, Mine, & Ozer, A. Y. (2008). Adverse Reactions To Radiopharmaceuticals (Arrp): Particularly To Technetium Radiopharmaceuticals. Fabad J Pharm Sci, 33, 109�117. Google Scholar
St�ckel, Mikael, Ennow, Klaus, Kristensen, Knud, & R�dbro, Paul. (1983). Anaphylactic��� Reaction��������� To Orthoiodohippurate. European Journal Of Nuclear Medicine, 8(2), 89�90. Google Scholar
Copyright holder: Raden ErwinAffandi dan Khadafi (2021) |
First publication right: Jurnal Health Sains |
This
article is licensed under: |