Jurnal Health Sains: p�ISSN:
2723-4339 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 2, No. 8, Agustus 2021
HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP TINGKAT DEPRESI
MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
Teddy Tjahyanto, Ni Kanaya, Grace Keren, Eunike Angellina Mulyadi, Kevin Sanjaya
Listiono
Universitas Tarumanagara (UNTAR) Jakarta, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected], [email protected],
[email protected], [email protected]
info artikel |
abstraK |
Diterima 5 Agustus 2021 Direvisi 15 Agustus 2021 Disetujui 25 Agustus 2021 |
World Health Organization (WHO) secara
resmi mendeklarasikan
COVID-19 sebagai pandemi
yang menjadi problema kesehatan di dunia. Pembatasan sosial dan kebijakan pemerintah lainnya yang diberlakukan selama pandemi COVID-19 untuk menurunkan penyebaran virus
yang sangat menular menyebabkan banyak orang mengalami kesepian, ketakutan, kecemasan dan berakhir pada depresi. Prevalensi depresi di Indonesia
saat pandemi COVID-19 mencapai angka 62%. Kecerdasan emosional merupakan kemampuan dalam mengatur dan mengontrol emosi yang dapat berperan dalam menyikapi kebijakan selama pandemi COVID-19 dan kejadian depresi. Penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dengan depresi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara angkatan
2019. Menggunakan desain penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross-sectional, kami memperoleh data melalui simple
random sampling sebanyak 154 responden yang menjawab kuesioner kecerdasan emosional yang digunakan sebagai proksi dalam menentukan skala kecerdasan emosional. Hasil chi-square hubungan
kecerdasan emosional dengan depresi didapatkan p-value 0.003. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kecerdasan emosional dan depresi pada mahasiswa saat pandemi COVID-19. Oleh karena itu, diharapkan mahasiswa dapat meningkatkan kecerdasan emosional yang mereka miliki sebagai upaya preventif akan terjadinya depresi. ABSTRACT The World Health
Organization (WHO) recognize the COVID-19 pandemic as an imminent global
threat. To dampen the spread of the highly-contagious virus, the Indonesian
government has imposed several social-distancing and government regulations.
Nonetheless, these regulations result in peripheral effects; many people are
subject to loneliness, fear, and anxiety�all of which leads to depression.
Statistical evidence show that depression is very much prevalent in
Indonesians�reaching a staggering 62% as of August 2020. Multiple studies
have proven the negative correlation between emotional intelligence�which is
the ability to regulate and control emotions�and depression. Consequently,
this study aims to determine the relationship between emotional intelligence
and depression in medical students of Universitas Tarumanagara
batch 2019. Using a descriptive analytic research design with a
cross-sectional approach, we obtained data through simple random sampling a
total of 154 respondents who answered an emotional intelligence questionnaire
used as a proxy in determining the level of emotional intelligence.
Statistical analysis using the chi-square test confirmed that there is a
significant negative correlation between emotional intelligence and depression
during the COVID-19 pandemic, yielding a p-value of 0.003. In conclusion,
students can improve their level of emotional intelligence as a preventive
measure of depression during the COVID-19 pandemic. |
Kata Kunci: kecerdasan emosional;
depresi; COVID-19 Keywords: emotional
intelligence; depression; COVID-19 |
Pendahuluan
World Health Organization (WHO) menginformasikan adanya kasus pneumonia dengan penyebab yang tidak diketahui di Wuhan, Cina pada tanggal 31 Desember 2019. Beberapa minggu kemudian pada Januari 2020, hasil analisis mendalam dari sampel
saluran pernafasan bagian bawah mendeteksi
virus baru yakni Severe
Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang menyebabkan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).
Pada tanggal 11 Maret 2020,
COVID-19 telah menyebar ke 114 negara dan telah menyebabkan 4000 kematian sehingga WHO secara resmi mendeklarasikan COVID-19 sebagai pandemi (Di Gennaro et al., 2020).
Berdasarkan data Satuan
Tugas Penanganan COVID-19
(SATGAS COVID-19), pada tanggal 25 Juli 2021, COVID-19 telah menyebar ke 223 negara dengan total kasus 192.284.207
dan 4.136.518 kematian. Di Indonesia, COVID-19 sudah tersebar di 34 provinsi dengan kasus positif sebanyak
3.166.505 dan kematian sebanyak
83.279 jiwa (Covid, 2019).
Fenomena sosial
COVID-19 sangat bergantung dengan pembatasan kontak sosial yang efektif untuk menurunkan
penyebaran virus yang sangat
menular (Marroqu�n et al., 2020).
WHO merekomendasikan prosedur
social distancing yang dapat meminimalisir kontak sosial dan fisik antara masyarakat yang meliputi penutupan bisnis yang tidak esensial, kerja jarak jauh, pembelajaran
jarak jauh, dan lain-lain (Oosterhoff et al., 2020).
� Pemerintah
menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang peraturannya melingkupi, pembatasan kegiatan keagamaan, kegiatan sosial dan budaya dan kegiatan di tempat atau fasilitas
umum dimana restoran dan warung makan dibatasi kapasitasnya. Namun, akibat terjadinya peningkatan kasus yang signifikan, pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat
(PPKM), dimana pelaksanaan kegiatan pada sektor non esensial diberlakukan 100% kerja dan pembelajaran jarak jauh. Selebihnya,
pemerintah juga mengharuskan
menutup pusat perbelanjaan/pusat perdagangan; tempat ibadah; fasilitas umum; sarana kegiatan seni/budaya, olahraga,
sosial kemasyarakatan, dan restoran untuk tidak menerima makan ditempat. Kebijakan yang mengharuskan siswa dan mahasiswa melaksanakan kegiatan pembelajaran jarak jauh bertujuan untuk memenuhi hak peserta didik
untuk mendapatkan layanan pendidikan selama darurat COVID-19, melindungi warga satuan pendidikan dari dampak buruk
COVID-19, mencegah penyebaran
dan penularan COVID-19 di satuan
pendidikan dan memastikan pemenuhan dukungan psikososial bagi pendidik, didik, dan orang tua (Covid-19, 2020, 2021; M. D. N. R. Indonesia, 2021; M. K. R. Indonesia,
2020).
Pemberlakuan pembatasan
sosial, meningkatnya kasus positif dan kematian dengan cepat, dan berita media sosial yang melonjak selama pandemi dapat berdampak pada kesehatan mental populasi umum, salah satunya pada mahasiswa kedokteran yang harus melewati tekanan signifikan, seperti jam belajar yang panjang, beban kerja yang berat dan masalah ekonomi yang cukup besar (V & M, 2014).
Berdasarkan penelitian mengenai true quarantine, karantina
menyebabkan efek substansial pada tekanan emosional dan kesehatan mental
yang meliputi depresi, kecemasan, insomnia, dan stres pasca trauma (Li et al., 2020; Marroqu�n et al., 2020; Xiang et al., 2020).
Depresi merupakan
sebuah gangguan mood yang gejalanya dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, aktivitas sehari-hari seperti pola tidur, pola
makan dan pekerjaan. Orang didiagnosis mengalami depresi ketika gejala menetap selama paling tidak dua minggu (Corbett, 2018). Berdasarkan penelitian oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa
Indonesia (PDSKJI), didapatkan sebanyak
64.8% responden mengalami masalah psikologis dengan 75% mengalami trauma, 65% mengalami kecemasan, dan 62% mengalami depresi selama lima bulan berlangsungnya pandemi COVID-19
di Indonesia. Masalah psikologis
terbanyak ditemukan pada kelompok usia 17-29 tahun dan >60 tahun (PDSKJI, 2020).
Sepanjang pandemi COVID-19,
puncak tekanan mental berkorelasi erat dengan puncak kematian
COVID-19 dan periode ketika
tindakan pengendalian pandemi paling ketat. Kejadian ini membaik
dengan penurunan kasus COVID-19 dan pelonggaran pembatasan sosial (OECD, 2021).
Kecerdasan emosional
adalah kemampuan seseorang untuk mengatur dan mengontrol emosi, bukan hanya
dari diri mereka namun juga orang-orang di sekitarnya (Thakur, 2020).
Orang yang memiliki kecerdasan
emosional tinggi juga memiliki passion, pengendalian
diri, ketekunan, mampu memotivasi diri sendiri, dan lebih mudah pulih
dari kegagalan dan kesedihan, sedangkan orang dengan kecerdasan emosional yang rendah, seringkali mudah mengalami depresi dan melawan perasaan sendiri.� (D. Goleman, 2009). Kecerdasan emosional memiliki lima elemen: kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan kompetensi sosial. Kesadaran diri adalah kemampuan
untuk mengenali dan memahami emosi, suasana hati, dan dorongan (drive) seseorang
serta bagaimana semua ini mempengaruhi
orang lain. Pengaturan diri
adalah kemampuan untuk mengendalikan emosi atau respons
yang mengganggu. Motivasi mengacu pada dorongan untuk bekerja menuju
tujuan. Empati melibatkan kemampuan untuk memahami dan menerima emosi, suasana hati, dan dorongan orang lain. Keterampilan
sosial merupakan kemampuan untuk mengelola hubungan dan jaringan (network) dengan
orang lain melalui kesamaan
diantaranya (common ground). Guna mengelola emosi secara lebih positif
dan mencegah depresi, individu dapat memahami emosinya untuk memfasilitasi pemikiran, memahami emosi, memberi makna pada pengalaman emosional, dan mengatur emosi (Zoromba et al., 2015).
Banyak orang mengalami kecemasan, kesepian, ketakutan, dan emosi negatif oleh karena adanya pembatasan sosial yang diberlakukan selama pandemi COVID-19. Kecemasan yang berkepanjangan dapat mengakibatkan terjadinya gangguan kesehatan mental yakni depresi. Sehubungan dengan hal tersebut,
orang dengan kecerdasan emosional yang tinggi mempunyai kemampuan beradaptasi yang lebih baik, salah satunya karena mereka cenderung
mempunyai support system yang kuat. (Drigas & Papoutsi, 2020).
Oleh karena itu, melihat adanya
permasalahan terhadap depresi yang dialami oleh individu dalam melakukan pembelajaran jarak jauh, penelitian hendak dilakukan lebih lanjut untuk mengetahui hubungan kecerdasan emosional terhadap tingkat depresi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
angkatan 2019 selama pandemi COVID-19.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi survei analitik
dengan desain penelitian cross-sectional. Survei
analitik adalah penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena itu terjadi, kemudian
dilakukan analisis dinamika korelasi antara fenomena atau antara faktor
risiko dengan faktor efek. Dari analisis korelasi tersebut dapat diketahui seberapa jauh kontribusi faktor risiko terhadap
adanya suatu kejadian tertentu (Notoatmodjo, 2018). Desain penelitian cross-sectional adalah
pengambilan data variabel dependen dan variabel independen yang dilakukan pada saat yang bersamaan. Variabel independen merupakan variabel yang dimanipulasi oleh peneliti, dan variabel dependen akan berubah akibat
manipulasi tersebut (Notoatmodjo, 2014).
�� Pemilihan sampel pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
angkatan 2019 menggunakan teknik simple random sampling dengan
jumlah sampel 154 responden yang telah dilakukan pada bulan Juni 2021. Simple random sampling adalah teknik mengambil
secara acak dari anggota populasi
sehingga semua orang memiliki probabilitas yang sama untuk menjadi
bagian dari sampel (Popov, 2018).
�� Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan secara
online menggunakan platform Google Forms
dengan cara memberikan daftar pertanyaan dan pilihan jawaban. Analisis bivariat dengan uji chi-square digunakan
untuk melihat pengaruh tingkat kecerdasan emosional terhadap depresi dengan tingkat kepercayaan 95%.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh
secara langsung dari sumber informasi
dengan menggunakan instrumen kuesioner secara daring. Kuesioner yang digunakan adalah PHQ-9 dan
Kecerdasan Emosional. Hasil
kuesioner PHQ-9 dalam
bentuk kategori Normal, Ringan, Sedang, Sedang berat, dan
Berat dengan nilai cut-off ≥10 dinyatakan depresi (Urtasun et al., 2019). Kuesioner Kecerdasan Emosional menggunakan skala Likert untuk mengukur variabel penelitian dalam pilihan jawaban yang terdiri dari Sangat
Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Setuju (S), dan Sangat Setuju (SS) dengan kategori hasil tinggi dan rendah.
Hasil dan Pembahasan
A.
Hasil Penelitian
Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi variabel yang ada pada penelitian. Variabel independen pada penelitian ini yaitu depresi
dan kecerdasan emosional.
Tabel 1
Frekuensi Depresi
Variabel |
����� Frekuensi n���������������������
%����������������������������������
|
|
Tidak Depresi |
123 |
79,9 |
Depresi |
�31 |
20,1 |
Total������������������ |
�154����������������� |
100.0 |
Berdasarkan tabel 1, dari 154 mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara angkatan 2019, sebanyak 31 orang (20.1 %) mengalami
depresi dan sebanyak 123
orang (79,9%) tidak mengalami
depresi.
Tabel 2
Frekuensi Kecerdasan
Emosional
Variabel |
����� Frekuensi n���� �����������������%���������������������������������� |
|
Tinggi |
46 |
29,9 |
Rendah |
108 |
70,1 |
Total������������������ |
154���������������� |
100.0 |
Kecerdasan emosional dapat dibagi menjadi
dua yaitu kecerdasan emosional tinggi dan rendah. Berdasarkan hasil distribusi frekuensi kecerdasan emosional dalam tabel 2, terdapat mahasiswa dengan kecerdasan emosional tinggi sebanyak 46 orang (29.9%) dan kecerdasan
emosional yang rendah sebanyak 108 orang (70.1%).
Tabel 3
Hubungan Jenis
Kelamin dan Kecerdasan Emosional
Jenis Kelamin |
Kecerdasan Emosional |
Total |
p-value |
||||
Tinggi |
Rendah |
n |
% |
||||
n |
% |
n |
% |
||||
Pria |
18 |
40,9 |
26 |
59,1 |
44 |
29 |
0,089 |
Wanita |
28 |
25,5 |
82 |
74,5 |
110 |
71 |
Berdasarkan tabel 3, dari 44 mahasiswa dengan jenis kelamin
pria didapatkan 18 orang
(40.9%) memiliki kecerdasan
emosional tinggi dan 26
orang (59.1%) memiliki kecerdasan
emosional rendah. Dari 110 mahasiswa dengan jenis kelamin wanita
didapatkan 28 orang (25.5%) memiliki
kecerdasan emosional tinggi dan 82 orang (74.5%) memiliki
kecerdasan emosional rendah. Berdasarkan hasil analisis uji chi-square diperoleh bahwa jenis kelamin (p-value 0.089) tidak berhubungan secara signifikan dengan kecerdasan emosional yang ditentukan nilai p-value>0,05 dan OR 2,027 dengan
derajat kepercayaan 95%, artinya jenis kelamin
tidak berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan emosional.
Tabel 4
Hubungan Kecerdasan Emosional
dan Depresi
Kecerdasan Emosional |
Depresi |
Total |
|||||
Tidak Depresi |
Depresi |
|
|
||||
n |
% |
n |
% |
n |
% |
p-value |
|
Tinggi |
44 |
95,7 |
2 |
4,3 |
46 |
29,9 |
0,003 |
Rendah |
79 |
73,1 |
29 |
26,9 |
108 |
70,1 |
Berdasarkan tabel 4, dari 46 mahasiswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi didapatkan tidak mengalami depresi sebanyak 44 orang (95.7%) dan mengalami
depresi sebanyak 2 orang
(4.3%), lalu dari 108 mahasiswa yang memiliki kecerdasan emosional rendah didapatkan tidak mengalami depresi sebanyak 79 orang (73.1%)
dan mengalami depresi sebanyak 29 orang (26.9%). Hasil analisis
uji chi-square diperoleh nilai
p-value 0.003 (p<0,05) dan nilai OR 8,076 dengan derajat kepercayaan 95%, artinya kecerdasan emosional berpengaruh pada tingkat depresi.
B.
Pembahasan
Kecerdasan emosional
adalah faktor prediktif potensial dalam depresi karena
terdapat sebanyak 64% varian depresi dalam kecerdasan emosional yaitu varian harga diri
dan kemampuan pemecahan masalah (Batool & Khalid, 2009). Dalam penelitian ini didapatkan bahwa semakin rendah
kecerdasan emosional, maka semakin tinggi
depresi dengan p-value
0.003 (p<0,05). Hal ini didukung
oleh (Goleman, 2009), apabila seseorang
dapat meningkatkan kecerdasan emosional maka dapat menurunkan
risiko terjadinya depresi. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Ramdhani et al., 2020),
dimana ada hubungan yang bermakna negatif dengan korelasi sedang antara tingkat kecerdasan emosi dengan derajat depresi pada mahasiswa kedokteran tahun pertama Program Studi Kedokteran Universitas Sebelas Maret tahun 2020.
Berdasarkan analisis
penelitian ini didapatkan hubungan yang tidak signifikan antara jenis kelamin
dengan tingkat kecerdasan emosional (p>0,05).
Pada studi (Meshkat & Nejati, 2017)
didapatkan kecerdasan emosional tidak secara signifikan berbeda antara pria dan wanita, namun jenis kelamin
memiliki perbedaan dalam kesadaran emosional, hubungan
interpersonal, harga diri,
dan empati dengan skor wanita lebih
tinggi daripada pria. Harga diri pada pria cenderung memiliki skor lebih
tinggi. Selain itu, Abe et al menyatakan bahwa kecerdasan emosional dipengaruhi oleh sifat seseorang dan bukan dari jenis
kelamin. Penelitian (Sundararajan & Gopichandran, 2018)
juga� menyatakan
bahwa pria dan wanita mempunyai kemampuan yang sama dalam mengidentifikasi dan mengatur emosi mereka dengan orang lain. Namun, berdasarkan (Ahmad et al., 2009), pria berasosiasi dengan kecerdasan emosional yang lebih tinggi dibandingkan wanita (p<0,01). Hal ini dikarenakan pria mempunyai kepribadian yang cenderung lebih asertif, independen, dan kemampuan yang lebih baik dalam menghadapi
situasi sulit.
Gangguan depresi
meningkat secara signifikan pada berbagai sektor dalam keadaan
pandemi COVID-19 (Czeisler et al., 2020).
Pelaksanaan belajar jarak jauh dapat
berdampak terhadap kesehatan mental dan kondisi belajar pada mahasiswa kedokteran. Sebelum adanya pandemi COVID-19, tekanan mental merupakan hal yang umum di kalangan mahasiswa kedokteran, seperti kecemasan, depresi, dan tekanan psikologis. Pada kondisi mahasiswa kedokteran yang melakukan pembelajaran dengan mengunjungi rumah sakit didapatkan kecemasan menurun setelah melakukan pembelajaran daring, namun kecemasan pada mahasiswa non kedokteran meningkat. Hal ini menunjukan risiko tinggi persepsi
COVID-19 berkontribusi pada tingkat
kecemasan (B et al., 2020). Berdasarkan
hasil penelitian (Halperin et al., 2021)
pada mahasiswa kedokteran, didapatkan bahwa selama pandemi COVID-19 mahasiswa kedokteran mengalami peningkatan tingkat depresi sebesar 70%, maka dari itu� dapat dilihat perbedaan tingkat depresi yang signifikan pada mahasiswa kedokteran tingkat preklinik selama pandemi COVID-19. Namun, berdasarkan penelitian oleh (A
et al., 2020) pada mahasiswa kedokteran stase klinis, didapatkan perbedaan tingkat depresi sebelum dan sesudah COVID-19 yang tidak signifikan karena adanya tindakan meminimalkan kehadiran mahasiswa terhadap paparan pasien COVID-19 dengan pembelajaran daring yang dapat membantu mengendalikan gejala kecemasan dan depresi.�
Telah diketahui
bahwa kecerdasan emosional mempunyai peran penting dalam
mencegah terjadinya depresi, terutama saat pandemi COVID-19. Terdapat beberapa metode yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional. Self-Regulated
Learning adalah metode
yang menekankan siswa untuk memiliki kemandirian dan motivasi dalam menyelesaikan berbagai masalah (Awaluddin, Muthmainnah, &
Ali, 2014). Situation,
Options, Consequences, Solutions (SOCS) merupakan
metode berpikir dimana pertama kita harus mengenali
situasi yang kita hadapi dan perasaan kita, berpikir tentang solusi untuk mengatasi situasi tersebut beserta konsekuensi dari setiap solusi,
dan yang terakhir adalah melaksanakan solusi yang dipilih. Kurikulum Parents and
Teacher Helping Students (PATH) mengajarkan tentang bagaimana cara mengenal berbagai
emosi dan cara mengendalikannya. Terakhir,
Emotional Literacy Classes mengajarkan cara mengenal emosi,
manajemen emosi, memahami emosi orang sekitar, dan cara mempertahankan relasi (M. Goleman et al., 2019).
Keterbatasan dari penelitian ini adalah proporsi laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang, respon objektif terhadap kuesioner survei dan data yang menunjukan
status mental responden hanya
pada titik waktu tertentu dan tidak mengikuti perkembangan depresi responden.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian
dan pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa distribusi frekuensi dari 154 orang mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara angkatan 2019, diketahui 46 (29,9%) mahasiswa memiliki kecerdasan emosional tinggi, dan 108 (70,1%)
mahasiswa memiliki kecerdasan emosional yang rendah. Berdasarkan distribusi frekuensi dari 154 orang, diketahui 31
(20,1%) orang mengalami depresi,
dan 123 (79.9%) tidak mengalami
depresi. Dari 44 mahasiswa dengan jenis kelamin
pria didapatkan 18 orang
(40.9%) memiliki kecerdasan
emosional tinggi dan 26
orang (59.1%) memiliki kecerdasan
emosional rendah. Dari 110 mahasiswa dengan jenis kelamin wanita
didapatkan 28 orang (25.5%) memiliki
kecerdasan emosional tinggi dan 82 orang (74.5%) memiliki
kecerdasan emosional rendah. Terdapat hubungan yang tidak bermakna antara jenis kelamin dengan
kecerdasan emosional
(p-value 0,089) dan OR 2,027 dengan derajat kepercayaan 95%, artinya jenis kelamin
tidak berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan emosional. Dari 46 mahasiswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi didapatkan tidak mengalami depresi sebanyak 44 orang (95.7%)
dan mengalami depresi sebanyak 2 orang (4.3%), lalu dari 108 mahasiswa yang memiliki kecerdasan emosional rendah didapatkan tidak mengalami depresi sebanyak 79 orang (73.1%) dan mengalami
depresi sebanyak 29 orang
(26.9%).� Terdapat
hubungan bermakna antara kecerdasan emosional dengan tingkat depresi (p-value 0.003)
dan nilai OR 8,076 dengan derajat kepercayaan 95%, artinya kecerdasan emosional berpengaruh pada tingkat depresi.
BIBLIOGRAFI
Ahmad, S.,
Bangash, H., & Khan, S. A. (2009). Emotional Intelligence And Gender
Differences. Sarhad J. Agric, 25(1), 127�130. Google Scholar
Batool,
S. S., & Khalid, R. (2009). Low Emotional Intelligence: A Risk Factor For
Depression. Journal Of Pakistan Psychiatric Society, 6(2), 65�72. Google Scholar
Corbett,
D. (2018). Nimh � Depression. In 2018. Google Scholar
Covid-19,
G. T. (2020). Kebijakan Psbb Pilihan Paling Rasional Di Tengah Covid-19 -
Berita Terkini | Covid19.Go.Id. Covid19.Go.Id. Google Scholar
Covid-19,
G. T. (2021). Inilah Aturan Lengkap Ppkm Darurat (3-20 Juli 2021) -
Masyarakat Umum | Covid19.Go.Id. Covid19.Go.Id. Google Scholar
Covid,
K. P. (2019). Dan Pemulihan Ekonomi Nasional.(2020). Jaring Pengaman Sosial
Pemerintah Pusat Hadapi Covid-19-Masyarakat Umum| Satgas Penanganan Covid-19. Google Scholar
Czeisler,
M. �., Lane, R. I., Petrosky, E., Wiley, J. F., Christensen, A., Njai, R.,
Weaver, M. D., Robbins, R., Facer-Childs, E. R., & Barger, L. K. (2020).
Mental Health, Substance Use, And Suicidal Ideation During The Covid-19
Pandemic�United States, June 24�30, 2020. Morbidity And Mortality Weekly
Report, 69(32), 1049. Google Scholar
Di
Gennaro, F., Pizzol, D., Marotta, C., Antunes, M., Racalbuto, V., Veronese, N.,
& Smith, L. (2020). Coronavirus Diseases (Covid-19) Current Status And
Future Perspectives: A Narrative Review. International Journal Of
Environmental Research And Public Health, 17(8), 2690. Google Scholar
Drigas,
A., & Papoutsi, C. (2020). The Need For Emotional Intelligence Training
Education In Critical And Stressful Situations: The Case Of Covid-19. International
Journal Of Recent Contributions From Engineering, Science & It (Ijes), 8(3),
20�36. Google Scholar
Goleman,
D. (2009). Emotional Intelligence Why It Can Matter More Than Iq.
Bloomsbury Publishing Plc. Google Scholar
Goleman,
M., Balicki, I., Radko, A., Jakubczak, A., & Fornal, A. (2019). Genetic
Diversity Of The Polish Hunting Dog Population Based On Pedigree Analyses And
Molecular Studies. Livestock Science, 229, 114�117. Google Scholar
Halperin,
S. J., Henderson, M. N., Prenner, S., & Grauer, J. N. (2021). Prevalence Of
Anxiety And Depression Among Medical Students During The Covid-19 Pandemic: A
Cross-Sectional Study. Journal Of Medical Education And Curricular
Development, 8, 2382120521991150. Google Scholar
Indonesia,
M. D. N. R. (2021). Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 03 Tahun 2021
Tentang Psbb Mikro. Google Scholar
Indonesia,
M. K. R. (2020). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. In Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Vol. 9). Google Scholar
Li,
S., Wang, Y., Xue, J., Zhao, N., & Zhu, T. (2020). The Impact Of Covid-19
Epidemic Declaration On Psychological Consequences: A Study On Active Weibo
Users. International Journal Of Environmental Research And Public Health,
17(6). Google Scholar
Marroqu�n,
B., Vine, V., & Morgan, R. (2020). Mental Health During The Covid-19
Pandemic: Effects Of Stay-At-Home Policies, Social Distancing Behavior, And
Social Resources. Psychiatry Research, 293, 113419. Google Scholar
Meshkat,
M., & Nejati, R. (2017). Does Emotional Intelligence Depend On Gender? A
Study On Undergraduate English Majors Of Three Iranian Universities. Sage
Open, 7(3), 2158244017725796. Google Scholar
Notoatmodjo,
S. (2014). Metodologi Penelitian Kesehatan. Pt Rineka Cipta. Google Scholar
Notoatmodjo,
S. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan (3rd Ed.). Pt Rineka Cipta. Google Scholar
Oecd.
(2021). Tackling The Mental Health Impact Of The Covid-19 Crisis: An
Integrated, Whole-Of-Society Response. May, 1�16. Google Scholar
Oosterhoff,
B., Palmer, C. A., Wilson, J., & Shook, N. (2020). Adolescents� Motivations
To Engage In Social Distancing During The Covid-19 Pandemic: Associations With
Mental And Social Health. Journal Of Adolescent Health, 67(2),
179�185. Google Scholar
Pdskji.
(2020). Pdskji | Pdskji.Org. Google Scholar
Popov,
A. (2018). Psychology (2nd Ed.). Oxford University Press 2018. Google Scholar
Ramdhani,
S. F., Fanani, M., & Nugroho, D. (2020). Hubungan Tingkat Kecerdasan Emosi
Dengan Derajat Depresi Pada Mahasiswa Kedokteran. Wacana, 12(1),
110�132. Google Scholar
Sundararajan,
S., & Gopichandran, V. (2018). Emotional Intelligence Among Medical
Students: A Mixed Methods Study From Chennai, India. Bmc Medical Education,
18(1), 1�9. Google Scholar
Thakur,
M. (2020). Importance Of Emotional Intelligence _ Features And Components Of
Ei. Google Scholar
Urtasun,
M., Daray, F. M., Teti, G. L., Coppolillo, F., Herlax, G., Saba, G.,
Rubinstein, A., Araya, R., & Irazola, V. (2019). Validation And Calibration
Of The Patient Health Questionnaire (Phq-9) In Argentina. Bmc Psychiatry
2019 19:1, 19(1), 1�10. Google Scholar
V,
H., & M, H. (2014). Medical Student Depression, Anxiety And Distress
Outside North America: A Systematic Review. Medical Education, 48(10),
963�979. Google Scholar
Xiang,
Y.-T., Yang, Y., Li, W., Zhang, L., Zhang, Q., Cheung, T., & Ng, C. H.
(2020). Timely Mental Health Care For The 2019 Novel Coronavirus Outbreak Is
Urgently Needed. The Lancet. Psychiatry, 7(3), 228. Google Scholar
Zoromba,
M., Abdellatif, S., Hussien, E., & Hamed, W. (2015). Relationship Between
Emotional Intelligence And Levels Of Depression Among Patients With Depressive
Disorders. Mansoura Nursing Journal, 2(4), 45�54. 128 Google Scholar
Copyright holder: Teddy Tjahyanto, Ni Kanaya,
Grace Keren, Eunike Angellina
Mulyadi dan Kevin Sanjaya Listiono (2021) |
First publication right: |
This article is licensed under: ������������������������������������������������������� |