Jurnal Health Sains: p�ISSN : 2723-4339 e-ISSN
: 2548-1398�����
Vol. 2, No. 2, Febuari 2021
PEMAHAMAN
REMAJA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DAN TINJAUAN YURIDIS PERKAWINAN USIA DINI
Nung Ati Nurhayati
Akademi Keperawatan Rumah Sakit Dustira, Cimahi, Jawa Barat, Indonesia
Email: [email protected]
artikel
info |
abstract |
Tanggal diterima: 5
Februari 2021 Tanggal revisi: 15
Februari 2021 Tanggal yang diterima:
25 Februari 2021 |
Adolescence
is the most difficult period that every individual must go through which will
determine the phases of subsequent life development. The main problem in
adolescent's life is reproductive health problems related to sexuality.
Several studies have shown that adolescents' understanding of reproductive
health is still low, especially related to casual sex behavior. The low
understanding of reproductive health has resulted in a lack of understanding
of early childhood marriage, which is still a fairly high number in
Indonesia. The purpose of this study was to examine how adolescents'
understanding of reproductive health and how the juridical review of early
age marriage is seen from undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan. The review using a systematic review follows
the Optional Guide for Sytematic Review and Meta
Analyzes (PRISMA) reviews using a flowchart based on the PRISMA 2009
checklist. Low knowledge of adolescents about adolescent reproductive health
has an impact, such as an increase in the rate of early marriage. Due to the
juridical consequences of underage marriage, there is no apparent violation
of Undang-Undang No 16 tahun
2019 sebagai perubahan atas Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawianan, but there are other juridical consequences,
namely neglect in the household which can be subject to criminal threats
according to Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, in the event of a
divorce it will result from the law of neglect of children resulting in
violations of Undang-Undang No 35 tahun 2014 sebagai perubahan atas Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.. ABSTRAK Masa remaja merupakan masa tersulit yang harus dilalui setiap individu yang akan menentukan fase-fase perkembangan kehidupan selanjutnya. Masalah utama dalam kehidupan remaja adalah masalah kesehatan reproduksi yang berkaitan dengan kehidupan seksualitas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemahaman remaja tentang kesehatan reproduksi masih rendah terutama terkait dengan perilaku seks bebas. Rendahnya
pemahaman tentang kesehatan reproduksi berdampak pada kurangnya pemahaman tentang perkawinan usia dini yang sampai saat ini masih
menduduki angka yang cukup tinggi di Indonesia.� Tujuan penelitian ini untuk menkaji bagaimana pemahaman remaja tentang kesehatan reproduksi dan bagaiman tinjauan yuridis perkawinan usia dini dilihat
darai Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Tinjauan menggunakan sistematik review� mengikuti
Panduan Pilihan untuk ulasan Sytematic Review dan
Meta Analyses (PRISMA) dengan menggunakan
flowchart berdasarkan daftar periksa
PRISMA 2009. Rendahnya pengetahuan
remaja tentang kesehatan reproduksi remaja menimbulkan dampak seperti meningkatnya angka perkawinan usia dini. Akibat yuridis dari perkawinan di bawah usia, tidak tampak
terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 sebagai perubahan Undang-Undang Nomor� tahun 1974 secara jelas, tetapi timbul akibat yuridis lain, yaitu terjadi
penelantaran dalam rumah tangga yang bisa dikenai ancaman pidana sesuai UndangUndang Nomor 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
jika terjadi perceraian akan timbul akibat hukum terlantarnya anak sehingga terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang Republik Indonesia nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak |
Keywords: Adolescents;
reproductive health; early marriage Kata Kunci: Remaja; kesehatan reproduksi;
perkawinan dini |
Coresponden Author:
Email: [email protected]
Artikel dengan akses terbuka dibawah
lisensi
���������������
Pendahuluan
Masa remaja
merupakan masa tersulit yang harus dilalui seorang individu. Remaja merupakan
masa paling kritis yang akan menentukan fase-fase perkembangan kehidupan
selanjutnya (Fitriani et al., 2020).
Berdasarkan data
dari badan pusat statistik tahun 2019 jumlah remaja di Indonesia (umur 10-19
tahun) perempuan sebanyak 22.120,000 dan remaja laki-laki sebanyak 23.231.000
Berdasarkan proyeksi penduduk pada tahun 2015 menunjukan bahwa jumlah remaja
(usia 10-24 tahun) indonesia mencapai lebih dari 66,000,000 atau 25 % dari
jumlah Penduduk Indonesia 255 juta (Bappenas, 2013). Artinya, 1
dari setiap 4 orang Penduduk Indonesia adalah remaja. WHO mendefinisikan remaja
dengan peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dengan Batasan usia 10
sampai 19 tahun (DAC, 2020). Kementerian
Kesehatan Indonesia mendefinisikan remaja dengan� Batasan usia 10 sampai 19 tahun dan belum
kawin. Sementara menurut BKKBN (Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak
Reproduksi), batasan usia remaja adalah 10 sampai 19 tahun (Fitriani et al., 2020).
Masalah utama
dalam kehidupan remaja yang menjadi sorotan adalah kehidupan seksualitas,
karena didorong oleh sifat remaja yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (high curiousity), yang seringkali
menyebabkan usaha untuk mencari dan berpetualang mencoba dan menjelajah
terhadap apa yang belum pernah dialaminya. Dorongan ini menimbulkan rasa
penasaran remaja yang akhirnya mencoba melakukan apa saja termasuk yang sering
dilakukan orang dewasa berkaitan dengan masalah seksualitas. Oleh karena itu,
seksualitas dianggap sebagai masalah utama dalam perkembangan kehidupan remaja (Ali et al., 2006).
Kehidupan
seksualitas remaja berkaitan erat dengan kesehatan reproduksi. Kesehatan
reproduksi merupakan salah satu usaha untuk mewujudkan remaja sehat menuju masa
depan yang kuat. Hal ini tercantum dalam (UU RI No 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan pasal 71 menjelaskan : �Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat
secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari
penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses
reproduksi pada laki-laki dan perempuan�.�
Hak reproduksi merupakan hak asasi manusia, pemenuhannya merupakan
bentuk perlindungan bagi setiap individu, serta prakondisi untuk memperoleh
hak-hak lainnya tanpa diskriminasi (Syafikarani, 2018).
Pelayanan
Kesehatan reproduksi remaja tercantum dalam PP no 61 tahun 2014 BAB 1 Pasal 1
pelayanan Kesehatan reproduksi remaja adalah salah satu kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan yang ditujukan kepada remaja dalam rangka menjaga
Kesehatan reproduksi. Bagian kedua pasal 11: (1) pelayanan Kesehatan reproduksi
remaja bertujuan untuk a). mencegah dan melindungi remaja dari perilaku seksual
berisiko lainnya yang dapat berpengaruh terhadap Kesehatan Repsoduksi Remaja,
dan b) mempersiapkan remaja untuk menjalani kehidupan reproduksi yang sehat dan
bertanggungjawab.
Sebagai wujud
dari Hak asasi manusia maka kesehatan reproduksi ini harus betul-betul dipahami
oleh remaja sejak dini untuk mempersiapkan masa depan sebuah bangsa, karena
ketika bicara tentang reproduksi berarti kita membicarakan sebuah proses
biologis dari kehidupan individu untuk menghasilkan individu baru. Kesehatan
reproduksi remaja merupakan kondisi kesehatan yang menyangkut masalah kesehatan
organ reproduksi, yang kesiapannya dimulai sejak usia remaja dimana organ
reproduksi sudah mampu melaksanakan fungsinya dengan ditandai oleh haid atau
biasa disebut menstruasi pertama kali pada remaja perempuan atau mimpi basah
bagi remaja laki-laki.
Namun
kenyataannya pemahaman remaja tentang kesehatan reproduksi belum menunjukkan
hasil yang memuaskan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemahaman remaja
tentang kesehatan reproduksi masih rendah terutama terkait dengan perilaku seks
bebas seperti yang dikemukakan Intan Zainafre dalam jurnalnya �Perilaku Seksual
dan Implikasinya terhadap Kebutuhan
Layanan
Kesehatan Reproduksi Remaja di Lingkunga Kampus (Studi Kasus Pada Mahasiswa
Universitas Negeri Semarang), (2015) sebanyak 12,1% remaja memiliki perilaku
sesksual berisiko ditandai dengan pernahnya melakukan aktivitas seksual berupa
kissing, necking dan petting dan pada akhirnya perilaku-perilaku tersebut
mendorong terjadinya perilaku seksual berisiko PMS dan KTD yaitu dengan
melakukan intercourse.
Penelitian yang
dilakukan oleh Puti Sari Hidayangsih dengan judul �Perilaku Berisiko dan
Permasalahan Kesehatan Reproduksi pada Remaja��
menjelaskan bahwa pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi masih
rendah. Hal ini terlihat dari pemahaman remaja yang masih kurang dan perilaku
remaja yang masih sangat berisiko terhadap kesehatan. Sebagian besar remaja
mengaku tidak pernah mendengar jenis, penyebab, cara penularan dan pengobatan
PMS dan AIDS. Umumnya mereka mengetahui tentang PMS melalui teman atau media
massa. Dan dari teman sebaya. Rendahnya pengetahuan ini bisa menyeret remaja
untuk melakukan kegiatan seksual di luar perkawinan yang akhirnya berdampak
terjadinya kehamilan di luar perkawinan.
Rendahnya
pemahaman tentang kesehatan reproduksi berdampak pada kurangnya pemahaman
tentang perkawinan usia dini yang sampai saat ini masih menduduki angka yang
cukup tinggi di Indonesia, perkawinan usia dini adalah perkawinan yang
berlangsung saat usia kedua pasangan belum menginjak 19 tahun untuk laki-laki
dan 16 tahun untuk perempuan (UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan) dan dalam
UU No 16 tahun 2019 yang merupakan perubahan terhadap UU No 1 tahun 1974 bahkan
menyantumkan usia perkawinan 19 tahun untuk perempuan dan untuk laki-laki,
sehinngga ada perbedaan definisi tentang perkawinan usia dini setelah 2019
berarti saat perkawinan berlangsung usia kedua pasangan belum menginjak 19
tahun.
Perkawinan usia
dini menimbulkan berbagai dampak dari mulai terganggunya kesehatan reproduksi
sampai tingginya Angka Kematian Ibu. Dampak lain menurut Jesica Tiara, 2019
dalam penelitiannya, mudahnya terjadi
penelantaran
dalam rumah tangga bisa menimbulkan ancaman pidana sesuai Undang-Undang RI No
23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, selain itu perkawinan usia
dini akan menimbulkan perceraian yang memiliki akibat hukum terlantarnya anak
sehingga terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Ri No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas penulis tertarik
untuk melakukan kajian literatur review dengan judul �Pemahaman Remaja Tentang
Kesehatan Reproduksi Dan Tinjauan Yuridis Perkawinan Usia Dini Dilihat Dari
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan�
Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
menyajikan hasil temuan dengan menggunakan
sistematik review�
mengikuti Panduan Pilihan
untuk ulasan Sytematic Review dan Meta Analyses (PRISMA) dengan menggunakan flowchart berdasarkan daftar periksa PRISMA
2009, yaitu dengan menghilangkan artikel yang tidak relevan dengan
menggunakan kriteria inklusi, penyaringan, kelayakan, dan pengunduhan akhir artikel yang relevan (Moher et al., 2009).
Strategi Pencarian: Artikel-artikel yang dicari di database secara online adalah artikel terkait dengan pemahaman remaja tentang kesehatan reproduksi yang terjadi di
Indonesia dan dampaknya terhadap
kesehatan reproduksi perempuan, dan artikel terkait perkawinan usia dini dilihat
dari Undang-undang Perkawinan yang disajikan oleh peneliti sebelumnya untuk disajikan sebagai laporan �sistematik review yang penulis lakukan". Langkah pertama adalah mencari artikel-artikel terkait di Google
scholar kemudian membuka koleksi dan memilih database secara online, dan membuka setiap basis data satu per satu. Dengan menggunakan
mesin telusur dengan kata kunci �remaja, kesehatan reproduksi, dan perkawinan usia dini. Kemudian
diambil artikel yang sesuai dengan kriteria
inklusi dokumen yang dianggap tepat untuk melakukan sistematik review sebagai berikkut :
1) artikel yang dipublikasikan
full text, 2) artikel yang diterbitkan
dari tahun 2015 sampai dengan tahun
2020. 3)� kriteria
responden adalah remaja. 4) design penelitian qualitatif. Sedangkan untuk perkawinan dini merupakan kajian terkait dengan UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Kriteria eksklusi adalah sebagai berikut: 1) desain uji klinis; artikel yang diterbitkan kurang dari tahun 2015, 2) dampak non kesehatan. Ekstraksi dan analisis data dari setiap artikel
yang dilakukan oleh penulis.
Hasilnya dianalisis dan
data disusun sesuai dengan analisis tema dan disusun dalam bentuk kertas
narasi.
Hasil dan Pembahasan
Penelitian
mengidentifikasi 2 studi yang dimasukkan ke dalam analisis dengan rincian
satu� penelitian menggambarkan� pengetahuan remaja tentang kesehatan
reproduksi dengan metode penelitian kualitatif, data yang dikumpulkan adalah
data primer hasil wawancara terhadap 2 remaja sebagai informan. Penelitian
kedua� merupakan penelitian hukum
normative dengan menggunakan bahan-bahan hukum yang dikumpulkan melalui studi
kepustakaan.
1.� Hasil dari penelitian (Kurniasari et al., 2018) dengan judul
�Pemahaman remaja tentang kesehatan reproduksi (pernikahan dini dan perilaku
beresiko) di Sampang Madura�� hasilnya
menunjukkan bahwa pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi masih rendah.
Rendahnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi disebabkan karena:
a. Kepatuhan remaja
untuk melangsungkan perkawian di usia muda jika perkawinan itu permintaan orang
tua
b. Kepatuhan remaja
untuk tidak ikut menggunakan alat kontrasepsi KB� jika orang tuanya tidak mengijinkan.
c. Kepatuhan remaja
untuk melaksanakan persalinan di rumah, tidak di fasilitas kesehatan seperti
Rumah saki, atau puskesmas
d. Remaja memiliki
pendapat setuju dengan norma �Remaja yang memiliki anak membanggakan orang
tua���������������������������
e. Remaja tidak
memiliki akses informasi kesehatan reproduksi dari orang tuanya melainkan dari
media sosial seperti (internet, facebook) dll
f.� Remaja
menyetujui untuk kawin pada usia dini
g. Norma adat dan
agama yang bisa menekan Perilaku beresiko seperti� (pacaran dan narkoba), namun tetap memerlukan
kontrol dari orang tua atau keluarga
Rendahnya
pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi akan menimbulkan berbagai
dampak� baik untuk remaja itu sendiri,
keluarga, bahkan untuk masyarakat, karena ketika kita bicara tentang kesehatan
reproduksi berarti kita membicarakan sebuah kelanggengan dari peradaban manusia
sebagai khlaifah di muka bumi. Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan
sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari
penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem
reproduksi, serta fungsi dan prosesnya (DepKes, 2007).
Hal ini
tercantum dalam (UU RI No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 71) menjelaskan
: �Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan
sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang
berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan
perempuan�.� Hak reproduksi merupakan hak
asasi manusia, pemenuhannya merupakan bentuk perlindungan bagi setiap individu,
serta prakondisi untuk memperoleh hak-hak lainnya tanpa diskriminasi (Syafikarani, 2018).
Ruang lingkup
kesehatan reproduksi meliputi kesehatan ibu dan bayi baru lahir, keluarga
berencana, pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran reproduksi (ISR)
termasuk PMS, HIV/AIDS, pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi,
kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanganan infertilitas, kanker
pada usia lanjut dan osteoporosis, berbagai aspek kesehatan reproduksi lainnya,
misalnya kanker leher rahim dan lain-lain (DepKes, 2007).
Kesehatan
reproduksi remaja sebagai salah satu kesehatan yang menjadi fokus perhatian
berbagai lapisan dari pemerintah tingkat pusat, daerah sampai ke tingkat Desa
atau Kelurahan. Kesehatan reproduksi remaja merupakan salah satu usaha untuk
mewujudkan remaja sehat menuju masa depan yang kuat.
Pelayanan
Kesehatan reproduksi remaja tercantum dalam PP no 61 tahun 2014 BAB 1 Pasal 1
�pelayanan Kesehatan reproduksi remaja adalah salah satu kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan yang ditujukan kepada remaja dalam rangka menjaga
Kesehatan reproduksi. Bagian kedua pasal 11: (1) pelayanan Kesehatan reproduksi
remaja bertujuan untuk a). mencegah dan melindungi remaja dari perilaku seksual
berisiko lainnya yang dapat berpengaruh terhadap Kesehatan Repsoduksi Remaja
dan b) mempersiapkan remaja untuk menjalani kehidupan reproduksi yang sehat dan
bertanggungjawab�.
Sebagai wujud
dari Hak asasi manusia maka kesehatan reproduksi remaja ini harus betul-betul
dipahami oleh remaja sejak dini untuk mempersiapkan masa depan sebuah bangsa,
karena Ketika bicara tentang reproduksi berarti kita membicarakan sebuah proses
biologis dari kehidupan individu untuk menghasilkan individu baru. Kesehatan
reproduksi remaja merupakan kondisi kesehatan yang menyangkut masalah kesehatan
organ reproduksi, yang kesiapannya dimulai sejak usia remaja dimana organ
reproduksi sudah mampu melaksanakan fungsinya dengan ditandai oleh haid atau
biasa disebut menstruasi pertama kali pada remaja perempuan atau mimpi basah
bagi remaja laki-laki.
2.� Penelitian (Mai, 2019) tahun 2019
dengan judul �Tinjauan yuridis terhadap perkawinan anak di bawah umur di lihat
dari sudut pandang undang-undang nomor 1 tahun 1974�� menjelaskan bahwa fenomena perkawinan di
bawah umur banyak terjadi baik di daerah maupun di kota besar. Banyak anak
perempuan yang dikawinkan debelum memenuhi syarat umum yang tercantum dalam
UUP. Faktor yang melatarbelakangi perkawinan di bawah umurpun sangat beragam
misalnya: faktor diri sendiri yang sudah saling mencintai, faktor Pendidikan
orang tua, faktor ekonomi, dan faktor yang mendesak harus segera dilangsungkan
perkawinan.
Akibat yuridis
terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 1 tahun. 1974 tidak
tampak secara jelas, karena jika perkawinan di bawah umur sudah memperoleh
dispensasi, maka pelanggaran terhadap ketentuan suatu perkawinan tidak ada
lagi. tetapi timbul akibat yuridis lain, yaitu terjadi penelantaran dalam rumah
tangga yang bisa dikenai ancaman pidana sesuai Undang-Undang Nomor 23 tahun
2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, selain itu jika terjadi perceraian
akan timbul akibat hukum terlantarnya anak sehingga terjadi pelanggaran
terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Rendahnya
pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi akan berdampak kepada masalah
kesehatan itu sendiri, berbagai literatur menjelaskan seperti timbulnya
perilaku seksual berisiko yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya kehamilan
tidak diinginkan, diakhiri dengan adanya aborsi tidak aman yang menimbulkan
terjadinya kematian ibu karena perdarahan. Meningkatnya kasus penyakit menular
seksual dan HIV/AIDS. (DAC, 2020)
Selain itu,
perilaku seksual bebas pada remaja akan mendorong terjadinya perkawianan usia
dini dengan diiringi berbagai dampak baik dampak fisiologis, psikologis maupun
dampak kesejahteraan. Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas dalam laporan tahun
2020 melaporkan bahwa Pada tahun 2018, 1 dari 9 anak perempuan di Indonesia
sudah menikah pada usia sebelum 18 tahun dengan jumlah mencapai sekitar
1.220.900, angka ini menempatkan Indonesia pada 10 negara dengan angka absolut
perkawinan anak tertinggi di dunia. Rata-rata usia perkawinan� berlangsung pada usia 15 tahun.
Perkawinan� dini jika dikaitkan dengan kesehatan
reproduksi perempuan sangat rentan mengalami gangguan kesehatan seperti yang
disajikan dari berbagi literatur. Perkawinan�
dini� bisa menimbulkan resiko
kesehatan bagi perempuan, terutama jika terjadi kehamilan pada usia masih muda.
Menurut (Manuaba, 2010) hal tersebut
dikarenakan kematangan secara biologis yang belum betul-betul sempurna dapat
mengakibatkan kematian saat melahirkan, dan kematangan secara pribadi juga
masih belum maksimal.
Dalam artikelnya
(Ariesta, 2015) yang berjudul
�Sikap Remaja Putri Terhadap Pendewasaan Usia Perkawinan� Jurnal Obstretika
Scientia, 2015 diunduh dari ejurnal.latansamashiro.ac.id, menjelaskan bahwa,
�Secara medis perkawinan dan kehamilan pertama bagi perempuan dengan umur
kurang dari 20 tahun memiliki resiko� kesakitan
dan kematian pada saat persalinan, atau masa nifas seperti keguguran,
Preeklamsia, Eklamsia, Fistula Vesikovaginal (merembesnya air seni ke vagina),
Fistula Retrovaginal, dan kanker leher Rahim, sedangkan untuk bayinya
kemungkinan lahir dengan berat badan rendah. Hal ini disebabkan karena belum
matangnya alat reproduksi perempaun tersebut,
Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat Rabu 1/7/2020,
mengampanyekan batas usia minimum bagi perempuan� untuk hamil, minimal berusia 21 tahun. Hamil
pada usia dini rawan potensi kelahiran Stanting dan Ibu Meninggal. Di Kabupaten
Majalengka, Kepala BKKBN Jawa Barat Uung Kusman mengungkapkan, bahwa
perempuan� yang hamil dengan usia kurang
dari 21 tahun sangat rentan dengan berbagai masalah kesehatan seperti kelahiran
anak dalam kondisi Stanting. Selain itu perempuan yang melahirkan dengan usia
dini merupakan penunjang tertinggi Angka Kematian ibu yang sampai saat ini
masih menjadi salah satu target pemerintah untuk menanganinya.
(Eddy Fadlyana dan Shinta Larasaty, 2016) Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK Universitas Padjajaran/RS Dr Hasan Sadikin Bandung dalam
artikelnya yang berjudul �Perkawinan Dini dan Permasalahanya� diunduh dari Sari
Pediatri, 2016 saripediatri.org, menjelaskan bahwa hubungan seks pertama pada
usia yang sangat muda meningkatkan risiko penyakit menular seksual dan
penularan infeksi HIV, dan� karsinoma
serviks, sehingga akan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas pada remaja
yang hamil. Anak yang dilahirkan dari perkawinan� usia dini terjadi persaingan nutrisi dengan
janin yang dikandungnya, sehingga berat badan ibu hamil sulit naik, disertai
dengan anemia karena defsiensi nutrisi, berisiko melahirkan bayi dengan berat
lahir rendah. Sekitar 14% bayi yang lahir dari ibu berusia remaja di bawah 17
tahun adalah prematur. Anatomi panggul yang masih dalam fase pertumbuhan
menimbulkan resiko terjadinya persalinan lama yang mengakibatkan kematian bayi
dan kematian neonatus. Kehamilan pada usia dini akan menimbulkan depresi yang
menjadi salah satu penyebab terjadinya keguguran, berat badan lahir rendah dan
lain-lain. Depresi juga mengakibatkan tekanan darah tinggi, sehingga
menimbulkan terjadinya eklamsi yang akan mengancam kesehatan janin maupun ibu
yang mengandungnya, selain itu depresi juga akan menjadi depresi postpartum
yang kemungkinan melatarbelakangi terjadinya kasus seorang ibu membunuh anaknya
(Hallal et al., 2012). Keterbatasan
finansial, keterbatasan mobilitas dan berpendapat, mengakibatkan istri berusia
muda tidak dapat mengakses layanan kesehatan sesuai kebutuhannya, sehingga
mengakibatkan tingginya komplikasi maternal dan mortalitas.
Salah satu usaha
pemerintah untuk mewujudkan kesehatan reproduksi adalah dengan membentuk UU RI
No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 71 menjelaskan : �Kesehatan reproduksi
merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak
semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem,
fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan�. Pasal ini
menunjukkan bagaimana keseriusan pemerintah dalam melindungi hak reproduksi
sebagai wujud untuk memenuhi hak asasi manusia, pemenuhannya merupakan bentuk
perlindungan bagi setiap individu, serta prakondisi untuk memperoleh hak-hak
lainnya tanpa diskriminasi (Syafikarani, 2018).
Untuk mewujudkan
kesehatan reproduksi remaja pemerintah juga mengeluarkan regulasi tentang
pelayanan Kesehatan reproduksi remaja yang dicantumkan dalam PP no 61 tahun
2014 BAB 1 Pasal 1 �pelayanan Kesehatan reproduksi remaja adalah salah satu
kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang ditujukan kepada remaja dalam
rangka menjaga Kesehatan reproduksi�. Bagian kedua pasal 11: (1) �pelayanan
Kesehatan reproduksi remaja bertujuan untuk a). mencegah dan melindungi remaja
dari perilaku seksual berisiko lainnya yang dapat berpengaruh terhadap
Kesehatan Repsoduksi Remaja dan b) mempersiapkan remaja untuk menjalani
kehidupan reproduksi yang sehat dan bertanggungjawab�.
Pada pembahasan
ini dapat digambarkan bagaimanapun regulasi disusun dengan lengkap untuk
mencapai kesehatan reproduksi, namun jika para remaja belum menyadari bahwa
kesehatan reproduksi adalah haknya maka cita-cita bangsa untuk membangun remaja
sehat mustahil akan tercapai.
Adapun
perkawinan dini dilihat dari aspek psikologis banyak dibahas oleh berbagai
kalangan (Yulianti, 2010), Bagian Hukum
Perdata, Fakultas Hukum, Universitas Trunojoyo dalam artikelnya yang berjudul
�Dampak yang Ditimbulkan Akibat Perkawinan Usia Dini� diunduh dari
journal.trunojoyo.ac.id, menjelaskan bahwa tujuan dari perkawinan salah
satunya� adalah memperoleh keturunan yang
baik. Hal ini tidak akan tercapai jika perkawinan berlangsung pada usia muda
karena kedewasaan ibu sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak, seorang
perempuan dewasa secara psikologis akan memiliki emosi yang lebih stabil,
sehingga dalam mengambil keputusan penuh pertimbangan, beda jika dibandingkan
dengan para ibu muda. Ibu usia remaja�
belum siap untuk menjadi ibu dalam arti keterampilan mengasuh anaknya.
Ibu muda ini lebih menonjolkan sifat keremajaannya daripada sifat keibuannya.
(DAC, 2020)� menjelaskan bahwa usia perkawinan yang ideal
adalah 21�25 tahun untuk perempuan dan 25�28 tahun untuk laki-laki. Pada usia
ini organ reproduksi perempuan secara fisiologi sudah mencapai kematangan dan
siap untuk melahirkan keturunan secara fisik. Laki-laki pada usia 25-28 tahun
dipandang secara psikis dan fisiknya sudah kuat, sehingga dia akan mampu
menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik psikis emosional, ekonomi
maupun sosial.
Untuk mencapai
kematangan usia ideal perkawinan, pemerintah sudah melakukan berbagai usaha
dalam menjaga kesehatan reproduksi antara lain telah disahkannya Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pada tanggal 14 Oktober 20l9 oleh
Presiden Joko Widodo. Adapun perubahan yang berkaitan dengan usia perkawinan
adalah bunyi pasal 7 ayat (1) yang awalnya berbunyi �perkawinan hanya diizinkan
apabila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun� menjadi� (1) �Perkawinan hanya diizinkan apabila pria
dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun�. Pasal 7 ayat (2)
menjelaskan �Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita
dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak
disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
Perubahan batas
usia perkawinan bagi perempuan yang awalnya minimal 16 tahun menjadi 19 tahun,
jika dilihat dari definisi remaja menurut organisasi kesehatan dunia (WHO)
sangat sesuai dimana WHO menjelaskan bahwa remaja adalah periode usia 10 sampai
19 tahun (DAC, 2020). Kesetaraan
usia minimal dalam perkawinan bagi perempuan dan laki-laki membawa angin segar
bagi para remaja perempuan, karena dengan adanya perubahan ini memberikan
kesempatan kepada remaja perempuan yang seringkali menjadi korban diskrimasi
kesetaraan gender dalam bidang pendidikan untuk mendapatkan kesempatan
mengikuti Pendidikan wajib 12 tahun. Selain kesempatan untuk mendapatkan
Pendidikan, juga remaja perempuan memiliki kesempatan untuk mendapatkan haknya
dalam mengoptimalkan tumbuhkembangnya, serta mendapatkan pendampingan dari
orang tua secara maksimal sampai masa remaja selesai. Hal ini tentunya harus
disertai kesadaran dari para remaja perempuan tersebut untuk memperoleh haknya
terkait batas usia minimal perkawinan, serta pemahaman orang tua terhadap
pemenuhan hak bagi putra-putrinya.
Usia minimal
perkawinan 19 tahun memang belum menjadi usia yang aman untuk melahirkan jika
dipandang dari segi kesehatan reproduksi, karena menurut beberapa teori usia
aman pertama kali melahirkan bagi perempuan adalah 21 tahun. Hal ini juga
dicantumkan dalam Program Keluarga Berencana bahwa usia melahirkan yang aman
pertama kali yaitu 21 tahun. Jika dikaitkan dengan UU Perkawinan memang telah
dicantumkan dalam pasal 6� ayat (2) �Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua����� puluh satu) tahun harus mendapat izin
kedua orang tua�. Ayat ini memperkuat teori di atas untuk memfasilitasi agar
perempuan melahirkan dalam usia aman yaitu 21 tahun.
Perkawinan bagi
manusia merupakan hal yang penting, karena dengan sebuah perkawinan seseorang
akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara sosial, biologis, maupun
psikologis. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan� sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkn ketuhanan Yang Maha Esa (UU No 1 tahun 1974). Menurut Akmad
Shodikin, (2012), salah satu prinsip dari perkawinan, calon suami istri harus
memiliki jiwa dan raga yang dipandang sudah matang untuk mewujudkan
perkawinan� yang baik tanpa berakhir pada
perceraian dengan menghasilkan keturunan yang baik dan sehat.
Perkawinan usia
dini secara yuridis tidak menimbulkan pelanggaran terhadap UU No 16 tahun 2019
tentang perkawinan jika sudah mendapatkan dispensasi dari pengadilan, namun
jika terjadi kekerasan dalam rumahtangga yang disebabkan belum matangnya emosi
dari suami atau istri maka akan terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga seperti yang tercantum
dalam Pasal 1 �Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga�. Pasal 5 �Setiap
orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam
lingkup rumah tangganya, dengan cara: b. kekerasan fisik; c. kekerasan psikis;
d. kekerasan seksual; atau e. penelantaran rumah tangga� maka hal ini akan
menimbulkan kerugian untuk perempuan yang seringnya menjadi korban dan
laki-laki menjadi pelaku yang bisa diancam dengan hukuman pidana.
Jika dalam perkawinan
usia dini menimbulkan terjadinya perceraian maka akan terjadi penelantaran anak
yang dapat melanggar Undang-undang Republik Indonesia nomor 35 tahun 2014
tentang perubahan atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak seperti bunyi Pasal 1 ayat (1) �Anak adalah seseorang yang belum berusia
18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan� ayat (6)
�Anak Terlantar adalah Anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar,
baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial�
Hal ini
tentunya akan menimbulkan kerugian baik bagi pasangan perkawinan usia dini
sendiri, keluarganya, maupun untuk masyarakat serta lebih luasnya untuk bangsa
dan negara, karena anak dan remaja merupakan aset bangsa yang sangat menentukan
kualitas suatu bangsa.
Kesimpulan
Rendahnya pengetahuan
remaja tentang kesehatan reproduksi remaja menimbulkan dampak seperti meningkatnya angka perkawinan usia dini, terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, terminasi kehamilan, lahir mati, keguguran, komplikasi selama kehamilan atau persalinan, kesuburan tinggi, kekurangan gizi, kesehatan mental (stres), gangguan kesehatan reproduksi, peningkatan terjadinya penyakit menular seksual dan HIV/AIDS.
Akibat yuridis dari perkawinan di bawah usia, tidak
tampak terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 sebagai perubahan Undang-Undang Nomor� tahun 1974 secara jelas, karena jika
perkawinan di bawah umur sudah memperoleh
dispensasi, maka pelanggaran terhadap ketentuan suatu perkawinan tidak ada lagi. tetapi
timbul akibat yuridis lain, yaitu
terjadi penelantaran dalam rumah tangga
yang bisa dikenai ancaman pidana sesuai UndangUndang Nomor 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
jika terjadi perceraian akan timbul akibat hukum
terlantarnya anak sehingga terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang Republik Indonesia nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
BIBLIOGRAFI
Ali, S.,
Stone, M. A., Peters, J. L., Davies, M. J., & Khunti, K. (2006). The
Prevalence Of Co‐Morbid
Depression In Adults With Type 2 Diabetes: A Systematic Review And Meta‐Analysis. Diabetic Medicine, 23(11), 1165�1173.
Ariesta, R. (2015). Sikap Remaja
Putri Terhadap Pendewasaan Usia Perkawinan. Jurnal Obstretika Scientia, 1(1),
33�40.
Bappenas, B. P. S. (2013). Unfpa.
Indonesia Population Projection 2010-2035. Janarta: Bps.
Dac, R. (2020). Kesehatan
Repsoduksi Remaja Dan Wanita: Pt Pustaka Baru, Yogyakarta.
Depkes, R. I. (2007). Pedoman
Pelayanan Antenatal. Jakarta: Direktorat Bina Pelayanan Medik Dasar,
Direktorat Jenderal Bina �.
Eddy Fadlyana Dan Shinta Larasaty.
(2016). Perkawinan Dini Dan Permasalahanya, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk
Universitas Padjajaran/Rs Dr Hasan Sadikin Bandung Diunduh Dari Sari Pediatri,
2016 Saripediatri.Org.
Fitriani, S., Nurdin, M. M.,
Ramadhanti, H. A., Subekti, I., Nurhasanah, N., & Yusup, I. F. (2020).
Pembentukan Dan Pelatihan Duta Anti Rokok Pada Komunitas Saka Bakti Husada Di
Smk Kesehatan X Kota Tasikmalaya Tahun 2019. Jurnal Abdimas Kesehatan
Tasikmalaya, 2(02), 47�51.
Hallal, P. C., Andersen, L. B.,
Bull, F. C., Guthold, R., Haskell, W., Ekelund, U., & Group, L. P. A. S. W.
(2012). Global Physical Activity Levels: Surveillance Progress, Pitfalls, And
Prospects. The Lancet, 380(9838), 247�257.
Kurniasari, N. D., Hariastuti, I.,
& Pardiono, P. (2018). Pemahaman Remaja Tentang Kesehatan Reproduksi
(Pernikahan Dini Dan Perilaku Beresiko) Di Sampang Madura. Jurnal Komunikasi,
12(1), 74�85.
Mai, J. T. (2019). Tinjauan Yuridis
Terhadap Perkawinan Anak Di Bawah Umur Di Lihat Dari Sudut Pandang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Lex Crimen, 8(4).
Manuaba, I. B. G. (2010). Ilmu
Kebidanan, Penyakit Kandungan Dan Keluarga Berencana. Jakarta: Egc, 15,
157.
Moher, D., Liberati, A., Tetzlaff,
J., Altman, D. G., & Group, P. (2009). Reprint�Preferred Reporting Items
For Systematic Reviews And Meta-Analyses: The Prisma Statement. Physical
Therapy, 89(9), 873�880.
Syafikarani, A. (2018).
Re-Aktualisasi Tato Pada Iklan A Mild �You Will Figure It Out� Dalam Membentuk
Positioning Produk. Dekave, 11(2), 1�13.
Yulianti, R. (2010). Dampak Yang
Ditimbulkan Akibat Perkawinan Usia Dini. Pamator Journal, 3(1).