Jurnal Health Sains: p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398�����

Vol. 2, No. 8, Agustus 2021

 

TERAPI L-ASCORBIC ACID 10% DAN GLUTATION 2% DIBANDINGKAN DENGAN HIDROKUINON 4% PADA PASIEN MELASM

 

Ummi Rinandari, Putti Fatiharani Dewi, Arie Kusumawardani, Muhammad Eko Irawanto, Moerbono Mochtar

Universitas Sebelas Maret Surakarta Jawa Tengah, Indonesia

Email[email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

 

info artikel

abstraK

Diterima

5 Agustus 2021

Direvisi

15 Agustus 2021

Disetujui

25 Agustus 2021

Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi yang sering dijumpai, bersifat kronis. Hidrokuinon dianggap terapi standar baku melasma, memiliki keterbatasan dan efek samping bervariasi. L-ascorbic acid berperan sebagai reactive oxygen species (ROS) scavenger dan memiliki kemampuan mengikat ion tembaga pada tempat kerja tirosinase. Glutation mempunyai fungsi depigmentasi kulit yaitu menghambat melanogenesis dengan menekan aktivitas enzim tirosinase. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan dan menganalisa efektivitas terapi kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2% dalam menurunkan skor MASI dibandingkan serum hidrokuinon 4% pada pasien melasma. Metode penelitian eksperimental klinis, pre and posttest double blind randomized controlled trial dengan subjek penelitian sebanyak 36 pasien melasma. Pada kelompok I diberikan kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2%, sedangkan kelompok II mendapat serum hidrokuinon 4%. Efektivitas serum dinilai dengan skor MASI. Analisis yang digunakan adalah uji t-berpasangan, uji Wilcoxon dan analisa Difference-in-Differences (DID). Uji statistik dianggap bermakna jika p<0,05. Hasil penelitian pada kedua kelompok terdapat penurunan skor MASI secara signifikan (p<0,001), namun penurunan tersebut tidak berbeda signifikan antara kedua kelompok. Penurunan skor MASI antara kedua kelompok tidak ada perbedaan signifikan pada minggu ke-4 (p=0,535) dan ke-8 (p=0,303). Kesimpulan dari penelitian ini adalah kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2% menurunkan skor MASI, tetapi tidak terbukti lebih efektif menurunkan skor MASI dibandingkan serum hidrokuinon 4% pada pasien melasma.

 

ABSTRACT

Melasma is a hyperpigmentation disorder that is often found, is chronic. Hydroquinone is considered the standard therapeutic standard of melasma, has limitations and side effects vary. L-ascorbic acid acts as a reactive oxygen species (ROS) scavenger and has the ability to bind copper ions in the tyrosinase workplace. Glutation has the function of depigmentation of the skin that inhibits melanogenesis by suppressing the activity of tyrosinease enzymes. The purpose of this study was to prove and analyze the effectiveness of serum combination therapy L-ascorbic acid 10% and glutation 2% in lowering MASI score compared to serum hydroquinone 4% in melasma patients. Clinical experimental research method, pre and posttest double blind randomized controlled trial with the study subjects as many as 36 melasma patients. In group I was given a combination of serum L-ascorbic acid 10% and glutation 2%, while group II got serum hydroquinone 4%. The effectiveness of serum is assessed with an MASI score. The analyses used are t-paired tests, Wilcoxon tests and Difference-in-Differences (DID) analyses. Statistical tests are considered meaningful if p<0.05. The results of the study in both groups had a significant decrease in MASI score (p<0,001), but the decrease did not differ significantly between the two groups. The decrease in MASI scores between the two groups made no significant difference in week 4 (p=0.535) and 8th (p=0.303). The conclusion of this study was a combination of serum L-ascorbic acid 10% and glutation 2% lowered MASI score, but not proven more effective in lowering MASI score than serum hydroquinone 4% in melasma patients.

Kata Kunci:

L-ascorbic acid; glutation; hidrokuinon; melasma

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

L-ascorbic acid; glutathione; hydroquinone; melasma



Pendahuluan

Melasma adalah kelainan hipermelanosis didapat berupa bercak hiperpigmentasi irreguler berwarna coklat muda atau coklat tua pada daerah yang terpajan sinar matahari, berlangsung kronis, kambuhan dengan distribusi simetris dan biasanya dijumpai pada wanita usia reproduktif (Kumarasinghe et al., 2019). Melasma dikenal juga dengan istilah kloasma atau topeng kehamilan karena angka kejadiannya meningkat pada wanita hamil. Kata kloasma berasal dari bahasa Latin �chloos� dan bahasa Yunani �cloazein� yang memiliki arti bercak kehijauan (Bagherani et al., 2015).

Kelainan ini banyak diderita wanita usia reproduksi dan berkulit gelap dengan tipe kulit III-V menurut Fitzpatrick yang tinggal di daerah dengan pajanan ultraviolet (UV) (Suryaningsih et al., 2019). Melasma dapat terjadi pada semua ras dan jenis kelamin. Prevalensi kelainan ini bervariasi di seluruh dunia, dipengaruhi oleh etnik, fenotip kulit dan intensitas paparan sinar matahari. Prevalensi melasma mulai dari 9% pada populasi Hispanik di Amerika Serikat bagian selatan hingga 40% di Asia Tenggara (Kumarasinghe et al., 2019). Melasma terjadi pada 75% kehamilan dan 26-29% wanita melaporkan onset kelainan ini selama kehamilan (Cestari & Buster, 2017). Data pasien melasma di Indonesia bervariasi pada beberapa rumah sakit. Berdasarkan data kunjungan di Poliklinik Dermatovenereologi RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2011, pasien melasma sebesar 18,1% dari total 3.763 kunjungan, dengan distribusi 98,4% wanita dan 1,6% laki-laki (Melyawati et al., 2014), di RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2013 didapatkan pasien melasma sebesar 45,9% (Rahmawati & Mawardi, 2017).

Etiopatogenesis melasma bersifat multifaktorial dan belum sepenuhnya dipahami (Melyawati et al., 2014). Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian melasma antara lain adalah sinar UV, genetik, hormonal, kehamilan, obat-obatan fotosensitif, kosmetika dan faktor psikologis (Handel et al., 2014). Penyebab utama melasma diduga berasal dari latar belakang genetik, paparan kronis terhadap radiasi UV dan hormon seks wanita (Lee, 2015).

Menurut lokasi dan presentasi klinis, melasma paling sering mengenai daerah sentrofasial, malar dan mandibula (Montinola, 2017). Melasma juga dapat dikelompokkan berdasarkan lokasi pigmen melanin menjadi tipe epidermal, dermal dan campuran (Anwar & Anwar, 2016).

Penentuan derajat keparahan melasma secara klinis dapat dilakukan dengan menggunakan skor MASI (Melasma Area and Severity Index). Melasma area and severity index yang dikembangkan oleh Kimbrough-Green et al. pada tahun 1994, merupakan sistem penilaian pertama yang menilai dan mengukur respon melasma terhadap pengobatan dalam uji klinis dengan memperhitungkan area yang terlibat dan hiperpigmentasi pada lesi melasma (Kumarasinghe et al., 2019). Penilaian Skor MASI merupakan teknik evaluasi pengobatan melasma yang sering digunakan. Metode ini dipercaya dan valid untuk menilai keparahan melasma terutama pada orang Hispanik, Afrika dan Asia (Asditya & Sukanto, 2017). Pemeriksaan MASI dipandang relevan dalam menilai keberhasilan terapi melasma (Arimuko et al., 2018). Keunggulan skor MASI adalah dalam memperhitungkan area keterlibatan dan tingkat pigmentasi, dua komponen terpenting yang berdampak buruk pada pasien melasma (Chuah et al., 2017).

Melasma tercatat sebagai salah satu penyakit yang sulit diobati (Sarkar et al., 2012). Sulit untuk mencapai respon pengobatan melasma dan remisi jangka panjang dari berbagai pilihan terapi melasma yang tersedia saat ini (Janney et al., 2019). Hidrokuinon merupakan agen depigmentasi kulit yang dianggap sebagai terapi standar baku untuk melasma (Sarkar et al., 2012). Hidrokuinon memiliki keterbatasan dan efek samping bervariasi terutama pada pemakaian jangka panjang dan sering terjadi kekambuhan jika pengobatan dihentikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk menemukan modalitas terapi melasma baru yang efektif dan mengembangkan strategi terapi alternatif pengganti hidrokuinon (Nomakhosi & Heidi, 2018; Sarkar et al., 2012).

L-ascorbic acid merupakan bentuk aktif vitamin C dan dikenal sebagai agen antipigmentasi (Sugiura & Rathmell, 2018). L-ascorbic acid dilaporkan sebagai pengobatan untuk melasma karena memiliki sifat antioksidan yaitu berperan sebagai reactive oxygen species (ROS) scavenger (Al-Niaimi & Chiang, 2017; Kaliterna-Lipovčan & Braj�a-�ganec, 2017). L-ascorbic acid mengganggu melanogenesis melalui interaksi dengan ion tembaga di situs aktif tirosinase dan mengurangi konversi L-3,4-dihydroxyphenylalanine (L-DOPA) menjadi dopaquinone (DQ) dengan memblokir dihydrochinindol-2-carboxyl acid. L-ascorbic acid mereduksi DQ kembali ke L-DOPA dan mengurangi DQ teroksidasi sehingga mencegah pembentukan melanin (Dessinioti et al., 2018).

Glutation adalah salah satu antioksidan utama dalam tubuh, yang memiliki fungsi depigmentasi kulit. Salah satu efek fisiologis glutation adalah menghambat melanogenesis dengan menekan aktivitas tirosinase (Lu et al., 2014; Sarkar et al., 2012). Studi mengenai pengaruh dan cara penggunaan glutation untuk pengobatan melasma masih terbatas dan hasilnya masih kontroversial (Dilokthornsakul et al., 2019).

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membuktikan dan menganalisis efektivitas terapi kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2% dibandingkan serum hidrokuinon 4% pada pasien melasma. Tujuan khusus penelitian ini adalah membuktikan efektivitas kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2% dalam menurunkan skor MASI dibandingkan serum hidrokuinon 4%.

 

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik Rawat Jalan Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/ RSUD Dr. Moewardi dan Klinik MM Surakarta dengan tetap memperhatikan standar penelitian dan protokol kesehatan. Pembuatan kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2% serta serum hidrokuinon 4% dilakukan di Laboratorium Lipwih Synergy Lab Jakarta.

Penelitian mulai dilakukan bulan Januari 2021 sampai jumlah sampel terpenuhi.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental klinis dengan rancangan pre and posttest double blind randomized controlled trial menggunakan kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2% dibandingkan serum hidrokuinon 4% pada pasien melasma. Efektivitas serum dinilai dengan skor MASI pada baseline (minggu 0), minggu ke-4 dan ke-8.

Populasi target penelitian adalah pasien melasma di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Populasi terjangkau adalah wanita pasien melasma yang datang memeriksakan diri ke Poliklinik Rawat Jalan Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/ RSUD Dr. Moewardi, Surakarta.

Sampel diambil dari subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan terlepas dari kriteria eksklusi. Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus perkiraan besar sampel untuk uji analitik numerik tidak berpasangan (Dahlan et al., 2013).

Sampel dipilih menggunakan teknik consecutive sampling dimana pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan terlepas dari kriteria eksklusi akan dimasukkan sebagai subjek penelitian secara berturut-turut sampai jumlah minimal sampel terpenuhi.

 

Hasil dan Pembahasan

A.   Hasil Penelitian

1.    Deskripsi Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental klinis dengan rancangan pre and posttest double blind randomized controlled trial menggunakan kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2% dibandingkan serum hidrokuinon 4% pada pasien melasma. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok menggunakan teknik consecutive sampling. Pada kelompok I diberikan kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2%, sedangkan kelompok II mendapat serum hidrokuinon 4%.

Total pasien yang mengikuti penelitian ini sebanyak 40 pasien melasma. Selama penelitian pada kelompok I terdapat 1 pasien mengundurkan diri atau tidak bersedia melanjutkan penelitian dan 1 pasien yang berenang di siang hari di bawah terik sinar matahari langsung pada hari sebelum pemeriksaan lanjutan, pada kelompok II terdapat 1 pasien yang mengeluhkan kulit wajahnya kemerahan dan tidak tahan terhadap efek samping serum serta 1 pasien pindah domisili. Jumlah subjek penelitian yang mengikuti penelitian dari awal hingga akhir sebanyak 36 pasien yang terbagi 18 orang pada kelompok I dan 18 orang pada kelompok II. Kelompok I menerima pengobatan kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2%, sedangkan kelompok II mendapatkan serum hidrokuinon 4%. Gambaran subjek pada penelitian ini dapat dilihat pada karakteristik sosiodemografi (Tabel. 1) yang meliputi usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, riwayat melasma pada keluarga, riwayat kontrasepsi hormonal, riwayat pemakaian obat sebelumnya, tipe kulit Fitzpatrick, pola klinis melasma dan tipe melasma.

Pasien melasma yang mengikuti penelitian ini paling banyak berada pada rentang usia 30-39 tahun (40%) dimana pada kelompok I rentang usia terbanyak adalah 30-39 tahun (55%) dan pada kelompok II paling banyak pada 40-49 tahun (45%). Pendidikan terakhir pasien melasma terbanyak pada penelitian ini adalah Sekolah Menengah Atas (52,5%) dan Sekolah Menengah Pertama (25%), jenis pekerjaan paling banyak yaitu ibu rumah tangga (62,5%). Sebagian besar subjek penelitian ini memiliki riwayat melasma pada keluarga (52,5%), tidak memakai kontrasepsi hormonal (95%) dan tidak pernah mendapatkan pengobatan melasma sebelumnya (87,5%), baik berobat ke klinik kecantikan ataupun membeli krim secara bebas. Tipe kulit terbanyak pada penelitian ini yaitu tipe kulit Fitzpatrick 4 (50%).


Tabel 1

Karakteristik Sosiodemografi

Karakteristik

Sosiodemografi

Kelompok I

(n=20)

Kelompok II

(n=20)

Total

(n=40)

p

Usia

20-29 tahun

30-39 tahun

40-49 tahun

≥ 50 tahun

 

1 (5%)

11 (55%)

5 (25%)

3 (15%)

 

1 (5%)

5 (25%)

9 (45%)

5 (25%)

 

2 (5%)

16 (40%)

14 (35%)

8 (20%)

0,057

Pendidikan

Sekolah Dasar

Sekolah Menengah Pertama

Sekolah Menengah Atas

Diploma

Sarjana

 

1 (5%)

6 (30%)

10 (50%)

1 (5%)

2 (10%)

 

5 (25%)

4 (20%)

11 (55%)

0 (0%)

0 (0%)

 

6 (15%)

10 (25%)

21 (52,5%)

1 (2,5%)

2 (5%)

0,519

Pekerjaan

Pegawai Negeri Sipil

Pedagang

Karyawan Swasta

Mahasiswa

Ibu Rumah Tangga

 

2 (10%)

5 (25%)

1 (5%)

0 (0%)

12 (60%)

 

0 (0%)

3 (15%)

3 (15%)

1 (5%)

13 (65%)

 

2 (5%)

8 (20%)

4 (10%)

1 (2,5%)

25 (62,5%)

0,744

Riwayat melasma pada keluarga

Ada

Tidak

 

 

11 (55%)

9 (45%)

 

 

10 (50%)

10 (50%)

 

 

21 (52,5%)

19 (19%)

0,752

Riwayat kontrasepsi hormonal

Ya

Tidak

 

 

1 (5%)

19 (95%)

 

 

1 (5%)

19 (95%)

 

 

2 (5%)

38 (95%)

1

Riwayat pemakaian obat melasma

Ya

Tidak

 

 

4 (20%)

16 (80%)

 

 

1 (5%)

19 (95%)

 

 

5 (12,5%)

35 (87,5%)

0,342

Tipe kulit Fitzpatrick

III

IV

V

 

8 (40%)

10 (50%)

2 (10%)

 

5 (25%)

10 (50%)

5 (25%)

 

13 (32,5%)

20 (50%)

7 (17,5%)

0,500

Pola klinis

Sentrofasial

 

20 (100%)

 

20 (100%)

 

40 (100%)

 

Tipe melasma

Epidermal

Campuran

 

11 (55%)

9 (45%)

 

6 (30%)

14 (70%)

 

17 (42,5%)

23 (57,5%)

0,201

Keterangan:

Kelompok I = kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2%

Kelompok II = serum hidrokuinon 4%

 


 

Seluruh subjek penelitian ini memiliki pola klinis sentrofasial (100%) dengan tipe melasma epidermal (42,5%) dan tipe campuran (57,5%). Pada kelompok I paling banyak ditemukan tipe epidermal (55%), sedangkan pada kelompok II tipe melasma terbanyak adalah tipe campuran (70%).

Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik pada karakteristik usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, riwayat melasma pada keluarga, riwayat kontrasepsi hormonal, riwayat pemakaian obat sebelumnya, tipe kulit Fitzpatrick dan tipe melasma antara kelompok I dan kelompok II (p>0,05).

2.    Analisis Perbaikan Skor MASI

Pada penelitian ini tingkat keparahan melasma secara klinis dinilai menggunakan skor MASI. Komponen yang dinilai pada skor MASI meliputi area, tingkat kegelapan dan homogenitas dari lesi melasma. Area yang dievaluasi adalah dahi, malar kiri, malar kanan dan dagu. Rentang total skor MASI yaitu antara 0 hingga 48. Lesi melasma dikatakan membaik jika terdapat penurunan skor MASI (Chuah et al., 2017). Skor MASI dievaluasi pada minggu ke-0, minggu ke 4 dan minggu ke-8.


Tabel 2

Hasil Uji Beda Data Berpasangan Skor MASI

Skor MASI

Kelompok

p

M0 dibandingkan M4

Kelompok I

Kelompok II

<0,001*

<0,001*

M0 dibandingkan M8

Kelompok I

Kelompok II

<0,001*

<0,001*

M0-4 dibandingkan M4-8

Kelompok I

Kelompok II

0,647

0,408

M0-4 dibandingkan M0-8

Kelompok I

Kelompok II

<0,001*

<0,001*

Keterangan:

Kelompok I = kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2%

Kelompok II = serum hidrokuinon 4%

M0-4 = minggu ke-0 hingga minggu ke-4

M4-8 = minggu ke-4 hingga minggu ke-8

M0-8 = minggu ke-0 hingga minggu ke-8

* Nilai p dinyatakan memiliki perbedaan bermakna bila p<0,05


 

Nilai rerata skor MASI pada minggu ke-0 dibandingkan minggu ke-4 dan minggu ke-0 dibandingkan minggu ke-8 pada masing-masing kelompok berbeda signifikan (p=<0,001). Perubahan rerata skor MASI dari minggu ke-0 hingga minggu ke-4 dibandingkan minggu ke-0 hingga minggu ke-8 pada kelompok I maupun kelompok II berbeda sinifikan (p=<0,001) (Tabel 2).

Nilai rerata skor MASI pada minggu ke-0 antara kelompok I dan kelompok II berbeda signifikan, dimana rerata skor MASI kelompok II lebih tinggi. Kedua kelompok menunjukkan penurunan skor MASI setelah pemakaian serum selama 8 minggu. Pada kelompok I pada minggu ke-0 nilai rerata skor MASI 8,54 sebesar turun menjadi 3,78 pada minggu ke-8. Nilai rerata skor MASI pada kelompok II pada minggu ke-0 sebesar 14,47 kemudian pada minggu ke-8 turun menjadi 7,60. Penurunan skor MASI antara kedua kelompok tidak ada perbedaan signifikan baik pada minggu ke-4 (p=0,535) maupun minggu ke-8 (p=0,303) (Tabel 3).


 

 

Tabel 3

Analisis Difference-in-Differences skor MASI

Waktu Pengukuran

Kelompok I

Kelompok II

Selisih

(T-C)

DID (95% CI)

p

M0

8,54

14,47

-5,93

-

-

M4

6,21

10,79

-4,59

1,34 (-2,96 s/d 5,65)

0,535

M8

3,78

7,60

-3,83

2,11 (-1,94 s/d 6,15)

0,303

Keterangan

Kelompok I = kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2%

Kelompok II = serum hidrokuinon 4%

T-C = Selisih nilai rerata kelompok I-kelompok II

DID = Difference-in-Differences

CI = confidential interval


Nilai rerata skor MASI pada kelompok I dan kelompok II sebelum dan sesudah pemakaian serum sama-sama mengalami penurunan. Perbandingan penurunan nilai rerata skor MASI antara kedua kelompok terlihat pada garis proyeksi kelompok I atau garis I� dan garis kelompok II (Gambar 1).


Gambar 1

Perubahan nilai rerata skor MASI


Keterangan:

Kelompok I = kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2%, kelompok II = serum hidrokuinon 4%, I�= proyeksi kelompok I atau counter factual.

B.   Pembahasan

1.    Pembahasan Karakteristik Subjek Penelitian

Pada penelitian ini memilih subjek penelitian wanita dengan pertimbangan melasma banyak diderita oleh wanita dibandingkan laki-laki. Data studi epidemiologi menyebutkan melasma lebih banyak terjadi pada wanita dengan perkiraan rasio 9:1 dibandingkan laki-laki, meskipun rasio ini dapat bervariasi tergantung pada populasi. Di Asia Tenggara misalnya, prevalensi melasma mencapai 40% pada wanita dan 20% pada laki-laki (Cestari & Buster, 2017). Penelitian di Brazil, Singapura dan India menunjukkan kejadian melasma pada laki-laki dibanding wanita secara berurutan sebesar 39:114, 21:114 dan 6:1 (Sarkar et al., 2012). Sebuah penelitian di Indonesia rasio mendapati rasio pasien melasma wanita dibanding laki-laki 24:1 (Mardiana, 2021). Pertimbangan lainnya adalah wanita lebih sadar dan khawatir mengenai kondisi kulit mereka, sehingga berkontribusi pada tingginya persentase wanita yang mencari pengobatan secara medis (Chalasani et al., 2015).

Pada penelitian ini rentang usia terbanyak adalah 30-39 tahun (40%) dimana pada kelompok I rentang usia terbanyak adalah 30-39 tahun (55%) dan pada kelompok II paling banyak pada 40-49 tahun (45%). Rentang usia pasien melasma pada penelitian ini tidak jauh beda dengan studi epidemiologi klinis di India yang menyebutkan bahwa usia rata-rata pasien melasma adalah 31-40 tahun (Patel et al., 2020). Sebagian besar kasus melasma yang ditemukan di Brazil berkembang antara dekade kedua dan keempat yaitu usia 20-35 tahun. Di Tunisia 87% kasus melasma ditemukan pada usia 20-40 tahun. Pada studi global kejadian melasma ditemukan pada usia 38 tahun (Handel et al., 2014). Penelitian sebelumnya di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/ RSUD Dr. Moewardi Surakarta menyebutkan bahwa pasien melasma terbanyak adalah pada rentang usia 31-40 tahun (28,1%) (Mardiana, 2021). Hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa melasma sering dijumpai pada wanita usia reproduksi atau wanita usia subur (Handel et al., 2014) sekitar usia 20-45 tahun (Arimuko et al., 2018).

Pada penelitian ini pendidikan terakhir pasien melasma yang terbanyak adalah sekolah menengah atas (52,5%) dan sekolah menegah pertama (25%). Sebuah penelitian di Turki yang melibatkan 102 pasien melasma berusia 20-63 tahun mendapati tingkat pendidikan subjek penelitian yang paling banyak adalah lulusan sekolah dasar yaitu sebesar 45,09%, sekolah menengah pertama 14,7%, lulusan sekolah menegah atas sebanyak 24,5% dan 9,8% adalah sarjana (Coban-Akdemir et al., 2018). Tingkat pendidikan dikaitkan dengan pengetahuan dan pemahaman mengenai pentingnya perawatan dan perlindungan kulit wajah (Sardesai et al., 2013). Tingkat pendidikan merupakan variasi kecil yang berpengaruh pada melasma selain ekspektasi sosial, rata-rata usia pernikahan dan pendapatan. Variasi ini terutama dipengaruhi oleh perbedaan budaya dan tingkat ekonomi yang berlainan antara satu negara dengan negara lainnya (Katsambas & Soura, 2017).

Pada penelitian ini jenis pekerjaan paling banyak adalah ibu rumah tangga (62,5%), pedagang (20%) dan karyawan swasta (10%). Suatu penelitian di India Selatan juga menyebutkan penderita melasma terbanyak adalah ibu rumah tangga dengan prevalensi sebesar 66% (Raju et al., 2016). Kejadian melasma pada pedagang dan karyawan swasta dikaitkan dengan paparan sinar matahari selama menjalankan aktivitas berdagang dan pekerjaannya selain itu juga berhubungan dengan penggunaan kosmetik (Sardesai et al., 2013). Melasma pada ibu rumah tangga yang mungkin tidak terlalu terpapar sinar matahari dapat menunjukkan pengaruh hormonal dalam etiologi melasma (Mardiana, 2021). Dilihat dari terjadinya melasma, paparan sinar UV seringkali dilaporkan menjadi pemicu kejadian dan kekambuhan pada melasma, karena efek radiasi UV terhadap melanosit, kenyatan bahwa lesi melasma sering muncul pada area kulit yang sering terpapar sinar matahari serta melasma yang bertambah berat seiring dengan peningkatan intensitas pajanan sinar matahari (Melyawati et al., 2014). Seperti teori yang diyakini sebelumnya radiasi UV akan meningkatkan proliferasi melanosit dan melanogenesis (Suryaningsih et al., 2019). Pada penelitian ini, meskipun subjek penelitian merupakan ibu rumah tangga, namun masih sering terpapar sinar matahari selama menjalankan kegiatan sehari-hari. Ibu rumah tangga memperoleh pajanan suhu panas eksternal dalam menjalankan aktivitas rumah tangga, misalnya memasak, menjemur, menyetrika pakaian dan berkebun yang dapat berpengaruh pada terjadinya melasma (Novarina et al., 2017).

Sebagian besar subjek penelitian ini memiliki riwayat melasma pada keluarga (52,5%). Riwayat melasma pada keluarga merupakan bukti kecenderungan genetik pada melasma, yang dapat terjadi sekitar 40-60% (Handel et al., 2014). Faktor predisposisi familial pada melasma merupakan hal yang penting secara genetik, meskipun polanya non-Mendelian. Pada penelitian terhadap 324 wanita melasma di Amerika, Perancis, Jerman, Belanda, Meksiko, Italia, Singapura, Korea Selatan dan Hongkong didapatkan riwayat melasma pada keluarga sebanyak 48%, dimana 97% kasus diantaranya terjadi pada generasi pertama dan 3% terjadi pada generasi kedua dalam anggota keluarga (Ortonne et al., 2009). Predisposisi genetik pada melasma paling sering terjadi pada wanita (Suryaningsih et al., 2019). Belum ada penelitian genom yang dilakukan secara luas untuk memeriksa gen terkait melasma, tetapi temuan saat ini menunjukkan bahwa gen yang bertanggung jawab melibatkan respon pigmen, inflamasi, hormonal dan kemungkinan vaskular (Ogbechie-Godec & Elbuluk, 2017)\.

Peranan hormon pada melasma belum dapat dijelaskan sepenuhnya, namun diyakini hormon estrogen dan progesteron terlibat dalam patogenesis melasma. Pada penelitian ini ditemukan riwayat penggunaan kontrasepsi hormonal sebesar 5%, sedangkan yang tidak memiliki riwayat memakai kontrasepsi hormonal sebanyak 95%. Beberapa penelitian klinik membuktikan bahwa 10-20% kasus melasma didapatkan pada wanita yang mengkonsumsi kontrasepsi hormonal. Melasma dapat timbul pada satu hingga tiga tahun setelah seseorang mengkonsumsi kontrasepsi hormonal (Damevska, 2014). Pada penelitian lain dilaporkan bahwa kontrasepsi hormonal merupakan faktor pemicu terjadinya melasma pada 26% pasien dan memperburuk kondisi melasma pada 38% pasien. Pada sebuah penelitian di Medan pada akseptor kontrasepsi hormonal, didapatkan proporsi yang menderita melasma sebanyak 20,5% dimana kejadian melasma tertinggi pada pengguna kontrasepsi oral yang mengandung estrogen dan progresteron yaitu sebesar 26,1%, pada kontrasepsi hormonal jenis suntik 19,4% dan pada pengguna kontrasepsi implan 16,7% (Mahdalena et al., 2018).

Pengaruh hormonal pada melasma selain dari kontrasepsi hormonal juga dipengaruhi kehamilan. Menurut hasil survei yang dilakukan oleh The Pigmentary Disorder Academy 42% awitan melasma terjadi setelah kehamilan dan 26% melasma terjadi pada saat hamil. Risiko untuk terjadi melasma selama kehamilan juga meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah kehamilan (Melyawati et al., 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Achar dan Rathi di India yang melibatkan 250 pasien melasma mendapati kejadian melasma yang diinduksi kehamilan sebanyak 56 orang (22,4%) dan pada pengguna kontrasepsi oral sebanyak 46 orang (18,4%) (Achar & Rathi, 2011). Penelitian potong lintang di Iran menunjukkan bahwa melasma didapatkan pada wanita hamil sebanyak 14,5% dan pada wanita yang menggunakan kontrasepsi oral sebanyak 11,3%. Semua penelitian tersebut menunjukkan korelasi antara hormonal dan melasma, namun bagaimana mekanisme tersebut terjadi masih belum dapat dijelaskan (Suryaningsih et al., 2019). Selain itu kaitan melasma dengan aktivitas hormonal didukung oleh data yang menyebutkan bahwa wanita lebih sering menderita melasma, onset melasma yang biasanya terjadi setelah remaja, selama masa kehamilan atau saat menggunakan kontrasepsi hormonal, prevalensi melasma yang menurun setelah menopause dan jarang bermanifestasi sebelum pubertas mendukung kaitan melasma.

Pada penelitian ini pasien melasma yang tidak pernah mendapatkan pengobatan melasma sebelumnya sebesar 87,5%, baik berobat ke klinik kecantikan ataupun membeli krim secara bebas. Terdapat banyak faktor yang berperan pada etiologi melasma, salah satunya kandungan kosmetik, obat-obatan fototoksik dan antikejang (Damevska, 2014). Sebuah penelitian epidemiologi klinik multisenter di India yang melibatkan 331 pasien melasma mendapati riwayat penggunaan kosmetik sebelumnya sebanyak 35% dan menemukan hubungan pola klinis melasma terhadap penggunaan kosmetik dimana lebih banyak ditemukan pola melasma campuran (40%) dibandingkan pola klinis melasma tunggal (32%). Penggunaan kosmetik setidaknya lima kali seminggu dapat berkontribusi pada kekambuhan melasma. Kandungan zat pewangi, zat pewarna atau pengawet pada kosmetik dapat menyebabkan lesi hiperpigmentasi jika terpajan sinar matahari. Kosmetik jarang menyebabkan melasma, namun pasien melasma menunjukkan tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap kosmetik. Dermatitis kosmetik berpigmen dan sensitivitas kontak kosmetik harus dipertimbangkan dalam faktor etiologi ketika melasma tidak terkait dengan kehamilan, menyusui atau terapi hormon (Cestari & Buster, 2017)

Subjek penelitian ini memiliki tipe kulit Fitzpatrick III sebanyak 32,5%, tipe kulit Fitzpatrick IV sebanyak 50% dan tipe kulit Fitzpatrick V sebesar 17,5%. Pada sebuah penelitian di Brazil yang melibatkan 302 pasien melasma didapatkan 34,4% memiliki tipe kulit Fitzpatrick III, 38,4% tipe kulit Fitzpatrick IV dan tipe kulit Fitzpatrick V 15,6%. Di Tunisia, survei terhadap 188 wanita melasma menemukan 14% memiliki tipe kulit Fitzpatrick III, 45% dengan tipe kulit Fitzpatrick IV dan tipe kulit Fitzpatrick V sebesar 40%. Hal ini sesuai literatur yang menyebutkan bahwa tipe kulit Fitzpatrick III-V, predisposisi genetik, pajanan sinar matahari, kehamilan dan penggunaan hormon eksogen merupakan faktor risiko melasma. Individu dengan tipe kulit Fitzpatrick I tidak bisa menghasilkan pigmentasi tambahan, sedangkan individu tipe kulit Fitzpatrick VI sudah memproduksi pigmentasi secara maksimal, dengan demikian tipe kulit Fitzpatrick I dan VI merupakan fenotipe pigmentasi yang stabil. Hal ini juga dibuktikan dengan sedikitnya kasus melasma di Eropa dan penduduk Negroid sub-Sahara (Handel et al., 2014). Karakteristik melanosit pada orang berkulit gelap berbeda dengan orang berkulit putih dalam hal ukuran, bentuk dan jumlah melanin yang dihasilkan serta distribusi dan deposisi melanosom di epidermis. Aktifitas dan produksi melanosit pada orang berkulit gelap lebih tinggi daripada orang berkulit terang (Orlow, 2018).

Seluruh subjek penelitian ini memiliki pola klinis sentrofasial (100%). Menurut sebuah ulasan komprehensif, pola klinis utama melasma adalah sentrofasial yaitu pada 50-80% kasus, dimana lesinya mengenai dahi, hidung, bibir atas (kecuali filtrum), dagu dan pipi (Ogbechie-Godec & Elbuluk, 2017). Sebuah studi epidemiologi tahun 2013 di Brazil yang meneliti karakteristik melasma mengidentifikasi dominasi melasma sentrofasial (51,7%) (Handel et al., 2014). Berbeda dengan studi retrospektif di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, distribusi lesi melasma paling banyak adalah malar (58,1%) kemudian sentrofasial (53,9%) dan mandibular (6,1%) (Asditya & Sukanto, 2017). Area sentrofasial pada melasma memiliki kepadatan kelenjar sebasea yang tinggi, hal ini menunjukkan kemungkinan hubungan antara fungsi kelenjar sebasea dan patogenesis melasma. Kelenjar sebasea mensintesis beberapa sitokin dan faktor pertumbuhan seperti angiopoietin dan adipokin yang dapat memodulasi fungsi melanosit. Sebosit berada di bawah kendali α-MSH, oleh karena itu ekspresi berlebihan dari hormon ini dapat mempengaruhi sel tersebut (Filoni et al., 2019)

Pada penelitian ini ditemukan tipe melasma epidermal (42,5%) dan tipe campuran (57,5%). Tipe epidermal merupakan tipe melasma yang paling sering (Lapeere et al., 2012) dimana lesi melasma tampak berwarna coklat terang, dengan pemeriksaan lampu Wood melasma epidermal akan berwarna gelap dan berbatas tegas, sedangkan kulit normal terlihat lebih terang. Pada tipe campuran lesi melasma tampak berwarna coklat gelap dan dengan lampu Wood terdapat bagian yang berbatas tegas dan ada yang tidak (Chuah et al., 2017). Studi epidemiologi terbaru di India menyebutkan bahwa melasma tipe epidermal merupakan melasma terbanyak (56,3%) dari seluruh populasi yang diteliti (Patel et al., 2020). �

Pemeriksaan dengan lampu Wood tidak sepenuhnya bisa diandalkan dalam memprediksi respon terhadap pengobatan melasma terutama pada populasi berkulit gelap, meskipun begitu pemeriksaan lampu Wood ini dapat membantu dalam mengklasifikasikan melasma menjadi epidermal, dermal, campuran maupun indeterminate. Melasma epidermal berespon terhadap pengobatan lokal, sedangkan melasma dermal dan campuran kurang atau tidak responsif (Mardiana, 2021).

Pada penelitian ini efek samping paling banyak ditemukan pada kelompok II. Pada kelompok I ditemukan subjek penelitian tanpa keluhan efek samping pemakaian serum sebanyak 55% dan lebih banyak dibandingkan kelompok II (35%). Subjek penelitian pada kelompok I paling sering mengeluhkan kesemutan ringan atau sensasi tingling (35%) dan pruritus (15%), sedangkan pada kelompok II subjek penelitian banyak mengeluhkan eritema (40%) dan rasa panas seperti terbakar (20%).

2.    Pembahasan Penilaian Hasil Skor MASI

Teknik evaluasi pengobatan melasma yang sering digunakan adalah penilaian Skor MASI. Metode ini dipercaya dan valid untuk menilai keparahan melasma terutama pada orang Hispanik, Afrika dan Asia (Asditya & Sukanto, 2017). Pemeriksaan MASI dipandang relevan dalam menilai keberhasilan terapi melasma, walaupun penilaian ini merupakan penilaian subjektif (Arimuko et al., 2018).

Pada penelitian ini didapatkan bahwa kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2% dapat menurunkan skor MASI pada pasien melasma secara signifikan. Tidak ada perbedaan penurunan skor MASI yang signifikan pada minggu ke-4 maupun minggu ke-8 pada pemakaian kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2% dibandingkan serum hidrokuinon 4%.

L-ascorbic acid berperan sebagai anti antipigmentasi, bekerja dengan cara berinteraksi dengan ion tembaga pada tempat yang aktif dari enzim tirosinase, sehingga menghambat aksi enzim tersebut. Seperti yang telah diketahui bahwa tirosinase merupakan enzim utama yang bertanggung jawab untuk mengubah tirosin menjadi melanin, sehingga L-ascorbic acid dapat menurunkan pembentukan melanin (Ravetti et al., 2019).

Radiasi UV menghasilkan ROS dan menyebabkan stres oksidatif. Hal ini menyebabkan kaskade eritema dan reaksi inflamasi yang dapat dianggap sebagai faktor penting yang mempengaruhi patogenesis melasma (Handog et al., 2009). Mekanisme L-ascorbic acid pada melasma adalah sebagai antioksidan yang akan mencegah radikal bebas dan mempengaruhi melanogenenesis dengan mengurangi DQ menjadi DOPA (Al-Niaimi & Chiang, 2017). Mekanisme fotoproteksi L-ascorbic acid sebagai antioksidan dengan cara menetralkan ROS pada kulit berdasarkan kapasitas oksidasi askorbat, mengurangi pembentukan formasi sel sunburn, eritema, imunosupresi dan inhibisi terhadap sintesis tirosinase dan menjaga hidrasi untuk melindungi barier epidermis (Tran-Ngoc et al., 2019).

Konsentrasi optimal L-ascorbic acid bergantung pada formulasinya. Konsentrasi L-ascorbic acid harus lebih dari 8% supaya memiliki efek biologis yang signifikan. Penelitian telah menunjukkan konsentrasi L-ascorbic acid diatas 20% tidak meningkatkan signifikansi biologisnya dan justru menyebabkan iritasi (Al-Niaimi & Chiang, 2017). Konsentrasi L-ascorbic acid yang tersedia saat ini berada pada kisaran 4%-20% (Couteau & Coiffard, 2016).

Dalam uji coba terkontrol secara acak, split-face yang membandingkan L-ascorbic acid 5% dengan hidrokuinon 4%, menunjukkan perbaikan secara subjektif yang lebih tinggi pada sisi hidrokuinon (93%) dibandingkan pada sisi L-ascorbic acid (62,5%), namun dengan pengukuran kolorimetri tidak ada perbedaan statistik yang signifikan diantara keduanya. Ditemukan efek samping sebanyak 68,7% dengan hidrokuinon dan 6,2% dengan L-ascorbic acid, sehingga meskipun hidrokuinon menunjukkan respon yang lebih baik, L-ascorbic acid juga berperan dalam terapi melasma dan hampir tanpa efek samping (EspinalPerez et al., 2004). Penelitian di RSUP Dr. M Djamil Padang menggunakan L-ascorbic acid 10% dibandingkan dengan zink sulfat 10% pada melasma epidermal mendapati keduanya dapat menurunkan skor MASI, akan tetapi zink sulfat 10% memberikan hasil yang lebih baik dan efek samping yang minimal dibandingkan L-ascorbic acid 10%. Perbaikan klinis terlihat setelah satu bulan pengobatan berdasarkan penurunan skor MASI (Yenny & Lestari, 2012). Sebuah studi klinis yang meneliti efek dari formulasi topikal yang mengandung L-ascorbic acid 25% melaporkan penurunan skor MASI setelah 16 minggu (Hwang et al., 2009). Pada sediaan oral, tablet L-ascorbic acid 60 mg dengan prosianidin 24 mg, β-karoten 6 mg dan D-α-tokoferol asetat 15 IU memiliki efektivitas pencerahan kulit yang terlihat pada penurunan skor MASI (Handog et al., 2009).

Glutation adalah antioksidan utama yang berperan penting dalam melindungi sel dari kerusakan oksidatif dan toksisitas xenobiotik, serta mempertahankan homeostatis redoks (Farahat et al., 2018). Glutation merupakan salah satu antioksidan endogen terkuat yang diproduksi oleh sel-sel dalam tubuh manusia. Mekanisme glutation dalam mencerahkan kulit yaitu melalui penghambatan enzim tirosinase dan kemampuannya untuk mengubah produksi eumelanin menjadi feomelanin (Sonthalia et al., 2016).

Sebuah penelitian di Mesir dengan krim glutation 2% pada melasma yang dioles 2 kali sehari selama 10 minggu secara split face dengan plasebo mendapatkan hasil penurunan skor mMASI pada sisi glutation (Farahat et al., 2018). Penambahan glutation 2% pada asam traneksamat dan vitamin C 3% menghasilkan penurunan skor mMASI setelah 12 minggu (Iraji et al., 2019). Penelitian lainnya menggunakan glutation dalam bentuk sabun, mendapati respon terapeutik pada lesi hiperpigmentasi yang terkait paparan radiasi UV, menyimpulkan bahwa glutation dapat mempengaruhi melanogenesis, tetapi tidak pada lesi yang sudah ada sebelumnya (Sreeharsha et al., 2015).

Glutation telah digunakan secara luas untuk mengobati hipermelanosis pada wajah terutama dalam kombinasi dengan vitamin C (Puri et al., 2020). Vitamin C dan glutation merupakan antioksidan kuat yang dapat memutihkan kulit dan menghambat melanogenesis yang dipicu radiasi UV (Kerscher & Buntrock, 2017). Terdapat sebuah penelitian mengenai efikasi glutation dan vitamin C menggunakan mesoterapi pada pasien melasma, setelah 12 minggu terjadi penurunan skor MASI sebesar 42,38% dan menjadi 53,12% setelah 6 bulan (Puri et al., 2020).

L-ascorbic acid dapat dikombinasikan dengan glutation untuk meningkatkan absorbsinya (Malathi & Thappa, 2013). L-ascorbic acid memelihara level glutation dan memproses ulang glutation dengan mengubah glutation teroksidasi kembali ke bentuk aktifnya (Lenton & Huntingford, 2003). Glutation juga membantu menjaga L-ascorbic acid. Glutation menurunkan asupan L-ascorbic acid yang dibutuhkan dengan mendaur ulang L-ascorbic acid. Daur ulang terjadi setelah L-ascorbic acid menetralkan radikal bebas dengan cara melepaskan elektron ke radikal bebas, kemudian glutation akan melepaskan sebuah elektron ke molekul C, mengembalikan L-ascorbic acid untuk bekerja sebagai antioksidan (Puri et al., 2020). L-ascorbic acid dan glutation memiliki efek sinergistik dalam mencerahkan kulit karena sifat antioksidan yang dimilikinya untuk melawan radikal bebas dan penghambatan sintesis melanin melalui reaksi dengan tirosinase dan L-DOPA (Manggabarani et al., 2018). Manfaat lain L-ascorbic acid yaitu meningkatkan sintesis kolagen, fotoproteksi terhadap UVA maupun UVB, meringankan hiperpigmentasi dan memperbaiki berbagai dermatosis inflamasi. Efek depigmentasi glutation antara lain melalui inaktivasi langsung tirosin kinase melanosit, bertindak sebagai perantara yang mengubah produksi eumelanin menjadi feomelanin, eliminasi radikal bebas yang berperan dalam produksi tirosin kinase melanosit dan regulasi faktor depigmentasi melanotoksik (Iraji et al., 2019).

 

Kesimpulan

Kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2% menurunkan skor MASI, meskipun begitu tidak terbukti lebih efektif menurunkan skor MASI dibandingkan serum hidrokuinon 4% pada pasien melasma.

Implikasi penelitian ini secara teoritis menunjukkan kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2% efektif menurunkan skor MASI. Berdasarkan hal tersebut, maka kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2% dapat digunakan sebagai terapi alternatif yang efektif dan aman untuk melasma.

 

BIBLIOGRAFI

 

Achar, A., & Rathi, S. K. (2011). Melasma: A Clinico-Epidemiological Study Of 312 Cases. Indian Journal Of Dermatology, 56(4), 380. Google Scholar

 

Al-Niaimi, F., & Chiang, N. Y. Z. (2017). Topical Vitamin C And The Skin: Mechanisms Of Action And Clinical Applications. The Journal Of Clinical And Aesthetic Dermatology, 10(7), 14. Google Scholar

 

Anwar, S., & Anwar, A. (2016). Infertility: A Review On Causes, Treatment And Management. Women�s Health Gynecol, 5, 2. Google Scholar

 

Arimuko, A., Persada, Y. D., & Subakti, H. (2018). Model Kecepatan 1-D Gelombang P Dan Gelombang S Dari Data Hasil Relokasi Hiposenter Di Wilayah Gunung Sinabung. Jurnal Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika, 5(3), 72�79. Google Scholar

 

Asditya, A., & Sukanto, H. (2017). Profile Of Melasma Patients: A Retrospective Study. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin, 29(3), 220�228. Google Scholar

 

Bagherani, N., Gianfaldoni, S., & Smoller, B. (2015). An Overview On Melasma. Pigmentary Disorders, 2(10), 218. Google Scholar

 

Cestari, T., & Buster, K. (2017). Photoprotection In Specific Populations: Children And People Of Color. Journal Of The American Academy Of Dermatology, 76(3), S110�S121. Google Scholar

 

Chalasani, N., Bonkovsky, H. L., Fontana, R., Lee, W., Stolz, A., Talwalkar, J., Reddy, K. R., Watkins, P. B., Navarro, V., & Barnhart, H. (2015). Features And Outcomes Of 899 Patients With Drug-Induced Liver Injury: The Dilin Prospective Study. Gastroenterology, 148(7), 1340�1352. Google Scholar

 

Chuah, S. Y., Tee, S. I., Tan, W. P., Lee, S. S. J., Ng, S. K., Chua, S. H., & Thng, T. G. S. (2017). Reflectance Confocal Microscopy Is A Useful NonInvasive Tool In The In Vivo Diagnosis Of Pigmented Basal Cell Carcinoma In A Sians. Australasian Journal Of Dermatology, 58(2), 130�134. Google Scholar

 

Coban-Akdemir, Z., White, J. J., Song, X., Jhangiani, S. N., Fatih, J. M., Gambin, T., Bayram, Y., Chinn, I. K., Karaca, E., & Punetha, J. (2018). Identifying Genes Whose Mutant Transcripts Cause Dominant Disease Traits By Potential Gain-Of-Function Alleles. The American Journal Of Human Genetics, 103(2), 171�187. Google Scholar

 

Couteau, C., & Coiffard, L. (2016). Overview Of Skin Whitening Agents: Drugs And Cosmetic Products. Cosmetics, 3(3), 27. Google Scholar

 

Dahlan, A., Mubin, F., & Mustika, D. N. (2013). Hubungan Status Pekerjaan Dengan Pemberian Asi Eksklusif Di Kelurahan Palebon Kecamatan Pedurungan Kota Semarang. Jurnal Kebidanan, 2(2), 56�60. Google Scholar

 

Damevska, K. S. (2014). Utvrđivanje Povezanosti Hronične Plak Psorijaze I Osnovnih Kriterijuma Metaboličkog Sindroma. Универзитет У Нишу. Google Scholar

 

Dessinioti, C., Tzanetakou, V., Zisimou, C., Platsidaki, E., Koukkou, E., Katsambas, A., & Antoniou, C. (2018). A Study Of Androgenic Signs And Disorders In Greek Female Patients With Acne. Journal Of The European Academy Of Dermatology And Venereology: Jeadv, 32(7), E279�E282. Google Scholar

 

Dilokthornsakul, P., Kengkla, K., Saokaew, S., Permsuwan, U., Techasaensiri, C., Chotpitayasunondh, T., & Chaiyakunapruk, N. (2019). An Updated Cost-Effectiveness Analysis Of Pneumococcal Conjugate Vaccine Among Children In Thailand. Vaccine, 37(32), 4551�4560. Google Scholar

 

EspinalPerez, L. E., Moncada, B., & CastanedoCazares, J. P. (2004). A DoubleBlind Randomized Trial Of 5% Ascorbic Acid Vs. 4% Hydroquinone In Melasma. International Journal Of Dermatology, 43(8), 604�607. Google Scholar

 

Farahat, A. A., Ismail, M. A., Kumar, A., Wenzler, T., Brun, R., Paul, A., Wilson, W. D., & Boykin, D. W. (2018). Indole And Benzimidazole Bichalcophenes: Synthesis, Dna Binding And Antiparasitic Activity. European Journal Of Medicinal Chemistry, 143, 1590�1596. Google Scholar

 

Filoni, A., Mariano, M., & Cameli, N. (2019). Melasma: How Hormones Can Modulate Skin Pigmentation. Journal Of Cosmetic Dermatology, 18(2), 458�463. Google Scholar

 

Handel, A. C., Miot, L. D. B., & Miot, H. A. (2014). Melasma: A Clinical And Epidemiological Review. Anais Brasileiros De Dermatologia, 89, 771�782. Google Scholar

 

Handog, E. B., Galang, D. A. V. F., De LeonGodinez, M. A., & Chan, G. P. (2009). A Randomized, DoubleBlind, PlaceboControlled Trial Of Oral Procyanidin With Vitamins A, C, E For Melasma Among Filipino Women. International Journal Of Dermatology, 48(8), 896�901. Google Scholar

 

Hwang, I., Kim, S., Kim, Y., & Seah, C. E. (2009). A Survey Of Fault Detection, Isolation, And Reconfiguration Methods. Ieee Transactions On Control Systems Technology, 18(3), 636�653. Google Scholar

 

Iraji, A., Deramus, T. P., Lewis, N., Yaesoubi, M., Stephen, J. M., Erhardt, E., Belger, A., Ford, J. M., Mcewen, S., & Mathalon, D. H. (2019). The Spatial Chronnectome Reveals A Dynamic Interplay Between Functional Segregation And Integration. Human Brain Mapping, 40(10), 3058�3077. Google Scholar

 

Janney, M. S., Subramaniyan, R., Dabas, R., Lal, S., Das, N. M., & Godara, S. K. (2019). A Randomized Controlled Study Comparing The Efficacy Of Topical 5% Tranexamic Acid Solution Versus 3% Hydroquinone Cream In Melasma. Journal Of Cutaneous And Aesthetic Surgery, 12(1), 63. Google Scholar

 

Kaliterna-Lipovčan, L., & Braj�a-�ganec, A. (2017). Kvaliteta �ivljenja, Sreća I �ivotno Zadovoljstvo U Hrvatskoj I Zemljama Eu, Te Usporedbe Sjeverozapadne I Ostalih Dijelova Hrvatske. Radovi Zavoda Za Znanstveni Rad Vara�din, 28, 139�153. Google Scholar

 

Katsambas, A., & Soura, E. (2017). Quality Of Life In Melasma. In Melasma And Vitiligo In Brown Skin (Pp. 169�175). Springer. Google Scholar

 

Kerscher, M., & Buntrock, H. (2017). Cosmetics And Cosmeceuticals. In Cosmetic Medicine And Surgery (Pp. 91�102). Crc Press. Google Scholar

 

Kumarasinghe, S. P. W., Pandya, A., Chandran, V., Rodrigues, M., Dlova, N. C., Kang, H. Y., Ramam, M., Dayrit, J. F., Goh, B. K., & Parsad, D. (2019). A Global Consensus Statement On Ashy Dermatosis, Erythema Dyschromicum Perstans, Lichen Planus Pigmentosus, Idiopathic Eruptive Macular Pigmentation, And Riehl�s Melanosis. International Journal Of Dermatology, 58(3), 263�272. Google Scholar

 

Lapeere, H., Boone, B., De Schepper, S., Verhaeghe, E., Van Gele, M., Ongenae, K., Van Geel, N., Lambert, J., & Brochez, L. (2012). Hypomelanoses And Hypermelanoses. In Fitzpatrick�s Dermatology In General Medicine (Pp. 804�826). Mc Graw Hill Medical. Google Scholar

 

Lee, M. M. (2015). Body, Dress, And Identity In Ancient Greece. Cambridge University Press. Google Scholar

 

Lenton, T. M., & Huntingford, C. (2003). Global Terrestrial Carbon Storage And Uncertainties In Its Temperature Sensitivity Examined With A Simple Model. Global Change Biology, 9(10), 1333�1352. Google Scholar

 

Lu, L., Li, G. Y., Swindlehurst, A. L., Ashikhmin, A., & Zhang, R. (2014). An Overview Of Massive Mimo: Benefits And Challenges. Ieee Journal Of Selected Topics In Signal Processing, 8(5), 742�758. Google Scholar

 

Malathi, M., & Thappa, D. (2013). Systemic Skin Whitening/Lightening Agents: What Is The Evidence? Indian Journal Of Dermatology, Venereology And Leprology, 79(6), 842. Google Scholar

 

Manggabarani, S., Hadi, A. J., Said, I., & Bunga, S. (2018). Relationship Knowledge, Nutrition Status, Dietery, Food Taboo With Breast Milk Production Of Breastfeeding Mother. Jurnal Dunia Gizi, 1(1), 1�9. Google Scholar

 

Mardiana, M. S. (2021). The Effect Of User Experience And Quality Of Products On Customer Loyalty Of Guna Bhakti Credit Products In Bjb Batam. Google Scholar

 

Melyawati, L. S., Bernadette, I., Legiawati, L., & Surachmiati, L. (2014). Perkembangan Terbaru Etiopatogenesis Melasma. Media Derm. Venereol. Indones, 41(3), 133�138. Google Scholar

 

Montinola, G. G. (2017). Can You Feel Me Now? Positive Empathy And Explicit And Implicit Attitude Change. Google Scholar

 

Nomakhosi, M., & Heidi, A. (2018). Natural Options For Management Of Melasma, A Review. Journal Of Cosmetic And Laser Therapy, 20(7�8), 470�481. Google Scholar

 

Novarina, D., Mavrova, S. N., Janssens, G. E., Rempel, I. L., Veenhoff, L. M., & Chang, M. (2017). Increased Genome Instability Is Not Accompanied By Sensitivity To Dna Damaging Agents In Aged Yeast Cells. Dna Repair, 54, 1�7. Google Scholar

 

Ogbechie-Godec, O. A., & Elbuluk, N. (2017). Melasma: An Up-To-Date Comprehensive Review. Dermatology And Therapy, 7(3), 305�318. Google Scholar

 

Orlow, D. (2018). A History Of Modern Germany: 1871 To Present. Routledge. Google Scholar

 

Ortonne, J. P., Arellano, I., Berneburg, M., Cestari, T., Chan, H., Grimes, P., Hexsel, D., Im, S., Lim, J., & Lui, H. (2009). Abstract. Journal Of The European Academy Of Dermatology And Venereology, 23(11), 1254�1262. Google Scholar

 

Patel, R., Babady, E., Theel, E. S., Storch, G. A., Pinsky, B. A., St. George, K., Smith, T. C., & Bertuzzi, S. (2020). Report From The American Society For Microbiology Covid-19 International Summit, 23 March 2020: Value Of Diagnostic Testing For Sars�Cov-2/Covid-19. Am Soc Microbiol. Google Scholar

 

Puri, N., Coomes, E. A., Haghbayan, H., & Gunaratne, K. (2020). Social Media And Vaccine Hesitancy: New Updates For The Era Of Covid-19 And Globalized Infectious Diseases. Human Vaccines & Immunotherapeutics, 16(11), 2586�2593. Google Scholar

 

Rahmawati, T., & Mawardi, M. K. (2017). Pengaruh Faktor Perilaku Dan Faktor Kontekstual Terhadap Niat Berwirausaha (Survei Pada Mahasiswa Program Studi Bisnis Angkatan 2014 Dan 2015 Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Yang Telah Menempuh Mata Kuliah Kewirausahaan). Jurnal Administrasi Bisnis, 50(4), 115�122. Google Scholar

 

Raju, M., Saikia, L. C., & Sinha, N. (2016). Automatic Generation Control Of A Multi-Area System Using Ant Lion Optimizer Algorithm Based Pid Plus Second Order Derivative Controller. International Journal Of Electrical Power & Energy Systems, 80, 52�63. Google Scholar

 

Ravetti, S., Clemente, C., Brignone, S., Hergert, L., Allemandi, D., & Palma, S. (2019). Ascorbic Acid In Skin Health. Cosmetics, 6(4), 58. Google Scholar

 

Sardesai, N. P., Kadimisetty, K., Faria, R., & Rusling, J. F. (2013). A Microfluidic Electrochemiluminescent Device For Detecting Cancer Biomarker Proteins. Analytical And Bioanalytical Chemistry, 405(11), 3831�3838. Google Scholar

 

 

Sarkar, N., Ghosh, S. K., Bannerjee, S., & Aikat, K. (2012). Bioethanol Production From Agricultural Wastes: An Overview. Renewable Energy, 37(1), 19�27. Google Scholar

 

Sonthalia, S., Daulatabad, D., & Sarkar, R. (2016). Glutathione As A Skin Whitening Agent: Facts, Myths, Evidence And Controversies. Indian Journal Of Dermatology, Venereology And Leprology, 82(3). Google Scholar

 

Sreeharsha, R. V., Sekhar, K. M., & Reddy, A. R. (2015). Delayed Flowering Is Associated With Lack Of Photosynthetic Acclimation In Pigeon Pea (Cajanus Cajan L.) Grown Under Elevated Co2. Plant Science, 231, 82�93. Google Scholar

 

Sugiura, A., & Rathmell, J. C. (2018). Metabolic Barriers To T Cell Function In Tumors. The Journal Of Immunology, 200(2), 400�407. Google Scholar

 

Suryaningsih, B. E., Sadewa, A. H., Wirohadidjojo, Y. W., & Soebono, H. (2019). Association Between Heterozygote Val92met Mc1r Gene Polymorphisms With Incidence Of Melasma: A Study Of Javanese Women Population In Yogyakarta. Clinical, Cosmetic And Investigational Dermatology, 12, 489. Google Scholar

 

Tran-Ngoc, H., Khatir, S., De Roeck, G., Bui-Tien, T., & Wahab, M. A. (2019). An Efficient Artificial Neural Network For Damage Detection In Bridges And Beam-Like Structures By Improving Training Parameters Using Cuckoo Search Algorithm. Engineering Structures, 199, 109637. Google Scholar

 

Yenny, S. Y., & Lestari, W. (2012). A Study Comparing The Use Of 10% L-Ascorbic Acid And 10% Zinc Sulfate Solution In The Treatment Of Melasma. Malay J Dermatol, 29, 38�45. Google Scholar


 

Copyright holder:

Ummi Rinandari, Putti Fatiharani Dewi, Arie Kusumawardani, Muhammad Eko Irawanto, Moerbono Mochtar (2021)

 

First publication right:

Jurnal Health Sains

 

This article is licensed under:

�������������������������������������������������������

 

 

 

 

 

 

 

 

 

�����������������������������������������������������������������������������������