Jurnal Health Sains: p�ISSN:
2723-4339 e-ISSN:
2548-1398�����
Vol. 2, No. 4, April 2021
IMPLEMENTASI CLINICAL PATHWAY APPENDICITIS AKUT DI
RUMAH SAKIT UMUM MITRA SEJATI KOTA MEDAN TAHUN 2019
Rachmawati
Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia
Email: [email protected]
artikel info |
abstract |
Tanggal diterima:
5 April 2021 Tanggal revisi:
15 April 2021 Tanggal yang disetujui: 25 April 2021 |
Clinical pathway is a series of structured medical
services and must comply with existing standards. The existence of structured
services, hospital services can be maintained to remain quality. The
implementation of clinical pathways in hospitals is also inseparable from
various obstacles, obstacles and commitments to continue implementing
clinical pathways. Therefore, the implementation of clinical pathay must remain in evaluation in order to run well.
This study aims to explore how communication, resources, disposition and
bureaucratic structure in the implementation of acute clinical pathway
appendicitis at Mitra Sejati General Hospital Medan
in 2019. This type of research is qualitative research with phenomenological
approach. The number of research samples as many as 6 informants obtained by
using purposive sampling. The instruments in this study were medical records
of acute appendicitis patients and questionnaires. The data obtained in this
study were analyzed using colaizzi method. The
results showed that the socialization of acute clinical pathway appendicitis
has not been running optimally, Lack of resources that support the
implementation of acute clinical pathway appendicitis, Lack of commitment in
the implementation of acute clinical pathway appendicitis in hospitals,
Bureaucratic structure in supporting the implementation of acute clinical
pathway appendicitis has not been optimal. In general, the assessment of
clinical pathway implementation in Mitra Sejati
Kota Medan Hospital is good enough and only needs to be evaluated such as
socialization or regular training, compliance in filling clinical pathway sheetss. ABSTRAK
Clinical pathway adalah sebuah rangkaian pelayanan medis terstruktur dan harus sesuai dengan standar yang telah ada. Adanya pelayanan
yang terstruktur maka pelayanan dirumah sakit dapat dijaga
agar tetap berkualitas. Pelaksanaan clinical
pathway di rumah sakit
juga tidak terlepas dari berbagai kendala, hambatan serta komitmen untuk terus melaksanakan
clinical pathway.� Maka dari itu implemetasi
clinical pathay harus tetap di evaluasi agar berjalan dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi didalam implementasi clinical
pathway appendicitis akut di Rumah Sakit Umum
Mitra Sejati Kota Medan tahun
2019. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Jumlah sampel penelitian sebanyak 6 informan diperoleh dengan menggunakan purposive sampling. Instrumen
dalam penelitian ini adalah rekam medik pasien
appendicitis akut dan kuesioner. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode Colaizzi.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sosialisasi clinical
pathway appendicitis akut belum
berjalan dengan
optimal,� kurangnya
sumber daya yang mendukung implementasi clinical pathway appendicitis akut, kurangnya komitmen dalam implementasi clinical
pathway appendicitis akut di rumah sakit, struktur birokrasi dalam mendukung implementasi clinical
pathway appendicitis akut belum
optimal. Secara umum, penilaian implementasi clinical pathway di RSU Mitra Sejati Kota medan sudah cukup baik
dan hanya perlu dilakukan evaluasi seperti sosialisasi ataupun pelatihan yang teratur, kepatuhan dalam pengisian lembaran clinical pathway. |
Keywords: Implementation of acute Clinical pathways; communication; resources,
disposition; bureaucratic structure Kata Kunci: implementasi clinical pathway akut;
komunikasi; sumberdaya; disposisi; struktur birokrasi |
Pendahuluan
����������� Clinical
pathway merupakan pelayanan terintegrasi dari para profesional di bidang kesehatan yang ada di rumah sakit (Du et
al., 2013). Clinical pathway merupakan bagian penting dokumen dan tools
dalam mewujudkan good clinical govermance
di rumah sakit. Dokumen ini, di indonesia menjadi salah syarat yang harus dipenuhi dalam standar akreditasi rumah sakit versi
Komite Akreditsi Rumah Sakit (KARS) 2012. Clinical pathway menjadi
salah satu instrumen yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dengan mengurangi variasi pelayanan, efisiensi sumber
daya dan menyediakan standar pelayanan kesehatan bermutu di rumah sakit. Clinical pathway adalah sebuah rangkaian pelayanan medis terstruktur dan harus sesuai dengan standar
yang telah ada. Adanya pelayanan yang terstruktur maka pelayanan di rumah sakit dapat dijaga
agar tetap berkualitas (Meo,
2015).
Penerapan/implementasi dan pendokumentasian clinical
pathway di berbagai rumah
sakit tidak terlepas dari berbagai
masalah, salah satunya adalah kurangnya komitmen dan tanggung jawab dalam pengisian
dan pelaksaanan clinical
pathway. Menjadi pertanyaan besar dalam implementasi
pelayanan kesehatan di rumah sakit di Indonesia ialah bagaimana agar clinical pathway dapat
berperan secara optimal dalam kendali mutu dan
kendali biaya di rumah sakit serta bukan hanya sekedar dokumen kertas yang
menjadi prasyarat akreditasi (Paat & Green, 2017).�
������ Menurut
George C Edward III dalam (Hasnul
et al., 2004) bahwa
faktor yang memengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu implementasi adalah: 1) sumber daya. Sumber
daya yang dimaksud adalah satu hal
yang sangat penting dalam mengimplementasikan clinical pathway; 1) Komunikasi,
yang dimaksud dengan komunikasi adalah cara seseorang memberikan informasi terhadap satu yang lainnya seperti komunikasi antara pembuat clinical
pathway dengan implementator
clinical pathway agar implementasi clinical pathway dapat
berjalan dengan efektif 2) Sumber daya tersebut dapat
berupa sumber daya manusia, sarana
dan prasarana. 3) Disposisi,
yang dimaksud disposis adalah sikap yang harus dimiliki implementator clinical pathway seperti
kejujuran, kepatuhan dan komitmen. 4) Struktur birokrasi. Tugas- tugas yang dikelompokkan sesuai dengan wewenang
yang telah ditentukan.
Salah satu penyakit
yang termasuk dalam clinical pathway adalah
apendisitis, dikarenakan apendisitas memiliki gejala klinis yang cukup sulit. Penegakan
diagnosis apendisitis akut terkadang sulit untuk dilakukan, meskipun oleh dokter yang berpengalaman (Guo et al., 2016). Pelaksanaan clinical pathway di rumah sakit juga tidak terlepas dari berbagai
kendala, hambatan serta komitmen untuk terus melaksanakan
clinical pathway. Maka
dari itu implemetasi clinical pathay harus tetap di evaluasi agar berjalan dengan baik (Alfajri
& Nurmastuti, 2017).
Penelitian ini
bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi didalam implementasi clinical pathway appendicitis akut di Rumah Sakit
Umum Mitra Sejati Kota
Medan tahun 2019.
Metode Penelitian
1.
Lokasi dan Sampel
Penelitian ini
dilaksanakan di
Rumah Sakit Umum Mitra Sejati Medan. Informan dalam penelitian
ini diambil secara purposive
sampling. Jumlah Informan
dalam penelitian ini adalah enam
orang terdiri dari Kepala Bidang Pelayanan
Medik, Kepala Bidang Case Manager, Dokter SMF bagian Bedah, Kepala
Perawat/perawat pelaksana bagian bedah, Tenaga Gizi dan Tenaga Farmasi.
2. Analisis Data
Pengumpulan
data dilakukan dengan wawancara langsung yang dilakukan terhadap responden penelitian yang berpedoman pada pertanyaan-pertanyaan
di kuesioner penelitian
yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Analisis data penelitian
ini menggunakan metode Colaizzi.
Hasil dan Pembahasan
1. Sosialisasi Clinical Pathway Appendictis akut belum berjalan
dengan optimal.
Sosialisasi merupakan
salah satu bentuk komunikasi dalam clinical pathway. Pada tahap sosialisasi, komunikasi antar semua pihak yang terlibat dalam implementasi clinical
pathway merupakan faktor
penting pada keberhasilan pelaksanaan clinical pathway. Semua
staff yang terkait implementasi
clinical pathway harus
memahami peran pentingnya masing-masing dalam keberhasilan clinical
pathway dan pentingnya keberhasilan
clinical pathway bagi
operasional rumah sakit (Nikmah
et al., 2017).
Sosialisasi di RSU Mitra Sejati umumnya dilaksanakan 3 bulan sekali bahkan tidak
menentu. Bentuk sosialisasi clinical pathway dilakukan
secara gabungan antara semua pihak
terlibat seperti Dokter Penanggung Jawab (DPJP), case manager, perawat
dan staf medis lain. Sosialisasi clinical pathway di RSU Mitra Sejati belum berjalan
optimal dikarenakan adanya beberapa kendala seperti waktu sosialisasi
yang tidak menentu, jumlah staf medis
ataupun dokter yang hadir tidak banyak
dan juga tidak adanya pelatihan khusus clinical pathway agar sosialisasi berjalan dengan baik .
Penelitian di atas
sesuai dengan penelitian yang dilakukan (Widyanita
et al., 2016) di RSU Dr. fauziah Bireun 2019 didapatkan bahwa kurangnya partisipasi petugas kesehatan dengan� sosialisasi clinical pathway oleh tenaga
kesehatan terkait (dokter, perawat, farmasi dan gizi). Hal ini di buktikan dengan banyaknya petugas kesehatan terkait yang tidak hadir pada saat sosialisasi clinical
pathway, sehingga banyak
diantara mereka yang tidak mengerti terhadap pentingnya penerapan clinical
pathway terhadap peningkatan
mutu. Di dalam penelitian ini terdapat dua sub tema yaitu waktu
pelaksanaan sosialisasi
yang tidak menentu dan jumlah staf medis
dan dokter yang hadir saat sosialisasi sedikit, seperti terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel
1
Sosialiasi belum berjalan dengan optimal
Kategori |
Sub
Tema |
Tema |
l Sosialisasi tidak di sampaikan oleh ahlinya |
l Waktu pelaksanaan Sosialisasi yang
tidak menentu |
Sosialisasi clinical pathway appendicitis akut
belum berjalan dengan optimal |
l Tidak pernah dilakukan pelatihan Hanya sosialisasi, Sosialisasi di sampaikan oleh dokter rumah sakit juga |
l Jumlah staf medis dan dokter yang hadir saat sosialisasi
sedikit |
|
l Waktu nya tidak menentu |
|
|
l Peserta sosialisasi
yang hadir sedikit |
|
|
2.
Waktu
pelaksanaan Sosialisasi
yang tidak menentu
Sosialisasi pada RSU Mitra Sejati sampai saat
ini dilaksanakan dengan waktu yang tidak menentu, sosialiasi bisa dilaksanakan kapan saja sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi di lapangan. Sosialisasi cara pengisian Clinical pathway oleh orang yang ahli dan didatangkan ke rumah sakit
belum pernah dilakukan. Sosialisasi hanya berbentuk komunikasi yang di sampaikan oleh
dokter yang telah mendapatkan pelatihan. Sosialisasi
bisa dilakukan dalam waktu 3 sampai 6 bulan sekali, tergantung pihak komite
medik kapan akan melaksanakan sosialisasi.
Banyak informan mengatakan bahwa pentingnya sosialisasi dilakukan agar seluruh dokter mengetahui tentang pentingnya clinical
pathway ini diterapkan dengan baik di rumah sakit. Seharusnya
rumah sakit melakukan pelatihan agar mereka melakukan sesuai yang ditentukan di dalam clinical pathway. Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Nuthea,
2019) bahwa
workshop atau pelatihan dapat meningkatkan pengetahun dan berpengaruh terhadap akurasi penulisan laporan secara lengkap, dengan demikian diharapkan dokter yang telah mendapatkan pelatihan tentang clinical
pathways di harapkan dapat mengisi dan menjalankan clinical
pathway yang telah di tetapkan
oleh rumah sakit. dengan di adakan nya pelatihan maka
dokter di rumah sakit
3. Jumlah staf medis ataupun dokter
yang hadir saat sosialisasi sedikit.
Sosialisasi yang dilakukan
oleh pihak rumah sakit terakhir kali 3 bulan terakhir dan penentuan waktu sosialisasi di tetapkan oleh komite medik. Menurut
Permenkes RI No 2052 tahun
2011 bahwa dokter boleh melakukan praktik di tiga tempat baik itu
rumah sakit milik pemerintah, swasta maupun praktik
mandiri. Berdasarkan permenkes ini banyak
dokter yang bekerja lebih dari satu
rumah sakit, sehingga waktu mereka harus dibagi
dengan beberapa tempat kerja mereka.
Hal inilah yang menyebabkan
ketika dilakukan sosialisasi terkait clinical
pathways banyak dokter yang
berhalangan hadir. Rendahnya tingkat kehadiran saat sosialisasi menyebabkan tidak semua dokter
mengetahui tentang clinical
pathway tersebut. Hal tersebut
juga didukung oleh (Burns
& Groove, 2014) yang menyatakan
bahwa salah satu penyebab gagalnya pelaksanaan clinical
pathway adalah kurangnya
keterlibatan dokter.
Menurut
penelitian yang dilakukan (Astuti et al., 2017) yang berjudul evaluasi
implementasi clinical
pathway section caesarea di RSUD panembahan Senopati Bantul, hasil penelitiannya menujukkan bahwa ada 6 hambatan yang paling banyak dirasakan oleh petugas dalam penerapan
implementasi clinical pathway. Beberapa
hal yang menjadi hambatan adalah sebagai berikut: kurangnya sosialisasi tentang cara pengisian
form clinical pathway, tidak adanya
pertemuan rutin untuk membahas perkembangan implementasi
clinical pathway dan tidak semua
staf mengikuti pelatihan mengenai materi clinical pathway.
4. Kurangnya Sumber daya
yang mendukung implementasi
clinical pathway appendicitis akut
Sumber daya rumah
sakit terdiri dari tenaga kesehatan
dan non kesehatan. Sumber daya merupakan salah satu hal yang sangat
penting dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan. Implementasi tidak akan berjalan
dengan baik dan efektif walaupun isi kebijakan sudah
dikomunikasikan secara jelas dan konsisten apabila implementator kekurangan sumber daya. Tanpa sumber
daya, kebijakan hanya tinggal diatas
kertas dan hanya menjadi dokumen saja. Sumber daya
tersebut dapat berwujud sumber daya manusia yaitu
implementator dan sumber daya finansial, sarana prasarana serta fasilitas-fasilitas atau infrastruktur.
Belum
berjalan nya clinical pathway dengan baik sepenuhnya disadari oleh dokter dan
paramedis lainnya. Mereka menyadari pentingnya penerapan clinical pathway mempengaruhi mutu pelayanan rumah sakit.
Pelaksanaan clinical pathway yang
baik tidak terlepas dari ketersediaan sarana dan prasarana yang disediakan oleh
rumah sakit. Proses pengobatan diagnosa penyakit melibatkan banyak bidang
pelayanan terkait, seperti farmasi, perawat, dokter umum, tenaga labor, gizi
dan lainnya. Selain tenaga kesehatan, prasarana juga mempengaruhi untuk
pelaksanaan clinical pathway. Terdapat dua sub tema yaitu sumber daya yaitu kurangnya ketersediaan sumber daya
manusia dalam pelaksanaan audit program clinical
pathway dan kurangnya
fasilitas untuk mendukung program clinical
pathway seperti pada tabel
dibawah ini :
Tabel
2
Kurangnya Sumber Daya Yang Mendukung Implementasi Clinical
Pathway
Kategori |
Sub Tema |
Tema |
Sumber daya
sudah masih kurang |
Kurangnya ketersediaan
sumber daya manusia dalam pelaksanaan audit program clinical pathway |
Kurangnya Sumber
daya yang mendukung implementasi clinical pathway appendicitis akut |
Tim audit khusus
clinical pathway tidak ada |
Kurangnya ketersediaan
sarana dan prasarana untuk mendukung program
clinical pathway |
|
Belum terlaksananya
pelatihan dan pendidikan khusus� terkait clinical pathway |
|
|
Alat kesehatan
untuk menegakkan diagnosa sudah tersedia |
|
|
Ketersediaan sarana
dan prasarana pendukung |
|
|
5. Kurangnya sumber daya manusia dalam pelaksanaan
audit program clinical pathway.
Kecukupan sumber daya manusia
menjadi salah satu tolak ukur untuk pencapaian mutu pelayanan. Dengan cukupnya tenaga juga turut
mengurangi stres karyawan. �Sumber daya
kesehatan telah tersedia dengan cukup. Kendala yang sering dihadapi adalah saat
pegawai ada yang keluar dari pekerjaan atau resign yang membuat pelayanan agak
terganggu, tetapi hal ini tidak berlangsung lama karena pihak manajemen segera
mencari pengganti.
Selain seringnya pegawai keluar
masuk, hal lain yang menjadi hambatan adalah tidak adanya tim audit tentang
pelaksanaan clinical pathway. Tim
audit berfungsi untuk menilai kinerja seorang dokter baik itu kepatuhan tentang
pengisian lembarannya maupun kepatuhan tentang pemberian obat yang diberikan
kepada pasien. Tim audit itu bisa dari pihak komite medik ataupun pihak kendali
mutu. Selama ini apabila seorang dokter tidak mengisi lembaran clinical pathway maka tim komite medik
yang melengkapi dokumen tersebut. Seharusnya selain melengkapinya
pihak komite medik harus memberikan teguran kepada dokter yang bersangkutan
agar kedepannya bekerja sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
6. Kurangnya komitmen dalam implementasi clinical pathway di rumah
sakit.
Komitmen adalah
upaya penyatuan persepsi dan kesepakatan, serta tekad bersama
untuk mencapai sebuah tujuan. Pembentukan komitmen organisasi sangat diperlukan dalam penerapan clinical
pathway di rumah sakit.
Dengan adanya komitmen dari seluruh
pegawai baik dari pimpinan sampai
dengan bawahan akan sangat mempengaruhi
sikap dari seluruh pegawai di rumah sakit dan tindakan dalam implementasi kebijakan tersebut.
Upaya peningkatan
mutu di rumah sakit dapat dilaksanakan
secara efektif melalui clinical governance yang meliputi
adanya komitmen, meingkatkan mutu pelayanan dan asuhan pasien secara berkesinambungan,
memberikan pelayanan yang berfokus pada pasien dan mencegah terjadinya clinical
medical error. Clinical Pathway (CP) merupakan bagian penting dokumen dan alat dalam mewujudkan
good clinical governance di rumah sakit, dan menjadi syarat
dalam penilaian akreditasi rumah sakit. CP adalah perangkat pendokumentasian terintegrasi untuk menstabilkan proses perawatan pasien, yang secara efektif mengelola hasil perhitungan klinik dan hasil dari praktik kolaboratif
serta pendekatan tim. Setiap tindakan
yang dilakukan terhadap pasien seharusnya harus mengikuti dan dilakukan sesuai dengan CP yang telah di tetapkan oleh rumah sakit. Tetapi pada pelaksanaannya masih terdapat beberapa dokter yang tidak menjalankan sesuai dengan CP yang telah ditetapkan dan kurangnya komitmen dalam pelaksanaan clinical pathway merupakan
salah satu hambatan dalam implementasi tersebut. Terdapat dua sub tema tentang
hambatan apa saja yang terjadi saat pelaksanaan, seperti terlihat pada tabel dibawah ini:
Tabel
3
Kurangnya Komitmen Dalam Implementasi Clinical Pathway Di Rumah
Sakit
Kategori |
Sub Tema |
Tema |
Tidak memberikan terapi sesuai dengan yang telah ditetapkan |
Kepatuhan dokter dalam
memberikan terapikurang sesuai dengan clinical
pathway |
Kurangnya komitmen
dalam implementasi clinical pathway di rumah sakit. |
Clinical
pathway yang Tidak lengkap diisi oleh dokter� Lembaran� linical pathway lupa di isi |
Lembaran Clinical Pathway tidak diisi secara lengkap |
|
Jumlah pasien
yang banyak |
|
|
7. Kepatuhan
dokter dalam memberikan terapi kurang sesuai
dengan clinical pathway
Sesuai dengan
tujuan dari clinical pathway menurut
(Depkes,
2010) adalah
memilih tatanan terbaik dari berbagai
pola praktek yang ada dalam suatu
penyakit dan membuat rangkuman garis besarnya.
Clinical pathway dibuat agar pengobatan
yang diberikan kepada pasien sesuai dengan
standar baik itu lama pemberian layanan medis, penggunaan fasilitas klinis dan prosedur lainnya.
Menurut hasil
observasi yang dilakukan
oleh penulis bahwa jadwal visite yang dilakukan oleh dokter memang tidak dilakukan
di jam yang sama. Hal ini disebabkan oleh kesibukan lain
yang dilakukan oleh dokter
yang bersangkutan. Variasi terapi yang dilakukan oleh (Wijayanti & Wajdi, 2016) bahwa salah satu kendala
yang dihadapi adalah kepatuhan dokter yang masih kurang. Penelitian
lain yang dilakukan oleh (Sari, 2018) di rumah sakit
Anak dan Bunda Harapan Kita pada tahun
2016 bahwa ada 41 % obat yang diberikan kepada pasien tidak
sesuai dengan clinical pathway. Seharusnya pihak rumah
sakit mencari alasan penyebab dokter tidak memberikan terapi yang sesuai dan
telah disepakati bersama sehingga kesalahan yang sama tidak terjadi lagi.
8.
Lembaran
Clinical Pathway tidak
diisi secara lengkap.
Format Clinical Pathway
tidak selalu sama karena tergantung
dari jenis penyakit. Setiap lembaran CP harus lah di isi secara
lengkap oleh masing-masing pemberi
pelayanan termasuk dokter, tetapi pada kenyatannya masih ada dokter yang tidak mengisi dengan
lengkap. Dari
pernyataan informan dapat dimaknai bahwa lembaran CP tidak di isi oleh dokter yang bersangkutan, karena kesibukan dokter dan jumlah pasien yang banyak sehingga dokter tidak mempunyai waktu untuk mengisi
lembaran clinical pathway. Lembaran
clinical pathway yang tidak diisi oleh dokter akhirnya diisi oleh komite medik.
9.
Struktur birokrasi yang mendukung implementsi clinical
pathway
Struktur birokasi yang bertugas mempunyai pengaruh yang signifikaan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu aspek struktur
yang paling penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur
yang standar (standart operating
procedure) dan melaksanakan koordinasi
berjenjang.
Rumah sakit
membuat clinical
pathway berdasarkan kondisi
dan kebutuhan di rumah sakit itu sendiri.
Tidak semua penyakit di buat clinical pathway
oleh rumah sakit. Rumah sakit umum
Mitra Sejati setidaknya mempunyai sekitar 10 jenis clinical
pathway yang telah disusun,
tetapi yang benar-benar telah diterapkan ada lima penyakit dan ada dasar- dasar
pemilihannya. Terdapat dua sub tema yaitu
dasar pemilihan penyakit untuk pembuatn clinical pathway dan proses terbentuknya
cinical pathway seperti
yang terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4
Struktur Birokrasi Yang Mendukung
Implementasi Clinical Pathway Appendicitis Akut
Kategori |
Sub Tema |
Tema |
Penyusunan clinical pathway tidak
semua diagnose penyakit� mempunyai Clinical pathway Sepuluh
penyakit terbesar yang dibuatkan clinical pathway.Hanya
lima penyakit yang sudah berjalan |
�Dasar pemilihan penyakit untuk pembuatan clinical
pathway |
Struktur birokrasi
yang mendukung implementsi
clinical pathway. |
Penentuan topik
berdasarkan kasus jumlah terbanyak, resiko tertinggi dan biaya tertinggi dan problem
prone |
Proses terbentuk
nya clinical
pathway |
|
Pembuatan format clinical pathway dibuat berdasarkan standar medis nasional |
Penerapan SOP |
|
Rapat dengan seluruh tim yang terlibat |
|
|
Sop sudah di
jalankan sesuai dengan prosedur |
|
|
10.
Dasar pemilihan
penyakit untuk pembuatan clinical pathway.
Terbentuk nya
clinical pathway suatu
diagnose penyakit membutuhkan
proses yang panjang dan memakan
waktu yang tidak sebentar, hal ini
lah yang menyebabkan tidak semua diagnose penyakit di rumah sakit terdapat clinical pathway.
Oleh karena
itu rumah sakit hanya memiliki
10 clinical pathway dan yang benar�benar diterapkan
hanya lima penyakit yaitu appendicitis, tipoid, DBD,
fraktur dan stroke dengan baik.
Walaupun rumah sakit telah mempunyai
10 diagnosa yang telah mempunyai clinical
pathway, tetapi yang di jalankan
hanya lima penyakit saja. Pemilihan topik pada rumah sakit berdasarkan high risk, high volume, high cost dan
problem prone.
Dari pernyataan
informan dapat diketahui bahwa alasan pemilihan penyakit yang dibuat cinical pathway adalah
tingginya angka kejadian penyakit tersebut di rumah sakit dan salah satunya adalah appendicitis akut. Penyakit ini merupakan
penyakit yang jumlah penderitanya banyak dan termasuk 10 penyakit besar yang dilakukan tindakan operasi di rumah sakit. Di Indonesia sendiri appendicitis merupakan penyakit terbanyak yang harus mendapatkan penanganan kegawat daruratan yang jika tidak ditangani dengan cepat akan
menyebabkan komplikasi bahkan kematian.
Banyaknya jumlah
kasus appendicitis
menjadi penyebab bahwa appendicitis
harus di buatkan clinical pathway. Karena penyakit ini harus
mendapatkan penanganan yang
cepat.� Karena dengan adanya clinical pathway seorang
pasien lebih pasti untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan baik itu terapi
yang mereka dapatkan seperti jenis obat,
jumlah hari rawatan dan tindakan apa saja yang mereka
terima. Dengan kata lain penerapan clinical
pathway yang telah berjalan
dengan baik akan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.
11. Proses
terbentuknya clinical pathway
Prinsip
pertama dalam pembuatan clinical pathway haruslah fokus kepada pasien dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan pasien. Setelah itu harus melibatkan seluruh
tim yang memberikan pelayanan kesehatan. Seluruh tim
kesehatan yang turut andil memberikan pelayanan terhadap pasien turut serta
dalam membentuk clinical
pathway, baik itu dokter yang terlibat, perawat, ahli gizi,
farmasi dan lain-lain. Hal ini sudah
dilakukan oleh pihak rumah sakit yaitu bermula dari
pedoman praktek klinis (PPK) yang telah disepakati oleh seluruh tim
dan menjadi dasar pembentukan
suatu clinical
pathway. Setelah ada formulir
barulah diadakan rapat oleh medis dan paramedic
yang berkaitan dengan suatu penyakit tersebut.
Pada umumnya
informan telah mempunyai persepsi yang sama bagaimana proses terbentuknya suatu proses cinical pathway di rumah
sakit, yaitu dengan menentukan topic utama atau diagnose penyakit apa yang harus dibuat clinical pathway nya. Dasar pemilihan topik adalah jumlah diagnose penyakit yang paling banyak membutuhkan pelayanan kesehatan. Setelah penentuan
topic barulah di mulai untuk penyusunan format clinical pathway dengan
melibatkan pihak-pihak yang
terlibat dalam memberikan pelayanan kepada pasien. selain itu pemilihan
topic untuk dijadikan clinical pathway berdasarkan
resiko terbanyak/highrisk, high volume atau jumlah kasus terbanyak
dan high cost atau yang menelan
biaya. Hal ini telah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku bahwa jumlah
angka kejadian yang tinggi menjadi sarat untuk pembentukan
clinical pathway.
12.
Penerapan SOP
Standar operasional prosedur merupakan standar atau
pedoman yang harus dilakukan oleh petugas kesehatan baik medis maupun paramedis
untuk memberikan pelayanan. Tujuan pembuatan SOP adalah untuk menjelaskan
perincian atau standar yang tetap mengenai aktivitas pekerjaan yang
berulang-ulang yang diselenggarakan dalam suatu organisasi. SOP yang baik
adalah SOP yang mampu menjadikan arus kerja yang lebih baik, menjadi panduan
untuk karyawan baru, penghematan biaya, memudahkan pengawasan, serta
mengakibatkan koordinasi yang baik antara bagian-bagian yang berlainan dalam
perusahaan. Pentingnya
penerapan SOP untuk peningkatan mutu dan juga untuk melindungi petugas itu
sendiri dari jeratan hukum.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis maka di temukan empat tema yaitu
Sosialisasi clinical
pathway appendicitis akut belum
berjalan dengan optimal, Kurangnya sumber daya yang mendukung implementasi clinical
pathway appendicitis akut, Kurangnya
komitmen dalam implementasi clinical
pathway appendicitis akut di rumah
sakit,� Struktur birokrasi dalam mendukung implementasi clinical
pathway appendicitis akut belum
optimal. Penilaian implementasi
clinical pathway di RSU Mitra Sejati Kota medan sudah cukup baik
dan hanya perlu dilakukan beberapa evaluasi seperti sosialisasi ataupun pelatihan yang teratur, kepatuhan dalam pengisian lembaran clinical
pathway dan tim audit untuk
clinical pathway.� Tidak
ada tim khusus
dalam mengaudit clinical
pathway. Sosialisasi clinical pathway dirumah sakit masih kurang,
sehingga pelaksaan implementasi di dalam hal komunikasi mengalami kendala. Sosialisasi yang kurang juga menyebabkan kurangnya pengetahuan dan komitmen dalam implementasi clinical pathway.
BIBLIOGRAFI
Alfajri,
N. Z., & Nurmastuti, H. (2017). Implementasi Case Management System Di
Rumah Sakit. Ugm Press. Google Scholar
Astuti,
Y. D., Dewi, A., & Arini, M. (2017). Evaluasi Implementasi Clinical Pathway
Sectio Caesarea Di Rsud Panembahan Senopati Bantul. Jmmr (Jurnal
Medicoeticolegal Dan Manajemen Rumah Sakit), 6(2), 97�111. Google Scholar
Burns,
E., & Groove, W. (2014). Research Method. Ergonomics, 32(3),
237�248. Google Scholar
Depkes,
R. I. (2010). Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Depkes Ri. Google Scholar
Du,
G., Liang, R., Wang, L., Li, K., Zhang, W., Wang, G., & Dong, X. (2013).
Large Stable Strain Memory Effect In Poled Mn-Doped Pb (Mn1/3sb2/3) O3-Pb (Zr,
Ti) O3 Ceramics. Applied Physics Letters, 102(16), 162907. Google Scholar
Guo,
C., Xie, S., Chi, Z., Zhang, J., Liu, Y., Zhang, L., Zheng, M., Zhang, X., Xia,
D., & Ke, Y. (2016). Bile Acids Control Inflammation And Metabolic Disorder
Through Inhibition Of Nlrp3 Inflammasome. Immunity, 45(4),
802�816. Google Scholar
Hasnul,
B., Darwin, M., & Subarsono, A. (2004). Pelayanan Yang Berorientasi
Pelanggan Di Rsud Propinsi Riau= Customer Oriented Service In The Public Local
Hospital Of Riau Province. Sosiosains, 17(2004). Google Scholar
Meo,
M. Y. (2015). Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Keperawatan Dengan
Integrated Clinical Pathway Untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan. Jurnal
Manajemen Keperawatan, 3(1), 48�55. Google Scholar
Nikmah,
Z. C., Slamet, W., & Kristanto, B. A. (2017). Aplikasi Silika Dan Naa
Terhadap Pertumbuhan Anggrek Bulan (Phalaenopsis Amabilis L.) Pada Tahap
Aklimatisasi. J. Agro Complex, 1(3), 101�110. Google Scholar
Nuthea,
M. (2019). Pengaruh Pelatihan (Bimbingan Teknis Implementasi Program
Peningkatan Mutu) Terhadap Pengetahuan Dan Ketepatan Pengisian Dokumen Mutu
Keperawatan Di Rsia Puri Bunda. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, 4(4),
355�362. Google Scholar
Paat,
Y.-F., & Green, R. (2017). Mental Health Of Immigrants And Refugees Seeking
Legal Services On The Us-Mexico Border. Transcultural Psychiatry, 54(5�6),
783�805. Google Scholar
Sari,
F. (2018). Metode Dalam Pengambilan Keputusan. Deepublish. Google Scholar
Widyanita,
A., Arini, M., & Dewi, A. (2016). Evaluasi Implementasi Clinical Pathway
Appendicitis Akut Pada Unit Rawat Inap Bagian Bedah Di Rud Panembahan Senopati
Bantul (Studi Kasus). Doctoral Disertatio, Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta. Google Scholar
Wijayanti,
F. E. R., & Wajdi, M. F. (2016). Analisis Clinical Pathway Dengan Bpjs
Antara Rs Negeri Dan Rs Swasta. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Google Scholar