112
Jurnal Health Sains: pISSN : 2723-4339 e-ISSN : 2548-1398
Vol. 2, No. 1, Januari 2021
PREVALENSI DERMATITIS SEBOROIK DI POLI KULIT DAN KELAMIN RSUD
MEURAXA KOTA BANDA ACEH PERIODE TAHUN 2016-2019
Rizky Nabillah
Universitas Abulyatama Aceh, Aceh Besar, indonesia
Email: rizkinabila752@gmail.com
ARTIKEL INFO
ABSTRACT
Tanggal diterima: 5 Januari
2021
Tanggal revisi: 15 Januari
2021
Tanggal yang diterima: 25
Januari 2021
Seborrheic dermatitis is a papulosquamosa skin disorder.
with predilection in areas rich in sebaceous glands, sclaps,
face and body. This research is a type of descriptive study,
which was conducted retrospectively using secondary data
obtained from the complete medical record of SD patients
who seek treatment at the Skin and Venetical Health Clinic
of Meuraxa Regional Hospital, Banda Aceh City in the
period of 2016 - 2019. Based on data analysis, the patient
obtained in 2016, there were 61 (46.9%) in male and 69
(53.1%) female patients, in 2017 there were 72 male (49.7)
female and 73 (50.3%) female patients, in in 2018 the results
showed that male patients numbered 85 (64.4%) patients and
47 women (35.6%), and in 2019 there were 48 male patients
(77.4%) and 14 women (22.6%). The highest prevalence of
seborrheic dermatitis in 2016 was in late adulthood (36-45
years) 45 (34.6%) patients, in 2017 the majority were
underfive age 36 (24.8%) and late adulthood 36 (24.8%)
patients, the prevalence of dermatitis seborrheic in 2018
were mostly late adulthood (36-45 years) 41 (31.1%)
patients and in 2019 most were under five (0-5 years) 19
(30.6%).
ABSTRAK
Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit papuloskuamosa.
dengan predileksi di daerah kaya kelenjar sebasea, sklap,
wajah dan badan. Penelitian ini merupakan jenis penelitian
deskriptif, yang dilakukan secara retrospektif dengan
menggunakan data sekunder yang di peroleh dari catatan
rekam medis lengkap pasien dermatitis seboroik yang datang
berobat ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Meuraxa kota
Banda Aceh Periode tahun 2016 - 2019. Berdasarkan analisis
data didapatkan pasien pada tahun 2016 pada jenis kelamin
laki-laki berjumlah 61 (46.9%) dan perempuan 69 (53.1%)
pasien, pada tahun 2017 didapatkan hasil pasien berjenis
kelamin laki-laki berjumlah 72 (49.7) dan perempuan 73
(50.3%) pasien, pada tahun 2018 didapatkan hasil pasien
berjenis kelamin laki-laki berjumlah 85 (64.4%) pasien dan
perempuan 47 (35.6%), serta pada tahun 2019 didapatkan
pasien berjenis kelamin laki-laki berjumlah 48 (77.4%) dan
perempuan 14 (22.6%). Prevalensi dermatitis seboroik
pasien pada tahun 2016 terbanyak berumur masa dewasa
KeywordS:
Dermatitis; Seborrhoeic;
Kata Kunci:
Dermatitis, Seboroik
Jurnal Health Sains Vol. 2, No. 1, Januari 2021 113
akhir (36-45 tahun) 45 (34.6%) pasien, pada tahun 2017
terbanyak berumur masa balita 36 (24.8%) dan masa dewasa
akhir 36 (24.8%) pasien, Prevalensi dermatitis seboroik pada
tahun 2018 terbanyak berumur masa dewasa akhir (36-45
tahun) 41 (31.1%) pasien dan pada tahun 2019 terbanyak
berumur masa balita (0-5 tahun) 19 (30.6%).
Coresponden Author:
Artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi
Pendahuluan
Kulit merupakan lapisan terluar tubuh
manusia. Kondisi kulit pada umumnya tidak
selalu dalam keadaan steril, kondisi kulit steril
hanya bisa didapatkan sesaat setelah lahir pada
waktu yang sangat singkat. Kondisi kulit yang
sehat sangat menunjang kepercayaan diri
seseorang, ketika kulit dalam keadaan tidak
sehat maka dapat berpengaruh pada gambaran
diri dan menjadi masalah kesehatan yang perlu
diperhatikan. Terdapat banyak etiologi yang
menyebabkan gangguan kesehatan pada kulit
dimulai dari bakteri, virus, jamur maupun
kondisi autoimun, seperti dermatitis seboroik
(Stephanie, 2018).
Dermatitis Seboroik (DS) adalah
kelainan kulit papuloskuamosa dengan
predileksi di daerah kaya kelenjar sebasea,
sklap, wajah dan badan. Dermatitis ini sering
di kaitkan dengan malassezia, gangguan
imunologi yang mengikuti kelembaban
lingkungan, perubahan cuaca, serta trauma,
dengan penyebaran lesi dimulai dari derajat
ringan, misalnya ketombe sampai dengan
bentuk eritroderma (Stephanie, 2018).
DS dapat terjadi pada semua usia, dan
biasanya terbagi menjadi dua golongan usia
yaitu neonatus dan dewasa. Pada neonatus
penyakit ini memuncak pada 3 bulan pertama
kehidupan dan dewasa pada umur 20 hingga
60 tahun. Biasanya banyak di derita oleh laki-
laki di banding perempuan. DS juga dapat di
temukan pada pasien dengan kondisi
imunosupresi, misalnya pasien dengan
HIV/AIDS, transplatasi organ, malignasi serta
penyakit lain seperti gangguan nutrisi dan
kelainan genetik. Di Amerika Serikat
prevalensi DS sekitar 1-3% dari jumlah
populasi umum, dan 3-5% terjadi pada dewasa
muda (Malak et al., 2016). Di berbagai Negara
di Asia, pasien DS berusia antara 12 hingga 20
tahun (Eliza, 2019). Data yang di peroleh di
Poli Kulit dan Kelamin RSUP H.Adam Malik
Medan periode tahun Januari 2010 - Desember
2012 sebanyak 123 kasus (0,75%) dari 16.482
pasien yang datang berobat, sehingga
berdasarkan hasil survei terhadap 1.116 anak-
anak yang mencakup semua umur didapatkan
prevalensi DS adalah 10% pada anak laki-laki
dan 9,5% terjadi pada perempuan. Sedangkan
Data dari Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) pada tahun 2008, prevalensi
dermatitis di provinsi Aceh sebanyak 6,8%
(Silvia & Tanjung, 2014).
1. Anatomi Kulit
Kulit terdiri dari epidermis
berkeratin di bagian luar dari jaringan ikat
vaskuler yang kaya akan pembuluh darah di
bagian dalam. Pelipatan khusus epidermis
membentuk kelenjar keringat, kelenjar
sebasea, dan folikel rambut (Purba, 2018).
Epidermis mengandung empat jenis sel:
keratinosit, melanosit, sel Langerhans, dan
sel Grastein. Kulit melekat ke otot atau
tulang di bawahnya melalui hipodermis,
yaitu lapisan jaringan ikat longgar yang
mengandung lemak (IIS, 2018).
114 Jurnal Health Sains Vol. 2, No. 1, Januari 2021
Gambar 2.1
Anatomi Kulit Manusia
Kulit menjalankan berbagai
tugas dalam memelihara kesehatan
manusia secara utuh yang meliputi
fungsi (Winda Afrian, 2016), yaitu:
a. Perlindungan fisik (terhadap gaya
mekanik, sinar ultraviolet, bahan
kimia)
b. Perlindungan imunologi
c. Ekskresi
d. Pengindra
e. Pengaturan suhu tubuh
f. Pembentukan vitamin D
g. Kosmetik.
Fungsi-fungsi tersebut lebih
mudah dipahami dengan meninjau
struktur mikroskopik kulit yang
terbagi menjadi 3 lapisan: epidermis,
dermis dan subkutis.
1. Epidermis
Epidermis terdiri dari
banyak lapisan sel epitel. Secara
rata mengganti dirinya sendiri
setiap sekitar dua bulan. Epidermis
terdiri dari sel-sel berbentuk kubus
yang hidup dan cepat membelah,
penyusun terbesar epidermis
adalah keratinosit. Keratinosit
tersususn dalam beberapa lapisan.
Lapisan paling bawah disebut
stratum basalis, di atasnya adalah
stratum spinosum dan stratum
granulosum. Ketiga lapisan
epidermis ini dikenal sebagai
stratum Malpighi. Lapisan teratas
adalah stratum korneum yang
tersusun oleh keratinosit yang telah
mati (IIS, 2018).
Susunan epidermis yang
berlapis-lapis ini menggambarkan
proses diferensiasi (keratinisasi)
yang dinamis, yang tidak lain
berfungsi menyediakan sawar kulit
pelindung tubuh dari ancaman di
permukaan.
a. Stratum basalis
Keratinosit stratum
basalis berbentuk toraks,
berjajar di atas lapisan
structural yang disebut basal
membrane zone (BMZ).
Keratinosit basal berdiri di
atas BMZ karena protein
structural yang mengikat
membrane sitoplasma
keratinosit pada BMZ yang di
sebut hemidesmosom.
Terdapat tiga subpopulasi
keratinosit di stratum basalis,
yaitu: Sel punca (stem cells),
transient amplifying cells
(TAC), sel pascamitosis (post-
mitotic cells).
b. Stratum spinosum
Keratinosit stratum
spinosum memiliki bentuk
polygonal, berukuran lebih
besar dari pada keratinosit
stratum basale. Pada
pemeriksaan mikroskopik
terlihat struktur mirip taji
(spina).
c. Stratum granulosum
Keratinosit stratum
granulosum mengandung
keratohyaline granulase (KG)
Jurnal Health Sains Vol. 2, No. 1, Januari 2021 115
yang terlihat pada
pemeriksaan mikroskopik
biasa. KG mengandung
profilagrin dan loricrin yang
penting dalam pembentukan
cornified cell envelope (CCE).
Secara sederhana, keratinosit
di stratum granulosum
memulai program
kematiannya sendiri
(apoptosis), sehingga
kehilangan inti dan organisasi
kehilangan inti dan organel sel
penunjang hidupnya.
d. Stratum korneum
CCE yang mulai dibentuk
pada stratum korneum akan
mengalami penataan bersama
dengan lipid yang di hasilkan
oleh lamellar granules LG.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis
penelitian deskriptif, yang dilakukan secara
retrospektif dengan menggunakan data
sekunder yang di peroleh dari catatan rekam
medis lengkap pasien DS yang datang berobat
ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Meuraxa
kota Banda Aceh Periode tahun 2016 2019
(Pravitasari & Setyaningrum, 2018).
Populasi pada penelitian ini adalah
seluruh pasien DS yang berobat di Poli Kulit
dan Kelamin RSUD Meuraxa Kota Banda
Aceh Periode 1 Januari 2016 sampai 31
Desember 2019.
Sampel penelitian ini di ambil
berdasarkan rekam medis dari semua pasien
DS di Poli Klinik Kulit dan Kelamin RSUD
Meuraxa Kota Banda Aceh Periode 1 Januari
2016 sampai 31 Desember 2019. Penelitian ini
menggunakan teknik pengambilan sampel
dengan metode total sampling yaitu seluruh
pasien DS yang memenuhi kriteria inklusi
sebagai sampel penelitian. Adapun kriteria
dalam penelitian ini adalah :
1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik
sampel yang dapat dimasukkan dan layak
untuk diteliti (Sukarsih & Susilowati,
2013). Kriteria inklusi dalam penelitian ini
yaitu :
a. Pasien yang terdiagnosis penyakit DS di
Poli Kulit Kelamin RSUD Meuraxa
Kota Banda Aceh Periode 1 Januari
2016 31 Desember 2019.
b. Pasien yang memiliki data rekam medis
lengkap yang terdiagnosis DS sesuai
yang dibutuhkan peneliti dibagian
instalasi rekam medis RSUD Meuraxa
Kota Banda Aceh Periode 1 Januari
2016 31 Desember 2019.
2. Kriteria Eklusi
Kriteria eklusi adalah karakteristik
sampel yang tidak daat dimasukkan
kedalam penelitian. Kriteria eklusi dalam
penelitian ini adalah data rekam medis
pasien DS yang tidak lengkap memuat data
yang diambil oleh peneliti (Sugihantoro et
al., 2020).
Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan dari bulan Maret - Juni tahun 2020
pada Poli Kulit dan Kelamin RSUD Meuraxa
Kota Banda Aceh diperoleh data pasien yang
terdiagnosis DS sebanyak 469 kasus dan
ditabulasi sebagai berikut :
1. Distribusi Pasien DS Berdasarkan Jenis
Kelamin
Distribusi kategori pasien DS
berdasarkan jenis kelamin yang didapatkan
melalui pencatatan di rekam medis RSUD
Meuraxa, Kota Banda Aceh didapatkan
hasil sebagai berikut:
116 Jurnal Health Sains Vol. 2, No. 1, Januari 2021
Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Pasien Seboroik Pada
4 Tahun Terakhir Berdasarkan Jenis
Kelamin
Jenis
Kelamin
201
6
201
7
%
201
8
201
9
(N)
(N)
(N)
(N)
Laki-
Laki
61
72
49,
7
85
48
Peremp
uan
69
73
50,
3
47
14
Total
130
145
10
0
132
62
Berdasarkan tabel di atas
menunjukan bahwa pasien pada tahun 2016
terbanyak pada jenis kelamin perempuan
69 (53.1%) pasien, pada tahun 2017
terbanyak berjenis kelamin perempuan 73
(50.3%) pasien, pada tahun 2018 terbanyak
berjenis kelamin laki-laki 85 (64.4%)
pasien dan pada tahun 2019 terbanyak
berjenis kelamin laki-laki 48 (77.4%).
2. Distribusi Pasien DS Berdasarkan Usia
Distribusi kategori pasien DS
berdasarkan usia yang didapatkan melalui
pencatatan di rekam medis RSUD
Meuraxa, Kota Banda Aceh didapatkan
hasil sebagai berikut :
Tabel 4.1
Distribusi Pasien Seboroik Pada 4
Tahun Terakhir Berdasarkan Usia
10
%
20
17
%
20
18
%
2019
(N)
%
Masa
Balit
a
(0-5
Tahu
n)
2
0
.
8
36
24
.8
33
25,00
1
9
30
.6
Masa
Kanak-Kanak
(6-11 Tahun)
0
2
1.
4
4
3
0
0
Masa
Remaja Awal
(12-16 Tahun)
2
.
3
2
1.
4
1
0
.
8
1
1.
6
Masa
Remaja Akhir
(17-25 Tahun)
4
.
6
7
4.
8
8
6
.
1
6
9.
7
Masa
Dewasa Awal
(26-35 Tahun)
2
6
.
9
35
24
.1
28
2
1.
2
1
3
21
Masa
Dewasa Akhir
(36-45 Tahun)
3
4
.
6
36
24
.8
41
3
1.
1
1
0
16
.1
Masa
Lansia Awal
(46-55 Tahun)
1
0
.
8
19
13
.1
6
4
.
5
4
6.
5
Masa
Lansia Akhir
(56-65 Tahun)
0
6
4.
1
6
4
.
5
2
3.
2
Masa
Manula
(>65
Tahun)
0
0
2
1.
4
5
3
.
8
7
11
.3
Total
1
3
0
10
0
14
5
10
0
1
3
2
6
2
10
0
Berdasarkan tabel di atas
menunjukan bahwa pasien pada tahun
2016 terbanyak berusia masa dewasa
akhir (36-45 tahun) 45 (34.6%) pasien,
pada tahun 2017 terbanyak berusia masa
balita 36 (24.8%) dan masa dewasa akhir
36 (24.8%) pasien, pada tahun 2018
terbanyak berusia masa dewasa akhir (36-
45 tahun) 41 (31.1%) pasien dan pada
tahun 2019 terbanyak berusia masa balita
(0-5 tahun) 19 (30.6%).
Pembahasan
Kejadian DS berkaitan dengan beberapa
faktor risiko yang dimiliki oleh masing-
masing individu seperti aktivitas kelenjar
sebasea, hormon androgenik, infeksi
mikologis dan gangguan neurologis serta jenis
kelamin merupakan salah satu faktor risiko
yang dapat memiliki efek besar pada
pengembangan kondisi seboroik (Baek et al.,
2020).
Berdasarkan tabel 4.1 menunjukan
bahwa pasien pada tahun 2016 pada jenis
kelamin laki-laki berjumlah 61 (46.9%) dan
perempuan 69 (53.1%) pasien, pada tahun
2017 didapatkan hasil pasien berjenis kelamin
laki-laki berjumlah 72 (49.7) dan perempuan
73 (50.3%) pasien, pada tahun 2018
didapatkan hasil pasien berjenis kelamin laki-
laki berjumlah 85 (64.4%) pasien dan
perempuan 47 (35.6%), serta pada tahun 2019
didapatkan pasien berjenis kelamin laki-laki
berjumlah 48 (77.4%) dan perempuan 14
(22.6%).
Penelitian yang dilakukan (Effendi et
al., 2017) dengan judul hubungan antara jenis
kelamin dengan kejadian dermatitis seboroik
Jurnal Health Sains Vol. 2, No. 1, Januari 2021 117
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
jenis kelamin dengan kejadian dermatitis
seboroik (P=0.008). Dermatitis seboroik lebih
sering terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan pada semua usia yang menunjukan
dermatitis seboroik berhubungan dengan
hormone seks seperti androgen (Silvia et al.,
2020). Berdasarkan tabel 4.2 menunjukan
bahwa pasien pada tahun 2016 pasien berusia
balita (0-5 tahun) sebesar 27 (20.8%) pasien,
masa remaja awal (12-16 tahun) sebesar 3
(2.3%) pasien, masa remaja akhir (17-25
tahun) 6 (4.6%) pasien, berusia dewasa awal
(26-35 tahun) 35 (26.9%) pasien, masa dewasa
akhir ( 36-45 tahun) sebesar 45 (34.6%)
pasien, dan berusia lansia awal (46-55
tahun) 14 (10.8%).
Berdasarkan pasien pada tahun 2017
pasien berusia balita (0-5 tahun) sebesar 36
(24.8%) pasien, berusia kanak-kanak (5-11
tahun) sebesar 2 (1.4%) pasien, masa remaja
awal (12-16 tahun) sebesar 2 (1.4%) pasien,
masa remaja akhir (17-25 tahun) 7 (4.8%)
pasien, berusia dewasa awal (26-35 tahun) 35
(24.1%) pasien, masa dewasa akhir ( 36-45
tahun) sebesar 36 (24.8%) pasien, berusia
lansia awal (46-55 tahun) 19 (13.1%)
pasien, berusia lansia akhir (56-65 tahun) 6
(4.1%) pasien dan masa manula (>65 tahun)
sebesar 2 (1.4%) pasien.
Berdasarkan pasien ada tahun 2018
pasien berusia balita (0-5 tahun) sebesar 33
(25%) pasien, berusia kanak-kanak ( 5-1
tahun) sebeasr 4 (3%) pasien, masa remaja
awal (12-16 tahun) sebesar 1 (0,8%), masa
remaja akhir (7-25 tahun) sebesar 8 (6,1%),
dewasa awal (26-35 tahun) sebsar 28 (21,2%)
pasien masa dwasa akhir (36-45 tahun) sebesar
41 (31,1%) pasien, berusia lansia awal (46-55
tahun) sebesar 6 (4,5%) pasien, lansia akhir
(56-65tahun) sebesar 6 (4,5%) pasien. Lansia
akhir (56-65 tahun) sebesar 6 (4,5%) pasien
dan masa manula (>65 tahun) sebesar 5 (3,8%)
pasien.
Berdasarkan pasien pada tahun 2019
pasien berusia balita (0-5 tahun) sebesar 19
(30.6%) pasien, masa remaja awal (12-16
tahun) sebesar 1 (1.6%) pasien, masa remaja
akhir (17-25 tahun) 6 (9.7%) pasien, berusia
dewasa awal (26-35 tahun) 13 (21%) pasien,
masa dewasa akhir ( 36-45 tahun) sebesar 10
(16.1%) pasien, berusia lansia awal (46-55
tahun) 4 (6.5%) pasien, berusia lansia akhir
(56-65 tahun) 2 (3.2%) pasien dan berusia
masa manula (>65 tahun) 7 (11.3%) pasien.
Pada pasien dengan usia lanjut memiliki
daya tahan tubuh yang sudah berkurang
sehingga berbagai macam penyakit salah
satunya seperti dermatitis seboroik (Malak et
al., 2016). 14 Insiden dermatitis seboroik
umumnya terjadi pada segala usia, namun
sering pada 3 bulan pertama kehidupan
mencapai 70% dan dekade ke-4 hingga ke
tujuh, sedangkan pada bayi dikaitkan dengan
ukuran dan aktivitas kelenjar sebasea pada
usianya.
Bayi baru lahir kelenjar sebaseanya
besar dengan sekresi sebum yang tinggi
hampir sama seperti orang dewasa. Saat usia
dewasa, seboroik tidak lagi berhubungan
dengan dermatitis seboroik, karena aktifitas
glandula sebasea mencapai puncaknya pada
awal pubertas, tetapi kelainan baru muncul
pada beberapa dekade kemudian (Hajar,
2015).
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah
Meuraxa, Kota Banda Aceh, dengan judul
Prevalensi Dermatitis Seboroik Di Poli Kulit
Dan Kelamin RSUD Meuraxa Kota Banda
Aceh Periode tahun 2016 - 2019 pada Maret-
Juni 2020, berkesimpulan bahwa:
Prevalensi dermatitis seboroik pasien
pada tahun 2016 terbanyak berumur masa
dewasa akhir (36-45 tahun) 45 (34.6%) pasien,
pada tahun 2017 terbanyak berumur masa
118 Jurnal Health Sains Vol. 2, No. 1, Januari 2021
balita 36 (24.8%) dan masa dewasa akhir 36
(24.8%) pasien.
Prevalensi dermatitis seboroik pada
tahun 2018 terbanyak berumur masa dewasa
akhir (36-45 tahun) 41 (31.1%) pasien dan
pada tahun 2019 terbanyak berumur masa
balita (0-5 tahun) 19 (30.6%).
Pada tahun 2016 pada terbanyak
berjenis kelamin perempuan 69 (53.1%)
pasien, pada tahun 2017 terbanyak berjenis
kelamin perempuan 73 (50.3%) pasien, pada
tahun 2018 terbanyak berjenis kelamin laki-
laki berjumlah 85 (64.4%) pasien dan pada
tahun 2019 terbanyak berjenis kelamin laki-
laki berjumlah 48 (77.4%) pasien.
BIBLIOGRAFI
Baek, Y.-G., Lee, Y.-N., Lee, D.-H., Cheon,
S.-H., Kye, S.-J., Park, Y.-R., Si, Y.-J.,
Lee, M.-H., & Lee, Y.-J. (2020). A Novel
Reassortant Clade 2.3. 4.4 Highly
Pathogenic Avian Influenza H5n6 Virus
Identified In South Korea In 2018.
Infection, Genetics And Evolution, 78,
104056.
Effendi, A., Silvia, E., & Hernisa, M. P.
(2017). Analisis Fktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kondiloma
Akuminata Di Poliklinik Kulit Dan
Kelamin Rsud Dr. H. Abdul Moeloek
Bandar Lampung Tahun 2016. Jurnal
Ilmu Kedokteran Dan Kesehatan, 4(1).
Eliza, R. A. (2019). Pengaruh Formulasi
Tepung Umbi Garut Dan Tepung Beras
Ketan Terhadap Mutu Klepon Buah
Naga Merah. Universitas Sahid.
Hajar, S. (2015). Manifestasi Klinis Dermatitis
Seboroik Pada Anak. Jurnal Kedokteran
Syiah Kuala, 15(3), 175178.
Iis, R. (2018). Efek Pemberian Vitamin C
Terhadap Kadar Hormon Testosteron
Serum, Jumlah Dan Morfologi
Spermatozoa Rattus Norvegicus Strain
Wistar Albino Yang Diinduksi
Gentamisin. Universitas Andalas.
Malak, S., Kandou, R. T., & Pandaleke, T. A.
(2016). Profil Dermatitis Seboroik Di
Poliklinik Kulit Dan Kelamin Rsup Prof.
Dr. Rd Kandou Manado Periode Januari-
Desember 2013. E-Clinic, 4(1), 234.
Pravitasari, D. N., & Setyaningrum, T. (N.D.).
The Profile Of New Androgenic
Alopecia Patients At Dermato-
Venereology Outpatient Clinic Of Dr.
Soetomo Hospital Surabaya In 2009-
2011. The 3 Rd International Symposium
Of Public Health (The 3 Rd
Isoph)“Challenging Public Health Roles
Towards Global Health Issues,” 113.
Purba, T. G. B. (2018). Gambaran Tingkat
Pengetahuan Sikap Dan Perilaku Ibu-
Ibu Tentang Perawatan Kulit Balitadi
Posyandu Desa Pasaribu Kecamatan
Doloksanggul Tahun 2017.
Silvia, E., Anggunan, A., Effendi, A., &
Nurfaridza, I. (2020). Hubungan Antara
Jenis Kelamin Dengan Angka Kejadian
Dermatitis Seboroik. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Sandi Husada, 11(1), 3746.
Silvia, E., & Tanjung, Y. S. (2014). Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi Angka
Kejadian Dermatitis Seboroik
Berdasarkan Letak Lokasi Lesi Di
Rumah Sakit Umum Daerah (Rsud) Dr.
H. Abdul Moeloek. Jurnal Medika
Malahayati, 1(4), 152157.
Stephanie, A. (2018). Tatalaksana Alopesia
Androgenetik. Cermin Dunia
Kedokteran, 45(8), 582587.
Sugihantoro, H., Hakim, A., & Zakiya, N. M.
(2020). Evaluasi Kualitas Penggunaan
Antibiotika Pada Pasien Pasca Bedah
Dengan Metode Gyssens Di Rsud Bdh
Surabaya Periode 2016. Jurnal Ilmu
Farmasi Dan Farmasi Klinik, 17(01),
1421.
Jurnal Health Sains Vol. 2, No. 1, Januari 2021 119
Sukarsih, S., & Susilowati, E. (2013).
Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini Pada
Kontraksi Uterus Ibu Bersalin Di Bps
Kecamatan Bluto. Wiraraja Medika,
3(1), 824.
Winda Afrian, W. A. (2016). Hubungan
Fungsi Perawatan Kesehatan Keluarga
Terhadap Praktek Kebersihan Keluarga
Di Wilayah Kerja Puskesmas Plus
Mandiangin Bukittinggi Tahun 2016.
Stikes Perintis Padang.