PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN GANGGUAN JIWA DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS DABO LAMA TAHUN 2020

 

Melyanti, Rizky Sari Utami, Siska Natalia

STIKes Awal Bros Batam, Indonesia

Email: mel.yanti1989@gmail.com, sariutami0784@gmail.com, siska.nats@gmail.com

 

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Tanggal diterima: 5 Oktober 2020

Tanggal revisi: 10 Oktober 2020

Tanggal yang diterima: 25

  Oktober 2020                           

Gangguan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global. Penderita gangguan jiwa tidak mungkin mampu mengatasi masalah kejiwaannya sendiri. Orang dengan gangguan jiwa membutuhkan dukungan dari orang lain, terutama keluarga sebagai orang yang merawat penderita gangguan jiwa. Setiap keluarga dalam merawat penderita gangguan jiwa akan merasakan pengalaman yang berbeda antar satu keluarga dengan keluarga yang lain. Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana pengalaman keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa diwilayah kerja Puskesmas dabo Lama. Desain penelitian yang digunakan adalah kulatitatif dengan pendekatan fenomenologi deskriptif. Pengumpulan data dengan metode in-depth interview menggunakan panduan wawancara semi terstruktur yang melibatkan 8 partisipan kemudian dianalisis menggunakan teknik analisa data model Collaizzi. Penelitian ini menghasilkan empat tema meliputi: masalah yang dirasakan keluarga, persepsi keluarga, dukungan sosial, dan cara keluarga menyelesaikan masalah dengan mencari bantuan medis dan non medis. Dalam penelitian ini keluarga sudah merawat anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa meskipun sesuai dengan kemampuannya. Selama perawatan keluarga merasa mempunyai beban yang berat dan putus asa menghadapi masalah-masalah dalam merawat anggota

                                                        keluarganya dengan gangguan jiwa.                                     

Kata kunci: Pengalaman; keluarga; gangguan jiwa.

 


Pendahuluan

Baik di Indonesia ataupun di dunia sat ini memiliki jumlah ODGJ cukup tinggi. Data WHO (2005) jumlah ODGJ di dunia pada tahun 2001 berjumlah 450 juta jiwa. Di Indonesia, diperkirakan dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia ada sekitar 50 juta atau 22 persennya mengalami gangguan jiwa (Al‐ Hawari et al., 2009). Berdasarkan Riskesdas (2013) dalam Badan Litbang Kesehatan (2013) mengatakan bahwa prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia berjumlah 1,7 per mil, artinya 1-2 orang dari 1000


penduduk di Indonesia mengalami gangguan jiwa.

Menurut WHO (2003), secara umum akibat yang dirasakan oleh keluarga dengan adanya anggota keluarga mengalami gangguan jiwa yaitu tingginya beban ekonomi, beban emosi keluarga, stres terhadap perilaku pasien yang terganggu, gangguan dalam melaksanakan kegiatan rumah tangga sehari- hari dan keterbatasan melakukan aktivitas sosial. Pandangan masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa yaitu dianggap gangguan jiwa adalah aib bagi pasien dan keluarganya. Hal ini menyebabkan masih


banyak keluarga yang menyembunyikan bahwa anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa. Keluarga merasa kecewa, malu dan putus asa. Gangguan dalam hubungan keluarga, keterbatasan melakukan aktivitas sosial, pekerjaan dan hobi, kesulitan keuangan, dan dampak negatif terhadap kesehatan fisik keluarga termasuk dalam beban sosial ekonomi keluarga. Selain itu perasaan kehilangan, cemas, sedih dan maalu terhadap masyarakat sekitar, stres menghadapi gangguan perilaku dan frustasi akibat perubahan pola interaksi dalam keluarga merupakan beban psikologis (Ngadiran et al., 2010).

Berdasarkan studi pendahuluan salah satu keluarga mengatakan merawat klien dengan gangguan jiwasangat tidak enak karena bisa mengganggu kenyamanan dan ketenangan lingkungan sekitar, misalnya klien teriak pada malam hari pada saat tetangga sedang tidur. Berbagai resiko yang dihadapi keluarga dalam merawat klien dengan gangguan jiwa, seperti saat pasien kambuh dan menyerang anggota keluarga yang tinggal serumah. Sudah menjadi hal biasa melihat tingkah laku pasien yang suka bicara sendiri, marah-marah dan keluyuran. Keluargapun tidak mengambil pusing dengan perilaku klien selama hal itu tidak membahayakan dirinya dan orang lain. Tetapi keluarga sering menegur bahwa hal itu tidak benar ketika melihat klien bicara sendiri dan tertawa tanpa ada hal yang lucu.

Keluarga mengatakan saat penyakitnya tidak kambuh, dia dapat diajak ngobrol, membantu kegiatan dirumah seperti menyapu halaman dan mencuci baju. Saat pasien kambuh keluarga kesulitan membujuk pasien untuk melakukan kebutuhannya setiap hari seperti makan, minum, mandi dan mengganti pakaian. Hal ini disebabkan kurangnya kemampuan komunikasi dari klien, klien kurang berkonsentrasi, gelisah, dan mudah tersinggung dengan perkataan orang lain, orientasi tempat, waktu dan orang yang kurang


baik. Keluarga mengatakan tidak punya banyak waktu untuk memperhatikan pasien karena keluarga sibuk bekerja, perilaku klien yang aneh dan menjengkelkan kadang membuat keluarga tidak sabar menghadapinya.

(Vander et al., 2012), meneliti tentang A Qualitative Study of Coping with Voice Hearing of People with schizofrenia in Hong kong, menernagkan bahwa elemen penting terhadap keluarga dalam meningkatkan status kesehatan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwadengan masalah halusinasi pendengaran di Hong kong menyatakan bahwa pasien dengan skizofrenia sangat membutuhkan perawatan dari keluarga dengan baik untuk membantu penyembuhan pasien.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Amin, 2015) pengalaman keluarga selama merawat anggota keluarga yang mengalami halusinasi merupakan beban bagi keluarga yang mana merupakan beban psikologi dengan kategori merasa kecewa karena klien tidak mau minum obat, putus asa dengan kondisi yang dialami klien, rasa marah dan takut terhadap perilaku klien, dan merasa malu terhadap tetangga sekitar.

Berdasarkan hasil penelitian (Muttar, 2011) terdapat hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kesembuhan klien halusinasi, perlu disadari bahwaperan keluarga sangatlah penting dalam usaha penyembuhan penderita halusinasi. Hasil penelitian yang di lakukan (Emi, 2013) Tentang pengaalaman keluarga dalam mencegah kekambuhan halusinasi pasien pasca rawat di RSJ. Dari hasil penelitiannya di dapatkan bahwa partisipan mengungkapkan ketidak patuhan minum obat seperti menghentikan pengobatan, minum obat tidak teratur dan menurunkan dosis obat dapat memicu kekambuhan halusinasi pasien. Dari pendahuluan tersebut diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui pengalaman keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa di wilayah kerja puskesmas Dabo Lama.


Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengambarkan fenomena pengalaman keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Dabo Lama pada bulan Januari-Februari 2020.

Populasi penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan masalah gangguan jiwa yang tercatat dilaporan Dinkes Kab. Lingga sebanyak 161 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah keluarga yang mempunyai pengalaman merawat klien gangguan jiwa di wilayah kerja Puskesmas Dabo Lama, yaitu 10 anggota keluarga (data sudah tersaturasi). Sampel dalam penelitian ini yang harus memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.

 

Hasil dan Pembahasan A.Karakteristik Responden

Secara umum partisipan adalah keluarga inti pasien seperti suami, istri, orang tua, kakak, adik, tante atau saudara pasien. Usia partisipan termuda adalah 25 tahun dan tertua adalah 62 tahun. Tingkat pendidikan partisipan terbanyak adalah SMP atau sederajat. Jenis kelamin terbanyak informan adalah perempuan sebanyak 5 orang. Sataus pekerjaan terbanyak yaitu sebagai buruh, dan paling lama merawat yaitu 25 tahun.

Tema I: Masalah yang keluarga rasakan Dalam Merawat Anggotanya Dengan Gangguan Jiwa.

Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa membutuhkan banyak biaya. Dari hasil penelitian didapat status pekerjaan partisipan berbeda-beda, sehingga dapat mempengaruhi kebutuhan sehari-hari..

Sub tema yaitu;

1)  kondisi ekonomi,


2)  beban psikologi.

 

1. Kondisi ekonomi

kebutuhan sehari-hari insyaallah cukup, walaupun pas-pasan bu... (Partisipan 2).

“. saya itu buk masalah uang untuk berobat, untuk ongkos angkotlah buk saya sediakan dari uang makan kami, ya kadang-kadang makan tidak cukup, seadanya, yang penting bagi saya obatnya ada ”(P4)

“...saya tidak ada uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari, terkagang beras dan gula dikasi sama tetangga...” (partisipan 7).

“...udah beberapa orang yang ngasih tau untuk pergi ke rumah sakit jiwa tapi belum sempat ke sana” (Informan 2).

Kondisi Orang Dengan Gangguan Jiwa menjadi dasar pertimbangan keluarga untuk merawatnya. Penelitian ini juga menemukan beberapa upaya keluarga dalam memberikan perawatan bagi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dengan memenuhi aturan perawatan yang disarankan dokter atau petugas kesehatan lainnya.

Hambatan adalah hal yang ditemui dan menimbulkan kesulitan bagi keluarga selama merawat anggotanya dengan gangguan jiwa. Pada penelitian ini, peneliti menemukan ada partisipan yang mengalami hambatan dan ada juga yang tidak mengalami hambatan. Keluarga yang tidak mengalami hambatan mengungkapkan bahwa klien sekarang sudah bisa kerja, sudah bisa mandiri, dan sudah bisa ditinggal oleh orang tuanya. Peneliti mendapatkan beberapa pengalaman keluarga dalam merawat anggota keluarganya dengan gangguan jiwa yaitu keluarga yang mengalami masalah dalam merawat anggotanya dengan gangguan jiwa baik dalam kondisi ekonomi dan beban psikologi. Selain itu persepsi keluarga dan dukungan sosial juga menjadi pengalaman keluarga dalam merawat anggotanya dengan  gangguan jiwa. Peneliti


juga menemukan pengalaman keluarga dalam menyelesaikan masalah.

Ketidaksesuaian antara kebutuhan dengan potensi yang dimiliki keluarga menjadi masalah dalam merawat klien. Partisipan mengungkapkan pernyataan bahwa mahalnya biaya untuk perawatan dan biaya untuk pengobatan ke rumah sakit jiwa, terlebih jika keluarga klien tidak memiliki jaminan kesehatan dari pemerintah menjadi hambatan keluarga dalam merawat klien. Keterlambatan pasokan obat di puskesmas juga menjadi masalah dalam merawat karena keluarga harus membeli obat ke apotik dengan harga yang mahal.

Hal ini didukung oleh pendapat (Setiawan, 2018) bahwa beban obyektif adalah masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan perawatan klien, yang meliputi: tempat tinggal, makanan, transportasi, pengobatan, keuangan, dan intervensi krisis. Selama merawat, keluarga mengalami beban ekonomi, status ekonomi keluarga yang rendah dan tingginya biaya pengobatan menjadi salah satu faktor hambatan yang dialami keluarga. APA (Association, 2015) menyebutkan bahwa keluarga yang merawat akan mengalami beban finansial yang melebihi dari pengeluaran rata-rata. Pada penelitian ini peneliti menemukan masalah yang muncul dari keluarga yang merawat anggota keluarganya dengan gangguan jiwa yaitu dari segi kondisi ekonomi dan beban psikologi. dari segi kondisi ekonomi kebutuhan hidup keluarga masih bisa di atasi meskipun mengalami kekurangan, 4 keluarga mengatakan kebutuhan makan dan minum bisa di penuhi walaupun dalam keadaan ekonomi yang sulit dan harga sembako yang naik turun. Fungsi ekonomi keluarga dalam memenuhi semua kebutuhan anggota keluarga, termasuk kebutuhan kesehatan anggota keluarga.

Sedangkan fungsi perawatan kesehatan merupakan fungsi keluarga dalam mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga yang sakit ke pelayanan kesehatan


untuk memeriksa kesehatannya (C. F. Friedman et al., 2016). Kebutuhan hidup seperti makan dan minum sangat bergantung pada pendapatan dari keluarga. Meskipun hanya kebutuhan setiap hari keluarga merasa kurang akan tetapi keluarga merasa cukup dengan apa yang di miliki dan masih bisa makan minum. Menurut (C. F. Friedman et al., 2016), kemiskinan adalah sebuah faktor resiko yang sangat menentukan dalam hal mencari pertolongan dan dalam mengambil keputusan untuk menggunakan fasilitas kesehatan jiwa. Menurut (J. Friedman et al., 2010) keluarga dengan kelas ekonomi yang berlebih secara finansial akan mempunyai tingkat dukungan keluarga yang memadai. Penghasilan keluarga salah satu wujud dari dukungan instrumental yang akan digunakan dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat (Nuraenah et al., 2014), bahwa semakin tinggi perekonomian keluarga akan lebih memberi dukungan dan pengambilan keputusan dalam merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa.

Tiga dari sepuluh keluarga mengungkapkan tingginya biaya menjangkau pelayanan kesehatan jiwa dimana keluarga mengalami kesulitan dengan jarak tempat tinggal dan rumah sakit jiwa sehingga biaya tranportasi laut dan darat menjadi penyebab utama keluarga tidak bisa membawah klien ke rumah sakit jiwa. Menurut Dian et al (2016) Berkenaan dengan kemampuan layanan kesehatan mental, jarak layanan kesehatan mental rumah sakit terbatas dan sangat jauh bagi sebagian orang. Kesulitan transportasi juga tantangan dalam menjangkau layanan kesehatan, terutama bagi peserta dari daerah pedesaan. Itu biaya transportasi yang harus dikeluarkan untuk mencapai layanan kesehatan juga dianggap sebagai hambatan oleh para peserta. Lima dari peserta berasal dari daerah pedesaan yang jauh dari Surabaya. (Syed et al., 2014), yang menyatakan bahwa pedesaan dan daerah perkotaan berbeda dalam


hal transportasi, pilihan transportasi, biaya transit dan ketersediaan dan jarak dari layanan kesehatan mental. Perbedaan tingkat kemudahan akses geografis ke layanan kesehatan mental menghasilkan perbedaan dalam biaya tambahan untuk transportasi ke tempat tujuan.

Fasilitas pelayanan kesehatan jiwa yang letaknya sangat jauh dengan kabupaten Lingga, membuat keluarga sulit menjangkau pengobatan terutama masalah biaya. Keluarga merasa kesulitan saat membawah klien ke rumah sakit karena keluarga harus menanggung sendiri biaya tiket kapal dan biaya pengobatan.

(Purnama, 2008) faktor yang mempengaruhi kebutuhan keluarga adalah faktor sosio ekonomi seseorang biasanya ia akan lebih cepat tanggap terhadap gejala penyakit yang dirasakan. Sehingga ia akan mencari segera pertolongan ketika merasa ada gangguan pada kesehatannya.

Keluarga merasakan beban dalam merawat klien dengan gangguan jiwa sebagai beban psikologis, beban psikologis dinyatakan oleh informan dalam bentuk Kecewa dengan perilaku klien, jenuh selama merawat, takut dengan perilaku klien dan sulit diatur, sehingga menimbulkan kecemasan bagi informan. Cemas adalah suatu pengalaman subyektif seseorang dalam menghadapi stressor, dan cemas merupakan bagian dari kehidupan seseorang (Stuart & Larai, 2005). Stuart dan Larai mengatakan bahwa cemas sebagai dasar dari kondisi manusia dan memberikan peringatan yang berharga untuk kewaspadaan manusia dalam menghadapi stressor.

Menurut pendapat peneliti dalam penelitian ini, beban psikologis di rasakan hampir dari semua informan, karena banyak masalah- masalah yang dihadapi oleh informan selama merawat klien dengan gangguan jiwa, hal ini terjadi karena prilaku klien yang berbeda-beda saat mengalami kekambuhan.


Selain masalah yang dirasakan keluarga persepsi keluarga mengenai anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa berbeda-beda. Tiga keluarga mengungkapkan anggota keluarga mereka mengalami gangguan jiwa karena pernah mengalami demam panas tinggi dan kejang, dimana keluarga mempercayai orang yang sudah pernah mendapatkan penyakit tersebut pasti akan mengalami gangguan jiwa.

Beberapa    keluarga      juga    meyakini bahwa gangguan jiwa disebabkan karena faktor     keturunan.                    Menurut                       Tan,     et            all mengemukakan    bahwa faktor                    keturunan memiliki peranan terhadap kejadian gangguan jiwa melalui variasi genetik yang diuraikan oleh carrier. Variasi DNA yang menyebabkan kejadian                          gangguan                      jiwa                  tersebut adalah protein neuregulin (NRDI) yang menyebabkan kejadian gangguan jiwa yang menyebabkan regulasi              pada     isoform otak.                 Sedangkan penelitian                             dari                (Tsuang      et       al.,    2005) mengemukakan bahwa peluang menurunnya gangguan jiwa pada keturunan generasi kedua. Peluang cucu untuk memiliki gangguan jiwa dari kakek atau neneknya hanyalah 5% atau separuh dari peluang yang diturunkan salah satu orang tua yang mengidap gangguan jiwa.      

Kurangnya    pengetahuan       keluarga menyebabkan keluarga memiliki persepsi tersendiri terhadap penyakit yang dialami klien, lima keluarga mengungkapkan pemicu gangguan jiwa pada klien disebabkan masalah pribadi, guna-guna dan ilmu hitam. Menurut (Al-Hawari, 2014) stresor psikologi yaitu konflik dengan kawan dekat, atasan, rekan kerja, konflik dengan kekasih dan sebagainya merupakan                   sumber             stres                 bagi                     seseorang

sehingga mengalami gangguan jiwa.

Menurut peneliti, persepsi keluarga tentang gangguan jiwa disebabkan karena kurangnya pengetahuan tentang penyebab gangguan jiwa sehingga persepsi di guna-guna dan ilmu hitam menjadi salah satu anggapan keluarga terhadap gangguan jiwa.


Tindakan yang dilakukan keluarga dalam merawat klien hanya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki keluarga. Padahal selama merawat tindakan yang dilakukan keluarga banyak yang tidak sesuai atau bahkan dapat mencederai klien. Proses perawatan yang kurang tepat masih dilakukan oleh keluarga diantaranya dengan membawa klien ke dukun, memarahi klien, serta melakukan tindakan kekerasan kepada klien. Keterbatasan kemampuan yang dimiliki keluarga mengakibatkan keluarga merawat sesuai dengan keinginan keluarga yang dianggap benar bagi mereka.

Menurut penelitian (Nurdiana, 2007.), ditemukan bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya kekambuhan penderita gangguan jiwa adalah kurangnya peran serta keluarga dalam perawatan terhadap anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Salah satu penyebabnya adalah karena keluarga yang tidak tau cara menangani penderita gangguan jiwa

Dalam merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa partisipan memerlukan dukungan dari keluarga besar dan kerabat terdekat, hal ini sangat membantu keluarga dalam pengambilan obat dan mengatasi masalah. Yusuf (2017) Bentuk bantuan jasa yang diberikan oleh keluarga dengan mengambilkan obat ke rumah sakit. Bantuan ini diberikan karena ketidak mampuan klien untuk dapat pergi sendiri ke pelayanan kesehatan, namun waktu dan tenaga untuk mengambil obat di rumah sakit dilakukan oleh keluarga. Bantuan informasi yang diterima keluarga yaitu tentang pengobatan untuk kesembuhan klien baik itu pengobatan medis maupun tradisional.

Pemberian dukungan dalam bentuk motivasi dirasakan sendiri oleh keluarga yang merawat klien dengan gangguan jiwa, baik itu dari keluarga besar maupun lingkungan sekitar. Menurut (J. Friedman et al., 2010) dalam (Yusuf, 2017) dukungan emosional memberikan individu perasaan nyaman,


merasa dicintai saat mengalami depresi, bantuan dalam bentuk semngat empati, rasa percaya, perhatian, sehingga individu yang menerimanya merasa berharga. Sedangkan menurut (Andriani et al., 2014) dukungan emosional memberikan individu perasaan dapat memberikan bantuan dalam bentuk semangat kepada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang hidup dalam satu rumah tangga, mempunyai ikatan bersamaan, saling ketergantungan satu terhadap yang lain dan mempunyai ikatan emosional.

Dukungan yang diberikan keluarga selama merawat yaitu dengan memenuhi kebutuhan makan dan minuman sama seperti dengan anggota keluarga lainnya tanpa membedakan. (Yusuf, 2017) dukungan penilaian merupakan dukungan yang terjadi apabila ada penilaian yang positif terhadap individu, lebih lanjut (J. Friedman et al., 2010) Muniarsih 2007 dalam (Yusuf, 2017) menjelaskan bahwa individu mempunyai seseorang yang dapat diajak bicara tentang masalah mereka.

Situasi keluarga yang memberikan dukungan emosional akan membantu klien untuk mencapai penyembuhan dengan optimal. Klien membutuhkan motivasi terus menerus untuk dapat minum obat secara teratur dan yang dapat membaerikan semangat untuk melakukannya adalah keluarga. Sikap empati dan rasa percaya dari keluarga sangat dibutuhkan oleh klien untuk mencegah kekambuhan (Yusuf, 2017) Menurut Sandy Fitria (2013) dalam penelitiannya bahwa setiap sikap positif yang diberikan keluarga dapat mempengaruhi anggota keluarga yang sakit untuk menjalani perawatan rutin dan lanjut setiap bulan, dan mempengaruhi kepatuhan untuk minum obat sesuai anjuran dokter.

Delapan keluarga yang lain pernah mencari pengobatan ke praktek dokter umum untuk mendapatkan obat karena berharap obat


yang didapatkan bisa menenangkan klien saat kambuh meskipun obat hanya sebatas obat tidur. Dua keluarga mengungkapkan pernah membawah klien ke dokter saraf, keluarga berpendapat bahwa perubahan perilaku yang terjadi disebabkan karena klien mengalami gangguan saraf yang datang tiba-tiba. Nanda International Inc (2014) mendeskripsikan perilaku pencarian pelayanan kesehatan merupakan aktivitas individu yang aktif mencari individu dan/atau lingkungan dalam mencapai tingkat kesehatan yang lebih tinggi. Karakteristik dari perilaku pencarian kesehatan antara lain penampakan atau diobservasi dari motivasi untuk mencari kebaikan pada tingkat yang lebih tinggi, penerapan atau kurangnya pengamatan terhadap pengetahuan tentang perilaku peningkatan kesehatan, keadaan atau pengamatan ketidakbiasaan dengan sumber komunitas yang baik, dan penampilan terhadap perhatian tentang kondisi lingkungan pada status kesehatan sekarang, serta penampakkan atau diamati dari motivasi untuk peningkatan kontrol terhadap praktek kesehatan.

Dua keluarga mengungkapkan pernah membawah klien ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan dan mendapatkan obat. Berharap dengan minum obat rutin dapat menyembuhkan penyakit klien secara total tetapi harapan itu membuat keluarga putus asa terhadap pengobatan medis. Akses mendapatkan pelayanan kesehatan sedikit mendapatkan kesulitan atau kendala, mereka kesulitan dalam hal pembayaran, dan terkadang mendapatkan penolakan dari tenaga kesehatan (Dako-Gyeke & Adu, 2017). (Wadden et al., 1999) menjelaskan bahwa pencarian pelayanan kesehatan dan perilaku kesehatan klien dalam mengupayakan kesembuhan dipengaruhi oleh kepercayaan klien. Kondisi social budaya masyarakat sekitar berpengaruh pada perilaku kesehatan klien untuk mencari kesembuhan di masyarakat sangat beragam.


Pengobatan tradisional tidak pernah lepas dari masyarakan kepulauan yang masih mempercayai bawha penyakit yang dialami oleh klien adalah penyakit yang sulit disembuhkan oleh pengobatan medis sehingga mencari dukun akan mendapatkan kesembuhan, jika ada masayarakat yang melakukan pengobatan ke dukun dan memperoleh                          kesembuhan,  akan mempengaruhi informasi ke masyarakat yang lain bahwa pengobatan ke dukun adalah alternatif ke dua selain medis termaksud gangguan jiwa, selain lebih murah pengobatannya, jarak tempuh ke tempat tinggal dukun tersebut hanya mengunakan transportasi darat dan tidak memakan waktu yang lama baik itu dukun yang tinggal di kampung sendiri maupun di kampung orang lain.

(Chandra et al., 2014) kemampuan finansial keluarga klien dengan gangguan jiwa tidak memungkinkan untuk membiayai penyembuhan penyakit yang cenderung berjalan kronis sehingga kejadian seperti memicu tindakan dan sikap keluarga terhadap penolakan klien gangguan jiwa sehingga memilih untuk merawat seadanya dan hanya mengupayakan penyembuhan melalui cara non medis (dukun) yang dinilai lebih murah dibandingkan dengan cara medis.

Pengalaman yang dirasakan keluarga dalam merawat klien dengan gangguan jiwa yang ditemukan dalam penelitian ini dimulai dari masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat anggota keluarganya dengan gangguan jiwa baik yaitu kondisi ekonomi dan beban psikologi yang dialami keluarga, berawal dari mencari penyelesaian masalah gangguan jiwa, dengan pengobatan profesional maupun non profesional, sambil menghadapi keadaan dari klien disepanjang waktu merawat, yang memunculkan perasaat takut, marah dengan perilaku klien saat mengalami kekambuhan serta pada puncaknya memasuki suatu keadaan dimana keluarga kecewa dan jenuh.


Dukungan sangat dibutuhkan dan berpengaruh besar, pada saat keluarga merawat anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa, baik dari dalam keluarga maupun dari luar keluarga. Merupakan dukungan yang sangat penting dan juga sangat dibutuhkan dari semua anggota keluarga yang tinggal serumah, karena tidak semua anggota keluarga menerima, suka dan mampu merawat, memberikan perhatian yang khusus kepada klien dalam memenuhi kebutuhan pangan dan sandang. Motivasi dari keluarga besar, informasi dan pelayanan dari petugas kesehatan tentang kesehatan jiwa, fasilitas jaminan kesehatan seperti asuransi, empati dari lingkungan sekitar, baik tetangga dan masyarakat serta rohaniawan dan atau pemuka agama, merupakan dukungan komunitas yang sangat dibutuhkan selain dari dalam keluarga.

Makna memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Keluarga meyakini semua yang terjadi pada diri klien adalah bagian dari kehidupan. Keluarga memaknai gangguan jiwa sebagai takdir dalam keluarga, merawat dengan penuh kesabaran membuat keluarga ikhlas menerima bahwa klien harus di perlakukan sama dengan anggota keluarga yang lain serta pasrah sepenuhnya kepada Allah SWT.

 

Kesimpulan

Kesimpulan menggambarkan jawaban dari hipotesis dan/atau tujuan penelitian atau temuan ilmiah yang diperoleh. Kesimpulan bukan berisi perulangan dari hasil dan pembahasan, tetapi lebih kepada ringkasan hasil temuan seperti yang diharapkan di tujuan atau hipotesis. Bila perlu, di bagian akhir kesimpulan dapat juga dituliskan hal-hal yang akan dilakukan terkait dengan gagasan selanjutnya dari penelitian tersebut.


BIBILIOGRAFI

 

Al-Hawari, M. A. A. (2014). Does customer sociability matter? Differences in e- quality, e-satisfaction, and e-loyalty between introvert and extravert online banking users. Journal of Services Marketing.

 

Al‐Hawari, M., Ward, T., & Newby, L. (2009). The relationship between service quality and retention within the automated and traditional contexts of retail banking. Journal of Service Management.

 

Amin, K. (2015). Sampoerna to offer more shares to public (The Jakarta Post, 30 June 2015).

 

Andriani, D., Wresta, A., Atmaja, T. D., & Saepudin, A. (2014). A review on optimization production and upgrading biogas through CO 2 removal using various           techniques.           Applied Biochemistry and Biotechnology, 172(4), 1909–1928.

 

Association, A. P. (2015). Guidelines for psychological practice with transgender and gender nonconforming people. American Psychologist, 70(9), 832–864.

 

Dako-Gyeke, M., & Adu, E. (2017). Challenges and coping strategies of refugees: Exploring residual Liberian refugees experiences in Ghana. Qualitative Social Work, 16(1), 96–112.

 

Friedman, C. F., Proverbs-Singh, T. A., & Postow, M. A. (2016). Treatment of the immune-related adverse effects of immune checkpoint inhibitors: a review. JAMA Oncology, 2(10), 1346–1353.

 

Friedman, J., Hastie, T., & Tibshirani, R. (2010). Regularization paths for generalized linear models via coordinate descent. Journal of Statistical Software, 33(1), 1.

 

Metallo, C. M., Gameiro, P. A., Bell, E. L.,

Mattaini, K. R., Yang, J., Hiller, K.,


Jewell, C. M., Johnson, Z. R., Irvine, D. J., & Guarente, L. (2012). Reductive glutamine metabolism by IDH1 mediates lipogenesis under hypoxia. Nature, 481(7381), 380–384.

 

Muttar, M. (2011). Hubungan Dukungan Keluarga Terhadap Kesembuhan Klien Gangguan Halusinasi di Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

 

Ngadiran, R., Boussakta, S., Bouridane, A., & Syarif, B. (2010). Hyperspectral image compression with modified 3D SPECK. 2010 7th International Symposium on Communication Systems, Networks & Digital Signal Processing (CSNDSP 2010), 806–810.

 

Nuraenah, N., Mustikasari, M., & Putri, Y. S.

E. (2014). Hubungan dukungan keluarga dan Beban Keluarga dalam merawat anggota dengan riwayat perilaku kekerasan di Rs. Jiwa Islam Klender Jakarta Timur 2012. Jurnal Keperawatan Jiwa, 2(1), 41–50.

 

Nurdiana, S. (n.d.). Umbransyah (2007). Peran serta keluarga terhadap tingkat kekambuhan klien skizofrenia. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 3(1).

 

Purnama, R. (2008). Pengaruh Motivasi Kerja Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan Pada Bagian Produksi CV. Epsilon Bandung. Strategic: Jurnal Pendidikan Manajemen Bisnis, 8(2), 58–72.

 


Rohanum, E. (2013). Pengaruh Authentic Problem Based Learning terhadap kemampuan pemecahan masalah fisika ditinjau dari kemampuan awal peserta didik MAN Malang I. Universitas Negeri Malang.

Setiawan, L. (2018). STUDI Fenomenologi: Pengalaman Keluarga Dalam Merawat Anggota Keluarga Yang Mengalami Gangguan Jiwa. Jurnal Kesehatan Mesencephalon, 4(2).

 

Singh, B., Chandra, A., & Al-Haddad, K. (2014). Power quality: problems and mitigation techniques. John Wiley & Sons.

 

Syed, S., Mahmood, Z., Riaz, M., Latif, S., Majeed, N., & Rashid, A. (2014). Elemental profile of blood serum of dengue fever patients from Faisalabad, Pakistan. Int J Biol Sci, 6, 34–37.

 

Tsuang, M. T., Nossova, N., Yager, T.,

Tsuang, M., Guo, S., Shyu, K. G., Glatt,

S. J., & Liew, C. C. (2005). Assessing the validity of blood‐based gene expression profiles for the classification of schizophrenia and bipolar disorder: a preliminary report. American Journal of Medical Genetics Part B: Neuropsychiatric Genetics, 133(1), 1–5.

 

Wadden, T. A., Anderson, D. A., & Foster, G.

D. (1999). Two‐Year Changes in L ipids and Lipoproteins Associated with the Maintenance of a 5% to 10% Reduction in Initial Weight: Some Findings and Some Questions. Obesity Research, 7(2), 170–178.

 

Yusuf, A. M. (2017). Asesmen dan evaluasi pendidikan. Prenada Media.

 


Copyright holder:

Melyanti, Rizky Sari Utami, Siska Natalia (2020)

 

First publication right:

Jurnal Health Sains

 

This article is licensed under: