Jurnal Health Sains: p�ISSN:
2723-4339 e-ISSN:
2548-1398�����
Vol. 2, No. 8, Agustus 2021
TERAPI L-ASCORBIC ACID 10% DAN GLUTATION 2%
DIBANDINGKAN DENGAN HIDROKUINON 4% PADA PASIEN MELASM
Ummi Rinandari, Putti Fatiharani Dewi, Arie Kusumawardani, Muhammad
Eko Irawanto, Moerbono Mochtar
Universitas Sebelas Maret Surakarta Jawa Tengah, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected], [email protected], [email protected],
[email protected]
Pendahuluan
Melasma adalah kelainan hipermelanosis didapat berupa bercak hiperpigmentasi irreguler berwarna coklat muda atau
coklat tua pada daerah yang terpajan sinar matahari, berlangsung kronis, kambuhan dengan distribusi simetris dan biasanya dijumpai pada wanita usia reproduktif
(Kumarasinghe et al., 2019).
Melasma dikenal juga dengan
istilah kloasma atau topeng kehamilan karena angka kejadiannya
meningkat pada wanita hamil. Kata kloasma berasal dari bahasa
Latin �chloos� dan bahasa
Yunani �cloazein� yang memiliki
arti bercak kehijauan (Bagherani et al., 2015).
Kelainan ini banyak diderita
wanita usia reproduksi dan berkulit gelap dengan tipe
kulit III-V menurut
Fitzpatrick yang tinggal di daerah
dengan pajanan ultraviolet
(UV) (Suryaningsih et al., 2019).
Melasma dapat terjadi pada semua ras dan jenis
kelamin. Prevalensi kelainan ini bervariasi
di seluruh dunia, dipengaruhi
oleh etnik, fenotip kulit dan intensitas paparan sinar matahari.
Prevalensi melasma mulai dari 9% pada populasi Hispanik di Amerika Serikat bagian selatan hingga 40% di Asia Tenggara (Kumarasinghe et al., 2019).
Melasma terjadi pada 75% kehamilan
dan 26-29% wanita melaporkan
onset kelainan ini selama kehamilan (Cestari & Buster, 2017). Data pasien melasma di Indonesia bervariasi
pada beberapa rumah sakit. Berdasarkan data kunjungan di Poliklinik Dermatovenereologi RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2011, pasien melasma sebesar 18,1% dari total 3.763 kunjungan, dengan distribusi 98,4% wanita dan 1,6% laki-laki (Melyawati et al., 2014),
di RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun
2013 didapatkan pasien
melasma sebesar 45,9% (Rahmawati & Mawardi, 2017).
Etiopatogenesis
melasma bersifat multifaktorial
dan belum sepenuhnya dipahami (Melyawati et al., 2014). Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian melasma antara lain adalah sinar UV, genetik, hormonal, kehamilan, obat-obatan fotosensitif, kosmetika dan faktor psikologis (Handel et al., 2014).
Penyebab utama melasma diduga berasal dari latar belakang
genetik, paparan kronis terhadap radiasi UV dan hormon seks wanita (Lee, 2015).
Menurut lokasi dan presentasi klinis, melasma paling sering mengenai daerah sentrofasial, malar dan mandibula (Montinola, 2017). Melasma juga dapat dikelompokkan berdasarkan lokasi pigmen melanin
menjadi tipe epidermal,
dermal dan campuran (Anwar & Anwar, 2016).
Penentuan derajat keparahan melasma secara klinis dapat
dilakukan dengan menggunakan skor MASI (Melasma Area and Severity Index).
Melasma area and severity index yang dikembangkan
oleh Kimbrough-Green et al. pada tahun 1994, merupakan sistem penilaian pertama yang menilai dan mengukur respon melasma terhadap pengobatan dalam uji klinis dengan memperhitungkan
area yang terlibat dan hiperpigmentasi
pada lesi melasma (Kumarasinghe et al., 2019).
Penilaian Skor MASI merupakan
teknik evaluasi pengobatan melasma yang sering digunakan. Metode ini dipercaya dan valid untuk menilai keparahan
melasma terutama pada orang Hispanik,
Afrika dan Asia (Asditya & Sukanto, 2017). Pemeriksaan MASI dipandang relevan dalam menilai
keberhasilan terapi melasma
(Arimuko et al., 2018). Keunggulan skor MASI adalah dalam memperhitungkan
area keterlibatan dan tingkat
pigmentasi, dua komponen terpenting yang berdampak buruk pada pasien melasma (Chuah et al., 2017).
Melasma tercatat sebagai salah satu penyakit yang sulit diobati (Sarkar et al., 2012). Sulit untuk mencapai
respon pengobatan melasma
dan remisi jangka panjang dari berbagai
pilihan terapi melasma yang
tersedia saat ini (Janney et al., 2019).
Hidrokuinon merupakan agen depigmentasi kulit yang dianggap sebagai terapi standar baku untuk
melasma (Sarkar et al., 2012).
Hidrokuinon memiliki keterbatasan dan efek samping bervariasi terutama pada pemakaian jangka panjang dan sering terjadi kekambuhan jika pengobatan dihentikan. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian untuk menemukan modalitas terapi melasma baru yang efektif dan mengembangkan strategi terapi alternatif pengganti hidrokuinon (Nomakhosi & Heidi, 2018; Sarkar et al., 2012).
L-ascorbic acid merupakan
bentuk aktif vitamin C dan dikenal sebagai agen antipigmentasi (Sugiura & Rathmell, 2018). L-ascorbic acid dilaporkan sebagai pengobatan untuk melasma karena memiliki sifat antioksidan yaitu berperan sebagai reactive oxygen species (ROS) scavenger (Al-Niaimi & Chiang, 2017; Kaliterna-Lipovčan &
Braj�a-�ganec, 2017). L-ascorbic acid mengganggu melanogenesis melalui interaksi dengan ion tembaga di situs aktif tirosinase dan mengurangi konversi L-3,4-dihydroxyphenylalanine (L-DOPA) menjadi dopaquinone (DQ) dengan memblokir dihydrochinindol-2-carboxyl acid. L-ascorbic acid
mereduksi DQ kembali ke L-DOPA dan mengurangi DQ teroksidasi sehingga mencegah pembentukan melanin (Dessinioti et al., 2018).
Glutation adalah salah satu antioksidan utama dalam tubuh, yang memiliki fungsi depigmentasi kulit. Salah satu efek fisiologis
glutation adalah menghambat melanogenesis dengan menekan aktivitas tirosinase (Lu et al., 2014; Sarkar et al., 2012).
Studi mengenai pengaruh dan cara penggunaan glutation untuk pengobatan melasma masih terbatas dan hasilnya masih kontroversial (Dilokthornsakul et al., 2019).
Penelitian ini secara umum
bertujuan untuk membuktikan dan menganalisis efektivitas terapi kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation
2% dibandingkan serum hidrokuinon
4% pada pasien melasma. Tujuan
khusus penelitian ini adalah membuktikan
efektivitas kombinasi serum
L-ascorbic acid 10% dan glutation 2% dalam menurunkan skor MASI dibandingkan serum hidrokuinon 4%.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di Poliklinik Rawat Jalan Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin,
Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret/
RSUD Dr. Moewardi dan Klinik
MM Surakarta dengan tetap memperhatikan standar penelitian dan protokol kesehatan. Pembuatan kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation
2% serta serum hidrokuinon
4% dilakukan di Laboratorium
Lipwih Synergy Lab Jakarta.
Penelitian mulai dilakukan bulan Januari 2021 sampai jumlah sampel terpenuhi.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental klinis dengan rancangan pre and posttest double blind randomized controlled
trial menggunakan kombinasi
serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2% dibandingkan serum hidrokuinon 4%
pada pasien melasma. Efektivitas
serum dinilai dengan skor MASI pada baseline (minggu
0), minggu ke-4 dan ke-8.
Populasi target penelitian adalah pasien melasma di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. Populasi
terjangkau adalah wanita pasien melasma yang datang memeriksakan diri ke Poliklinik
Rawat Jalan Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/ RSUD Dr. Moewardi,
Surakarta.
Sampel diambil dari subjek penelitian
yang memenuhi kriteria inklusi dan terlepas dari kriteria eksklusi.
Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus perkiraan besar sampel untuk uji analitik numerik tidak berpasangan (Dahlan et al., 2013).
Sampel dipilih menggunakan teknik consecutive
sampling dimana pasien yang
memenuhi kriteria inklusi dan terlepas dari kriteria eksklusi
akan dimasukkan sebagai subjek penelitian secara berturut-turut sampai jumlah minimal sampel terpenuhi.
Hasil dan Pembahasan
A.
Hasil Penelitian
1.
Deskripsi Karakteristik
Subjek Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental klinis dengan rancangan pre and posttest
double blind randomized controlled trial menggunakan kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation
2% dibandingkan serum hidrokuinon
4% pada pasien melasma. Subjek
penelitian dibagi menjadi dua kelompok
menggunakan teknik
consecutive sampling. Pada kelompok I diberikan kombinasi serum
L-ascorbic acid 10% dan glutation 2%, sedangkan kelompok II mendapat serum hidrokuinon 4%.
Total pasien yang mengikuti
penelitian ini sebanyak 40 pasien melasma. Selama penelitian pada kelompok I terdapat 1 pasien mengundurkan diri atau tidak
bersedia melanjutkan penelitian dan 1 pasien yang berenang di siang hari di bawah terik
sinar matahari langsung pada hari sebelum pemeriksaan lanjutan, pada kelompok II terdapat 1 pasien yang mengeluhkan kulit wajahnya kemerahan dan tidak tahan terhadap
efek samping serum serta 1 pasien pindah domisili. Jumlah subjek penelitian
yang mengikuti penelitian dari awal hingga
akhir sebanyak 36 pasien yang terbagi 18 orang pada
kelompok I dan 18 orang pada kelompok
II. Kelompok I menerima pengobatan kombinasi serum
L-ascorbic acid 10% dan glutation 2%, sedangkan kelompok II mendapatkan serum hidrokuinon 4%.
Gambaran subjek pada penelitian
ini dapat dilihat pada karakteristik sosiodemografi (Tabel. 1) yang meliputi usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, riwayat melasma pada keluarga, riwayat kontrasepsi hormonal, riwayat pemakaian obat sebelumnya, tipe kulit Fitzpatrick, pola klinis melasma dan tipe melasma.
Pasien melasma yang mengikuti penelitian ini paling banyak berada pada rentang usia 30-39 tahun (40%) dimana pada kelompok I rentang usia terbanyak adalah 30-39 tahun (55%) dan pada
kelompok II paling banyak
pada 40-49 tahun (45%). Pendidikan terakhir pasien melasma terbanyak pada penelitian ini adalah Sekolah
Menengah Atas (52,5%) dan Sekolah
Menengah Pertama (25%), jenis pekerjaan paling banyak yaitu ibu
rumah tangga (62,5%).
Sebagian besar subjek penelitian ini memiliki riwayat melasma pada keluarga (52,5%), tidak memakai kontrasepsi hormonal
(95%) dan tidak pernah mendapatkan pengobatan melasma sebelumnya (87,5%), baik berobat ke klinik
kecantikan ataupun membeli krim secara
bebas. Tipe kulit terbanyak pada penelitian ini yaitu tipe kulit
Fitzpatrick 4 (50%).
Tabel 1
Karakteristik Sosiodemografi
Karakteristik Sosiodemografi |
Kelompok
I (n=20) |
Kelompok
II (n=20) |
Total (n=40) |
p |
Usia 20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun ≥ 50 tahun |
1 (5%) 11 (55%) 5 (25%) 3 (15%) |
1 (5%) 5 (25%) 9 (45%) 5 (25%) |
2 (5%) 16 (40%) 14 (35%) 8 (20%) |
0,057 |
Pendidikan Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas Diploma Sarjana |
1 (5%) 6 (30%) 10 (50%) 1 (5%) 2 (10%) |
5 (25%) 4 (20%) 11 (55%) 0 (0%) 0 (0%) |
6 (15%) 10 (25%) 21 (52,5%) 1 (2,5%) 2 (5%) |
0,519 |
Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil Pedagang Karyawan Swasta Mahasiswa Ibu Rumah Tangga |
2 (10%) 5 (25%) 1 (5%) 0 (0%) 12 (60%) |
0 (0%) 3 (15%) 3 (15%) 1 (5%) 13 (65%) |
2 (5%) 8 (20%) 4 (10%) 1 (2,5%) 25 (62,5%) |
0,744 |
Riwayat melasma pada keluarga Ada Tidak |
11 (55%) 9 (45%) |
10 (50%) 10 (50%) |
21 (52,5%) 19 (19%) |
0,752 |
Riwayat kontrasepsi
hormonal Ya Tidak |
1 (5%) 19 (95%) |
1 (5%) 19 (95%) |
2 (5%) 38 (95%) |
1 |
Riwayat pemakaian obat melasma Ya Tidak |
4 (20%) 16 (80%) |
1 (5%) 19 (95%) |
5 (12,5%) 35 (87,5%) |
0,342 |
Tipe kulit
Fitzpatrick III IV V |
8 (40%) 10 (50%) 2 (10%) |
5 (25%) 10 (50%) 5 (25%) |
13 (32,5%) 20 (50%) 7 (17,5%) |
0,500 |
Pola klinis Sentrofasial |
20 (100%) |
20 (100%) |
40 (100%) |
|
Tipe melasma Epidermal Campuran |
11 (55%) 9 (45%) |
6 (30%) 14 (70%) |
17 (42,5%) 23 (57,5%) |
0,201 |
Keterangan: Kelompok I = kombinasi
serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2% Kelompok II = serum hidrokuinon
4% |
|
Seluruh subjek penelitian ini memiliki pola klinis
sentrofasial (100%) dengan tipe melasma epidermal (42,5%) dan tipe
campuran (57,5%). Pada kelompok
I paling banyak ditemukan tipe epidermal (55%), sedangkan
pada kelompok II tipe
melasma terbanyak adalah tipe campuran (70%).
Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik pada karakteristik usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, riwayat melasma pada keluarga, riwayat kontrasepsi hormonal, riwayat pemakaian obat sebelumnya, tipe kulit Fitzpatrick dan tipe
melasma antara kelompok I
dan kelompok II (p>0,05).
2.
Analisis Perbaikan
Skor MASI
Pada penelitian ini tingkat keparahan melasma secara klinis dinilai
menggunakan skor MASI. Komponen yang dinilai pada skor MASI meliputi area, tingkat kegelapan dan homogenitas dari lesi melasma. Area yang dievaluasi
adalah dahi, malar kiri, malar kanan dan dagu. Rentang total skor MASI yaitu antara 0 hingga 48. Lesi melasma dikatakan membaik jika terdapat
penurunan skor MASI (Chuah et al., 2017).
Skor MASI dievaluasi pada minggu
ke-0, minggu ke 4 dan minggu ke-8.
Tabel 2
Hasil Uji Beda Data Berpasangan Skor MASI
Skor MASI |
Kelompok |
p |
M0 dibandingkan M4 |
Kelompok I Kelompok II |
<0,001* |
M0 dibandingkan M8 |
Kelompok I Kelompok II |
<0,001* <0,001* |
M0-4 dibandingkan M4-8 |
Kelompok I Kelompok II |
0,408 |
M0-4 dibandingkan M0-8 |
Kelompok I Kelompok II |
<0,001* <0,001* |
Keterangan: Kelompok I = kombinasi
serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2% Kelompok II = serum hidrokuinon
4% M0-4 = minggu ke-0 hingga minggu ke-4 M4-8 = minggu ke-4 hingga minggu ke-8 M0-8 = minggu ke-0 hingga minggu ke-8 * Nilai p dinyatakan memiliki perbedaan bermakna bila p<0,05 |
Nilai rerata skor
MASI pada minggu ke-0 dibandingkan
minggu ke-4 dan minggu ke-0
dibandingkan minggu ke-8
pada masing-masing kelompok berbeda
signifikan (p=<0,001). Perubahan
rerata skor MASI dari minggu ke-0 hingga minggu ke-4 dibandingkan minggu ke-0 hingga minggu ke-8 pada kelompok I maupun kelompok II berbeda sinifikan (p=<0,001) (Tabel
2).
Nilai rerata skor
MASI pada minggu ke-0 antara
kelompok I dan kelompok II berbeda signifikan, dimana rerata skor
MASI kelompok II lebih tinggi. Kedua kelompok
menunjukkan penurunan skor MASI setelah pemakaian serum selama 8 minggu. Pada kelompok I pada minggu ke-0 nilai rerata skor MASI 8,54 sebesar turun menjadi
3,78 pada minggu ke-8. Nilai rerata
skor MASI pada kelompok II
pada minggu ke-0 sebesar
14,47 kemudian pada minggu
ke-8 turun menjadi 7,60. Penurunan skor MASI antara kedua kelompok
tidak ada perbedaan signifikan baik pada minggu ke-4 (p=0,535) maupun minggu ke-8 (p=0,303) (Tabel 3).
Tabel 3
Analisis Difference-in-Differences skor
MASI
Waktu
Pengukuran |
Kelompok
I |
Kelompok
II |
Selisih (T-C) |
DID
(95% CI) |
p |
M0 |
8,54 |
14,47 |
-5,93 |
- |
- |
M4 |
6,21 |
10,79 |
-4,59 |
1,34 (-2,96 s/d 5,65) |
0,535 |
M8 |
3,78 |
7,60 |
-3,83 |
2,11 (-1,94 s/d 6,15) |
0,303 |
Keterangan Kelompok I = kombinasi
serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2% Kelompok II = serum hidrokuinon
4% T-C = Selisih nilai rerata kelompok I-kelompok II DID = Difference-in-Differences CI = confidential
interval |
Nilai rerata skor
MASI pada kelompok I dan kelompok II sebelum
dan sesudah pemakaian serum
sama-sama mengalami penurunan. Perbandingan penurunan nilai rerata skor MASI antara kedua kelompok
terlihat pada garis proyeksi
kelompok I atau garis I�
dan garis kelompok II (Gambar 1).
Gambar 1
Perubahan nilai rerata
skor MASI
Keterangan:
Kelompok I = kombinasi serum L-ascorbic
acid 10% dan glutation 2%, kelompok
II = serum hidrokuinon 4%, I�= proyeksi
kelompok I atau counter
factual.
B.
Pembahasan
1.
Pembahasan Karakteristik
Subjek Penelitian
Pada penelitian ini memilih subjek penelitian wanita dengan pertimbangan melasma banyak diderita oleh wanita dibandingkan laki-laki. Data studi epidemiologi menyebutkan melasma lebih banyak terjadi
pada wanita dengan perkiraan rasio 9:1 dibandingkan laki-laki, meskipun rasio ini dapat bervariasi
tergantung pada populasi.
Di Asia Tenggara misalnya, prevalensi
melasma mencapai 40% pada wanita
dan 20% pada laki-laki (Cestari & Buster, 2017). Penelitian di Brazil, Singapura dan India menunjukkan kejadian melasma pada
laki-laki dibanding wanita secara berurutan
sebesar 39:114, 21:114 dan 6:1 (Sarkar
et al., 2012). Sebuah
penelitian di Indonesia rasio
mendapati rasio pasien melasma wanita dibanding laki-laki 24:1 (Mardiana, 2021). Pertimbangan lainnya adalah wanita lebih
sadar dan khawatir mengenai kondisi kulit mereka, sehingga
berkontribusi pada tingginya
persentase wanita yang mencari pengobatan secara medis (Chalasani et al., 2015).
Pada penelitian ini rentang usia terbanyak
adalah 30-39 tahun (40%) dimana pada kelompok I rentang usia terbanyak
adalah 30-39 tahun (55%)
dan pada kelompok II paling banyak
pada 40-49 tahun (45%). Rentang
usia pasien melasma pada penelitian ini tidak jauh beda
dengan studi epidemiologi klinis di India yang
menyebutkan bahwa usia rata-rata pasien melasma adalah 31-40 tahun (Patel et al., 2020).
Sebagian besar kasus
melasma yang ditemukan di Brazil berkembang
antara dekade kedua dan keempat yaitu usia 20-35 tahun. Di Tunisia 87% kasus
melasma ditemukan pada usia
20-40 tahun. Pada studi
global kejadian melasma ditemukan
pada usia 38 tahun (Handel et al., 2014).
Penelitian sebelumnya di
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/ RSUD Dr. Moewardi
Surakarta menyebutkan bahwa
pasien melasma terbanyak adalah pada rentang usia 31-40 tahun (28,1%) (Mardiana, 2021). Hal ini sesuai dengan
literatur yang mengatakan bahwa melasma sering dijumpai pada wanita usia reproduksi atau wanita usia
subur (Handel et al., 2014)
sekitar usia 20-45 tahun (Arimuko et al., 2018).
Pada penelitian ini pendidikan terakhir pasien melasma yang terbanyak adalah sekolah menengah atas (52,5%) dan sekolah menegah pertama (25%). Sebuah penelitian di Turki yang melibatkan
102 pasien melasma berusia
20-63 tahun mendapati tingkat pendidikan subjek penelitian yang paling banyak adalah lulusan
sekolah dasar yaitu sebesar 45,09%, sekolah menengah pertama 14,7%, lulusan sekolah menegah atas sebanyak 24,5% dan 9,8% adalah sarjana (Coban-Akdemir et al., 2018). Tingkat pendidikan dikaitkan dengan pengetahuan dan pemahaman mengenai pentingnya perawatan dan perlindungan kulit wajah (Sardesai et al., 2013). Tingkat pendidikan merupakan variasi kecil yang berpengaruh pada melasma selain ekspektasi sosial, rata-rata usia pernikahan dan pendapatan. Variasi ini terutama dipengaruhi
oleh perbedaan budaya dan tingkat ekonomi yang berlainan antara satu negara dengan negara lainnya (Katsambas & Soura, 2017).
Pada penelitian ini jenis pekerjaan paling banyak adalah ibu
rumah tangga (62,5%), pedagang (20%) dan karyawan swasta (10%). Suatu penelitian di India Selatan juga menyebutkan
penderita melasma terbanyak
adalah ibu rumah tangga dengan
prevalensi sebesar 66% (Raju et al., 2016).
Kejadian melasma pada pedagang
dan karyawan swasta dikaitkan dengan paparan sinar matahari
selama menjalankan aktivitas berdagang dan pekerjaannya selain itu juga berhubungan dengan penggunaan kosmetik (Sardesai et al., 2013).
Melasma pada ibu rumah tangga yang mungkin tidak terlalu terpapar
sinar matahari dapat menunjukkan pengaruh hormonal dalam etiologi melasma (Mardiana, 2021).
Dilihat dari terjadinya melasma, paparan sinar UV seringkali dilaporkan menjadi pemicu kejadian dan kekambuhan pada melasma, karena efek radiasi UV terhadap melanosit, kenyatan bahwa lesi melasma sering muncul pada area kulit yang sering terpapar sinar matahari serta melasma yang bertambah berat seiring dengan
peningkatan intensitas pajanan sinar matahari
(Melyawati et al., 2014). Seperti teori yang diyakini sebelumnya radiasi UV akan meningkatkan proliferasi melanosit dan melanogenesis (Suryaningsih et al., 2019).
Pada penelitian ini, meskipun subjek penelitian merupakan ibu rumah tangga,
namun masih sering terpapar sinar matahari selama menjalankan kegiatan sehari-hari. Ibu rumah tangga memperoleh
pajanan suhu panas eksternal dalam menjalankan aktivitas rumah tangga, misalnya memasak, menjemur, menyetrika pakaian dan berkebun yang dapat berpengaruh pada terjadinya
melasma (Novarina et al., 2017).
Sebagian besar subjek
penelitian ini memiliki riwayat melasma pada keluarga (52,5%). Riwayat melasma pada keluarga
merupakan bukti kecenderungan genetik pada
melasma, yang dapat terjadi
sekitar 40-60% (Handel et al., 2014).
Faktor predisposisi
familial pada melasma merupakan hal
yang penting secara genetik, meskipun polanya non-Mendelian. Pada penelitian
terhadap 324 wanita melasma
di Amerika, Perancis, Jerman,
Belanda, Meksiko, Italia, Singapura, Korea Selatan
dan Hongkong didapatkan riwayat
melasma pada keluarga sebanyak
48%, dimana 97% kasus diantaranya terjadi pada generasi pertama dan 3% terjadi pada generasi kedua dalam anggota
keluarga (Ortonne et al., 2009).
Predisposisi genetik pada
melasma paling sering terjadi
pada wanita (Suryaningsih et al., 2019). Belum ada penelitian genom yang dilakukan secara luas untuk
memeriksa gen terkait
melasma, tetapi temuan saat ini menunjukkan
bahwa gen yang bertanggung jawab melibatkan respon pigmen, inflamasi,
hormonal dan kemungkinan vaskular
(Ogbechie-Godec & Elbuluk, 2017)\.
Peranan hormon
pada melasma belum dapat dijelaskan sepenuhnya, namun diyakini hormon estrogen dan progesteron terlibat dalam patogenesis melasma. Pada penelitian
ini ditemukan riwayat penggunaan kontrasepsi hormonal sebesar 5%, sedangkan yang tidak memiliki riwayat memakai kontrasepsi hormonal sebanyak 95%. Beberapa penelitian klinik membuktikan bahwa 10-20% kasus melasma didapatkan pada wanita yang mengkonsumsi kontrasepsi hormonal. Melasma dapat
timbul pada satu hingga tiga tahun
setelah seseorang mengkonsumsi kontrasepsi hormonal
(Damevska, 2014). Pada penelitian lain dilaporkan bahwa kontrasepsi hormonal merupakan faktor pemicu terjadinya melasma pada
26% pasien dan memperburuk kondisi melasma pada 38% pasien.
Pada sebuah penelitian di
Medan pada akseptor kontrasepsi
hormonal, didapatkan proporsi
yang menderita melasma sebanyak
20,5% dimana kejadian
melasma tertinggi pada pengguna
kontrasepsi oral yang mengandung
estrogen dan progresteron yaitu
sebesar 26,1%, pada kontrasepsi
hormonal jenis suntik 19,4%
dan pada pengguna kontrasepsi
implan 16,7% (Mahdalena
et al., 2018).
Pengaruh hormonal pada melasma selain dari kontrasepsi
hormonal juga dipengaruhi kehamilan.
Menurut hasil survei yang dilakukan oleh The Pigmentary Disorder Academy 42% awitan melasma terjadi setelah kehamilan dan 26% melasma
terjadi pada saat hamil. Risiko untuk
terjadi melasma selama kehamilan juga meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah kehamilan (Melyawati et al., 2014). Penelitian yang dilakukan oleh
Achar dan Rathi di India yang melibatkan 250 pasien melasma mendapati kejadian melasma yang diinduksi kehamilan sebanyak 56 orang
(22,4%) dan pada pengguna kontrasepsi
oral sebanyak 46 orang (18,4%) (Achar & Rathi, 2011). Penelitian potong lintang di Iran menunjukkan bahwa melasma didapatkan pada wanita hamil sebanyak
14,5% dan pada wanita yang menggunakan
kontrasepsi oral sebanyak
11,3%. Semua penelitian tersebut menunjukkan korelasi antara hormonal dan
melasma, namun bagaimana mekanisme tersebut terjadi masih belum
dapat dijelaskan (Suryaningsih et al., 2019).
Selain itu kaitan melasma dengan aktivitas hormonal didukung oleh
data yang menyebutkan bahwa
wanita lebih sering menderita melasma, onset
melasma yang biasanya terjadi
setelah remaja, selama masa kehamilan atau saat menggunakan
kontrasepsi hormonal, prevalensi
melasma yang menurun setelah
menopause dan jarang bermanifestasi
sebelum pubertas mendukung kaitan melasma.
Pada penelitian ini pasien melasma yang tidak pernah mendapatkan pengobatan melasma sebelumnya sebesar 87,5%, baik berobat ke klinik
kecantikan ataupun membeli krim secara
bebas. Terdapat banyak faktor yang berperan pada etiologi melasma,
salah satunya kandungan kosmetik, obat-obatan fototoksik dan antikejang (Damevska, 2014). Sebuah penelitian epidemiologi klinik multisenter di India yang melibatkan
331 pasien melasma mendapati
riwayat penggunaan kosmetik sebelumnya sebanyak 35% dan menemukan hubungan pola klinis
melasma terhadap penggunaan
kosmetik dimana lebih banyak ditemukan
pola melasma campuran (40%)
dibandingkan pola klinis melasma tunggal (32%). Penggunaan kosmetik setidaknya lima kali seminggu dapat berkontribusi pada kekambuhan melasma. Kandungan zat pewangi, zat
pewarna atau pengawet pada kosmetik dapat menyebabkan lesi hiperpigmentasi jika terpajan sinar
matahari. Kosmetik jarang menyebabkan melasma, namun pasien melasma menunjukkan tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap kosmetik. Dermatitis kosmetik berpigmen dan sensitivitas kontak kosmetik harus dipertimbangkan dalam faktor etiologi ketika melasma tidak terkait dengan kehamilan, menyusui atau terapi hormon
(Cestari & Buster, 2017)
Subjek penelitian ini memiliki tipe
kulit Fitzpatrick III sebanyak
32,5%, tipe kulit
Fitzpatrick IV sebanyak 50% dan tipe
kulit Fitzpatrick V sebesar
17,5%. Pada sebuah penelitian
di Brazil yang melibatkan 302 pasien
melasma didapatkan 34,4% memiliki
tipe kulit Fitzpatrick III,
38,4% tipe kulit
Fitzpatrick IV dan tipe kulit
Fitzpatrick V 15,6%. Di Tunisia, survei terhadap 188 wanita melasma menemukan 14% memiliki tipe kulit Fitzpatrick III, 45% dengan tipe kulit
Fitzpatrick IV dan tipe kulit
Fitzpatrick V sebesar 40%. Hal ini
sesuai literatur yang menyebutkan bahwa tipe kulit Fitzpatrick III-V, predisposisi genetik, pajanan sinar matahari,
kehamilan dan penggunaan hormon eksogen merupakan faktor risiko melasma. Individu dengan tipe kulit
Fitzpatrick I tidak bisa menghasilkan pigmentasi tambahan, sedangkan individu tipe kulit
Fitzpatrick VI sudah memproduksi
pigmentasi secara maksimal, dengan demikian tipe kulit
Fitzpatrick I dan VI merupakan fenotipe
pigmentasi yang stabil. Hal
ini juga dibuktikan dengan sedikitnya kasus melasma di Eropa dan penduduk Negroid sub-Sahara (Handel
et al., 2014). Karakteristik
melanosit pada orang berkulit
gelap berbeda dengan orang berkulit putih dalam hal
ukuran, bentuk dan jumlah melanin yang dihasilkan serta distribusi dan deposisi melanosom di epidermis. Aktifitas dan produksi melanosit pada orang berkulit gelap lebih tinggi
daripada orang berkulit terang (Orlow, 2018).
Seluruh subjek penelitian ini memiliki pola klinis
sentrofasial (100%). Menurut
sebuah ulasan komprehensif, pola klinis utama melasma adalah sentrofasial yaitu pada 50-80% kasus, dimana lesinya mengenai dahi, hidung, bibir atas
(kecuali filtrum), dagu dan pipi (Ogbechie-Godec & Elbuluk, 2017).
Sebuah studi epidemiologi tahun 2013 di Brazil
yang meneliti karakteristik
melasma mengidentifikasi dominasi
melasma sentrofasial (51,7%) (Handel et al., 2014).
Berbeda dengan studi retrospektif di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, distribusi lesi melasma paling banyak adalah malar (58,1%) kemudian sentrofasial (53,9%) dan mandibular (6,1%) (Asditya & Sukanto, 2017).
Area sentrofasial pada melasma memiliki
kepadatan kelenjar sebasea yang tinggi, hal ini menunjukkan
kemungkinan hubungan antara fungsi kelenjar
sebasea dan patogenesis
melasma. Kelenjar sebasea mensintesis beberapa sitokin dan faktor pertumbuhan seperti angiopoietin
dan adipokin yang dapat memodulasi fungsi melanosit. Sebosit berada di bawah kendali α-MSH, oleh karena itu ekspresi berlebihan
dari hormon ini dapat mempengaruhi
sel tersebut (Filoni et al., 2019)
Pada penelitian ini ditemukan tipe melasma epidermal
(42,5%) dan tipe campuran
(57,5%). Tipe epidermal merupakan
tipe melasma yang paling sering
(Lapeere et al., 2012)
dimana lesi melasma tampak berwarna coklat terang, dengan pemeriksaan lampu Wood melasma epidermal akan
berwarna gelap dan berbatas tegas, sedangkan kulit normal terlihat lebih terang. Pada tipe campuran lesi melasma tampak berwarna coklat gelap dan dengan lampu Wood terdapat bagian yang berbatas tegas dan ada yang tidak (Chuah et al., 2017). Studi epidemiologi terbaru di India menyebutkan bahwa melasma tipe epidermal merupakan melasma terbanyak (56,3%)
dari seluruh populasi yang diteliti (Patel et al., 2020). �
Pemeriksaan dengan lampu Wood tidak sepenuhnya bisa diandalkan dalam memprediksi respon terhadap pengobatan melasma terutama pada populasi berkulit gelap, meskipun begitu pemeriksaan lampu Wood ini dapat membantu
dalam mengklasifikasikan
melasma menjadi epidermal, dermal, campuran maupun indeterminate.
Melasma epidermal berespon terhadap
pengobatan lokal, sedangkan melasma dermal dan campuran
kurang atau tidak responsif (Mardiana, 2021).
Pada penelitian ini efek samping paling banyak ditemukan pada kelompok II. Pada kelompok I ditemukan subjek penelitian tanpa keluhan efek samping
pemakaian serum sebanyak
55% dan lebih banyak dibandingkan kelompok II (35%). Subjek penelitian pada kelompok I paling sering mengeluhkan kesemutan ringan atau sensasi
tingling (35%) dan pruritus (15%), sedangkan pada kelompok II subjek penelitian banyak mengeluhkan eritema (40%) dan
rasa panas seperti terbakar (20%).
2.
Pembahasan Penilaian
Hasil Skor MASI
Teknik evaluasi pengobatan
melasma yang sering digunakan
adalah penilaian Skor MASI.
Metode ini dipercaya dan valid untuk menilai keparahan melasma terutama pada orang Hispanik,
Afrika dan Asia (Asditya & Sukanto, 2017). Pemeriksaan MASI dipandang relevan dalam menilai
keberhasilan terapi
melasma, walaupun penilaian
ini merupakan penilaian subjektif (Arimuko et al., 2018).
Pada penelitian ini didapatkan bahwa kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation
2% dapat menurunkan skor MASI pada pasien melasma secara signifikan. Tidak ada perbedaan
penurunan skor MASI yang signifikan pada minggu ke-4 maupun minggu ke-8 pada pemakaian kombinasi serum
L-ascorbic acid 10% dan glutation 2% dibandingkan serum hidrokuinon
4%.
L-ascorbic acid berperan sebagai
anti antipigmentasi, bekerja
dengan cara berinteraksi dengan ion tembaga pada tempat yang aktif dari enzim
tirosinase, sehingga menghambat aksi enzim tersebut. Seperti yang telah diketahui bahwa tirosinase merupakan enzim utama yang bertanggung jawab untuk mengubah tirosin menjadi melanin, sehingga L-ascorbic acid dapat menurunkan pembentukan melanin (Ravetti et al., 2019).
Radiasi UV menghasilkan
ROS dan menyebabkan stres oksidatif. Hal ini menyebabkan kaskade eritema dan reaksi inflamasi yang dapat dianggap sebagai faktor penting yang mempengaruhi patogenesis melasma (Handog et al., 2009).
Mekanisme L-ascorbic acid pada melasma adalah sebagai antioksidan yang akan mencegah radikal bebas dan mempengaruhi melanogenenesis dengan mengurangi DQ menjadi DOPA (Al-Niaimi & Chiang, 2017). Mekanisme fotoproteksi L-ascorbic
acid sebagai antioksidan dengan cara menetralkan
ROS pada kulit berdasarkan kapasitas oksidasi askorbat, mengurangi pembentukan formasi sel sunburn, eritema, imunosupresi dan inhibisi terhadap sintesis tirosinase dan menjaga hidrasi untuk melindungi
barier epidermis (Tran-Ngoc et al., 2019).
Konsentrasi optimal L-ascorbic acid bergantung pada formulasinya. Konsentrasi L-ascorbic acid harus
lebih dari 8% supaya memiliki efek biologis yang signifikan. Penelitian telah menunjukkan konsentrasi L-ascorbic acid diatas
20% tidak meningkatkan signifikansi biologisnya dan justru menyebabkan iritasi (Al-Niaimi & Chiang, 2017). Konsentrasi L-ascorbic acid yang tersedia
saat ini berada pada kisaran 4%-20% (Couteau & Coiffard, 2016).
Dalam uji coba terkontrol secara acak, split-face yang membandingkan
L-ascorbic acid 5% dengan hidrokuinon
4%, menunjukkan perbaikan secara subjektif yang lebih tinggi pada sisi hidrokuinon (93%) dibandingkan pada sisi L-ascorbic
acid (62,5%), namun dengan pengukuran kolorimetri tidak ada perbedaan
statistik yang signifikan diantara keduanya. Ditemukan efek samping sebanyak 68,7% dengan hidrokuinon dan 6,2% dengan L-ascorbic acid, sehingga meskipun hidrokuinon menunjukkan respon yang lebih baik, L-ascorbic acid juga berperan dalam terapi melasma dan hampir tanpa efek samping
(Espinal‐Perez et al.,
2004).
Penelitian di RSUP Dr. M Djamil
Padang menggunakan L-ascorbic acid 10% dibandingkan dengan zink sulfat 10% pada melasma
epidermal mendapati keduanya
dapat menurunkan skor MASI, akan tetapi zink sulfat
10% memberikan hasil yang lebih baik dan efek samping yang minimal dibandingkan L-ascorbic acid 10%. Perbaikan
klinis terlihat setelah satu bulan
pengobatan berdasarkan penurunan skor MASI (Yenny & Lestari, 2012).
Sebuah studi klinis yang meneliti efek dari formulasi
topikal yang mengandung
L-ascorbic acid 25% melaporkan penurunan
skor MASI setelah 16 minggu (Hwang et al., 2009).
Pada sediaan oral, tablet L-ascorbic acid 60 mg dengan prosianidin 24 mg, β-karoten 6 mg dan D-α-tokoferol
asetat 15 IU memiliki efektivitas pencerahan kulit yang terlihat pada penurunan skor MASI (Handog et al., 2009).
Glutation adalah antioksidan utama yang berperan penting dalam melindungi sel dari kerusakan
oksidatif dan toksisitas xenobiotik, serta mempertahankan homeostatis redoks (Farahat et al., 2018).
Glutation merupakan salah satu antioksidan endogen terkuat yang diproduksi oleh sel-sel dalam tubuh
manusia. Mekanisme glutation dalam mencerahkan kulit yaitu melalui penghambatan
enzim tirosinase dan kemampuannya untuk mengubah produksi eumelanin menjadi feomelanin (Sonthalia et al., 2016).
Sebuah penelitian di Mesir dengan krim
glutation 2% pada melasma yang dioles
2 kali sehari selama 10 minggu secara split face dengan plasebo mendapatkan hasil penurunan skor mMASI pada sisi glutation (Farahat et al., 2018). Penambahan glutation 2% pada asam traneksamat dan vitamin C 3%
menghasilkan penurunan skor mMASI setelah
12 minggu (Iraji et al., 2019). Penelitian lainnya menggunakan glutation dalam bentuk sabun,
mendapati respon terapeutik pada lesi hiperpigmentasi yang terkait paparan radiasi UV, menyimpulkan bahwa glutation dapat mempengaruhi melanogenesis, tetapi
tidak pada lesi yang sudah ada sebelumnya
(Sreeharsha et al., 2015).
Glutation telah digunakan secara luas untuk mengobati
hipermelanosis pada wajah terutama dalam kombinasi dengan vitamin C (Puri et al., 2020). Vitamin C dan glutation merupakan antioksidan kuat yang dapat memutihkan kulit dan menghambat
melanogenesis yang dipicu radiasi
UV (Kerscher & Buntrock, 2017).
Terdapat sebuah penelitian mengenai efikasi glutation dan vitamin C menggunakan mesoterapi pada pasien melasma, setelah 12 minggu terjadi penurunan skor MASI sebesar 42,38% dan menjadi 53,12%
setelah 6 bulan (Puri et al., 2020).
L-ascorbic acid dapat dikombinasikan
dengan glutation untuk meningkatkan absorbsinya (Malathi & Thappa, 2013). L-ascorbic acid memelihara level glutation dan memproses ulang glutation dengan mengubah glutation teroksidasi kembali ke bentuk aktifnya
(Lenton & Huntingford, 2003). Glutation juga membantu menjaga L-ascorbic acid. Glutation
menurunkan asupan
L-ascorbic acid yang dibutuhkan dengan
mendaur ulang L-ascorbic
acid. Daur ulang terjadi setelah L-ascorbic acid menetralkan radikal bebas dengan cara
melepaskan elektron ke radikal bebas,
kemudian glutation akan melepaskan sebuah elektron ke molekul C, mengembalikan
L-ascorbic acid untuk bekerja
sebagai antioksidan (Puri et al., 2020). L-ascorbic acid
dan glutation memiliki efek sinergistik dalam mencerahkan kulit karena sifat
antioksidan yang dimilikinya
untuk melawan radikal bebas dan penghambatan sintesis melanin melalui reaksi dengan tirosinase dan L-DOPA (Manggabarani et al., 2018).
Manfaat lain L-ascorbic acid yaitu
meningkatkan sintesis kolagen, fotoproteksi terhadap UVA maupun UVB, meringankan hiperpigmentasi dan memperbaiki berbagai dermatosis inflamasi. Efek depigmentasi glutation antara lain melalui inaktivasi langsung tirosin kinase melanosit, bertindak sebagai perantara yang mengubah produksi eumelanin menjadi feomelanin, eliminasi radikal bebas yang berperan dalam produksi tirosin kinase melanosit dan regulasi faktor depigmentasi melanotoksik (Iraji et al., 2019).
Kesimpulan
Kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation
2% menurunkan skor MASI, meskipun begitu tidak terbukti lebih efektif menurunkan
skor MASI dibandingkan
serum hidrokuinon 4% pada pasien
melasma.
Implikasi penelitian ini
secara teoritis menunjukkan kombinasi serum
L-ascorbic acid 10% dan glutation 2% efektif menurunkan skor MASI. Berdasarkan hal tersebut, maka
kombinasi serum L-ascorbic acid 10% dan glutation 2% dapat digunakan sebagai terapi alternatif yang efektif dan aman untuk melasma.
BIBLIOGRAFI
Achar, A.,
& Rathi, S. K. (2011). Melasma: A Clinico-Epidemiological Study Of 312
Cases. Indian Journal Of Dermatology, 56(4), 380. Google Scholar
Al-Niaimi,
F., & Chiang, N. Y. Z. (2017). Topical Vitamin C And The Skin: Mechanisms
Of Action And Clinical Applications. The Journal Of Clinical And Aesthetic
Dermatology, 10(7), 14. Google Scholar
Anwar,
S., & Anwar, A. (2016). Infertility: A Review On Causes, Treatment And
Management. Women�s Health Gynecol, 5, 2.
Google Scholar
Arimuko,
A., Persada, Y. D., & Subakti, H. (2018). Model Kecepatan 1-D Gelombang P
Dan Gelombang S Dari Data Hasil Relokasi Hiposenter Di Wilayah Gunung Sinabung.
Jurnal Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika, 5(3), 72�79. Google Scholar
Asditya,
A., & Sukanto, H. (2017). Profile Of Melasma Patients: A Retrospective
Study. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin, 29(3), 220�228. Google Scholar
Bagherani,
N., Gianfaldoni, S., & Smoller, B. (2015). An Overview On Melasma. Pigmentary
Disorders, 2(10), 218. Google Scholar
Cestari,
T., & Buster, K. (2017). Photoprotection In Specific Populations: Children
And People Of Color. Journal Of The American Academy Of Dermatology, 76(3),
S110�S121. Google Scholar
Chalasani,
N., Bonkovsky, H. L., Fontana, R., Lee, W., Stolz, A., Talwalkar, J., Reddy, K.
R., Watkins, P. B., Navarro, V., & Barnhart, H. (2015). Features And
Outcomes Of 899 Patients With Drug-Induced Liver Injury: The Dilin Prospective
Study. Gastroenterology, 148(7), 1340�1352. Google Scholar
Chuah,
S. Y., Tee, S. I., Tan, W. P., Lee, S. S. J., Ng, S. K., Chua, S. H., &
Thng, T. G. S. (2017). Reflectance Confocal Microscopy Is A Useful Non‐Invasive Tool In The In Vivo
Diagnosis Of Pigmented Basal Cell Carcinoma In A Sians. Australasian Journal
Of Dermatology, 58(2), 130�134. Google Scholar
Coban-Akdemir,
Z., White, J. J., Song, X., Jhangiani, S. N., Fatih, J. M., Gambin, T., Bayram,
Y., Chinn, I. K., Karaca, E., & Punetha, J. (2018). Identifying Genes Whose
Mutant Transcripts Cause Dominant Disease Traits By Potential Gain-Of-Function
Alleles. The American Journal Of Human Genetics, 103(2), 171�187. Google Scholar
Couteau,
C., & Coiffard, L. (2016). Overview Of Skin Whitening Agents: Drugs And
Cosmetic Products. Cosmetics, 3(3), 27. Google Scholar
Dahlan,
A., Mubin, F., & Mustika, D. N. (2013). Hubungan Status Pekerjaan Dengan
Pemberian Asi Eksklusif Di Kelurahan Palebon Kecamatan Pedurungan Kota
Semarang. Jurnal Kebidanan, 2(2), 56�60. Google Scholar
Damevska,
K. S. (2014). Utvrđivanje Povezanosti Hronične Plak Psorijaze I
Osnovnih Kriterijuma Metaboličkog Sindroma. Универзитет
У Нишу. Google Scholar
Dessinioti,
C., Tzanetakou, V., Zisimou, C., Platsidaki, E., Koukkou, E., Katsambas, A.,
& Antoniou, C. (2018). A Study Of Androgenic Signs And Disorders In Greek
Female Patients With Acne. Journal Of The European Academy Of Dermatology
And Venereology: Jeadv, 32(7), E279�E282. Google Scholar
Dilokthornsakul,
P., Kengkla, K., Saokaew, S., Permsuwan, U., Techasaensiri, C.,
Chotpitayasunondh, T., & Chaiyakunapruk, N. (2019). An Updated
Cost-Effectiveness Analysis Of Pneumococcal Conjugate Vaccine Among Children In
Thailand. Vaccine, 37(32), 4551�4560. Google Scholar
Espinal‐Perez, L. E., Moncada, B., &
Castanedo‐Cazares,
J. P. (2004). A Double‐Blind
Randomized Trial Of 5% Ascorbic Acid Vs. 4% Hydroquinone In Melasma. International
Journal Of Dermatology, 43(8), 604�607. Google Scholar
Farahat,
A. A., Ismail, M. A., Kumar, A., Wenzler, T., Brun, R., Paul, A., Wilson, W.
D., & Boykin, D. W. (2018). Indole And Benzimidazole Bichalcophenes:
Synthesis, Dna Binding And Antiparasitic Activity. European Journal Of
Medicinal Chemistry, 143, 1590�1596. Google Scholar
Filoni,
A., Mariano, M., & Cameli, N. (2019). Melasma: How Hormones Can Modulate
Skin Pigmentation. Journal Of Cosmetic Dermatology, 18(2),
458�463. Google Scholar
Handel,
A. C., Miot, L. D. B., & Miot, H. A. (2014). Melasma: A Clinical And
Epidemiological Review. Anais Brasileiros De Dermatologia, 89,
771�782. Google Scholar
Handog,
E. B., Galang, D. A. V. F., De Leon‐Godinez,
M. A., & Chan, G. P. (2009). A Randomized, Double‐Blind, Placebo‐Controlled Trial Of Oral
Procyanidin With Vitamins A, C, E For Melasma Among Filipino Women. International
Journal Of Dermatology, 48(8), 896�901. Google Scholar
Hwang,
I., Kim, S., Kim, Y., & Seah, C. E. (2009). A Survey Of Fault Detection,
Isolation, And Reconfiguration Methods. Ieee Transactions On Control Systems
Technology, 18(3), 636�653. Google Scholar
Iraji,
A., Deramus, T. P., Lewis, N., Yaesoubi, M., Stephen, J. M., Erhardt, E.,
Belger, A., Ford, J. M., Mcewen, S., & Mathalon, D. H. (2019). The Spatial
Chronnectome Reveals A Dynamic Interplay Between Functional Segregation And
Integration. Human Brain Mapping, 40(10), 3058�3077. Google Scholar
Janney,
M. S., Subramaniyan, R., Dabas, R., Lal, S., Das, N. M., & Godara, S. K.
(2019). A Randomized Controlled Study Comparing The Efficacy Of Topical 5%
Tranexamic Acid Solution Versus 3% Hydroquinone Cream In Melasma. Journal Of
Cutaneous And Aesthetic Surgery, 12(1), 63. Google Scholar
Kaliterna-Lipovčan,
L., & Braj�a-�ganec, A. (2017). Kvaliteta �ivljenja, Sreća I �ivotno
Zadovoljstvo U Hrvatskoj I Zemljama Eu, Te Usporedbe Sjeverozapadne I Ostalih
Dijelova Hrvatske. Radovi Zavoda Za Znanstveni Rad Vara�din, 28,
139�153. Google Scholar
Katsambas,
A., & Soura, E. (2017). Quality Of Life In Melasma. In Melasma And
Vitiligo In Brown Skin (Pp. 169�175). Springer. Google Scholar
Kerscher,
M., & Buntrock, H. (2017). Cosmetics And Cosmeceuticals. In Cosmetic
Medicine And Surgery (Pp. 91�102). Crc Press. Google Scholar
Kumarasinghe,
S. P. W., Pandya, A., Chandran, V., Rodrigues, M., Dlova, N. C., Kang, H. Y.,
Ramam, M., Dayrit, J. F., Goh, B. K., & Parsad, D. (2019). A Global Consensus
Statement On Ashy Dermatosis, Erythema Dyschromicum Perstans, Lichen Planus
Pigmentosus, Idiopathic Eruptive Macular Pigmentation, And Riehl�s Melanosis. International
Journal Of Dermatology, 58(3), 263�272. Google Scholar
Lapeere,
H., Boone, B., De Schepper, S., Verhaeghe, E., Van Gele, M., Ongenae, K., Van
Geel, N., Lambert, J., & Brochez, L. (2012). Hypomelanoses And
Hypermelanoses. In Fitzpatrick�s Dermatology In General Medicine (Pp.
804�826). Mc Graw Hill Medical. Google Scholar
Lee,
M. M. (2015). Body, Dress, And Identity In Ancient Greece. Cambridge
University Press. Google Scholar
Lenton,
T. M., & Huntingford, C. (2003). Global Terrestrial Carbon Storage And Uncertainties
In Its Temperature Sensitivity Examined With A Simple Model. Global Change
Biology, 9(10), 1333�1352. Google Scholar
Lu,
L., Li, G. Y., Swindlehurst, A. L., Ashikhmin, A., & Zhang, R. (2014). An
Overview Of Massive Mimo: Benefits And Challenges. Ieee Journal Of Selected
Topics In Signal Processing, 8(5), 742�758. Google Scholar
Malathi,
M., & Thappa, D. (2013). Systemic Skin Whitening/Lightening Agents: What Is
The Evidence? Indian Journal Of Dermatology, Venereology And Leprology, 79(6),
842. Google Scholar
Manggabarani,
S., Hadi, A. J., Said, I., & Bunga, S. (2018). Relationship Knowledge,
Nutrition Status, Dietery, Food Taboo With Breast Milk Production Of
Breastfeeding Mother. Jurnal Dunia Gizi, 1(1), 1�9. Google Scholar
Mardiana,
M. S. (2021). The Effect Of User Experience And Quality Of Products On
Customer Loyalty Of Guna Bhakti Credit Products In Bjb Batam. Google Scholar
Melyawati,
L. S., Bernadette, I., Legiawati, L., & Surachmiati, L. (2014).
Perkembangan Terbaru Etiopatogenesis Melasma. Media Derm. Venereol. Indones,
41(3), 133�138. Google Scholar
Montinola,
G. G. (2017). Can You Feel Me Now? Positive Empathy And Explicit And
Implicit Attitude Change. Google Scholar
Nomakhosi,
M., & Heidi, A. (2018). Natural Options For Management Of Melasma, A
Review. Journal Of Cosmetic And Laser Therapy, 20(7�8), 470�481. Google Scholar
Novarina,
D., Mavrova, S. N., Janssens, G. E., Rempel, I. L., Veenhoff, L. M., &
Chang, M. (2017). Increased Genome Instability Is Not Accompanied By
Sensitivity To Dna Damaging Agents In Aged Yeast Cells. Dna Repair, 54,
1�7. Google Scholar
Ogbechie-Godec,
O. A., & Elbuluk, N. (2017). Melasma: An Up-To-Date Comprehensive Review. Dermatology
And Therapy, 7(3), 305�318. Google Scholar
Orlow,
D. (2018). A History Of Modern Germany: 1871 To Present. Routledge. Google Scholar
Ortonne,
J. P., Arellano, I., Berneburg, M., Cestari, T., Chan, H., Grimes, P., Hexsel,
D., Im, S., Lim, J., & Lui, H. (2009). Abstract. Journal Of The European
Academy Of Dermatology And Venereology, 23(11), 1254�1262. Google Scholar
Patel,
R., Babady, E., Theel, E. S., Storch, G. A., Pinsky, B. A., St. George, K.,
Smith, T. C., & Bertuzzi, S. (2020). Report From The American Society
For Microbiology Covid-19 International Summit, 23 March 2020: Value Of
Diagnostic Testing For Sars�Cov-2/Covid-19. Am Soc Microbiol. Google Scholar
Puri,
N., Coomes, E. A., Haghbayan, H., & Gunaratne, K. (2020). Social Media And
Vaccine Hesitancy: New Updates For The Era Of Covid-19 And Globalized
Infectious Diseases. Human Vaccines & Immunotherapeutics, 16(11),
2586�2593. Google Scholar
Rahmawati,
T., & Mawardi, M. K. (2017). Pengaruh Faktor Perilaku Dan Faktor
Kontekstual Terhadap Niat Berwirausaha (Survei Pada Mahasiswa Program Studi
Bisnis Angkatan 2014 Dan 2015 Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Yang Telah Menempuh Mata Kuliah Kewirausahaan). Jurnal Administrasi Bisnis,
50(4), 115�122. Google Scholar
Raju,
M., Saikia, L. C., & Sinha, N. (2016). Automatic Generation Control Of A
Multi-Area System Using Ant Lion Optimizer Algorithm Based Pid Plus Second
Order Derivative Controller. International Journal Of Electrical Power &
Energy Systems, 80, 52�63. Google Scholar
Ravetti,
S., Clemente, C., Brignone, S., Hergert, L., Allemandi, D., & Palma, S.
(2019). Ascorbic Acid In Skin Health. Cosmetics, 6(4), 58. Google Scholar
Sardesai,
N. P., Kadimisetty, K., Faria, R., & Rusling, J. F. (2013). A Microfluidic
Electrochemiluminescent Device For Detecting Cancer Biomarker Proteins. Analytical
And Bioanalytical Chemistry, 405(11), 3831�3838. Google Scholar
Sarkar,
N., Ghosh, S. K., Bannerjee, S., & Aikat, K. (2012). Bioethanol Production
From Agricultural Wastes: An Overview. Renewable Energy, 37(1),
19�27. Google Scholar
Sonthalia,
S., Daulatabad, D., & Sarkar, R. (2016). Glutathione As A Skin Whitening
Agent: Facts, Myths, Evidence And Controversies. Indian Journal Of
Dermatology, Venereology And Leprology, 82(3). Google Scholar
Sreeharsha,
R. V., Sekhar, K. M., & Reddy, A. R. (2015). Delayed Flowering Is
Associated With Lack Of Photosynthetic Acclimation In Pigeon Pea (Cajanus Cajan
L.) Grown Under Elevated Co2. Plant Science, 231, 82�93. Google Scholar
Sugiura,
A., & Rathmell, J. C. (2018). Metabolic Barriers To T Cell Function In
Tumors. The Journal Of Immunology, 200(2), 400�407. Google Scholar
Suryaningsih,
B. E., Sadewa, A. H., Wirohadidjojo, Y. W., & Soebono, H. (2019).
Association Between Heterozygote Val92met Mc1r Gene Polymorphisms With
Incidence Of Melasma: A Study Of Javanese Women Population In Yogyakarta. Clinical,
Cosmetic And Investigational Dermatology, 12, 489. Google Scholar
Tran-Ngoc,
H., Khatir, S., De Roeck, G., Bui-Tien, T., & Wahab, M. A. (2019). An
Efficient Artificial Neural Network For Damage Detection In Bridges And
Beam-Like Structures By Improving Training Parameters Using Cuckoo Search
Algorithm. Engineering Structures, 199, 109637. Google Scholar
Yenny,
S. Y., & Lestari, W. (2012). A Study Comparing The Use Of 10% L-Ascorbic
Acid And 10% Zinc Sulfate Solution In The Treatment Of Melasma. Malay J
Dermatol, 29, 38�45. Google Scholar
Copyright holder: Ummi Rinandari,
Putti Fatiharani Dewi,
Arie Kusumawardani, Muhammad Eko
Irawanto, Moerbono Mochtar (2021) |
First publication right: |
This article is licensed under: ������������������������������������������������������� |
�����������������������������������������������������������������������������������